Bab 13 – Urnduit

Reinald menghembuskan napas panjang. Dengan satu tangan dilepaskannya kain hitam yang menutupi matanya. Sinar matahari menyeruak dari jendela kamar, sejenak menyilaukan tatapannya. Selama beberapa saat pemuda itu mengerjap-ngerjap, menyesuaikan pandangan dengan perubahan cahaya yang tiba-tiba.

-Kamu tak apa-apa?- Gakka beranjak ke arahnya dari tempatnya berdiri di dekat dinding. -Ada yang kauperlukan?-

“Aku tidak apa-apa,”sahut Rei. “Jangan khawatir.”

Sang urnduit mengangguk. -Kalau boleh bertanya, apa yang baru saja kau lakukan?-

Reinald meraih kain hitam tersebut. Lebarnya hanya sekitar sepuluh sentimeter, membuatnya tampak lebih mirip penutup mata daripada kain sesungguhnya. “Tadi aku mengaktifkan Inti di dalam kain ini. Tapi aku belum tahu kemampuan apa yang muncul dari penutup mata ini. Harus kucoba dulu.”

Pemuda itu mengenakan lagi kain tersebut lalu mengedarkan pandangan, namun ia tetap tak bisa melihat apa-apa. Pandangannya tertutup sepenuhnya. Apa yang seharusnya bisa benda ini lakukan?

Tadi ketika mengaktifkannya, pemuda itu mendadak seperti berada dalam dunia tanpa cahaya. Gelap gulita. Tak tahu harus berbuat apa, ia mulai meraba-raba sekitarnya, namun tak menemukan apa-apa. Begitu juga ketika ia mulai melangkah maju. Dunia gelap gulita itu seperti tak berisi sama sekali.

Ketika Reinald mulai kehilangan orientasi, tak lagi bisa membedakan atas maupun bawah, tangannya berhasil menemukan sesuatu. Sebuah wadah berukuran sedang, seperti ember atau baskom. Begitu ia menggenggam wadah tersebut, serta-merta cahaya warna-warni berlompatan keluar dari dalamnya, menerangi sekitarnya dalam sinar beraneka warna. Dan detil dunia tersebut pun mulai terbentuk, seolah-olah seseorang menggunakan cahaya warna-warni itu untuk melukisi tempat tersebut. Tanah di bawah kakinya, pohon di sebelahnya, langit di atasnya. Semakin lama benda yang terbentuk pun semakin banyak, sampai membentuk suatu dunia yang lengkap dan bermacam warna. Setelah itu barulah ia kembali ke dunia nyata. Dan menyadari bahwa ia telah mengaktifkan artefak tersebut.

Sekarang, bagaimana caranya agar ia tahu, apa yang sebenarnya ia aktifkan? Kalau mengingat pengalaman sebelumnya, kemampuan yang timbul setelah sebuah Inti aktif biasanya tercermin dari caranya mengaktifkan benda tersebut. Jadi, kalau dunia Inti tersebut adalah tempat gelap gulita yang kemudian jadi memiliki cahaya…

Rei bangkit berdiri. Dengan sedikit mengangkat penutup mata tersebut agar ia bisa melihat, pemuda itu menghampiri lemari besar yang berdiri di sudut ruangan. Kemudian ia berlutut di depannya, membuka pintu lemari, memasukkan kepala ke dalam, dan menutup pintunya kembali serapat mungkin.

-Rei vathek?- suara Gakka terdengar kebingungan.

Reinald tidak mengacuhkan sang urnduit. Keremangan melingkupinya di dalam lemari tersebut. Pemuda itu menurunkan lagi kain hitam di matanya sampai menutupi seluruh pandangan.

Dalam sekejap keadaan sekelilingnya menjadi jelas, seakan ada yang menghidupkan lampu. Rei bisa melihat setiap benda yang tersimpan di sana. Alur-alur kayu yang membentuk lemari, catnya yang masih mulus, sampai debu tipis yang melapisi permukaan triplek. Semuanya terlihat amat jelas, bahkan lebih jernih dan cerah daripada yang mampu dilihat mata normalnya di siang hari.

Reinald membuka pintu lemari dan menarik keluar kepalanya. Tergelak puas, pemuda itu duduk di lantai dan melepaskan artefak tadi dari matanya.

-Apa yang kau lakukan?-

“Mencoba artefak ini,” pemuda itu melambaikan kain hitam tersebut ke arah sang urnduit. “Dan aku berhasil mengetahui apa yang bisa benda ini lakukan.”

-Apa yang bisa dilakukannya?-

“Kalau menggunakan benda ini, kita bisa melihat dalam gelap. Sejelas seperti di siang hari. Wah, keren sekali. Aku tidak sabar ingin menunjukkannya ke Nadine!”

Gakka mengangguk. -Kau memang seorang braevathek yang hebat, Rei vathek.-

“Jangan membuatku ge-er, Gakka,” sahut pemuda itu. “Artefak ini harus kuberi nama, nih. Apa, ya? Oh iya, aku namakan saja ‘Mata Malam’!”

-Mata Malam? Maksudnya malam yang memiliki mata? Dan apa arti ge-er?-

Reinald terbahak-bahak. Terkadang keformalan – atau kepolosan – makhluk itu membuatnya geli. “Bukan. Mata Malam itu maksudnya mata yang bisa melihat dalam malam. Dan ge-er itu kependekan dari Gede Rasa. Artinya… artinya merasa bangga yang berlebihan. Begitu.”

Gakka menatapnya dengan mata putih tak berkelopaknya. -Aku rasa aku mengerti,- katanya lambat-lambat. -Aku lupa bahwa ildar tidak dapat melihat dengan baik pada malam hari.-

Giliran Rei yang terpana mendengar kata-kata makhluk tersebut. “Maksudnya?”

-Kami dapat melihat dalam gelap sebaik dalam keadaan terang,- jawab Gakka. -Kami tidak membutuhkan bantuan untuk dapat melihat pada malam hari.-

Urnduit dapat melihat dalam gelap? Kalau memang benar, berarti mereka memang benar-benar senjata hidup berjalan. Tapi kenapa bangsa seperti itu bisa jadi bangsa pasif? Bahkan, seperti kata Nadine, menjadi kaum perawat alam?

Sang urnduit mulai melangkah ke arah pintu. -Beristirahatlah dulu, Rei vathek. Kau sudah mengasah kemampuanmu sejak tadi pagi. Kau pasti capek. Akan kubawakan minuman untukmu.-

“Gakka?”

Makhluk itu berhenti di depan pintu. -Ya?-

“Nadine cerita padaku kalau urnduit itu dulunya adalah bangsa penakluk. Tapi sekarang kalian jadi bangsa pasif. Kalau boleh tahu, kenapa kalian sampai bisa jadi seperti itu?”

Sang urnduit terdiam sejenak. -Sejarah bangsaku adalah kisah yang panjang.-

“Tidak apa-apa. Sepanjang apa pun, aku mau mendengarnya. Lagipula, kita punya banyak waktu dan tidak sedang buru-buru, kan?”

Mata tak berkelopak itu menyapu matanya. -Baiklah jika kau mau mendengarnya. Apa yang kaukatakan memang benar. Dulu, urnduit adalah bangsa mengerikan. Kehancuran dan penjajahan mengiringi langkah kami. Namun kemudian alam menghukum kesombongan kami. Penyakit mematikan menyerang kami, menyebar cepat. Ribuan, bahkan ratusan ribu urnduit menjadi korban, sementara teknologi kami yang paling canggih sekali pun tak sanggup menemukan penyembuhnya.

-Di tengah masa-masa mencekam tersebut, seorang tetua akhirnya berhasil menemukan obat bagi wabah mengerikan itu. Tidak bisa disebut obat sebenarnya, karena substansi itu hanya memperlambat gejala-gejala penyakit tersebut, bukan menyembuhkannya. Namun tetap saja hal tersebut merupakan titik terang pertama. Obat tersebut diekstrak dari buah Qili.-

“Qili? Yang waktu itu kamu sebut?” tanya Rei. “Yang menjadi bahan ramuan minumanmu?”

Gakka mengangguk. -Qili adalah pohon yang tumbuh di dunia asal kami. Sejauh yang kami ketahui, Qili tidak ada di dimensi lain. Sayangnya, pohon tersebut ternyata jumlahnya tinggal sedikit, bahkan nyaris punah. Laju teknologi dan kehausan urnduit akan dominasi perang menyebabkan kami membabat habis hutan demi membangun pabrik-pabrik senjata raksasa, barak tentara, dan berbagai macam bangunan lain. Qili juga adalah pohon yang lemah. Ia mudah mati jika tidak dirawat dengan baik. Dan butuh waktu sepuluh tahun manusia untuk menumbuhkan sebatang Qili sampai ia berbuah.

-Peristiwa itu berlangsung ribuan tahun lalu. Wabah Maut, begitu kami menyebutnya. Ada juga yang menyebutnya masa Kebangkitan, Eksodus Balik, dan masih banyak lagi. Semenjak itulah urnduit dipaksa tunduk di depan kekuatan alam. Dan lambat laun, urnduit berubah menjadi bangsa yang tenang, bahkan cenderung pasif. Sekarang kami ada hanya untuk merawat Qili, juga alam. Hanya itu.-

“Lalu, bagaiman denganmu? Katamu kalian tidak bisa hidup tanpa Qili, sementara Qili hanya bisa tumbuh di dunia asal kalian.”

-Aku membawa Qiliku kemari.-

Reinald terperangah. “Bagaimana bisa?”

-Bumi adalah dimensi yang aneh,- sahut Gakka. -Entah bagaimana caranya, Qili mampu tumbuh di sini. Yang menemukan hal tersebut adalah salah seorang tetua di keluargaku. Hal itu sungguh menggembirakan bagi kami, karena urnduit tidak akan bisa hidup Qili.-

“Sebentar,” kata Reinald. “Kalau begitu, kenapa kamu memberiku ramuan Qili seperti waktu itu? Seharusnya kamu tidak bisa seenaknya memberikannya ke orang lain, dong?”

-Tidak apa-apa, Rei vathek. Ramuan yang kubuatkan untukmu dan Nadine Felledia terbuat dari daun Qili, bukan buahnya. Qili tidak perlu waktu bertahun-tahun untuk menumbuhkan daunnya, jadi jangan khawatir. Lagipula, hanya butuh sedikit daun Qili untuk membuat ramuan tersebut.-

“Tetap aja aku tidak suka,” pemuda itu menatap sang urnduit lekat-lekat. “Pohon Qili itu sesuatu yang keramat bagi kalian, kan? Aku tidak pantas minum dari sesuatu yang seperti itu.”

-Tidak apa-apa,- raut wajah Gakka tidak berekspresi, namun Reinald mendapat kesan bahwa makhluk itu sedang tersenyum. -Aku justru merasa tersanjung jika kau dan Nadine Felledia mau meminum ramuanku.-

Reinald menggeleng-geleng. “Katamu Nadine keras kepala? Kamu sendiri juga bisa sama keras kepalanya.”

-Sama-sama, Rei vathek.-

Pemuda itu menggeleng lagi. Mendadak sesuatu mengganggu pikirannya. “Gakka, kamu sudah ada di bumi ini dari dulu, atau bagaimana?”

Sang urnduit terdiam sejenak. -Tidak. Aku lahir di Ezon, di dunia asal kami.-

“Lalu, bagaimana caranya kamu bisa ada di sini?”

Lagi-lagi makhluk itu membisu sesaat, sebelum akhirnya menjawab, -Aku… dibawa ke dunia ini. Oleh… seorang ildar.-

Rei menunggu Gakka melanjutkan kata-katanya, namun sang urnduit hanya diam.

Mendadak perut pemuda itu berbunyi kencang.

-Maafkan aku, Rei vathek. Karena terlalu asyik menemanimu, aku belum sempat menyiapkan makanan.-

“Tidak apa-apa. Harusnya aku yang minta maaf. Gara-gara menemaniku, kamu jadi tidak bisa melakukan apa pun yang mau kamu lakukan.”

Gakka memandanginya. –Kalau begitu, aku juga akan berkata tak usah minta maaf. Menemanimu adalah kehormatan yang sangat besar. Dan kesenangan yang sama besarnya pula.-

“Begini saja, deh. Sebagai tanda terima kasih karena sudah menemaniku, biar kubantu kamu memasak.”

Sang urnduit menatapnya sejenak, kemudian mengangguk. -Setuju,- sahutnya. Bersama-sama mereka melangkah menuju dapur.

 ***

 Malam harinya Nadine menepati janjinya. Gadis itu menyingkirkan semua perabotan yang ada di ruang tengah, menciptakan sebuah area kosong yang cukup luas, kemudian berdiri di tengahnya.

Reinald mengambil tempat di hadapan gadis itu. Kemarin Nadine berkata bahwa latihan yang ia akan berikan sangat sulit. Yah, sesulit apa pun, pemuda itu siap menerimanya. Ia tidak akan mundur selangkah pun.

Nadine menarik napas dalam, dan mendadak sebuah kubah kecil tembus pandang telah melingkupi mereka.

“Lapisan pelindung,” jawab gadis itu ketika Rei menatapnya dengan pandangan bertanya. “Untuk jaga-jaga.”

Pemuda itu mengangguk, dan Nadine pun memulai. “Sebenarnya ada banyak sekali tahapan latihan pedang. Untuk menguasai kemampuan berpedang, seseorang harus berlatih selama bertahun-tahun, bahkan berpuluh-puluh tahun. Tapi kita tidak punya waktu sebanyak itu. Jadi kamu terpaksa menjalani latihan khusus yang akan memaksa badanmu terbiasa menggunakan pedang.”

“Latihan khusus seperti apa?” tanya Rei.

Gadis itu tidak menyahut. Ia hanya memandangi pemuda itu dalam-dalam.

Dan bulatan-bulatan putih mulai terbentuk di sekelilingnya.

“Nadine,” Reinald mulai merasa was-was. “Apa yang kamu…”

Kalimatnya tak pernah selesai, karena saat itu salah satu dari bola tersebut telah melesat dan menghantam wajahnya.

Rei berteriak kesakitan, tertunduk memegangi hidungnya. Pandangannya langsung berkunang-kunang, sementara kepalanya langsung berdenyut-denyut. Hidungnya yang terkena bulatan tersebut terasa amat nyeri dan panas, membuat matanya berair.

“Apa yang kamu lakukan?!” pemuda itu hendak memelototi gadis itu, namun sebentuk bulatan lain telah meluncur ke arahnya. Untunglah ia sempat mengangkat lengan untuk melindungi wajah, dan bola tersebut menghantam tangannya, menyebabkan rasa sakit tak tertahankan yang disertai rasa beku yang amat sangat. Rasanya seperti dihajar dengan bulatan salju yang sepadat bola tenis.

“Bangun,” suara Nadine terdengar amat dingin. “Berdiri tegak.”

“Kamu mau membunuhku?!” seru Reinald, lagi-lagi harus menangkis lontaran bulatan salju lainnya dengan lengan kiri.

“Kalau memang ada yang mau membunuhmu, apa yang akan kamu lakukan?” jawab Nadine tenang. “Menyerah dan bersiap mati, atau bangkit dan melawan?”

Rei memaki dalam hati, namun ia tahu gadis itu benar. Ditegakkannya tubuh, dan ditatapnya Nadine tajam. “Ayo, kemarilah! Aku tidak takut!”

Gadis itu tidak merespon tantangan itu. Sebuah bola salju lain kembali meluncur, namun kali ini Reinald sudah bersiap-siap untuk mengindarinya.

Tiba-tiba tubuhnya tak bisa bergerak, seolah-olah ada kekuatan tak kasat mata yang menahannya di tempat. Rasa dingin yang menusuk menyelimutinya. Kenapa ini? Apa sihir Nadine yang menyebabkannya jadi seperti ini?

Detik berikutnya bulatan beku tadi menghantam pelipisnya, menyentakkan kepala Rei ke samping. Rasa pusing menyerbu, membuat pandangannya kembali berkunang-kunang.

“Kamu sudah mati,” kata Nadine. “Lagi.”

“Curang!” seru pemuda itu, menggertakkan gigi untuk mengusir kepeningan di kepala. “Kamu mengikatku, jadi aku tidak bisa bergerak!”

“Apa dalam pertempuran sesungguhnya, keadaan akan selalu adil?” tanya Nadine. “Apa dengan tak bisa bergerak, kamu akan menyerah dan mati?”

Memang benar sih, tapi… Sesuatu menghantam perutnya, dan Reinald tercekat. Napasnya menghilang, dan rasa mual menggelegak keluar ke arah kerongkongannya. Dalam keadaan masih tak bisa bergerak pemuda itu muntah, mengotori bajunya akibat tidak bisa membungkuk.

Nadine sama sekali tidak menghentikan serangannya. Hunjaman bola beku terus mendera Rei, membuat pemuda itu tak lagi bisa berpikir selain rasa sakit yang terus menghantamnya.

“Ternyata hanya seperti ini kemampuanmu,” terdengar suara Nadine. “Dalam pertempuran sebenarnya, tidak akan makan waktu lama untuk membunuhmu. Menyedihkan.”

Menyedihkan? Ya, ia memang menyedihkan. Ia tidak mampu berbuat apa-apa. Untuk berdiri saja ia tidak sanggup.

“Baru seperti ini saja kamu sudah menyerah? Ke mana kekeraskepalaanmu? Ke mana keegoisanmu sewaktu meminjam Seise Felliri? Apa kamu tidak ada bedanya dengan para pengecut lain, hanya berani omong besar, tapi sebenarnya tidak bisa apa-apa?”

Sial, ia bukan pengecut! Ia tidak mau lagi jadi pengecut! Kepengecutannya dulu telah dibayar dengan harga yang sangat mahal. Ia tidak mau mengalami hal serupa lagi!

Reinald mengerjap. Pandangannya masih kabur dan berkunang-kunang, namun pikirannya mendadak jernih kembali. Seise Felliri, kata Nadine. Iya, ini adalah latihan. Latihan menggunakan pedang itu.

Bola beku kembali menghantam tubuhnya, namun pemuda itu mulai berkonsentrasi. Nadine benar. Kalau dalam latihan saja ia sudah tidak bisa bertahan, bagaimana jika ia berada dalam keadaan pertempuran sesungguhnya? Salah-salah, ia malah bisa menjadi beban bagi gadis itu.

Padahal tujuannya berlatih pedang adalah supaya ia bisa melindungi Nadine.

Sebuah bulatan salju menghajar rahangnya, sesaat membuat Rei limbung. Tidak, ia harus bertahan. Konsentrasi. Ini adalah latihan menggunakan Seise Felliri. Dalam keadaan tak bisa bergerak seperti ini, satu-satunya harapan pemuda itu adalah memanggil pedang tersebut.

Rasa sakit terus menderanya tanpa ampun, namun pemuda itu terus berkonsentrasi. Seperti ketika hendak mengaktifkan barang ber-Inti, Reinald mengabaikan semua hal lain di sekitarnya, dan memusatkan pikiran. Datanglah, Seise Felliri. Datanglah!

Sesuatu muncul di ruangan tersebut. Reinald mengintip melalui matanya yang nyeri jika dibuka, dan melihat gumpalan asap kelabu mengelilinginya, berputar dan bergulung, menebal dan memisah. Asap tersebut kemudian berkumpul di udara, sebelum mewujud menjadi Seise Felliri.

Berhasil! Pemuda itu kembali berkonsentrasi, bermaksud menggunakan pedang tersebut untuk menangkis bola-bola salju yang masih melesat di sekitarnya, namun mendadak rasa sakit menerpanya. Rei hanya mampu mengerang sebelum tersungkur lemas. Hanya sihir Nadine yang menahan tubuhnya sehingga tetap berdiri. Di dekatnya Seise Felliri pun terjatuh ke lantai dengan bunyi nyaring.

Selama beberapa saat pemuda itu masih berusaha memanggil kembali senjata tersebut, namun sia-sia. Rasa sakit membuat pikirannya berkabut.

Habislah sudah. Aku tidak bisa berbuat apa-apa lagi.

Reinald memejamkan mata, bersiap-siap menghadapi rasa sakit yang akan kembali mendera. Detik-detik berlalu, namun hal itu tak kunjung datang. Ia malah merasakan tubuhnya dibaringkan lembut di lantai, dan belenggu tak kasat mata yang menahannya mendadak hilang.

Pemuda itu membuka mata sedikit, dan menatap Nadine. Gadis itu sedang berlutut di sampingnya. “Sudah kukatakan, kan? Latihannya susah.”

Walau rasa sakit masih melumpuhkan sekujur tubuhnya, Rei berusaha memasang ekspresi memelas. “Ampun, Ndoro Putri. Jangan siksa saya lagi. Disuruh apa saja saya menurut, kok.”

“Mudah-mudahan besok kamu masih bisa bercanda seperti sekarang,” kata-kata itu Nadine ucapkan dengan dingin, namun tangan yang ia letakkan di kedua pipi Reinald terasa lembut dan penuh perhatian. Detik berikutnya rasa beku menyelimuti wajah pemuda itu, menyejukkan luka-lukanya.

Rei memejamkan mata, menikmati sensasi tersebut. Rasa sakit dan perih mulai terusir pergi dari badannya. Namun sebagai gantinya, rasa penat mulai menyerang tubuhnya, membuatnya terasa seperti terbuat dari kayu, kaku dan berat.

Selama beberapa saat tangan Nadine masih terus mengompres cederanya, berpindah dari bahu, ke badan, ke tangan. Ketika rasa sakit telah sepenuhnya menghilang dari tubuh Reinald, pemuda itu merasakan gadis itu menjauh dari sisinya.

Rei membuka mata, dan melihat Nadine sedang memandangi Seise Felliri yang tergeletak tak jauh dari sana. Keraguan sejenak menyelimuti raut wajahnya. Kemudian gadis itu memungut pedang tersebut. Menimangnya sesaat di tangan, seakan mengetes berat dan keseimbangannya. Lalu Nadine mulai bergerak.

Bergerak mungkin bukan kata yang tepat. Gadis itu menari; Seise Felliri berputar bebas di udara, mengikuti gerakan lengan dan putaran tubuhnya. Nadine meluncur dari satu gerakan ke gerakan lain, begitu luwes sampai-sampai lebih terlihat seperti gerakan dansa daripada gerakan pedang. Reinald terpana menatapnya.

Jadi inilah orang yang dipanggil sebagai Nadine Felledia. Baru kali ini pemuda itu melihat langsung bukti kehebatan gadis itu. Keahliannya menggunakan pedang. Rangkaian gerakan yang ia peragakan begitu indah, namun juga begitu mematikan, membuat rasa hormat dan kagum tumbuh dalam diri pemuda itu.

Nadine mengakhiri tariannya dengan berdiri tegak. Menyentakkan tangan yang menggenggam Seise Felliri di depan perutnya, sehingga bilah pedang tersebut berdiri tegak sejajar dengan tubuhnya. Kemudian gadis itu menurunkan senjata tersebut dan menghela napas dalam. Dan menyadari tatapan Rei.

Rona merah mewarnai wajah gadis itu. “Biasakan menghilangkan Seise Felliri setiap kali kamu selesai menggunakannya,” kata gadis itu datar seraya meletakkan pedang tersebut di samping tempat pemuda itu berbaring. “Kamu tidak akan pernah tahu kapan musuh bisa merebutnya darimu.”

“Nadine, tadi itu hebat sekali. Kamu seperti sedang menari saja.”

Muka gadis itu semakin bersemu. “Itu hanya latihan yang dulu sering kulakukan. Sekarang aku sudah tidak terbiasa lagi. Tadi gerakannya banyak yang salah, kok.”

Sudah tak terbiasa? Kalau begitu seperti apa dulu, ketika gadis itu masih berada dalam puncak kemampuannya memainkan pedang? Pastinya tarian yang ia lakukan akan lebih indah. Dan lebih mematikan lagi.

“Beristirahatlah,” kata-kata Nadine menyadarkannya. “Besok kita lanjutkan lagi.”

Lagi? Besok? Hati Rei mengeluh mendengar kata-kata itu, namun tubuhnya malah memaksa bangkit, berdiri susah payah dengan kaki gemetar. Dan berlawanan dengan kata hatinya, pemuda itu mengucap, “Ayo kita lanjutkan sekarang.”

Nadine mengerutkan kening. “Berdiri saja kamu sudah tidak bisa.”

“Aku masih bisa,” Reinald menggertakkan gigi ketika gelombang kelelahan kembali mendera. “Ayo.”

Gadis itu memandanginya sesaat. “Terserah. Tapi jangan salahkan aku kalau kamu babak belur, ya.”

“Tenang saja. Atau jangan-jangan kamu yang sudah capek?”

Bibir Nadine terkatup mendengarnya. Detik berikutnya bola-bola salju kembali memenuhi udara di sekeliling tubuhnya. “Keras kepala,” gumam gadis itu.

“Terima kasih,” balas Rei, sebelum mulai berkonsentrasi.

Dan berharap sepenuhnya kalau kekeraskepalaannya tersebut tidak akan membuatnya tewas duluan sebelum bisa melindungi Nadine.

***

Category(s): Artefaktor

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

 

You may use these HTML tags and attributes: <a href="" title=""> <abbr title=""> <acronym title=""> <b> <blockquote cite=""> <cite> <code> <del datetime=""> <em> <i> <q cite=""> <s> <strike> <strong>