Dari balik kacamata hitam, aku melihat keranda berisi jenazah ayahku diturunkan ke dalam lubang makam. Di sebelahku Ibu terisak-isak pilu, namun mataku sendiri sekering hatiku. Tak setetes air mata pun bisa kutumpahkan untuk Ayah.
***
Dalam ingatanku, Ayah adalah sesosok bapak yang pendiam. Bekerja dengan rajin di kantor, selalu berusaha pulang tepat waktu, dan menghabiskan waktunya di rumah dengan menonton televisi. Hidupnya lurus-lurus saja, tidak terlibat korupsi, tidak selingkuh, tidak juga gila kuasa. Walaupun gajinya tidak terlalu besar, Ayah selalu berusaha agar keluarganya selalu hidup berkecukupan. Mungkin kekurangannya hanyalah kegemarannya akan rokok kretek, yang bisa ia habiskan sampai dua bungkus sehari. Singkatnya, seorang ayah yang baik.
Sayangnya ayah yang baik itu tidak tahu cara menjalin komunikasi dengan putrinya, selain bertanya kabar di sekolah, ada pe-er apa, ulangan dapat berapa, dan seterusnya. Apalagi setelah putrinya beranjak remaja. Jurang komunikasi itu semakin melebar dan tak lagi dapat dijembatani oleh apa pun juga.
Mungkin karena itulah aku tidak bisa menangisi kepergiannya.
***
Seminggu setelah pemakaman Ayah, Ibu mendatangiku dan menyerahkan sebuah amplop putih. Di luarnya tertulis namaku.
“Ayah meninggalkan ini sebelum ia…” tak mampu melanjutkan, Ibu berbalik dan masuk ke kamarnya, mulai terisak-isak.
Aku membawa surat itu ke kamarku sendiri. Membukanya dan mengeluarkan isinya ke atas tempat tidur. Sehelai kertas terlipat dan sebuah kunci. Penasaran, aku membuka lipatan kertas tersebut dan membaca tulisan Ayah yang besar-besar dan agak berantakan.
Dina, Ayah berikan buku kesayangan Ayah padamu. Buku itu Ayah simpan di laci terkunci yang ada di lemari pajangan. Kuncinya Ayah sertakan dengan surat ini. Gunakan buku itu untuk dengan baik. Tolong jaga Ibu untuk Ayah.
Khas kata-kata Ayah. Tidak ada tulisan Ayah sayang padamu atau sejenisnya.
Aku tidak bermaksud bersikap durhaka kepada orang tua, namun aku lebih memilih Ayah meninggalkanku sesuatu yang lebih berarti. Buku tabungan berisi ratusan juta mungkin. Atau sertifikat deposito. Atau apa pun.
Tapi yang kudapatkan hanya sebuah buku.
Aku menghela napas, dan beranjak ke ruang tengah. Dengan kunci yang ada di dalam amplop, kubuka laci lemari pajangan. Sebuah buku ada di dalamnya. Kukeluarkan buku tersebut dan kubawa kembali ke dalam kamar. Setelah kembali duduk di tempat tidur, kubuka buku tersebut.
Di luar dugaan, isinya kosong melompong. Hanya kertas-kertas menguning yang terlihat amat rapuh, seolah bisa hancur kapan saja. Tak satu pun tulisan tertera di sana, tidak di halaman awal, di tengah, maupun di akhir.
Ingin rasanya aku membanting buku tersebut ke lantai. Namun sejelek apa pun, buku itu adalah peninggalan Ayah. Dan pesan Ayah masih mengusik rasa ingin tahuku.
Gunakan buku itu dengan baik.
Untuk apa? Dijual ke tukang loak, mungkin?
Tanganku jadi gatal ingin melempar lagi buku itu. Akhirnya aku menaruhnya di atas meja dan pergi keluar kamar.
***
Suatu sore, ketika pulang dari kampus, aku menemukan tiga orang laki-laki telah duduk di ruang tamu bersama Ibu. Yang satu berpakaian amat rapi, khas orang kantoran. Yang satu mengenakan baju koko lengkap dengan sarung. Yang terakhir mengenakan kaus yang membungkus erat bisepnya yang berotot, dan celana jins. Ketiganya sama sekali tak kukenal.
Ibu menoleh kepadaku dan tersenyum, “Baru pulang, Nak?”
Aku hanya mengangguk.
“Ini teman-teman ayahmu. Beri salam pada mereka.”
Teman Ayah? Aku belum pernah sekali pun melihat ketiganya. Namun aku berusaha memberi salam sesopan mungkin, kemudian mohon diri untuk masuk ke kamar. Ketiga pria tersebut tersenyum mempersilakan.
Percakapan Ibu dengan mereka segera berlanjut, bahkan sebelum aku masuk ke kamar. Ketika akan menutup pintu, kudengar salah satu dari mereka bertanya.
“Kami mohon, Bu. Buku tersebut sangat berharga bagi kami.”
“Tapi sudah saya katakan, Pak. Saya tidak tahu di mana suami saya menyimpannya.”
“Ibu benar-benar tidak tahu?”
“Kalau tahu, pasti sudah saya berikan pada Bapak-bapak sekalian.”
Dengan perasaan waswas yang mendadak muncul, aku bergegas menutup pintu kamar, membuka pintu lemari, dan menarik keluar lacinya. Buku peninggalan Ayah masih ada di sana, tepat di tempat terakhir aku menaruhnya.
Apa buku ini yang orang-orang itu maksud?
Kenapa mereka menginginkan sebuah buku tua yang tak bertuliskan apa pun?
Ah, mungkin mereka mencari buku lain. Aku menutup laci lemari dan mengesampingkan pemikiran tersebut dari kepalaku.
***
Malam harinya mendadak aku terbangun. Aku merasa yakin ada seseorang yang berbisik-bisik di dalam kamarku. Suaranya begitu nyata, bahkan sampai memasuki mimpiku yang tercampur aduk.
Tetapi ketika membuka mata, tak ada seorang pun di sana.
Apa aku salah dengar? Aku memasang telinga, tapi tak terdengar suara apa pun.
Mungkin memang hanya mimpi saja.
Aku sedang bermaksud untuk tidur lagi ketika terdengar sebuah bisikan.
Dina.
Jantungku terlonjak. Perasaan ngeri yang amat sangat menyerangku, membuatku mencengkeram selimut. Apa itu tadi? Apa seseorang menyebut namaku?
Aku kembali memasang telinga, tapi tak ada suara bisikan di mana pun. Aku pasti salah dengar.
Aku mencoba meyakinkan diriku sendiri seperti itu, namun perasaan takut terlanjur menguasaiku. Pendengaranku menjadi sangat tajam; suara sekecil apa pun membuatku tersentak.
Apa suara yang barusan kudengar adalah bisikan?
Atau helaan napas?
Atau tawa tertahan?
Tak mampu lagi terpejam, aku terpaku di tempat tidur, meringkuk gemetaran di balik selimut sampai matahari pagi membias melalui gorden kamar.
***
Berhari-hari setelahnya, mimpi-mimpi buruk berulang kali menghampiriku, membuat tidurku terganggu. Mataku perih, kepalaku sakit, dan emosiku naik turun. Mungkin karena itulah kemarahanku langsung meledak ketika, sewaktu pulang kuliah, menemukan rumah dipenuhi asap rokok.
Ibu sedang termangu di kamarnya. Sepuluh rokok kretek yang menyala tergeletak di sebuah asbak di hadapannya.
“Apa yang Ibu lakukan?” seruku. “Ibu mulai merokok?”
Ibu menggeleng dengan pandangan sendu. “Ibu rindu bau Ayah.”
Hampir saja aku berteriak kesal, ketika kulihat air mata mulai menggenang di mata Ibu. Tahu bahwa kesedihan Ibu malah akan bertambah kalau aku marah, aku mengepalkan tangan dan keluar dari kamar. Kemudian mulai membuka semua pintu dan jendela yang bisa dibuka, berharap angin akan menerbangkan asap rokok keluar dari rumah.
Harapanku sia-sia. Mendung yang menggantung membuat tekanan udara menjadi rendah. Tak ada angin, akibatnya asap rokok itu tertahan di dalam rumah. Bahkan sebagian berhasil memasuki kamarku, dan kini mengambang di tengah ruangan, membuat napasku tercekik dan mataku berair.
Aku membuka jendela yang ada di depan meja belajar. Kemudian membuka lemari, bermaksud mengambil baju ganti.
Dan tertegun.
Di luar dugaan, asap rokok ternyata sudah masuk sampai ke dalam lemari. Dan asap itu kini berputar di sekitar laci.
Laci tempat aku mengunci buku tersebut.
Aku membuka laci dan asap langsung menyerbu masuk, seakan tertarik oleh sesuatu di dalam. Keheranan, aku mengeluarkan buku itu. Asap rokok masih terus mengelilinginya, semakin lama semakin tebal. Selama beberapa detik asap tersebut terus tertarik ke arah buku. Kemudian asap tersebut terdorong, untuk kemudian tertarik lagi. Terdorong, lalu tertarik lagi.
Seakan-akan buku tersebut sedang menghisap asap dan menghembuskannya, seperti seseorang yang sedang merokok.
Rasa takut yang menyergap membuatku menjatuhkan buku itu. Benda tersebut membentur lantai dengan suara berdebam, dan tergeletak dalam keadaan terbuka.
Apa aku salah lihat? Tidak mungkin kan ada buku yang bisa merokok?
Dengan jantung masih berdebar keras aku mengamati buku tersebut. Berusaha mencermati pergerakan asap di sekitarnya.
Saat itulah aku menyadari sesuatu mulai muncul di lembaran buku yang terbuka.
Garis-garis hitam mulai terbentuk di sana, saling sambung satu sama lain, sampai akhirnya membentuk sebuah gambar. Gambar seseorang bertubuh panjang, berkepala besar yang botak, dengan mata membelalak yang mengerikan dan seringai jahat yang menyeramkan.
Otakku masih mencerna apa yang baru saja terjadi, ketika gambar itu tiba-tiba melompat keluar dari dalam buku.
Aku menjerit ngeri dan terlonjak mundur. Kakiku membentur tepi tempat tidur dan aku jatuh terduduk di atas kasur. Di hadapanku, sosok botak itu menjulang tinggi di atasku, kepalanya nyaris menyentuh langit-langit kamar. Kemudian sosok itu membuka mata dan menyeringai.
“Sebutkan keinginanmu, dan akan kukabulkan.”
Aku terpaku, tak percaya pada pendengaranku. Ketika aku tak juga menjawab, sosok itu kembali mendesis, “Apa pun yang kau minta, sebutkan saja, dan akan kukabulkan.”
Entah bagaimana caranya, akhirnya suaraku berhasil kukeluarkan, “Apa?”
Sosok itu menyeringai lagi, “Katakan saja keinginanmu, dan akan langsung kukabulkan.”
“Keinginan?”
Sosok itu menatapku dengan matanya yang sama sekali tak berkedip. “Ingin kaya? Ingin sembuh dari penyakit? Ingin menghentikan hujan? Ingin mengguna-guna seseorang? Ingin membuat seseorang jatuh cinta padamu? Sebutkan saja. Apa pun yang kau inginkan di dunia ini, akan kukabulkan.”
Mendadak sesuatu terlintas di kepalaku. Jin lampu. Makhluk ini seperti jin yang keluar dari lampu ajaib untuk mengabulkan permintaan. Rasanya absurd kalau merasa lucu ketika sedang ketakutan setengah mati, tapi itulah yang kurasakan ketika berkata, “Dan permintaanku pasti hanya ada tiga.”
“Tidak,” jawaban sosok itu membuat rasa lucuku tiba-tiba menghilang. “Permintaanmu tidak terbatas.”
“Tidak mungkin!” seruku. “Pasti ada sesuatu, konsekuensi, harga yang harus kubayar, atau apa pun. Tidak mungkin kamu mau mengabulkan semua permintaanku begitu saja!”
Seringai makhluk itu semakin melebar. “Tidak ada harga. Tidak ada batasan. Mintalah apa saja. Akan kukabulkan.”
Keringat dingin mulai mengaliri tubuhku. Tidak mungkin. Tidak ada hal yang gratis di dunia ini. Namun tiba-tiba saja satu sisi dalam hatiku, sisi yang selama ini tak kusadari keberadaannya, mulai bangkit dan membisikkan seribu satu permintaan.
Mintalah uang yang sangat banyak. Atau mungkin langsung minta semua baju, tas, sepatu, dan aksesoris yang dari dulu kauidamkan? Atau lulus semua mata kuliah dengan nilai terbaik? Atau mungkin minta agar pemuda yang kau sukai dari dulu jatuh cinta padamu? Ya, itu pasti akan sangat menyenangkan. Atau lebih baik minta supaya saingan cintamu mendadak mati begitu saja? Atau…?
Tiba-tiba aku terkesiap. Dari mana aku bisa mendapat pemikiran mengerikan seperti itu?
Makhluk itu menyeringai, seolah-olah bisa membaca isi kepalaku. “Apa pun yang kau minta, pasti akan kukabulkan. Yang perlu kaulakukan hanya menyebutkannya.”
Saat itulah aku merasa ada yang tidak beres. Sosok itu terlihat terlalu ingin agar aku menyebutkan keinginanku. Seolah-olah ada yang bisa ia dapatkan dariku kalau aku melakukannya.
Semua hal di dunia ini ada harganya. Aku pasti harus membayar dengan sesuatu agar permintaanku dikabulkan. Nyawaku, mungkin?
“Aku… tidak mau. Aku tak mau meminta apa pun darimu,” akhirnya aku berkata.
Raut wajah makhluk itu tak berubah mendengar penolakanku. “Aku akan menunggu sampai kau menemukan apa yang kau inginkan. Ingatlah, yang perlu kau lakukan hanya meminta, dan aku akan mengabulkannya. Apa pun juga.”
“Setelah kupikir-pikir, memang ada yang kuinginkan,” jawabku.
Sosok itu terlihat amat senang. “Katakan saja.”
“Aku ingin kau kembali ke tempat asalmu, di manapun itu. Dan jangan menggangguku lagi.”
Seringai sosok itu tak menghilang ketika berkata, “Dikabulkan.” Kemudian ia terhisap kembali ke dalam buku, dan lenyap.
Menit-menit berlalu, namun aku tak kunjung kuasa bergerak. Hanya mampu memandangi lembaran-lembaran buku yang sekali lagi kosong di hadapanku.
***
Malam itu juga aku mengubur buku tersebut di halaman belakang. Aku tak mau lagi menyimpannya di dalam lemari. Pemikiran berada dalam ruangan yang sama dengan sosok itu membuatku bergidik ngeri. Sebisa mungkin aku ingin mengenyahkan makhluk itu sejauh-jauhnya, dari kamarku dan dari kepalaku.
Tetapi aku masih terus mendengar suara-suara di malam hari. Bisikan-bisikan tak jelas, namun terdengar seakan-akan seperti suara mengerikan sosok itu.
Ingin kaya?
Ingin seseorang jatuh cinta padamu?
Ingin mengguna-guna seseorang?
Suatu malam aku terbangun seraya menjerit-jerit, karena bermimpi melihat Ayah menggunakan buku itu. Mengeluarkan sosok mengerikan itu dan meminta bermacam-macam kepadanya.
Setelah semua permintaan Ayah dikabulkan, sosok itu melahap Ayah hidup-hidup.
Aku meringkuk di tempat tidur, menangis gemetaran, dan berharap tak pernah menerima buku tersebut.
***
Aku pulang dari kampus dengan langkah gontai. Tubuhku terasa amat lelah, dan kepalaku mulai berdenyut-denyut menyakitkan. Sudah berhari-hari aku kurang tidur, tanpa punya harapan akan sembuh.
Mendung yang menggelayut di luar membuat bagian dalam rumah tampak gelap berbayang. Aku menuju kamar, berharap dapat segera berbaring dan memejamkan mata. Tapi aku tahu, aku tetap tak akan bisa tidur nyenyak.
“Dina.”
Aku terlonjak. Di belakangku sudah berdiri Ibu. Wajahnya tertutup bayang-bayang.
“Ibu ? Kupikir Ibu sedang keluar tadi.”
Ibu diam saja, jadi aku kembali berbalik ke arah kamar. “Aku tidur dulu, Bu. Ngantuk.”
“Sudahkah kamu menggunakan buku Ayah?”
Tubuhku membeku. Untung badanku sedang membelakangi Ibu, jadi ia tak bisa melihat raut wajah kagetku. “Buku Ayah yang mana?”
Lagi-lagi Ibu tak menjawab, jadi sekali lagi aku beranjak memasuki kamar, bermaksud lari dari pertanyaan Ibu. “Aku benar-benar ngantuk. Aku tidur dulu, ya.”
Mendadak lenganku dicengkeram sesuatu. Terkejut, aku menoleh dan menatap Ibu. Ia memandangiku dengan mata menyala-nyala liar yang sama sekali tak pernah kulihat sebelumnya pada Ibu.
“Kamu tahu buku mana yang Ibu maksud. Jadi anak yang baik dan gunakan buku itu, ya?”
“Bu…”
Sorot mata Ibu tampak semakin menyeramkan. Sesuatu yang mirip kegilaan melintas di sana. “Ibu benci sekali pada buku itu. Ayahmu lebih sayang padanya daripada Ibu. Tapi Ibu tahu Ayah membuat keluarga kita punya cukup uang karena buku itu. Jadi, lanjutkan apa yang ayahmu lakukan dulu, ya?”
“Bu, aku…” ketakutan mulai merayapiku. Aku berusaha melepaskan diri, namun cengkeraman Ibu sekeras besi.
“Kamu anak yang baik, Dina,” Ibu tersenyum lebar. “Gunakan buku itu untuk keluarga kita, ya? Kamu tahu Ayahmu tidak banyak meninggalkan warisan. Sekarang kita masih bisa hidup senang. Tapi cepat atau lambat, uang itu pasti akan habis. Kamu pasti akan memastikan hal itu tidak terjadi, kan, Dina sayang?”
Kengerian benar-benar menguasaiku sekarang. “Bu, sakit!” aku mengguncangkan lenganku keras-keras. Mendadak raut wajah Ibu berubah menjadi kaget, seakan-akan ia baru tersadar dari sesuatu. Cengkeramannya terlepas, dan tanpa membuang waktu aku berlari masuk ke kamar.
“Dina! Dina!”
Aku membanting pintu dan menguncinya. Kemudian meringkuk di atas tempat tidur, sepenuhnya mengabaikan gedoran Ibu di pintu kamar.
***
Aku terjaga tiba-tiba di tengah malam. Sesuatu telah membangunkanku, suatu kesadaran bahwa ada yang sedang terjadi.
Malam terdengar amat sunyi. Tak ada suara sekecil apa pun. Jantungku berdetak keras sampai terasa sakit di dadaku. Walaupun teramat sangat takut, aku memaksa diri untuk bangkit dari tempat tidur dan menghampiri pintu kamar.
Dengan sangat hati-hati kubuka pintu dan mengintip keluar. Rumah tampak temaram, hanya diterangi lampu luar yang membias dari balik gorden. Tak ada siapapun di ruang tengah.
Aku berjingkat-jingkat mendekati kamar Ibu. Kugenggam gagangnya dan kuputar seperlahan mungkin. Pintu kamar terbuka; Ibu tak menguncinya. Aku mengintip ke dalam dan melihat kamar itu kosong.
Ibu tak ada di sana.
Suatu kesadaran menyentakku, membuat punggungku seperti disiram air dingin. Aku kembali bergerak sepelan mungkin, kali ini ke arah halaman belakang, tempat aku mengubur buku Ayah.
Di depan jendela aku berhenti. Dengan dada berdebar-debar aku menyingkap gordennya sedikit dan mengintip.
Dan melihat Ibu.
Buku Ayah tergeletak di kakinya, dan di hadapannya, sosok botak itu menjulang tinggi. Aku bisa mendengar suara makhluk itu ketika ia membungkuk ke arah Ibu.
“Sebutkan permintaanmu.”
“Aku minta uang sebanyak-banyaknya,” jawab Ibu.
“Seberapa banyak?”
Jeda sejenak. “Satu milyar rupiah.”
“Dikabulkan.” Mendadak, sebuah koper muncul di halaman belakang. Napasku tercekat. Apa isi koper itu adalah uang? Apa makhluk itu benar-benar memenuhi permintaan Ibu?
Ibu membuka koper tersebut. Dari tempatku berdiri aku bisa melihat isinya. Bertumpuk-tumpuk uang seratus ribuan, dalam ikatan-ikatan rapi. Jumlahnya banyak sekali, tak terhitung olehku.
Makhluk itu benar-benar memenuhi permintaan Ibu!
“Ada lagi yang kau inginkan?” tanya sosok itu.
Senyuman mulai terkembang di wajah Ibu. “Aku minta mobil bagus,” jawabnya. “Sedan keluaran terbaru.”
“Dikabulkan,” tanpa perlu memeriksa, aku yakin di suatu tempat di rumah ini sebuah mobil telah muncul begitu saja. Tapi bukan itu yang kupikirkan sekarang. Lagi-lagi aku merasa ada yang tidak beres. Mungkin karena melihat sorot kegilaan kembali terlintas dalam mata Ibu.
Atau mungkin karena melihat kepuasan tak wajar dari makhluk mengerikan di hadapannya.
Kemudian Ibu menatap makhluk itu dan berkata, “Aku ingin tetangga sebelah rumah yang suka mengejekku mati.”
Jantungku terlonjak. Aku membuka pintu dan menghambur keluar seraya berseru, “Jangan, Bu!” tapi terlambat.
Sosok itu menyeringai lebar dan berucap, “Dikabulkan.”
Mendadak terdengar jeritan dari rumah sebelah. Kengerian mencengkeramku, membuatku terpaku di tempat. Ibu tertawa puas, kemudian menoleh padaku.
“Kenapa, Dina? Ada yang kamu inginkan?”
Aku menggeleng. “Hentikan. Jangan minta apa-apa lagi, Bu.”
“Kenapa? Tidak ada salahnya, kan? Dulu ayahmu pasti juga melakukan hal yang sama dengan Ibu.”
“Jangan, Bu. Semua permintaan itu pasti ada harganya. Ibu tidak lihat makhluk itu? Dia semakin senang kalau Ibu terus meminta! Pasti ada apa-apanya!”
Kemarahan mulai membayang di wajah Ibu. “Itu hanya perasaanmu saja. Kamu sebegitu tidak inginnya membantu Ibu? Membantu keluarga ini?”
“Bukan begitu, Bu!” seruku. “Coba pikir baik-baik. Tidak ada yang gratis di dunia ini. Semua permintaan itu pasti ada harganya!”
“Jangan mengada-ada!” tukas Ibu. Ia kembali menghadap ke makhluk itu. “Aku ingin ponsel terbaru…”
Permintaan itu tak pernah selesai dikatakan, karena saat itu mendadak sesuatu menerjang Ibu, menjatuhkannya ke rerumputan. Suatu sosok mirip anjing berwarna hitam, namun dengan taring-taring kelewat panjang dan mata semerah darah.
Dengan ngeri aku melihat monster itu menggeram buas dan menyerang Ibu, mencabik-cabiknya. Ibu menggeliat-geliat di bawah makhluk itu, berusaha melepaskan diri, tapi tak berhasil. Jeritan kesakitan Ibu menusuk-nusuk telingaku.
“Ibu!” aku menghambur ke arahnya, bermaksud menolong, namun monster itu mencakarku. Aku menjerit dan jatuh terduduk. Lenganku yang tercakar mengalirkan darah. Rasa sakitnya menerbangkan semua keberanian yang tersisa dalam diriku.
Sosok botak tadi masih berada di tempatnya semula, menonton kejadian di hadapannya dengan tak acuh. “Tolong Ibu!” seruku padanya. “Tolong dia!”
Mata makhluk itu beralih padaku. “Kau bukan penggunaku,” jawabnya tenang. “Aku tak bisa mengabulkan permintaanmu.”
“Apa? Apa itu maksudnya?” seruku, namun sosok itu sudah tak mengacuhkanku lagi.
Aku berpaling pada Ibu. “Minta makhluk itu menolong Ibu!” seruku panik. “Cuma Ibu yang bisa! Bu, minta dia menolongmu!”
Tubuh Ibu tak lagi bergerak, terkapar tak berdaya sementara monster mirip anjing itu masih terus mencabik-cabiknya. Ketakutan baru menghunjamku. Terlambat, sudah terlambat, pikirku.
Tapi kemudian terdengar suara lirih Ibu.
“To… long. Tolong aku…”
“Dikabulkan,” sahut sosok botak itu, dan monster yang menyerang Ibu mendadak meraung kesakitan. Tubuhnya menggelepar-gelepar hebat sebelum akhirnya menghilang.
Aku bergegas menghampiri Ibu. Air mata membasahi pipiku ketika melihat tubuh Ibu yang bersimbah darah, terkoyak di sana-sini. “Minta dia menyembukan Ibu,” ucapku dengan suara parau. “Ibu terluka sangat parah. Cepat, Bu.”
Namun Ibu menggeleng lemah. “Akan kubuat mereka menyesal,” katanya terputus-putus. “Berani mengirimkan makhluk seperti itu.” Kemudian dengan suara yang lebih keras, Ibu berkata, “Aku ingin ketiga laki-laki itu mati menderita. Semenderita mungkin.”
“Dikabulkan,” jawab makhluk itu, dan aku yakin aku bisa mendengar teriakan kesakitan tiga orang di kejauhan, walaupun hal itu jelas tidak mungkin. Apa mereka tiga pria yang pernah datang ke rumah dan menanyakan buku Ayah? Aku tidak akan pernah tahu jawabannya.
Napas Ibu semakin terputus-putus. Aku kembali membujuknya, “Ayo, Bu. Minta dia menyembuhkan Ibu. Cepat.”
Ibu terbatuk, kemudian menarik napas susah payah. “Aku ingin…” ia memulai, namun mendadak tubuhnya mengejang, lalu terdiam kaku.
Untuk sesaat aku tak tahu harus berbuat apa. “Bu?” tanyaku. Tak ada jawaban. Ibu sama sekali tak bergerak. Kuraih pergelangan tangan Ibu dan mencari nadinya. Tidak ada.
Kengerian baru menusukku. “Bu…?”
Mendadak terdengar desahan panjang di belakangku. Aku menoleh dan melihat sosok botak itu menutup matanya dan menengadah. Tubuhnya mulai luruh menjadi asap yang bergulung-gulung. Sebelum tubuhnya berubah sepenuhnya, aku mendengarnya berkata, “Akhirnya, bebas…”
Aku berani bersumpah bahwa suara itu sangat mirip dengan suara ayahku.
Terpana, aku tak mampu bergerak sampai asap berbau rokok tersebut menipis dan lenyap sama sekali. Kesunyian yang menyelubungiku sesudahnya terdengar amat nyaring di telingaku.
Kemudian sesuatu yang kurasakan membuatku menoleh.
Tangan Ibu yang masih kugenggam mendadak meleleh menjadi darah. Kaget, aku terlompat menjauh. Dengan ngeri kulihat tubuh Ibu hancur sepenuhnya menjadi genangan darah yang teramat luas. Kemudian semua darah itu mengalir ke arah buku Ayah yang masih tergeletak di rerumputan, terhisap ke dalamnya sampai tetes terakhir.
Sesaat tak terjadi apa-apa. Lalu sebentuk gambar timbul pada halaman buku tersebut, gambar sesosok perempuan berambut panjang dengan seringai menyeramkan.
Lalu sosok itu muncul dari dalam buku, menjulang di hadapanku dan berkata, “Sebutkan keinginanmu, dan akan kukabulkan.”
***
wowww ceritanya asik hheee
Makasih! ^^