Bab 14 – Pertemuan

Melinda meraih cangkir minuman dan meneguk isinya. Dari tepi keramik tersebut ia mengamati orang-orang yang duduk di sekelilingnya.

“Oke, kita mulai,” kata Alex. Pemuda berkacamata itu mencondongkan tubuh ke arah meja kecil di hadapan mereka. “Ada yang punya kabar baru?”

Sunyi, tak ada jawaban. Melinda lebih memilih untuk meneguk lagi tehnya. Bukannya tidak mau menjawab, tapi ia memang tidak punya berita baru. Yah, sebenarnya, kalaupun ia memiliki hal baru, ia takkan mengutarakannya kecuali kalau diminta secara langsung.

“Aku sudah coba mendeteksi lagi sumber grae itu kemarin, Lex” Lili angkat bicara. “Tapi jejaknya terputus di tengah-tengah, jadi aku masih belum tahu siapa yang melakukannya.”

Melinda mendengus dalam hati. Terputus di tengah-tengah? Paling-paling Lili sendirilah yang tidak kuat melacak aliran grae tersebut terus-menerus. Namun gadis itu menyembunyikan kenyataan tersebut, tidak mau mengakui kegagalannya sendiri.

“Kita harus tahu siapa yang menyebabkan fenomena aneh itu,” sahut Lex. “Itu satu-satunya petunjuk kita. Kita tidak bisa melewatkan kesempatan ini.”

Melinda meletakkan kembali cangkir di tangannya ke atas meja. Fenomena aneh yang disebut Lex adalah sesuatu yang terjadi dua hari lalu. Di tengah-tengah cuaca cerah yang cenderung terik, tiba-tiba saja badai menghantam Bandung. Hujan turun deras seperti ditumpahkan dari langit, angin mengamuk gila. Namun secepat kedatangannya, badai tak natural tersebut hilang begitu saja, meninggalkan kota dalam keadaan basah kuyup dan tercengang.

Kejadian seaneh itu pastilah disebabkan oleh sihir. Ada yang menggunakan grae untuk mengacaukan cuaca di kota ini. Untuk pertama kalinya ada yang melakukan hal tersebut terang-terangan, setelah tiga bulan berlalu tanpa ada gerakan apa pun. Pantas saja Lex ingin cepat-cepat menemukan pelakunya. Belum tentu mereka bisa mendapatkan kesempatan seperti ini lagi.

Dari kemarin Lili telah mencoba mencari orang yang bertanggung jawab atas kelainan cuaca tersebut, dengan cara menelusuri jejak tenaga magis yang tertinggal di udara. Penggunaan grae, terutama dalam jumlah banyak, pasti akan meninggalkan sisa-sisa energi. Dengan mengikutinya, seorang grasth akan dapat menemukan sumber penggunaan grae tersebut, dengan kata lain, orang yang melakukan sihir itu. Namun sampai sekarang Lili masih belum menemukannya, walaupun telah mencoba berulang kali.

“Aku tahu,” sergah Lili. “Aku masih terus mencari, kok. Aku pasti bisa menemukan orang itu.”

Melinda mendengus lagi dalam hati. Yang benar saja. Bahkan ia pun tahu kalau Lili tak akan bisa melacak residu grae itu ke sumbernya. Ia tidak sekuat itu. Kalau Nadine sih pasti bisa.

Nadine sudah terlatih melakukannya, dan kemampuannya menyelaraskan frekuensi grae alaminya dengan frekuensi grae mana pun sangat menakjubkan. Lili tidak memiliki pengalaman maupun kemampuan itu. Sampai seperti apa pun ia berkeras, Lili tidak akan bisa menggantikan posisi Nadine. Bakat dan kekuatan mereka terlalu jauh berbeda, seperti tikus yang bermimpi jadi gajah.

Namun sampai mati pun Lili tidak akan mau mengakui hal tersebut.

“Masa tidak ada satu pun petunjuk baru, sih?” Lex menoleh pada orang keempat yang duduk bersama mereka. “Indra?”

Pemuda gempal itu mengernyit sedikit ketika ditanya. “Teu aya, Kang. Aku sudah berusaha mencari lagi, tapi sampai sekarang yang kita dapet teh sarua wae, seperti kemarin.”

Lex melepas kacamata dan menelungkupkan wajah ke telapak tangan. Pemuda itu terlihat amat kesal, seperti siap meledak marah kapan saja. Namun ketika ia mengangkat kepala dan kembali mengenakan kacamata, mukanya tampak cukup tenang. “Oke, oke. Coba kita rangkum lagi, apa saja yang sudah kita ketahui tentang mereka.”

Ingin rasanya Melinda mengeluh keras-keras. Lagi-lagi seperti ini. Setiap kali penyelidikan mereka buntu, Lex pasti bersikeras untuk membahas apa saja yang telah mereka ketahui, seolah-olah dengan melakukan itu, pemuda tersebut berharap akan menemukan sesuatu yang terlewat oleh mereka. Pada kenyataannya, tindakan itu tidak pernah membawa hasil apa-apa, hanya menghabiskan waktu pertemuan saja.

“Sekitar delapan bulan lalu, kita pertama kali menduga adanya kemungkinan munculnya kelompok grasth baru di Bandung,” Lex memulai. “Itu gara-gara banyak kejadian aneh yang waktu itu terjadi di sini.”

Lili mengangguk seraya membaca catatan yang ada di hadapannya. “Waktu itu ada kejadian angin puting beliung yang datang tiba-tiba. Empat kali hujan tidak merata di Bandung, seperti kemarin. Tiga kali penampakan aneh. Dan dua kejadian orang hilang.”

Dan itu hanya yang kita ketahui, batin Melinda. Pastinya ada lagi yang lain, namun yang berhasil mereka temukan hanya kejadian-kejadian tersebut.

Lex mengangguk. “Tadinya kita sempat berpikir kalau kejadian-kejadian itu tidak ada hubungannya sama sekali. Tapi karena semakin sering terjadi, kita mulai menyelidikinya. Dan waktu itu kita berhasil mengetahui kalau ada kelompok grasth baru di Bandung ini.”

Iya, berbulan-bulan setelah insiden aneh pertama terjadi. Kalau Aryo ada di sini, pemuda itu pasti akan langsung menduga bahwa kelompok grasth, yang dulu sempat mereka basmi sampai ke akar-akarnya, mulai tumbuh lagi di kota ini. Aryo memang paranoid, tapi kecemasan berlebihannya itulah yang membuat Ildarrald Daevar tetap berdiri sampai sekarang.

Tapi itu tidak berarti Melinda lantas mengharapkan Aryo ada di sini sekarang. Lebih baik kiamat duluan daripada laki-laki itu kembali lagi ke sini!

“Ndra, ceritakan lagi semua yang berhasil kamu cari tahu mengenai kelompok itu.”

Indra menghela napas, namun nada suaranya masih terdengar sabar dan sopan ketika menjawab. “Kan sudah berkali-kali kukatakan, Kang. Kita tidak tahu siapa pemimpinnya, di mana markasnya, siapa saja anggotanya. Yang kita tahu teh hanya kelompok itu sepertinya memiliki banyak anggota, dan bertambah terus setiap bulannya. Kita juga hanya bisa menduga kalau mereka sudah menggunakan grae untuk melakukan hal-hal yang tidak benar, soalnya kita tidak bisa menemukan bukti apa pun yang memperkuat dugaan itu.”

“Bagaimana dengan kegiatan mereka?”

“Yang itu mah Akang juga sudah tahu, kan? Mereka hanya pernah mengadakan seminar hidup sehat, seminar pencerahan hati, lalu ekse­bisi hewan dan benda aneh. Bukannya kita semua sudah memeriksa langsung ke acara-acara tersebut? Tidak ada yang aneh di sana. Tidak ada pertunjukan grae, tidak ada perekrutan, tidak ada apa pun.”

”Bagaimana mengenai cewek yang kamu katakan itu?”

Kekesalan mulai tersirat di mata Indra, namun pemuda berambut ikal itu mampu menutupinya dengan senyum sopan. ”Itu mah hanya gosip. Tidak ada bukti nyata kalau perekrutan kelompok itu me­mang dilakukan dari mulut ke mulut. Kalau untuk masuk ke sana, kita butuh rekomendasi dari minimal tiga orang yang sudah jadi anggota. Kalau ada cewek yang akan memeriksa orang-orang yang mau bergabung, cewek yang katanya bisa membaca pikiran itu. Tidak ada buktinya sama sekali.”

“Lalu apa yang selama ini kamu lakukan?” kemarahan mulai memenuhi suara Lex. “Kamu kan sudah kusuruh menyelidiki mereka. Tapi sampai sekarang kamu masih saja menduga-duga, masih saja tidak punya bukti konkret. Bagimana, sih?”

“Aku teh sudah berusaha semampuku, tapi memang hanya sebegitu yang bisa kudapat,” nada suara Indra turut meninggi. “Kang Lex sendiri bagaimana? Kan sudah kukatakan dari awal, aku teh bisa mencari informasi dari buku atau literatur, tapi aku bukan ahli mencari informasi dari orang. Tapi Kang Lex tetap memaksaku. Aku bukan Ruben!”

Keheningan tiba-tiba memenuhi ruangan tersebut. Melinda menahan diri agar tidak terbahak-bahak. Hebat, hebat! Akhirnya pemuda sopan itu, yang biasanya bisa menahan diri itu, meledak juga. Indra baru saja melemparkan fakta yang sebenarnya tidak boleh sampai terucap. Fakta yang mereka semua tahu, namun tak seorang pun mau mengakuinya.

Bahwa Indra bukanlah Ruben. Melinda bukan Niken. Lili bukan Nadine. Dan Lex bukan Aryo. Mereka sama sekali bukan anggota inti intelejen Ildarrald Daevar, yang terbiasa menghadapi situasi seperti ini. Yang terbiasa menyelidiki kelompok-kelompok grasth yang ada di Bandung, dan memutuskan apa yang akan dilakukan atas kelompok-kelompok tersebut.

Mereka hanya pura-pura berperan sebagai keempat anggota terkuat Ildarrald Daevar tersebut. Padahal pada kenyataannya mereka bukanlah siapa-siapa. Pada kenyataannya, mereka mungkin keempat anggota terlemah dalam Ildarrald Daevar. Ditinggalkan untuk menjaga kandang, sementara yang lainnya bertempur di garis depan.

Lili berdehem. “Kalian pasti lapar. Kuambilkan makanan, ya. Sekalian minuman juga,” gadis itu pun bangkit dan berlalu ke arah dapur.

Melinda membiarkannya pergi. Ia sedang tak ingin membantu Lili. Bagaimanapun juga, bangunan tempat mereka berkumpul ini adalah rumah gadis itu. Jadi kalau Lili mau melayani mereka, ya silakan saja.

“Ada lagi yang kamu tahu, Ndra?” suara Lex terdengar lelah.

Indra menghela napas lagi. “Teu aya, Kang. Seperti yang sudah kukatakan, menurutku kelompok itu teh lebih mirip fans club sihir daripada kelompok grasth betulan.”

“Kamu, Mel?” tatapan berat Lex beralih padanya.

Melinda memasang wajah netral. “Seperti yang sudah kukatakan, aku masih melihat gambaran yang sama. Semuanya serba abu-abu, tidak jelas. Seakan masa depan kita masih belum pasti. Dan aku tidak bisa melihat menembus lapisan abu-abu itu.”

Sebenarnya hal itu tidak sepenuhnya tepat. Kalau mau, ia mungkin saja masih bisa melihat gambaran di balik lapisan tersebut. Mengerahkan segenap kekuatan untuk sejenak mengintip ke balik tirai kelabu tersebut. Tapi buat apa ia bersusah payah melakukan sesuatu yang tak ada gunanya bagi dirinya? Lebih baik ia diam saja.

Lili telah kembali, membawa senampan makanan kecil dan satu teko besar yang tampaknya berisi teh. Dengan cekatan gadis itu mengisi cangkir setiap orang, sebelum mengisi cangkirnya sendiri dan kembali duduk.

Lex masih berdiam diri. Tatapannya tertuju ke lantai. Indra memandangi Lex, kebingungan mewarnai wajahnya. Ketika Lex masih belum juga berkata-kata, pemuda itu kemudian mengalihkan tatapannya pada Melinda, seolah bertanya, apa yang harus kita lakukan sekarang?

Melinda menyesap minumannya. Apa yang harus mereka lakukan? Tak ada. Biar Lex yang menentukan. Seberapa pun menyedihkannya kelompok mereka, pemuda itu masih berstatus sebagai pemimpinnya. Ia yang akan menentukan ke mana mereka akan bergerak. Ia, Indra, dan Lili tinggal menurutinya saja.

“Aku sebenarnya tidak mau memakai cara ini…” mendadak terdengar suara pemuda itu.

Mata semua orang di sana langsung tertuju pada Lex.

“Cara apa?” tanya Lili.

Lex menghela napas dalam. “Sebenarnya aku punya cara untuk menyelidiki kelompok itu.”

Lili membelalak. “Apa? Cara apa?”

Melinda sendiri juga merasa kaget. Lirikan sekilas ke arah Indra menunjukkan pemuda itu turut merasa hal yang sama. Cara untuk menyelidiki kelompok itu? Kalau Lex memang memilikinya, kenapa tidak memberitahukannya dari awal?

Seolah mendengar pikirannya, pemuda berkacamata itu menyahut, “Aku sebenarnya tidak ingin menggunakan cara ini. Terlalu beresiko. Makanya aku menanyai kalian tadi, apa ada kabar baru atau tidak. Tapi karena lagi-lagi penyelidikan kita buntu, sepertinya yang tersisa memang hanya cara ini.”

“Kamu belum jawab pertanyaanku,” kata Lili. Dari nada suaranya, gadis itu mulai terdengar tidak senang.

Lex terdiam sesaat. “Aku akan menyusup masuk ke dalam kelompok itu.”

Ucapan itu seketika memancing reaksi. Lili terperangah dan berucap, “Bagaimana caranya?” pada saat yang bersamaan dengan Indra bertanya, “Memangnya bisa?”

Keduanya berpandangan, sementara Melinda mendengus. Lelucon apalagi yang sekarang dilemparkan Lex?

Pemuda berkacamata itu sendiri hanya menghela napas. “Yah, katakan saja kalau aku dapat undangan untuk bergabung dengan kelompok itu.” Lex mengangkat wajah dan menatap Indra agak mengejek. “Betul kan kataku, Ndra. Untuk masuk ke sana, kamu butuh rekomendasi minimal tiga anggota. Sudah kukatakan, tapi kamu tidak mau percaya.”

“Bukannya tidak mau percaya, Kang. Tapi sudah kukatakan, kan, aku tidak punya buktinya. Dan aku tidak mau mengatakan sesuatu itu teh benar atau tidak kalau belum ada buktinya. Lagipula, dari mana Kang Lex tahu caranya?”

Lex tidak menjawab. Pemuda itu hanya memandangi lantai. Melinda sempat mengira Lex tidak akan membuka mulut, namun akhirnya pemuda itu bersuara juga. “Yah, katakan saja aku… menarik perhatian mereka.”

“Maksudnya?” tanya Lili.

Lex melepas kacamata dan memijat batang hidungnya. “Aku… meracuni orang-orang dengan grae-ku. Tidak terlalu banyak sih, tapi cukup banyak untuk menarik perhatian. Dan setiap kali melakukannya, aku… memastikan setidaknya ada satu saksi mata yang melihat apa yang kulakukan.”

Sekali lagi keheningan menyelimuti mereka semua. Melinda merasakan napasnya tercekik di tenggorokan. Tidak mungkin. Tidak mungkin Lex berani melakukan hal seperti itu.

“Kang Lex, itu teh…” suara Indra menghilang sejenak. Wajah pemuda itu memucat. “Itu teh dilarang, kan? Kita kan tidak boleh menggunakan kekuatan kita di depan umum. Kalau sampai Kang Aryo tahu…”

“Aryo tidak ada di sini!” bentakan Lex membuat mereka semua berjengit. “Kalian pikir aku punya cara lain? Kalian pikir aku senang melakukannya? Aku melakukannya karena harus, sebagai pemimpin sementara Ildarrald Daevar! Dan kenyataannya caraku berhasil, kan? Jadi jangan protes, kecuali kalau kalian punya cara lain yang lebih baik! Dan Aryo tidak perlu tahu soal ini. Yang penting Bandung ini tetap aman di tangan kita. Mengerti?!”

Tak ada yang menjawab. Selama beberapa menit hanya terdengar hembusan napas Lex yang memburu. Perlahan-lahan kemarahan mulai surut dari mata pemuda itu, berganti dengan keletihan.

Melinda mendengus dalam hati. Ternyata bisa juga Lex meniru Aryo. Aryo juga seringkali melanggar peraturan, melakukan hal-hal terlarang, demi mencapai tujuannya. Di luar dugaan, mungkin saja Lex masih punya harapan untuk menyamai Aryo. Yah, minimal dalam cara kerja.

“Lalu, setelah kamu memamerkan kekuatanmu ke sana-sini, kelompok itu datang begitu saja kepadamu?” suara Lili memecahkan keheningan.

“Tidak sesingkat itu prosesnya,” sahut Lex. “Tapi, yah, setelah berhasil membuktikan kalau aku grasth betulan, mereka mengundangku bergabung.”

“Oke, kalau begitu,” Lili menghempaskan punggung ke sandaran sofa dan melipat kedua tangan di dada. “Kapan kita ketemu mereka?”

Lex mengerutkan kening. “Kita?”

“Iya. Kita semua akan menyusup ke sana sama-sama, kan? Tinggal tunjukkan kalau kita juga adalah grasth asli, mereka pasti mau menerima kita semua.”

“Tidak semudah itu, Li,” suara Lex mulai terdengar putus asa. “Yang diundang bergabung hanya aku.”

“Lalu kenapa? Kan sudah kukatakan, tinggal tunjukkan kemampuan kita. Beres.”

“Tidak,” kata Lex. Keputusan bulat tersirat di mata pemuda itu. “Kamu tidak ikut, Li. Aku ke sana sendirian.”

Melinda meraih cangkirnya lagi dan meminumnya dengan tenang. Sudah ia duga Lex akan berkata seperti itu.

Di lain pihak, Lili sepertinya tidak menyangka sama sekali. Gadis itu ternganga. “Apa? Kenapa?”

“Karena aku katakan tidak boleh,” sahut Lex. “Lagipula, bukannya semakin sedikit yang menyusup, semakin kecil resiko ketahuannya, ya?”

“Salah! Semakin banyak yang ikut, semakin besar kemungkinan kamu selamat, karena banyak yang bisa membantumu!” tukas Lili.

“Li, kamu juga tahu apa yang kukatakan tadi benar.”

“Kalau begitu, aku yang pergi!” seru Lili.

Melinda jadi ingin memutar mata. Sekarang, giliran Lili yang melawak. Hebat, hebat.

Lex menatap gadis itu dalam-dalam. “Tidak. Aku yang akan pergi.”

“Kenapa harus kamu?” sahut Lili. “Kenapa bukan aku, atau Indra, atau Melinda?”

“Karena di antara kita, hanya aku yang memiliki kemampuan penyerangan paling kuat,” jawab Lex tenang. “Kalau ada apa-apa, aku yang punya kesempatan hidup paling besar. Jadi wajar kan kalau aku yang pergi?”

“Aku juga punya!” balas Lili.

Melinda jadi ingin mengeluh keras-keras. Yang benar saja! Lili memang keras kepala. Walaupun Melinda sendiri tidak suka dengan keputusan Lex, namun pemuda itu benar. Sebagai seseorang yang mampu menggunakan grae-nya untuk membuat, menghasilkan, dan memanipulasi racun, Lex jelas adalah orang dengan keahlian penyerangan terkuat di antara mereka. Indra mungkin tahu beberapa mantra dari buku-buku kuno yang ia baca, namun levelnya masih tidak bisa disamakan dengan Lex. Sedangkan Lili tak lain tak bukan hanyalah seorang penyembuh. Bagaimana mungkin gadis itu bisa memiliki kemampuan menyerang? Jangan bercanda!

Lex meraih tangan gadis itu. “Iya, kamu punya. Tapi kamu tidak sekuat aku. Lagipula, aku tidak tahan membayangkanmu menyusup ke tempat musuh.”

“Kamu pikir aku tahan?” Lili mulai terlihat seperti akan menangis. “Kalau kamu kenapa-kenapa, aku harus bagaimana?”

Lex meraih gadis itu dan memeluknya. “Aku tidak akan kenapa-kenapa. Jangan menangis. Aku janji akan sangat berhati-hati. Tapi aku harus melakukan ini. Kita tidak punya pilihan lain.”

“Pasti masih ada cara lain!” air mata mulai mengalir dari mata Lili. “Pasti masih ada!”

“Li, kamu juga tahu kalau tidak ada cara lain. Kalau aku tidak melakukannya, kita tidak akan pernah bisa tahu tentang kelompok itu. Aku harus melakukan ini.”

Lili benar-benar menangis sekarang, terisak-isak dalam rengkuhan Lex. Indra memandangi mereka berdua dengan kikuk, sementara Melinda memilih untuk kembali meneguk minumannya. Kalau Lex memang mengambil keputusan seperti itu, silakan saja. Lagipula, apa yang ia katakan memang benar. Ini satu-satunya jalan yang tersisa, dan yang bisa melakukannya hanya pemuda itu. Aku sih ogah.

“Lili, dengar aku. Kalian semua juga.”

Melinda menatap Lex, begitu juga dengan Indra. Lili sendiri masih terisak-isak di dada Lex.

“Ndra, kamu cari tahu terus tentang kelompok itu. Cari informasi sebisa mungkin. Mel, gunakan terus kemampuanmu untuk meramal. Mungkin gangguan penglihatanmu hanya sementara. Mungkin nanti kamu bisa melihat sesuatu lagi. Kalian mengerti?”

Indra mengangguk. Melinda meniru respon pemuda itu, walaupun dalam hati sebenarnya ia tidak yakin gangguan itu akan hilang dari penglihatan masa depannya.

“Lili, dengar aku,” kata Lex. “Lili.”

Gadis itu akhirnya berhenti menangis juga. Ia mengangkat wajah dan menatap Lex dengan mata merah.

“Kalau aku tidak kembali dalam tiga hari, pakai Pasir Reh untuk menghubungi mereka yang ada di Galazentria. Aku akan pergi dengan mengenakan baju tarung Ildarrald Daevar, jadi salah satu dari mereka pasti bisa melacak posisiku.”

Sejenak tak ada yang bersuara. Kemudian Lili mencengkeram baju pemuda itu. “Katamu kamu akan berhati-hati,” ketakutan mulai terlihat di mata gadis itu. “Jangan berkata seakan-akan kamu tidak akan kembali lagi!”

“Aku berkata begitu hanya untuk berjaga-jaga,” sahut Lex tenang. “Aku akan berhati-hati, kok.”

“Tidak, aku tidak mau!” seru Lili. “Aku tidak mau berjanji untuk sesuatu yang menandakan kamu tidak akan kembali lagi!”

Lex menghela napas dalam. Pemuda itu tampak lelah. “Li, kumohon, hanya kamu yang bisa kuandalkan.”

“Tidak mau!”

Lex mengalihkan tatapannya pada yang lain. “Kalau begitu, kalian mau janji?”

“Jangan!” jerit Lili. “Jangan janjikan dia apa pun!”

Melinda bertatapan dengan Indra. Ekspresi mereka berdua pasti sama kebingungannya. Apa yang harus mereka lakukan?

“Kalau kamu sampai tidak kembali lagi,” Melinda mendengar dirinya sendiri bersuara, “Apa yang membuatmu yakin kalau mereka yang ada di Galazentria akan menolong kita?”

“Mereka pasti datang,” jawab Lex. “Pasti. Mereka pasti akan menolong kita.”

Pasti? Dari mana Lex bisa seyakin itu? Melinda sendiri merasa pesimis. Semenjak pergi ke Galazentria tiga tahun yang lalu, tak satu pun dari anggota Ildarrald Daevar tersebut yang kembali ke sini. Dan semenjak itu, entah sudah berapa ratus kali Melinda mencoba menghubungi Marina dengan menggunakan Pasir Reh. Tapi adiknya itu tidak pernah menjawab sekali pun. Entah karena Pasir Reh tidak dapat digunakan untuk berkomunikasi sampai ke Galazentria, atau karena Marina sudah tidak mau lagi berhubungan dengannya. Kalau saja Melinda tidak dapat memantau kondisi adiknya itu melalui penglihatan masa depannya, sudah lama ia akan mati khawatir atas kondisi Marina.

Sekarang, Lex ingin menggunakan artefak tersebut untuk menghubungi anggota Ildarrald Daevar yang ada di Galazentria. Apa pesan darurat itu akan sampai pada mereka? Atau ia, Indra, Lili, dan Lex akan tertinggal sendirian di sini, tanpa ada seorang pun yang bisa membantu?

Gadis itu beranjak dari duduknya. “Indra lebih bisa diandalkan daripada aku. Ngomong-ngomong, aku ke toilet dulu.” Tanpa menunggu jawaban dari yang lain, ia melangkah pergi dan memasuki kamar kecil yang terletak di ujung ruangan.

Di dalam, Melinda duduk di atas toilet dengan kesal. Sebenarnya ia tidak sedang ingin ke kamar kecil. Ia hanya ingin melakukan apa yang akan ia lakukan dengan tenang, tanpa pandangan menusuk atau penuh harap dari orang lain.

Kenapa ia mau saja melakukan hal ini? Kenapa ia mau saja melakukan hal yang sebenarnya tidak ia sukai?

Karena Lex, jawab gadis itu pada diri sendiri. Karena sepayah apa pun, Lex tetap pemimpin Ildarrald Daevar di Bandung. Dan entah kenapa, Melinda ingin membantu pemuda itu, walaupun hanya sedikit. Walaupun masih dengan tak rela.

Jadi gadis itu memejamkan mata. Membuka diri, dan mengerahkan segenap grae yang ada dalam tubuhnya.

Ketika membuka mata lagi, ia sudah berada di tempat yang ia kenal baik. Sebuah ruangan luas dengan langit-langit terbuka yang menampakkan pemandangan alam semesta; lautan galaksi dan bintang yang tampak seperti sungai cahaya. Dinding ruangan itu berwarna broken white, kanvas-kanvas terpasang pada permukaannya, berselang-seling dengan lampu yang memancarkan cahaya kekuningan. Secara keseluruhan ruangan tersebut tampak seperti sebuah galeri lukisan yang melayang di luar angkasa.

Melinda mengedarkan pandangan. Semua kanvas di dinding sebelah kiri dan depannya sudah digambari oleh lukisan masa depan, menyemarakkan aula polos tersebut dengan warna-warni mereka. Semua itu adalah hasil penglihatannya selama ini. Sementara tidak semua kanvas di dinding sebelah kanannya telah memiliki lukisan di atasnya. Ke sanalah gadis itu melangkah.

Melinda berhenti di depan sebuah kanvas yang masih kosong. Kemudian menarik napas dalam, dan berkonsentrasi penuh.

Perlahan-lahan bidang putih di hadapannya mulai terisi. Warna-warna timbul di sana, seolah ada tangan tak terlihat yang melukisinya. Melinda menahan napas. Sebuah gambar mulai terbentuk di depannya, semakin lama semakin jelas. Mungkin kali ini akan berhasil. Mungkin kali ini ia akan bisa melihat masa depan tanpa terhalang apa pun.

Namun begitu lukisan tersebut mulai menunjukkan bentuk yang bisa dimengerti, mendadak semburat abu-abu menutupinya, seakan ada yang menumpahkan seember besar cat kelabu ke atas kanvas tersebut. Menutupi gambar apa pun yang tadi sempat terbentuk di sana.

Melinda menghela napas dalam. Selalu seperti ini. Setiap kali ia mencoba melihat masa depan, pandangannya pasti terhalang. Entah apa yang menyebabkannya. Dulu tidak seperti ini, ia selalu bisa melihat gambaran masa yang akan datang dengan amat jelas, tanpa tertutupi apa pun.

Gadis itu membuka mata, dan bangkit berdiri dalam keadaan lebih kesal daripada tadi. Ia kembali ke ruang tengah dengan wajah kaku. Lex mengamatinya sejenak, seolah hendak menerka apa yang sebenarnya ia kerjakan. Lili masih menangis, walaupun tidak sekeras tadi. Indra meremas tangan gelisah.

Setelah Melinda duduk, Lex menghela napas dalam. “Aku pergi malam ini. Ingat tugas kalian masing-masing. Dan terutama ingat mengenai Pasir Reh itu. Tiga hari.”

Air mata kembali mengaliri pipi Lili. Wajah Indra memucat, walaupun pemuda itu mengangguk menyetujui. Melinda kembali menyesap minumannya. Teh yang telah dingin itu tak bisa menghilangkan kepahitan di kerongkongannya. Tak apa-apa. Lex pasti akan baik-baik saja. Walaupun tak sekuat Aryo atau Nadine, pemuda itu tetap seorang grasth yang tangguh. Lagipula, ia hanya akan menyelidiki satu fans club sihir, kan? Bahaya seperti apa sih yang ada di kelompok seperti itu? Pastinya tidak ada.

Kalau saja satu suara sinis dalam hatinya mau berhenti berucap bahwa semuanya tidak akan berakhir semudah yang ia bayangkan.

***

Category(s): Artefaktor

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

 

You may use these HTML tags and attributes: <a href="" title=""> <abbr title=""> <acronym title=""> <b> <blockquote cite=""> <cite> <code> <del datetime=""> <em> <i> <q cite=""> <s> <strike> <strong>