Aku turun dari mobil dan berjalan sedikit menuju tempat tujuanku, kasino termegah yang berdiri di daerah ini. Lampu-lampunya tersusun rapi membentuk tulisan besar-besar: KING’S CASINO.
Aku berjalan ke pintu masuknya, membiarkan petugas keamanan yang berpakaian necis memeriksaku, memastikan aku tak membawa senjata ataupun benda berbahaya lainnya, sekaligus memastikan bahwa aku adalah anggota resmi kasino ini. Setelah puas, para petugas mempersilakanku masuk dengan senyum sopan yang membuat wajah mereka menyerupai topeng (atau saking seringnya mereka tersenyum seperti itu sampai wajahnya tercetak demikian?).
Hingar bingar elegan menyambut kedatanganku. Ruangan kasino yang luas dan megah terhampar di hadapanku. Meja roulette, baccarat, dan lusinan slot machine berjejer di sela-sela pilar-pilar putih berulir, dipenuhi oleh pria-pria berjas dan wanita-wanita bergaun indah. Di ujung ruangan terdapat sebuah panggung, tempat seorang wanita sedang menyanyi dengan suara sebening kaca.
Puluhan pelayan berseliweran di sekeliling meja-meja permainan. Seragam mereka yang berwarna merah dan emas tampak serasi dengan karpet merah yang menutupi setiap jengkal lantai dan tirai emas yang menggantung dari pilar ke pilar. Tangan-tangan mereka dipenuhi berbagai macam makanan dalam piring-piring lebar dan minuman dalam gelas-gelas tinggi.
Aku berhenti sejenak di tengah ruangan. Pemandangan ini sudah teramat sering kusaksikan, namun hari ini, aku ingin mengingatnya baik-baik dan menyimpannya dalam hatiku.
“Radit! Aku sudah menanti-nantimu, lho !” terdengar suara seorang perempuan. Aku menoleh dan menatap sang pemilik suara berwajah manis dalam balutan seragam penerima tamu.
“Malam, Angie,” jawabku, membiarkannya menggelayut manja di lenganku.
“Meja yang biasa?” tanyanya.
Aku tersenyum. “Malam ini aku ingin mencoba sesuatu yang lebih menantang.”
“Wah, apa lagi yang bisa menantang seorang Raditya?”
“Aku ingin main di ruang VVIP,” jawabku.
“Ruang VIP sudah di-book,” jawab Angie. Kemudian ia mendekatkan bibirnya ke telingaku, “Katanya sih oleh orang-orang pemerintah.”
“Bukan ruang VIP yang biasa,” kataku. “Ruang VVIP.”
Angie terlihat bingung. “Kami tidak punya ruang VVIP.”
Aku tersenyum,” Bagaimana kalau kauberi tahu manajermu ? Kurasa ia tahu apa yang kumaksud.”
Angie masih terlihat tak yakin, namun akhirnya ia pergi juga. Aku mengisi waktu dengan menghentikan seorang gadis pelayan dan mengambil segelas minuman dari bakinya. Champagne. Bukan favoritku, tapi aku tetap meneguknya.
Seorang pemuda berwajah tampan dan mengenakan setelan resmi berwarna hitam mendekatiku. Ia mengangguk sejenak ke arahku sebelum berkata. “Selamat malam, Pak. Salah satu staf kami menyampaikan bahwa Bapak ingin bermain di ruangan VVIP. Dengan sangat menyesal kami sampaikan bahwa tidak ada ruangan sema…”
“Cukup basa-basinya,” potongku. “Aku tahu kalian punya ruang VVIP. Aku ingin bermain di sana.”
Si manajer terdiam sejenak. “Deposit-nya berbeda dengan yang di sini,” akhirnya ia berkata.
Aku mengeluarkan sebuah pulpen dan sebuah buku cek dari sakuku. Setelah menuliskan angka satu dan angka nol sebanyak sembilan kali aku merobek lembaran cek tersebut dan menyerahkannya kepada si manajer.
Pemuda itu melirik sekilas ke arah kertas di tangannya, lalu mengangguk.”Silakan ikuti saya.”
Aku mengikuti si manajer berjalan membelah keramaian kasino. Angie tidak terlihat di mana pun, mungkin sedang sibuk melayani anggota lain.
Aku dan si manajer sampai di ujung ruangan tempat sebuah elevator terpasang. Si manajer mengeluarkan sebuah kunci dari sakunya, memasukkannya ke lubang di samping pintu, dan elevator itu pun terbuka.
Aku memasukinya dan berbalik menghadap ke pintu. Si manajer berdiri di depanku.
Sesaat kukira elevator akan bergerak ke bawah, namun ternyata elevator malah bergerak ke atas. Angka penunjuk lantai mulai menyala. Dua, tiga, empat. Sampai angka terakhir yaitu tujuh, kemudian padam, namun elevator itu masih terus bergerak naik.
Aku melirik si manajer, tapi pemuda itu terlihat tenang-tenang saja. Jadi aku juga bersikap tak acuh, memasukkan tangan ke saku dan menyandarkan punggung ke dinding lift.
Setelah beberapa menit yang terasa seperti berjam-jam, akhirnya elevator tersebut berhenti juga. Pintunya terbuka dan si manajer mempersilakanku keluar.
“Ruang VVIP,” ucapnya. “Selamat bermain.”
Aku melangkah keluar lift, dan tertegun.
Sebuah ruangan teramat luas menyambutku. Ukurannya berkali-kali lipat ruangan kasino di bawah tadi, sampai-sampai ujungnya tak terlihat. Lantainya berupa marmer putih yang mewah. Pilar-pilar berulir berdiri dalam jajaran rapi seperti di lantai bawah, namun yang di sini jauh lebih besar, menjulang tinggi seakan ingin menggapai langit. Dan di mana seharusnya ada atap dan dinding, yang tampak adalah langit gelap dan ratusan bintang berkelap-kelip.
Seakan-akan tempat ini mengambang di angkasa luar.
Keterkejutanku semakin bertambah ketika melihat para pemain di lantai ini. Berbagai macam makhluk mengelilingi meja-meja permainan, makhluk-makhluk yang hanya pernah kulihat dalam film. Di satu meja roulette, seorang raksasa sedang bertaruh melawan seekor – atau seorang? – Minotaurus. Tubuh sang Minotaurus menjulang di antara makhluk-makhluk yang menonton permainannya, tingginya mungkin mencapai tiga meter lebih. Tapi si raksasa menjulang bahkan lebih tinggi darinya, tiga sampai empat kali lipat si Minotaurus.
Di meja lain, aku melihat seorang duyung laki-laki tengah berseru-seru gembira, dikelilingi empat atau lima gadis bersayap tipis laksana capung. Si duyung tampaknya sedang menang besar, wajahnya terlihat berseri-seri dari balik selubung air yang mengelilingi tubuhnya.
Sebuah alunan suara mengusik perhatianku, dan aku menengadah. Seorang malaikat bersayap putih bersih sedang melayang di atas meja-meja permainan, suaranya yang indah mengalir merdu sampai ke tempatku berdiri.
Jadi inikah ruang VVIP King’s Casino? Heh, aku berikan sedikit tepuk tangan buat jahanam pemiliknya. Setidak-tidaknya dia punya selera bagus.
“Selamat malam,” sebuah suara dalam namun menggoda terdengar di sebelahku. Aku menoleh dan menatap seorang gadis yang luar biasa cantiknya, bahkan lebih memukau daripada Angie.
“Malam,” sahutku.
“Anggota baru?” ia memandangiku dari atas ke bawah dengan bola matanya yang semerah darah.
“Sebegitu kelihatannya?”
“Manusia?” tanyanya lagi. Caranya mengucapkan “manusia” menunjukkan betapa sedikitnya jenis itu di atas sini.
“Aku tidak melihat adanya larangan bagi kaumku untuk main di sini.”
“Kamu benar,” gadis itu tersenyum, dan taringnya yang tajam terlihat dari balik bibirnya. “Semua keberadaan boleh bermain di sini, asalkan mereka mampu membayar.”
Caranya mengucapkan “membayar” membuatku yakin bahwa alat pertukaran di sini tidak semata berupa uang.
“Ingin main di meja apa?” tanyanya.
“Blackjack,” jawabku tanpa ragu.
“Silakan kemari,” gadis itu berbalik, dan aku bisa melihat buntut berujung runcing yang sewarna matanya memanjang dari pantatnya.
Aku mengikuti si gadis melewati deretan meja permainan. Sepanjang perjalanan berpuluh pasang mata mengikutiku. Tampaknya memang jarang ada manusia yang sanggup bermain di sini.
Si gadis berhenti di sebuah meja. “Silakan,” ucapnya, lalu melenggok menjauh.
Aku mengamati para pemain yang telah duduk di meja tersebut. Di sebelah kiri terdapat seekor naga – yap, naga – dengan sisik hitam mengkilat dan mata emas yang tampak kejam. Tubuhnya menjulang di atasku, membuatku terpaksa mendongak ketika menatap moncongnya yang dipenuhi gigi geligi runcing.
Di sebelah kirinya duduk seorang wanita cantik bermata perak. Rambut panjangnya yang berwarna sama sepertinya terhampar sampai ke lantai. Dua buah telinga yang meruncing mencuat keluar dari sela-sela rambut tersebut. Ia menatapku sejenak, sebelum mengalihkan pandangannya dengan tak acuh ke tempat lain.
Sebaliknya, pemain yang duduk di sebelah kirinya menatapku dengan penuh minat. Laki-laki itu tampak sangat pendek, namun tubuhnya terlihat amat berotot. Semua rambut yang ada di wajahnya terlihat amat lebat dan merah. Rambutnya dijalin, janggutnya yang lebat juga dikepang rapi, dan alis matanya yang panjang jatuh sampai ke pipinya.
Dan akhirnya, di sebelah kiri laki-laki cebol itu, duduk seseorang yang menjadi tujuanku memasuki tempat ini.
Seorang manusia, sama sepertiku. Rambutnya yang bergelombang membingkai wajah kecilnya. Sebuah gaun hijau membalut tubuhnya. Dan matanya yang sekelam malam memandangiku, membuatku terhanyut dalam kenangan masa lalu.
“Apa permainan kesukaanmu?” tanyaku.
Gadis itu tertawa. Matanya yang sekelam malam memandangiku dalam-dalam ketika berucap, “Blackjack.”
Aku memandangi gadis itu baik-baik, tapi tidak ada tanda-tanda ia mengenaliku. Apakah karena sudah sepuluh tahun berlalu? Atau karena gadis itu memang tak mau mengingatku?
“Selamat malam, Tuan-tuan dan Nona-nona,” sapaku seraya mengambil tempat di sebelah si naga sehingga aku langsung berhadapan dengan gadis itu. “Ijinkan saya bergabung dengan Anda. Nama saya Raditya. Senang berkenalan dengan Anda semua.”
Si naga hanya mendengus mendengarku. Sang gadis berkuping lancip masih tak menghiraukanku.
Si laki-laki cebol tertawa. “Aku suka anak manusia ini!” serunya. “Dia punya tata krama, tidak seperti kalian! Dumverdorf, itu namaku. Sedikit susah mengucapkannya pakai lidah kalian yang pendek itu, jadi panggil Dumver saja!”
“Andalah yang tidak punya tata krama,” sahut si gadis berambut perak kepada Dumver.
“Jangan pedulikan Nona Sellewyn ini,” balas Dumver. “Dia sudah sering tersandung gara-gara hidungnya selalu diangkat ke atas.”
“Bukannya kamu yang selalu tersandung akibat terlalu mabuk?” balas Sellewyn.
Terdengar suara geraman beberapa kali. Butuh beberapa saat buatku untuk menyadari kalau itu adalah bunyi tawa si naga. Ia menundukkan moncongnya ke arahku dan berbicara dalam suara yang berat dan dalam. “Aku Azogoranath. Ingat baik-baik nama itu, manusia kecil.”
“Pasti kuingat,” kataku. Lalu aku mengalihkan tatapan ke gadis di hadapanku. Menunggunya membuka mulut.
Sesaat kukira ia tidak akan berbicara sama sekali. Namun kemudian ia membuka kedua bibirnya dan berucap, “Maya.”
“Halo, Radit. Namaku Maya.”
“Biasanya orang yang baru mengenalku akan memanggilku Raditya.”
Gadis itu tersenyum. “Aku lebih suka Radit.”
Kedatangan bandar membuatku tersadar. “Anda ingin main berapa?” ia bertanya padaku.
Bandar itu seorang wanita, namun tangannya ada enam buah. Kulit birunya yang bersisik tampak seperti ular, begitu juga tatapan matanya yang memandangiku lekat-lekat, seakan aku adalah mangsa barunya.
Aku mengamati deretan chip yang ada di hadapannya. Chip itu tampak sama seperti yang biasa digunakan di kasino, hanya saja bagian tengahnya dihiasi batu permata berwarna-warni.
“Berapa jumlah yang terkecil?” tanyaku seraya mengedikkan kepala ke arah deretan chip putih.
“Sepuluh ribu dollar dalam mata uang kalian,” jawab si bandar.
Sepuluh ribu dollar. Seratus juta rupiah. Permainan di tempat ini sama sekali tidak main-main, ya.
Aku merobek lagi selembar cek dan menuliskan satu milyar rupiah, lalu menyerahkannya kepada si bandar. Sebagai gantinya, wanita ular itu memberiku sepuluh keping chip putih.
Terdengar lagi geraman tawa si naga. Aku menatapnya dan melihat tumpukan chip berwarna-warni di hadapannya. Begitu juga di depan Sellewyn, Dumver, dan Maya. Maya bahkan memiliki chip hitam. Kalau chip putih seratus juta rupiah, berarti chip hitam itu sepuluh milyar rupiah.
Huh, apa peduliku. Aku sudah pernah main di kasino hanya berbekal satu chip putih, dan pulang dengan menukarkan puluhan chip hitam. Modal itu tidak penting. Yang penting adalah hasilnya.
“Tempatkan taruhan Anda semua,” kata sang bandar. Sepertinya ia memang makhluk setengah ular, karena ia mengucapkan “semua” dengan bunyi yang sedikit mendesis.
Aku menaruh satu chip putih di kotak taruhan. Si naga menaruh chip merah muda (dua ratus lima puluh juta), Sellewyn dua chip merah (satu milyar), Dumver satu chip merah (lima ratus juta), dan Maya sama sepertiku, satu chip putih.
Si wanita ular mulai membagikan kartu. Dua kartu untuk semua pemain dalam keadaan terbuka. Satu kartu di hadapannya sendiri dalam keadaan terbuka, dan kartu kedua dalam keadaan tertutup yang ia selipkan di bawah kartu pertamanya.
Aku menatap kartu bandar. Sembilan. Kartuku sendiri lima dan tujuh, yang kalau dijumlahkan dua belas.
Si bandar menatapku. “Sembilan dan dua belass,” katanya. “Bagaimana?”
“Hit,” jawabku.
Sang bandar memberiku satu kartu, yang ternyata adalah kartu empat. “Sembilan dan enam belass.”
“Stand,” kataku.
Bandar beralih ke pemain lain. Si naga stand di angka tujuh belas. Sellewyn di sembilan belas. Dumver di delapan belas. Maya berhasil mendapatkan dua puluh.
Kemudian bandar membuka kartu keduanya, yang ternyata adalah kartu delapan. “Tujuh belass,” katanya.
Belum-belum aku sudah kalah di permainan pertama, karena jumlah kartuku di bawah jumlah kartu bandar.
“Sselamat, Anda menang,” kata si wanita ular kepada Maya, Dumver, dan Sellewyn, seraya membagikan chip hasil kemenangan kepada mereka bertiga. Chip taruhan si naga tidak ia utak-atik, karena mereka push, atau seri.
Kemudian sang bandar beralih padaku. “Sayang ssekali,” ucapnya seraya mengambil chip-ku
Aku hanya mengangkat bahu. “Sepertinya di sini tidak ada yang namanya keberuntungan pemula, ya.”
Si naga terang-terangan tertawa mendengarnya. Bahkan Sellewyn yang biasanya dingin pun kini menatapku dengan pandangan mengasihani. Dumver memandangiku dengan tatapan Tak apa-apa, Nak! Hanya Maya yang tetap tak berubah ekspresinya.
Aku tak memedulikan mereka semua karena aku mulai berkonsentrasi. Memusatkan seluruh pikiranku untuk menghitung kartu yang sudah keluar dari deck.
Blackjack adalah permainan yang bisa dimenangkan dengan logika dan perhitungan. Mungkin karena itulah aku memilih permainan ini. Karena aku tahu aku tak perlu bergantung pada keberuntungan untuk menguasainya.
Pada permainan kedua aku kembali mempertaruhkan satu chip putih. Kali ini aku berhasil menang, di bawah tatapan tak senang Azogoranath dan Sellewyn. Permainan ketiga pun berhasil kumenangkan, begitu juga permainan keempat.
Perlahan-lahan tumpukan chip-ku semakin bertambah. Sebaliknya, tumpukan chip Sellewyn semakin berkurang drastis. Berlawanan dengan penampilannya, gadis itu bermain dengan agresif dan terus-menerus mengambil resiko tak perlu. Akibatnya ia seringkali kalah.
Azogoranath bermain dengan amat hati-hati untuk ukuran makhluk sesangar dirinya. Seringkali si naga memilih untuk stand, atau malah surrender (taruhannya akan dikembalikan setengah), padahal seharusnya ia masih bisa menambah kartunya dan memperbesar kemungkinan menang. Tumpukan chip-nya tidak banyak berkurang, namun juga tidak banyak bertambah.
Dumver bermain cukup baik. Tapi sepertinya baginya blackjack kurang menantang, karena setelah permainan kedelapan ia menarik diri, namun tetap berdiri di sekitar kursiku untuk menonton. Mungkin ia merasa masih harus menyemangatiku.
Setelah permainan kesembilan belas, hanya aku dan Maya yang tetap tinggal di meja. Sellewyn telah pergi dengan hidung terangkat. Azogoranath juga meninggalkan meja untuk mencoba meja lain. Dumver masih berdiri sedikit di belakangku, tampaknya sangat menikmati menontonku bermain.
Aku mengamati Maya. Gadis itu sedang memandangi kartunya dengan raut wajah tanpa ekspresi. Maya bermain tak seperti pemain blackjack lain. Terkadang ia menyalahi aturan strategi dasar permainan ini, seperti meminta hit bahkan setelah jumlah kartunya mencapai angka tujuh belas atau delapan belas. Bagi orang lain ia akan terlihat mengambil resiko yang tak perlu seperti Sellewyn, tapi aku tahu persis bukan karena itu sebabnya.
Tak sepertiku yang mengandalkan perhitungan kartu, Maya mengandalkan instingnya. Gadis itu tahu kapan ia akan menang, dan kapan ia bisa kalah. Aku tidak tahu bagaimana caranya. Yang pasti setelah berkali-kali melawannya, aku terpaksa mengakui bahwa instingnya lebih akurat daripada teknik bermainku.
Mungkin karena itulah jahanam itu menginginkan Maya.
Permainan keduapuluh. Sang bandar menatapku, “Anda mau melanjutkan?”
Aku terdiam sejenak. Dalam perhitunganku, sebagian besar kartu bernilai kecil telah dimainkan di atas meja. Itu berarti lebih banyak kartu bernilai besar yang tersisa di deck. Yang berarti kemungkinanku untuk mendapatkan blackjack akan lebih besar.
“Ya,” jawabku.
Sang bandar beralih memandangi Maya, yang menjawab dengan datar, “Ya.”
Sejak kapan Maya menjadi makhluk tanpa ekspresi seperti itu? Apa semenjak aku membuatnya kecewa, sepuluh tahun yang lalu? Apa sejak permainan terkutuk itu?
Bandar membagikan kartu. Aku mendapat kartu sembilan. Maya kartu Jack. Bandar menaruh kartu lima di hadapannya sendiri, lalu kembali membagikan kartu. Kartu dua untukku. Dan kartu As untuk Maya.
“Blackjack,” ucap Maya. Matanya yang menatapku tak menampakkan emosi sedikit pun.
“Blackjack,” gadis itu tersenyum penuh kemenangan.
Aku mengangkat kedua tangan ke udara. “Baiklah. Silakan dandani aku sesukamu.”
Maya menatapku penuh arti. “Tutup matamu.”
Aku memejamkan mata, bersiap merasakan dinginnya bedak yang telah dicampur air di wajahku.
Tapi yang kurasakan adalah sapuan lembut bibirnya di bibirku.
“Permainan keduapuluh ssatu,” terdengar kata-kata sang bandar. “Mau melanjutkan?”
Permainan keduapuluh satu. Mau tak mau aku terlempar lagi ke ingatan masa lalu. Ke permainan keduapuluh satu sepuluh tahun yang lampau.
Pria itu tersenyum dingin padaku. Di ujung jarinya terselip kartu As dan kartu King.
“Blackjack,” katanya, terdengar seperti hakim yang menjatuhkan vonis. “Kau kalah.”
Aku mengantamkan kepalan tangan ke meja. Tidak mungkin! Padahal aku teramat yakin aku akan menang! Aku sudah mengikuti setiap strategi yang ada dalam permainan ini. Tapi kenapa…?!
Bandar mulai mengumpulkan semua chip yang ada di hadapanku. Semua uang yang kupunya. Setiap rupiah yang susah payah kukumpulkan, yang mati-matian kumenangkan.
“Satu permainan lagi!” seruku. “Satu kali lagi, dan aku pasti…!”
Kata-kataku tak selesai karena sepucuk pistol sudah diarahkan pengawal pria itu tepat ke dahiku.
“Tidak ada kesempatan kedua dalam blackjack,” ucap pria itu. “Kamu sudah tahu itu ketika mempertaruhkan semua yang kaumiliki. Uang, juga nyawamu.”
Aku masih ingin membantah, namun suara pistol dikokang membuat lidahku kelu. Keringat dingin mulai membasahi tubuhku. Apa semuanya akan berakhir seperti ini? Apa aku akan mati di sini?
“Tunggu!”
Aku menoleh ke asal suara itu, dan menatap Maya. Wajahnya pucat pasi, namun suaranya terdengar tenang ketika berucap, “Bawa aku.”
Si pria berbalik. “Kamu?”
“Ya,” kata Maya. “Bawa aku sebagai pengganti nyawanya.”
“Jangan!” seruku, namun Maya seperti tak mempedulikanku. Matanya hanya tertuju pada si pria.
“Menurutmu kenapa aku harus mau menukar nyawanya dengan dirimu?” tanya si pria.
“Karena dari semua orang yang kau lawan, hanya aku yang tak pernah kalah darimu,” sahut Maya. “Tidakkah kau ingin tahu rahasianya? Tidakkah kau ingin mengalahkanku?”
“Maya!” seruku, namun ia sama sekali tak menghiraukanku.
“Jika aku membawamu, aku akan tahu rahasia kemenanganmu?” tanya si pria.
“Tentu saja,” jawab Maya. “Akan kuberi tahu semuanya. Bahkan akan kuajarkan padamu.”
“Baiklah,” ucap si pria. “Kemarilah.”
“Jangan, Maya!” teriakku, namun sia-sia saja. Gadis itu telah melangkah mendekati si pria. Maya bahkan tidak menoleh sedikit pun.
Aku ingin mengejar Maya, ingin menahannya supaya tidak pergi, namun acungan pistol si pengawal membuatku tak bisa bergerak sama sekali. Dengan putus asa kulihat punggung Maya semakin menjauh.
Mendadak gadis itu berbalik, dan menatapku dalam-dalam dengan matanya yang sekelam malam.
“Tuan?”
Aku tersentak. Kutatap si bandar yang tadi memanggilku.
“Anda massih mau melanjutkan?”
Melanjutkan? Kupandangi Maya, yang masih balas menatapku tanpa ekspresi.
Dan tiba-tiba aku merasa bodoh sekali.
Apa yang kukejar selama ini? Malang melintang di dunia blackjack selama sepuluh tahun, berusaha mati-matian menguasai permainan ini, demi seorang gadis yang sepertinya tak membutuhkanku? Yang bahkan mungkin tak mengingatku?
Mungkin seharusnya aku tidak datang ke sini. Mungkin seharusnya kusudahi saja permainan ini.
Aku mulai membuka mulut, namun kemudian bungkam.
Karena saat itu Maya sedang memandangiku.
Dengan tatapannya sepuluh tahun lalu. Tatapan yang takkan pernah bisa kuhapus dari pikiranku.
Dan saat itu juga aku mengambil keputusan.
“Bagaimana kalau kita buat permainannya jadi sedikit menarik?” kataku.
Si bandar tampak heran. “Maksud Tuan?”
Aku mendorong semua tumpukan chip-ku ke kotak taruhan. “Aku pertaruhkan semua ini, juga nyawaku.”
Mata Maya mendadak berkilat marah, emosi pertama yang ia tunjukkan malam ini. Di belakangku, Dumver berbisik, “Jangan, Nak. Pertaruhkan semua chip-mu, tapi jangan pernah pertaruhkan nyawamu.”
Aku tak mempedulikannya. “Sebagai gantinya,” aku mencondongkan tubuh ke arah Maya. “Kalau aku menang, kau jadi milikku.”
Beberapa makhluk mulai mengelilingi mejaku. Sepertinya mereka mendengar perkataanku, dan tertarik menonton.
Si bandar tampak ingin memprotes, namun mendadak terdengar suara seorang laki-laki. “Untuk taruhan sebesar itu, akulah yang akan jadi lawanmu.”
Dan seketika itu juga, ruangan menjadi hening.
Suara itu. Aku memutar tubuh untuk menatap pria berjas putih tersebut. “Keluar juga kau, Bangsat,” ucapku.
“Halo Raditya,” pria itu tersenyum. “Lama tak berjumpa, ya.”
“Tak usah basa-basi segala, Iblis. Cepat mulai saja permainannya.”
“Aku tersanjung kamu sudah tahu siapa aku sebenarnya.”
“Aku tidak mondar-mandir di kasinomu selama ini hanya untuk menghabiskan uangku.”
“Aku tahu,” pria itu duduk di samping Maya dan memeluknya. “Untuk dia, kan?”
Amarahku mulai merembet naik melihat jahanam itu merangkul Maya, tapi kutahan emosiku. Aku tahu Iblis itu sengaja memancing kemarahanku agar permainanku jadi buruk.
“Ayo kita mulai,” ucapku.
“Ayo,” katanya. “Tapi tentu saja, dengan deck baru.”
Aku tersentak, namun mati-matian kujaga agar ekspresiku tak berubah. Kalau menggunakan deck baru, semua perhitunganku sepanjang permainan ini jadi tidak ada artinya. Sama sekali tidak ada jaminan kalau aku akan menang.
Tapi aku sudah tak bisa mundur lagi.
“Silakan,” kataku tak acuh. “Aku tak keberatan.”
Sang Iblis memberikan isyarat, dan si bandar buru-buru mengeluarkan deck baru. Sementara itu, suara-suara yang semula menghilang mulai muncul kembali. Semakin banyak makhluk yang mengelilingi mejaku, bahkan mungkin semua keberadaan yang ada di lantai ini kini menonton kami.
Bandar mulai membagikan kartu. Aku mendapat kartu delapan. Dengan jantung hampir terlompat kulihat si Iblis mendapat kartu As.
Bandar meletakkan kartu sepuluh di hadapannya. Kemudian kembali membagikan kartu padaku dan si Iblis. Aku mendapat kartu sembilan. Dengan kelegaan teramat sangat (yang tentu saja kusembunyikan) kulihat si Iblis mendapat kartu lima.
Bandar menyelipkan kartu keduanya di bawah kartu sepuluhnya, lalu menatapku. “Bagaimana?”
Jumlah kartuku sudah tujuh belas. Sesuai strategi blackjack, seharusnya aku memilih stand saja. Tapi saat itu aku sudah tidak menggunakan logikaku lagi.
Melainkan satu senjata lagi yang juga telah terasah dalam sepuluh tahun perjalananku dalam dunia permainan ini.
Insting.
Dan saat ini instingku hanya mengatakan satu hal.
Aku menatap Maya, yang saat itu juga memandangiku lekat-lekat.
Aku tersenyum padanya, dan menyebutkan satu kata yang merupakan penentu nasibku.
***
Kyaaa,,,, akhirnya blog ini aktif lagi,,,!! *loncatloncatkegirangan
dah lama nungguin kelanjutan nasib blog ini. Saat aku buka email, dan ada kabar “New Post” dari sini rasanya gimanaa gitu…
tapi setelah diliat-liat dan dibaca-baca bener-bener deh rasanya jadi campur aduk.
– Kastil Misterius: bikin pengen ke kastil itu beneran. Pengen nyoba jilat cokelat mancur seharian.
– Pencari Warna: kepikiran gimana klo kita jadi orang yg buta warna. (ngeliat warna item ama putih doang).
– Jakarta Tunggu Kami: nah ini dia yg bikin merinding serem dan membingungkan. Saya bingung Karmo dkk itu malaikat pencabut nyawa ato iblis yg suka bikin bencana? kok seneng banget klo ada bencana besar? apalagi si Gea. Kayaknya dia yg paling berperan aktif dalam memutuskan bencana apa yg bakal terjadi.
– Anak-anak Malam: hmmm,,, maap aku gak terlalu suka ama cerita binatang. tapi ceritanya bagus dan aku enjoy kok.
– Buku Peninggalan Ayah: satu kata. “serem”
– Permainan KeduaPuluh: Cius asik banget ngikutin alurnya. dari semua cerpen yg aku baca disini (pdhl cuma baru sampe sini aje bacanye) aku paling suka yang ini. tapi kok ceritanya gantung?? selesainya gimana tuh? jadi penasaran.. siapa yg menang?
oiya ngomong2 ttg gantung, ceritanya ARTEFAKTORnya gak dilanjutin? aku nungguin nih..
maap ya,, aku jadi mencurahkan segala uneg2ku disini. abis kangen sih sama Nadine dan Rei. Kayaknya aku udah jadi penggemar beratnya Mbak Dewi deh. Ayo dong banyakin lagi ceritanya,, atau bikinin novel aja. Ditunggu yaaaa,,
Hai Poltra!
Iya maaf, site ini sempet down karena semua datanya hilang. Bahkan komen-komen semua orang juga hilang, bikin down banget
Tapi ya akhirnya site ini on lagi! ^_^
Jadi campur aduk ya? Soalnya aku masukin juga semua entry cerita untuk Cerbul Kastil Fantasi. Karena tema tiap bulan-bulannya beda-beda, jadi mungkin kebacanya jadi campur aduk.
Makasih udah membaca dan mengomentari cerpen-cerpennya! ^_^
Untuk Artefaktor, sebenernya buku duanya udah jadi. Tapi memang mau kurevisi lagi, dan mungkin belum akan di share di sini, masih kusimpen dulu huehehehe…
Doain aja biar Artefaktor ini bisa jadi novel ya. Dan terima kasih banyak kamu udah menyukai karya-karyaku ^_^
hore,,, udah ada buku dua-nya,,,
okeh aku tunggu ya. moga2 Nadine dan Rei dapet ending yg bahagia.
(gak kayak entry cerita disini yg banyak ending serem dan gantung. hihihihi,,,,)
Amiin buat ending bahagia buat Nadine dan rei (padahal sih penulisnya udah tahu ending nya bakal gimana >:] )
Soal ending serem dan gantung… itu sih pengennya aku aja bikin ending begitu hahaha
walaupun sebenernya lebih sering karena kepentok jumlah karakter >,<