Bab 14 – Pertemuan

Melinda meraih cangkir minuman dan meneguk isinya. Dari tepi keramik tersebut ia mengamati orang-orang yang duduk di sekelilingnya.

“Oke, kita mulai,” kata Alex. Pemuda berkacamata itu mencondongkan tubuh ke arah meja kecil di hadapan mereka. “Ada yang punya kabar baru?” Continue reading

Posted in Artefaktor

Bab 13 – Urnduit

Reinald menghembuskan napas panjang. Dengan satu tangan dilepaskannya kain hitam yang menutupi matanya. Sinar matahari menyeruak dari jendela kamar, sejenak menyilaukan tatapannya. Selama beberapa saat pemuda itu mengerjap-ngerjap, menyesuaikan pandangan dengan perubahan cahaya yang tiba-tiba. Continue reading

Posted in Artefaktor

Bab 12 – Fokus

Nadine berbaring di tempat tidur. Kegelapan melingkupi ruangan tersebut, karena gadis itu tak menghidupkan lampu walaupun hari sudah malam. Mata Nadine menatap langit-langit kamar, namun sesungguhnya pandangannya ada di tempat yang lebih jauh lagi. Di pohon Alleterre, nun jauh di utara Bandung. Continue reading

Posted in Artefaktor

Bab 11 – Beringin dan Tanaman Rambat

Gakka berdiri tegak, kedua tangan tergantung rileks di samping tubuh. Sang urnduit mengarahkan tatapan ke langit senja ketika mengirimkan pikiran melintasi cakrawala Bandung. Jauh ke arah utara, melewati pepohonan, menyeberangi kota, menerobos pembatas magis. Ketika menemukan tujuannya, sang urnduit menunggu dengan sabar sampai lawan bicaranya menyadari kehadiran pikirannya. Continue reading

Posted in Artefaktor

Bab 10 – Mimpi Buruk

Nadine melangkah di sepanjang jalan Tubagus Ismail VII yang sepi dan gelap, hanya diterangi lampu perumahan yang berjajar di kiri kanannya. Langit malam tampak menggantung berat oleh awan. Sepertinya sebentar lagi hujan akan kembali mendera Bandung. Mudah-mudahan Rei tidak sedang mengendarai motornya. Bisa-bisa pemuda itu kehujanan nantinya. Continue reading

Posted in Artefaktor

Bab 9 – Artefaktor

Reinald berdiri di depan gerbang, memandangi bangunan terlantar di hadapannya. Bagaimana caranya masuk ke dalam? Bisakah ia masuk ke sana sendirian tanpa bantuan Nadine? Seingatnya kemarin Nadine tidak melakukan apa pun yang bisa membuatnya bebas keluar masuk rumah tersebut sendirian. Tapi pemuda itu ingat kalau ia sempat berkata kalau ia akan kembali lagi.

Dan gadis itu menyuruhnya pergi ke neraka. Continue reading

Posted in Artefaktor

Bab 8 – Liontin Hijau

Ketika Reinald melihatnya lagi, Nadine sudah berdiri di atas tangga yang terletak di sisi kiri rumah. Sejenak gadis itu memandanginya tanpa ekspresi, lalu melanjutkan langkah menuju lantai dua. Menghela napas dalam, pemuda itu mengikutinya.

Lantai atas tersebut membuka ke sebuah ruang duduk luas yang diisi karpet lebar berwarna hijau, bantal-bantal besar yang tampaknya empuk, lemari-lemari buku yang penuh sesak, dan sebuah televisi. Pintu-pintu kamar mengelilingi aula kecil tersebut, semuanya tertutup rapat. Nadine memasuki salah satunya. Continue reading

Posted in Artefaktor

Bab 7 – Farsei Foruna

Air hujan beku melecuti tubuh Rei, menampar helmnya. Hanya dalam beberapa menit jaketnya sudah basah kuyup. Tangannya yang terbungkus sarung tangan hampir mati rasa karena kedinginan.

Pemuda itu melirik sejenak ke belakang dan melihat Nadine. Gadis itu tampak tak terpengaruh cuaca jelek tersebut. Matanya menatap ke arah kejauhan, seolah sedang memikirkan sesuatu. Continue reading

Posted in Artefaktor

Bab 6 – Bengkel Sang Master

Nadine menarik napas dalam-dalam, lalu memejam.

Dalam kepalanya ia seolah-olah berada dalam kegelapan. Tak ada apa pun di sana, tidak juga sesuatu untuk berpijak, membuat tubuhnya seperti mengambang di tengah-tengah ketiadaan. Selama beberapa saat Nadine diam menunggu, hanya terus bernapas teratur. Kemudian ia mulai merasakannya.

Sebuah aliran tenaga berdenyut, agak jauh di sebelah kanannya. Salah satu nadi grae yang ada di Bandung. Tanpa berpikir, Nadine menyerasikan frekuensi energi tubuhnya dengan sumber energi sihir itu. Dalam dunia kegelapan tersebut, proses itu tampak seolah-olah ia mendatangi sumber grae tersebut, sebuah sungai energi dengan air jernih yang bersinar terang, sehingga terlihat seperti aliran cahaya yang membentang sampai ke ujung pandangan. Nadine berlutut di tepinya dan menciduk segenggam besar air energi. Perlahan diminumnya substansi tersebut, seakan ia benar-benar meneguk suatu cairan. Continue reading

Posted in Artefaktor

Bab 5 – Grasth

Reinald mengamati ruangan tersebut. Kerusakan terhampar di mana-mana. Kursi di dekatnya patah jadi dua. Tiga keping keramik lantai pecah, dan radius dua keping di sekitarnya retak parah. Hanya ceceran darah yang telah menghilang, baunya digantikan harum cairan pembersih lantai yang masih menyengat.

Bi Iyah sudah ingin membereskan semua kekacauan tersebut, namun Rei melarangnya. Pemuda itu perlu melihat lagi semua saksi tak bergerak dari kejadian malam sebelumnya tersebut. Belum satu hari berlalu, namun sudah terasa sangat lama baginya. Continue reading

Posted in Artefaktor