Bab 5 – Grasth

Reinald mengamati ruangan tersebut. Kerusakan terhampar di mana-mana. Kursi di dekatnya patah jadi dua. Tiga keping keramik lantai pecah, dan radius dua keping di sekitarnya retak parah. Hanya ceceran darah yang telah menghilang, baunya digantikan harum cairan pembersih lantai yang masih menyengat.

Bi Iyah sudah ingin membereskan semua kekacauan tersebut, namun Rei melarangnya. Pemuda itu perlu melihat lagi semua saksi tak bergerak dari kejadian malam sebelumnya tersebut. Belum satu hari berlalu, namun sudah terasa sangat lama baginya.

Tadi pagi, setelah Seise Felliri menghabisi makhluk mengerikan tersebut, suara gedoran di pintu menyadarkannya. Ternyata para pembantunya telah berbondong-bondong berkumpul di depan kamar, terpicu suara makhluk tersebut. Pertanyaan demi pertanyaan mereka ajukan. Ada apa? Ada maling? Aa’ tidak apa-apa? Siapa gadis ini?

Reinald terpaksa berbohong untuk berkelit dari pertanyaan-pertanyaan tersebut. Ia mengiyakan saja ketika Bi Iyah, Pak Dono, dan Mang Dadang menyangka ada perampok yang memasuki kamar tidurnya. Ia juga menurut ketika Bi Iyah bersikeras memanggil dokter Salim.

Dokter paruh baya tersebut sampai pada pukul tiga pagi. Wajahnya tampak masam, mungkin karena ditelepon pada dini hari, atau mungkin juga karena melihat luka di tangan dan wajah Reinald. Namun seketus apa pun raut mukanya, dengan segera ia memeriksa luka pemuda itu, dan dengan cekatan menjahitnya seraya sesekali bertanya tentang kondisi Rei.

Dokter Salim tidak menanyakan kenapa pemuda itu sampai terluka, atau kenapa bekas lukanya seperti habis digigit binatang. Perlakuan serupa juga ia tujukan pada Nadine, yang pada saat itu masih tak sadarkan diri. Tak sekali pun dokter itu bertanya siapa gadis itu, atau apa hubungannya dengan Reinald, atau mengapa gadis itu bisa di kamarnya pada pukul dua pagi.

Berlawanan dengan dokter tersebut, para pembantu sibuk berbisik satu sama lain. Beberapa kali Rei menangkap kata-kata seperti “pacarnya” atau “berantem” atau “gila” atau “Jakarta, dulu”. Bahkan ia sempat mendengar Bi Iyah menyebut kata-akat yang kembali mengingatkan pemuda itu pada masa lalunya.

Bunuh diri.

Reinald mengabaikan mereka semua. Biarlah. Mau ditutupi seperti apa pun, kejadian itu sudah terjadi. Yang bisa Rei lakukan sekarang hanya tak menghiraukannya.

Tak seorang pun bertanya tentang Seise Felliri, tidak juga dokter Salim, padahal pedang tersebut masih menancap di lantai ketika mereka sedang bekerja. Baik Pak Dono, Mang Dadang, ataupun Bi Iyah tidak mau mendekati senjata tersebut. Mereka sengaja menjauhi pedang itu ketika membersihkan ruangan, dan tatapan yang mereka arahkan pada senjata tersebut menyiratkan ketakutan yang amat sangat.

Belum satu hari berlalu, namun terasa seperti sudah seminggu lamanya. Tubuh Reinald terasa amat lelah, dan lukanya yang dijahit dokter Salim berdenyut-denyut tak karuan. Ia ingin tidur, namun berbagai pemikiran memenuhi kepalnya.

Apa yang sebenarnya terjadi? Makhluk apa yang menyerangnya? Kenapa tiba-tiba Nadine bisa muncul di kamarnya? Dan bagaimana caranya pemuda itu bisa memanggil Seise Felliri? Pedang yang seakan memiliki jiwa sendiri. Benda yang mengakibatkan monster mirip monyet itu hancur menjadi butiran es.

Dan setelah makhluk jadi-jadian itu hilang, kenapa lampu kamarnya kembali menyala? Seolah-olah kematian monster tersebut mengembalikan daya peralatan listrik itu seperti semula? Dan kenapa pedang replika itu bisa menembus tubuh makhluk itu dengan mudah, seakan-akan senjata itu benar-benar tajam?

Seise Felliri berdiri di tengah ruangan, seolah-olah mengejek pemuda itu dengan kebisuannya. Terdorong rasa penasaran, Reinald menyentuhkan ujung telunjuk ke sisi tajam senjata tersebut, dan langsung menariknya kembali seraya memaki. Pedang itu ternyata memang telah kembali tajam; telunjuk pemuda itu yang tergores langsung berdarah dan berdenyut-denyut.

Seraya menghisap jarinya yang luka, Rei mencoba mengeluarkan Seise Felliri dengan tangannya yang satu lagi. Dengan penuh keheranan pedang itu tercabut dengan sangat mudah seperti rambut.

Mendadak ponselnya berbunyi, membuat Reinald terkesiap. Tangannya yang terluka berdenyut-denyut saat meraih telepon tersebut. Nomor yang tertera di layarnya tak ia kenal. Siapa yang meneleponnya di saat seperti ini?

”Halo?”

”Halo, Rei.”

Reinald mengerutkan kening. Suara itu milik seorang gadis, dan rasanya ia pernah mendengarnya. Tapi di mana? ”Ini siapa?”

”Aduh, masa kamu lupa?” terdengar tawa dari seberang sana. ”Padahal kan baru beberapa hari lalu kita ketemu. Ini aku, Kolektor.”

Pemuda itu tersentak. Kolektor. Orang yang juga menginginkan Seise Felliri. Apa kebetulan saja gadis itu menelepon sekarang, pada saat belum sampai sehari setelah penyerangan makhluk aneh itu? Rasanya waktunya terlalu tepat.

”Halo?” terdengar lagi suara dari seberang sana.

Rei menggeleng. Ah, sepertinya ia berpikir terlalu jauh. ”Dari mana kamu dapat nomor teleponku?” tanya pemuda itu. “Masa dari Yellow Pages lagi?”

Tawa sensual itu kembali terdengar. ”Kan sudah kukatakan, sumber informasi itu bisa dari mana saja.”

”Ada apa? Kenapa menelepon?”

”Oh, mau say hi saja,” sahut Kolektor. ”Kalau tidak begini, kamu pasti lupa padaku, seperti tadi waktu mengangkat telepon.”

”Ah, ya, maaf. Aku memang tidak langsung sadar kalau kamu yang menelepon.”

”Kalau mau minta maaf, kamu harus mengajakku makan.”

Reinald berkedip. Keterusterangan gadis itu membuatnya tak tahu harus berkata apa. ”Sekarang juga?”

Tawa Kolektor terdengar lagi. ”Ya tidak, lah! Besok bagaimana?”

Pemuda itu melirik tangannya yang masih dibalut perban. ”Maaf, kalau besok aku tidak bisa. Ada urusan.”

”Begitu? Hm, tidak apa-apa. Tapi ingat, kamu hutang satu ya padaku.”

”Terserah. Tentukan saja harinya, nanti kalau aku bisa, aku usahakan datang.”

”Kata-kata cowok itu janji, lho,” suara itu terdengar rendah menggoda. ”Ya sudah, kalau begitu. Sampai nanti, Rei. Dan ingat, aku tidak akan membiarkanmu melupakanku sedikit pun. Dah.”

Sambungan pun terputus.

Reinald kembali mengamati keadaan kamarnya. Semua kekacauan di hadapannya kembali membuat kepalanya terasa penuh.

Sial! Duduk di sini tidak akan membuat kepalanya jadi jernih. Ia harus mencari tahu jawaban dari pertanyaan-pertanyaan yang berputar dalam pikirannya. Setelah itu barulah ia bisa merasa sedikit tenang.

Reinald melangkah keluar kamar. Pemuda itu menaiki tangga ke lantai dua, dan menghampiri pintu yang berada di sebelah kanan. Dengan hati-hati ia mengetuk pintu tersebut. Sebenarnya percuma saja melakukannya, karena pasti takkan ada jawaban dari dalam, namun pemuda itu merasa ia harus tetap bersikap sopan. Kemudian ia membuka pintu dan melangkah masuk.

Ruangan tersebut cukup luas, walaupun tidak seluas kamarnya di lantai bawah. Sebuah lemari kayu besar menutupi dinding sebelah kiri. Dua buah jendela lebar tertutup tirai hijau tergantung di atas tempat tidur lebar di sisi seberangnya. Di atas tempat tidur tersebut terbaring seorang gadis.

Nadine masih belum sadarkan diri. Wajah gadis itu amat pucat, dengan lingkaran hitam di bawah matanya yang tertutup. Bahu kirinya terbungkus perban tebal, begitu juga lengan kanannya.

Reinald mendekati tempat tidur dan duduk di tepinya. Mengamati gadis misterius yang telah menyelamatkan hidupnya. Keadaan Nadine masih belum berubah dari berjam-jam lalu. Dadanya masih naik turun dengan teratur, namun matanya tak kunjung membuka. Padahal banyak yang ingin pemuda itu tanyakan padanya.

Mendadak sesuatu menarik perhatian Rei. Sebuah noda terlihat di dekat tulang dada gadis itu, tidak tampak jelas di balik baju longgar yang Bi Iyah pakaikan. Apa ada luka lain yang luput dari pengamatan dokter Salim?

Rei menjulurkan tangan dan dengan amat hati-hati menyingkap sedikit kerah pakaian Nadine. Sesuatu menghiasi dada bagian atas gadis itu, dekat leher. Sebuah tato kalung berliontin mawar kristal, rantainya berupa sulur-sulur berduri. Kalung tersebut digambar sangat indah dan detil, sehingga mawar es tersebut tampak berbentuk tiga dimensi yang amat nyata.

Reinald menyapukan jari pada mawar kristal tersebut, kemudian menelusuri jalinan sulur berdurinya. Ia tak menyangka Nadine memiliki tato di tubuhnya. Rasanya gadis itu bukan tipe orang seperti itu. Tapi, sebenarnya tahu apa ia tentang Nadine?

Mendadak gadis itu membuka mata.

Rei terperanjat, cepat menarik tangan. Hampir saja ia terlompat berdiri. Di hadapannya, gadis itu juga tampak sama terkejutnya. Mata Nadine nyalang mengamati seisi ruangan, seolah mencari-cari sesuatu.

”Aroten,” sembur gadis itu. ”Mana aroten itu?”

”Apa?”

Tiba-tiba Nadine berusaha bangkit. Reinald tak sempat mencegahnya. Untungnya gerakan gadis itu tertahan lukanya. Nadine menjerit dan terhempas kembali ke tempat tidur.

”Tenang dulu,” kata pemuda itu. ”Kamu baru saja sadar, dan lukamu cukup parah. Jangan bergerak sembarangan.”

”Aku harus membunuh makhluk itu!” seru Nadine. ”Mana dia? Mana aroten itu?”

”Mati,” jawab Rei. ”Hancur oleh pedangmu.”

Kata-kata itu membuat Nadine terdiam. Sejenak ia mengamati pemuda itu, seakan ingin memastikan kejujuran ucapannya. Kemudian gadis itu memejam dan menghela napas dalam-dalam, ”Syukurlah.”

”Kamu tidak perlu khawatir,” Reinald meraih segelas air dari atas meja di samping tempat tidur. ”Ayo, minum dulu.”

Alih-alih menerima gelas tersebut, Nadine malah menutup mata rapat-rapat dan menggertakkan gigi. Selama beberapa saat gadis itu hanya diam seperti itu. Kemudian tubuhnya mulai gemetar. Keringat bermunculan di keningnya, dan napasnya mulai tersengal-sengal.

Reinald mengerutkan kening. Ada apa dengan Nadine? Apa gadis itu sedang melakukan sesuatu? Tapi ia sama sekali tak bergerak dari posisinya.

Akhirnya Nadine membuka mata dan menghembuskan napas keras-keras. Gadis itu tampak amat lelah, seakan habis melakukan sesuatu yang memerlukan usaha keras.

”Apa yang kamu lakukan?”

Nadine tidak menjawab, hanya terus terengah-engah. Rei kembali menyodorkan gelas yang ia pegang, memposisikan sedotannya di dekat bibir gadis itu. ”Minum.”

Gadis itu tak menjawab, namun kemudian menjulurkan leher, meneguk air putih tersebut. Setelah habis, Reinald mengembalikan gelas tersebut ke meja di sampingnya, lalu mengamati gadis itu. ”Bagaimana keadaanmu?”

”Aku… baik-baik saja,” jawab Nadine. ”Aku pernah mengalami yang lebih buruk dari ini.”

”Oh, ya? Lebih buruk daripada diserang monster sampai luka parah?”

Gadis itu tidak menjawab, lebih memilih untuk memandangi langit-langit kamar.

Reinald memutuskan untuk mengganti cara pendekatannya. ”Tadi kamu sebut makhluk itu apa? Aroten? Arozen? Arofen?”

Hening sejenak. ”Arothen,” sahut Nadine. Matanya masih belum menatap mata pemuda itu. ”Pakai ’TH’.”

”Oh, aroTHen. Makhluk apa itu?”

Gadis itu kembali diam seribu bahasa. Dalam keadaan biasa, Rei akan membiarkan gadis itu berlaku semaunya. Namun saat ini, kondisi kurang tidur dan terluka membuatnya sangat lelah dan tak sabaran. Jadi pemuda itu mencondongkan badan ke arah gadis itu dan menatapnya dalam-dalam, ”Nadine, lihat aku.”

Selama beberapa saat gadis itu masih menatap ke tempat lain dengan keras kepala, sehingga pemuda itu mengulangi kata-katanya dengan lebih tegas. ”Nadine, lihat aku.”

Mata gadis itu bergerak dan menatap matanya.

”Makhluk apa itu?” tanya Reinald. ”Kenapa monster yang kamu sebut arothen itu menyerangku?”

”Makhluk itu makhluk jadi-jadian,” akhirnya Nadine bersuara. ”Benda yang dibuat dengan…” suara gadis itu kembali menghilang.

”Dibuat dengan apa? Lilin lagi?”

”Mantra,” gadis itu kembali memalingkan mata.

”Mantra?” pemuda itu mengerutkan kening. “Maksudnya seperti makhluk gaib yang sering dipakai dukun?”

Lagi-lagi Nadine bungkam, membuat kekesalan kembali memenuhi dada Rei. “Kenapa makhluk seperti itu menyerangku?”

”Aku tidak tahu,” sahut gadis itu. “Mungkin makhluk itu dikirim untuk melukaimu. Atau untuk mencuri Seise Felliri.”

“Dikirim?” sahut pemuda itu. “Oleh siapa? Untuk melukaiku? Mencuri Seise Felliri? Kenapa?”

“Aku tidak tahu,” jawab gadis itu. “Mungkin ada yang dendam padamu. Atau arothen itu sebenarnya dikirim untuk mengambil Seise Felliri diam-diam. Tapi karena ketahuan olehmu, makhluk itu jadi menyerangmu.”

“Tapi kenapa? Dan siapa yang mengirimnya?”

“Kamu masih tanya siapa dan kenapa?” nada suara Nadine terdengar amat dingin. “Setelah ada banyak orang yang menginginkan Seise Felliri?”

“Itu tidak menjawab ‘siapanya’  dan ‘kenapanya’, tahu,” sahut pemuda itu.

“Mungkin karena kamu sudah mengaktifkan lagi Seise Felliri?”

“Ha? Apa itu maksudnya?”

Gadis itu tidak menjawab, mengalihkan pandangan ke tempat lain, dan kesabaran Rei habis. Pemuda itu menunduk dan mengatupkan kedua telapak tangan di pipi gadis itu, mengunci mata Nadine dengan tatapannya. ”Nadine, aku capek. Dan kondisimu juga tidak sedang baik-baik saja. Jadi sekarang, bagaimana kalau kamu jawab saja pertanyaanku langsung, tanpa berputar-putar seperti tadi, jadi kita berdua bisa cepat beristirahat, hm?”

Gadis itu tidak juga menyahut, jadi Reinald kembali melanjutkan. ”Aku tahu kamu tidak ingin membicarakan hal ini, tapi kuminta kamu jawab pertanyaanku. Sejak bertemu denganmu aku terus-menerus mengalami hal aneh. Mimpi buruk sampai tidak bisa tidur, didatangi makhluk dari lilin, dan sekarang diserang makhluk jadi-jadian sampai terluka. Wajar kan, kalau aku minta penjelasan darimu, apa yang sebenarnya terjadi?”

Sesaat gadis itu hanya memandanginya. Kemudian Nadine menghela napas dalam. ”Ya, itu wajar,” ucapnya, walau masih dengan nada tidak rela.

”Jadi, kenapa kamu bisa ada di rumahku?”

”Aku melacakmu,” jawab Nadine. ”Aku khawatir. Setelah penyerangan ke toko, aku takut kamu akan diserang lagi. Ternyata memang benar-benar ada yang menyerangmu.”

”Kalau memang benar ada yang menyerangku, lalu kenapa? Memangnya kamu bisa melakukan sesuatu?”

” Aku bisa melindungimu,” jawab gadis itu tenang.

Rei menganggap jawaban itu benar-benar tidak masuk akal. ”Melindungiku? Bagaimana?”

”Dengan kemampuanku.”

”Kemampuan apa? Kenapa bisa ada es keluar dari tanganmu? Nadine, kamu ini siapa sebenarnya?”

Gadis itu menatapnya tanpa berkedip. ”Aku ini grasth,” sahutnya.

”Gra – apa?”

Grasth. Penyihir.”

Reinald terpaku. Sesaat ia lupa apa yang ingin ia ucapkan selanjutnya. Jantungnya berdetak keras, menyakiti dada, dan luka di tangannya berdenyut-denyut laksana hidup.

“Penyihir?” akhirnya pemuda itu berhasil bersuara.

“Padahal kamu sudah lihat sendiri kemampuanku, tapi tetap saja kamu tidak bisa percaya,” suara Nadine terdengar sinis. “Makanya aku tidak mau cerita.”

Pemuda itu menggeleng, berusaha menyusun pikiran. “Maksudnya, penyihir seperti yang ada di buku atau film? Yang menyihir orang, naik sapu terbang, menunggangi naga, punya mantra aneh-aneh, begitu?”

Nadine menggeleng. ”Tidak seperti itu. Aku memang pernah menyihir orang, tapi tidak dengan mantra. Aku belum pernah melihat naga, dan menurutku sapu terbang bukan sarana transportasi yang nyaman.”

”Jadi, kamu menyihir orangnya seperti apa?”

Mata Nadine terlihat sedikit menerawang. ”Mungkin harus kuterangkan dulu, apa sihir itu sebenarnya. Alam semesta yang kita tinggali ini sebenarnya diselimuti energi yang luar biasa besarnya. Tapi hanya orang-orang tertentu saja yang bisa menyadari dan merasakannya. Dan hanya segelintir dari orang-orang itu yang bisa menggunakan atau memanipulasi energi itu sesuka hati. Mereka itulah yang sebenarnya disebut penyihir.”

Nadine kembali menatap pemuda itu. “Energi alam itu disebut grae. Dan orang yang mampu mengendalikannya disebut grasth.”

Rei mengangguk. Perlahan-lahan semua menjadi jelas baginya. “Jadi, yang namanya penyihir, atau grasth itu, adalah orang-orang yang bisa memanipulasi energi alam?”

“Bisa dikatakan seperti itu.”

Arothen itu. Katamu makhluk itu dibuat dengan mantra? Dengan sihir, maksudnya?”

“Iya.”

“Jadi yang membuat dan mengirim arothen itu seorang grasth?”

“Seorang arograsth, tepatnya.”

Reinald mengerutkan kening. “Apa?”

Arograsth,” ulang Nadine. “Grasth yang memanipulasi grae lewat mantra atau benda bertuah. Tiap-tiap grasth punya cara sendiri-sendiri untuk mengendalikan grae. Tapi biasanya bisa dibagi jadi empat cara. Pertama, toregrasth. Mereka mengendalikan grae dengan mempelajari energi tersebut. Kedua, arograsth, yang tadi sudah kusebutkan. Mereka bisa menciptakan dan menggunakan ish.”

Ish. Reinald teringat lagi pada baju besi aneh yang berukiran di lengannya, dan penjelasan Nadine di toko waktu itu. “Jangan-jangan ish yang di baju besi itu benar-benar mantra?”

Gadis itu tersenyum tipis. “Waktu itu aku benar-benar membaca ish tersebut. Kamu tidak sadar? Aku juga menyebutkan arti mantra tersebut, yang tidak tertulis di kartunya. Seharusnya kamu bisa langsung menyadarinya. Entah apa yang kamu pikirkan waktu itu.”

Kamu! Aku mikirin kamu! Lagipula tulisannya terlalu kecil, dan kamunya terlalu manis. “Jadi ada toregrasth. Lalu arograsth. Dua lagi apa?”

Yaugrasth,” suara Nadine berubah ketika mengucapkannya. Terdengar amat benci bercampur jijik.

Yaugrasth?”

“Pengguna ilmu hitam.”

Hening sejenak. Nadine tidak meneruskan penjelasannya, dan Rei mendapat kesan kalau gadis itu tak ingin membicarakan hal tersebut lebih lanjut. Jadi pemuda itu bertanya, “Yang keempat?”

Lurnagrasth. Tipe yang mungkin paling susah dijelaskan. Bisa dikatakan, lurnagrasth itu orang yang berbakat menjadi grasth. Karena tergantung bakat masing-masing, tiap-tiap lurnagrasth punya cara berbeda dalam memanipulasi grae. Ada yang bisa menggunakannya melalui perasaan, ada yang memanipulasinya lewat tarian, ada yang melalui suara, dan masih banyak lagi.”

Kamar itu hening sejenak. Reinald berusaha mencerna setiap kata gadis itu. Informasi yang baru saja ia terima terasa tak nyata, sampai-sampai ia merasa sedang bermimpi. Tangannya mendadak terasa perih dan panas, seolah mau mengingatkannya bahwa semua ini nyata, dan gadis yang sedang berbaring di hadapannya itu memang benar seorang penyihir.

“Ngomong-ngomong, kamu sendiri masuk tipe yang mana?”

“Aku lurnagrasth.”

Rei mencatat jawaban tersebut dalam kepala. “Lalu, kamu lurnagrasth tipe apa? Pastinya bukan tipe tarian, kan?”

Tanpa Reinald sangka, Nadine tersenyum kecil. Mendadak jantung pemuda itu terlonjak. Memori terakhir tentang senyuman gadis itu memenuhi kepala, membuat wajahnya memanas. Duh, gawat, jangan-jangan cewek ini lurnagrasth tipe senyuman…

”Aku orang yang mudah beresonansi dengan grae.”

Reinald menghembuskan napas lega. Berarti aku tidak perlu takut tersihir senyumannya, dong. Astaga, aku mikir apa, sih? “Beresonansi? Maksudnya?”

“Aku tidak bisa menjelaskannya. Aku melakukannya begitu saja, tanpa berpikir.”

Reinald terdiam sejenak. “Kalau begitu, bisa kamu perlihatkan sihirmu padaku?”

Nadine mengerutkan kening. “Belum cukup semua yang sudah kamu lihat kemarin?”

“Aku mau lihat lagi dengan jelas,” sahut pemuda itu. “Dengan mata kepalaku sendiri.”

Gadis itu tak menjawab. Sesaat Rei mengira Nadine takkan mengabulkan permintaanya. Namun sejenak kemudian gadis itu mengulurkan tangan ke arahnya. Apa ia akan mengeluarkan sesuatu dari tangannya? Kristal runcing seperti yang ia perlihatkan di toko?

Reinald mengamatinya lekat-lekat, tapi tak ada apa pun yang terjadi. Dengan penuh tanda tanya pemuda itu menatap Nadine.

“Tanganmu,” sahut gadis itu.

“Ha?”

“Tanganmu luka, kan? Kemarikan.”

Apa yang akan gadis itu lakukan? Rei menurut dan menyerahkan kedua lengannya. Nadine menaruh kedua telapaknya di atas perban yang meliliti tangan pemuda itu, menutup mata, lalu menarik napas panjang.

Tiba-tiba lengan pemuda itu terasa amat dingin, seperti dibungkus dalam es. Reinald tersentak. Refleks ia menarik tangan, namun Nadine menahannya. “Jangan bergerak!” perintah gadis itu.

Pemuda itu menurut, walaupun rasa dingin yang menyerang membuat kulitnya merinding. Detik-detik berlalu, namun hawa beku itu tak kunjung menghilang, malah bertambah kuat, sampai Rei merasa lengannya berubah jadi es sampai ke bahunya.

Kemudian rasa dingin itu menghilang, dan Nadine membuka mata, tersengal-sengal. Keringat kembali bermunculan di dahinya.

Penuh keheranan Reinald memandangi kedua tangannya. Rasa sakit yang sampai tadi masih menyerang lengannya kini hilang sama sekali. Pemuda itu mengepalkan tangan, lalu membukanya. Anggota tubuh tersebut bergerak normal, seolah-olah tak pernah terluka.

“Jangan digerakkan banyak-banyak,” terdengar suara Nadine, masih sambil terengah-engah. “Aku hanya menghilangkan sakitnya, bukan menyembuhkan lukamu. Kalau digerakkan dengan ekstrim, bisa-bisa jahitanmu terbuka semua.”

Menghilangkan sakitnya? Bagaimana caranya? Suatu bayangan melintas di kepala Rei. Stalaktit yang menembus tubuh arothen, menguarkan uap tipis ke udara. Angin dingin yang berputar di sekeliling Nadine. Seise Felliri yang tersusun dari kristal-kristal jernih di udara. Lalu tangannya yang mendadak terasa beku, seperti dilapisi es.

Tiba-tiba saja semuanya jadi jelas. “Kamu… menggunakan es sebagai sihirmu?”

Gadis itu tersenyum lagi. “Ting tong, seratus buat Reinald.”

Pemuda itu menggertakkan gigi. Ia harus bisa menahan dadanya untuk tidak jungkir balik setiap kali melihat gadis itu tersenyum. Belum lagi ditambah mendengar namanya disebut gadis itu. Bisa-bisa jantungan dia! Reinald berdehem, berharap setengah mati mukanya tidak mengkhianati suaranya. ”Tadi kamu sempat berkata kalau aku mengaktifkan Seise Felliri. Apa itu maksudnya?”

“Mengenai itu, seharusnya aku yang bertanya,” sahut Nadine. “Bagaimana caranya kamu mengaktifkannya? Kenapa bisa ada kabut keluar darinya? Lalu kenapa dulu kamu bisa menebak nama pedang itu?”

“Kok kamu malah balik bertanya?”

“Kenapa kamu bisa menebak nama pedang itu?” gadis itu tidak mengacuhkan komentar pemuda itu.

“Nama?” sesaat Rei tak mengerti. Namun kemudian pemuda itu teringat kembali. “Oh, yang waktu di toko? Kan ada di kartunya?”

“Kartu?”

“Iya. Kartu yang ada di setiap barang di tokomu. Kartu keterangan itu, lho, seperti yang dipasang di baju besi itu.”

“Tidak ada!” seru Nadine. “Tidak ada kartu apa pun di Seise Felliri! Kan sudah kukatakan, pedang itu bukan untuk dipinjamkan. Aku hanya membawanya keluar untuk dibersihkan. Aku sama sekali tidak memasang kartu apa pun di pedang itu!”

Reinald terperangah. Apa maksud gadis itu? Jelas-jelas pemuda itu membaca nama pedang tersebut di kartu yang terpasang pada senjata tersebut. Kenapa sekarang…

Mendadak ia tersadar. Kalau diingat-ingat lagi, ia memang membaca nama pedang itu di suatu tempat, namun sebenarnya ia tak yakin kalau tempat itu adalah di kartu tersebut. Ia hanya mengambil kesimpulan seperti itu. Apa itu artinya? Apa sebenarnya ia memang membaca nama pedang itu, tapi bukan di kartunya? Tapi, di mana?

“Jadi, bagaimana caranya kamu bisa tahu nama Seise Felliri?” tanya Nadine lagi.

“Aku – tidak tahu,” akhirnya Rei mengaku. “Aku merasa sudah membaca nama pedang itu, tapi aku tidak ingat di mana. Rasanya… rasanya seperti nama pedang itu tahu-tahu sudah ada dalam kepalaku.”

Gadis itu memandanginya dengan tatapan menusuk. “Jadi kamu sebenarnya juga tidak tahu kenapa kamu bisa menebak nama pedang itu?”

“Iya.”

Nadine mendengus kesal. “Yah, sepertinya kamu memang tidak berbohong. Lalu, bagaimana caranya kamu mengaktifkan Seise Felliri?”

“Soal mengaktifkan itu lagi. Aku tidak mengerti kamu membicarakan apa sebenarnya.”

“Pedang itu jadi aktif lagi setelah kamu pegang. Apa yang kamu lakukan?”

Reinald mengerutkan kening. “Aku? Aku tidak melakukan apa-apa! Lagipula, apa maksudnya pedang itu jadi aktif? Memangnya pedang itu pernah tidak aktif?”

Gadis itu menatapnya kesal. “Pedang itu… dulu pedang itu sudah mati. Tapi sekarang dia hidup lagi. Karenamu.”

Pemuda itu tertegun. Nadine mengucapkan kata-kata tadi dengan amat pahit, seolah-olah Seise Felliri benar-benar adalah makhluk hidup, dan kematiannya sangat menyakitkan bagi gadis itu.

“Nadine, pedang apa itu sebenarnya?”

Gadis itu membuang muka. “Dulu, Seise Felliri adalah pedangku. Sewaktu aku masih jadi murid grasth, Seise Felliri diciptakan khusus untukku.

“Seise Felliri itu pedang magis yang memiliki elemen es di dalamnya. Aku bisa memanggilnya datang ke tanganku walaupun Seise Felliri terpisah beratus meter dariku. Dengan menggunakannya, aku bisa melakukan sihir-sihir es yang tidak mungkin kulakukan sendiri.

“Hampir setahun lamanya aku bertarung bersama pedang itu, melewati masa-masa kemenangan, dan nyaris mati berdua. Tapi akhirnya aku diangkat jadi grasth sesungguhnya. Dan Seise Felliri ditarik dariku, dinonaktifkan, dan disimpan selamanya.”

“Dinonaktifkan?” tanya Rei. “Maksudnya?”

Nadine masih belum menatapnya. “Maksudnya Seise Felliri berubah jadi pedang biasa. Dulu tanpa diasah pun bilah Seise Felliri selalu tajam. Begitu dinonaktifkan, bilah itu langsung jadi tumpul. Walaupun sudah berulang kali aku coba mengasahnya, bilah itu tidak pernah tajam lagi. Dan Seise Felliri tidak bisa lagi dipanggil, tidak bisa lagi kugunakan untuk mengeluarkan sihir-sihir es yang dulu sangat mudah kulakukan. Benar-benar jadi pedang biasa, seakan jiwa es di dalamnya mati.”

Gadis itu tertawa pendek. “Perlu waktu cukup lama untuk menerima kenyataan itu. Makanya, waktu kamu menghidupkannya lagi, aku… aku tidak tahu harus bagaimana. Apalagi dengan kenyataan kalau Seise Felliri tiba-tiba kembali tajam, dan sekarang ia hanya menuruti perintahmu. Aku bukan lagi pemiliknya.”

Reinald terdiam. Nadine tampak amat sedih. Ternyata sebegitu berharganya Seise Felliri bagi gadis itu. Dan ia sudah meminjam pedang itu seenaknya saja.

Pemuda itu melakukan satu-satunya hal yang terpikir olehnya. Mengulurkan kedua tangan dan menggenggam erat tangan gadis itu, membuat Nadine berpaling ke arahnya dengan kaget.

“Maaf,” kata Rei. “Aku betul-betul tidak tahu.”

Wajah gadis itu memerah. “Kamu sudah minta maaf, kan? Lagipula, bukan salahmu kalau kamu tidak tahu. Makanya, aku ingin tahu bagaimana caranya Seise Felliri bisa aktif lagi. Setahuku, sekali dinonaktifkan, pedang itu takkan bisa hidup lagi. Sudah begitu, sekarang Seise Felliri malah jadi mengeluarkan asap, bukannya butiran es seperti dulu.”

“Aku benar-benar tidak tahu apa yang sudah kulakukan,” jawab Reinald. “Kalau tahu, aku pasti sudah memberitahumu. Lagipula, sepertinya aku tidak punya bakat jadi grasth.”

Nadine menggeleng. “Belum tentu. Mungkin juga kamu mengaktifkan Seise Felliri menggunakan grae, tapi dengan cara yang tidak bisa digolongkan ke toregrasth, arograsth, yaugrasth, ataupun lurnagrasth. Mungkin kamu menggunakan grae dengan cara baru yang belum pernah dilakukan selama ini. Atau mungkin kamu memang melakukan sesuatu yang tidak ada hubungannya sama sekali dengan grae. Apa pun itu, kita harus mencari tahu.”

Rei tersenyum mendengarnya. “Kamu menyebut ‘kita’, berarti kamu berniat mengikutsertakanku dalam rencanamu, kan?”

Wajah gadis itu bersemu merah. “Kupikir, kamu berhak tahu juga. Lagipula, ini semua menyangkut dirimu, bukan aku.”

Pemuda itu tersenyum dan mempererat genggamannya. “Terima kasih Nadine, sudah mau memberi tahuku tentang semua ini. Dan terima kasih juga sudah mau mengajakku.”

Nadine tampaknya baru menyadari bahwa tangan mereka berdua masih saling bertaut. Muka gadis itu semakin memerah dan ia mencoba menarik tangan, namun Reinald menahannya. “Siapa yang kira-kira bisa menjawab pertanyaan kita?” tanya pemuda itu untuk mengalihkan perhatian gadis itu.

“Ada kenalanku yang mungkin tahu. Besok kita ke sana dengan membawa Seise Felliri.”

“Besok? Kamu tidak akan ke mana-mana dulu, Mbak. Kamu sadar tidak sih kalau di badanmu itu ada lebih banyak jahitan daripada boneka?”

“Aku baik-baik saja, kok,” protes gadis itu. “Sudah kukatakan, aku pernah mengalami yang lebih parah dari ini. Kita harus bergerak cepat, sebelum arothen itu, atau siapa pun yang mengirimkannya, melakukan hal lain yang lebih berbahaya.”

Reinald berdecak, “Aku jadi ingin tahu, dulu kamu itu hidup seperti apa sebenarnya. Kalau aku bilang tidak, ya, tidak! Ini rumahku. Selama kamu ada di sini, kamu ikut aturanku.”

Nadine mulai membuka mulut lagi untuk membantah, namun Rei tak memberinya kesempatan. “Sekarang tidurlah. Pulihkan kondisi tubuhmu. Kalau kamu sudah sehat, baru kita bicarakan lagi hal ini.”

***

Category(s): Artefaktor

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

 

You may use these HTML tags and attributes: <a href="" title=""> <abbr title=""> <acronym title=""> <b> <blockquote cite=""> <cite> <code> <del datetime=""> <em> <i> <q cite=""> <s> <strike> <strong>