Seperti tahun-tahun sebelumnya, ketika matahari terbenam di tanggal 24 Desember, Deri bergabung dengan yang lain untuk berkumpul di Aula Besar.
Mungkin jumlah mereka semua lebih dari seribu orang. Deri tak pernah menghitung berapa tepatnya, karena jumlah mereka terus berubah setiap tahunnya. Tapi yang pasti terus bertambah, seiring bertambahnya jumlah manusia di bumi.
Terdengar dengingan suara mikropon dan Deri mengangkat wajah. Sebuah sosok baru saja menaiki podium di ujung ruangan. Seorang pria berjas rapi, berwajah cukup tampan di usianya yang sudah empat puluhan. Kepercayaan diri terlihat jelas di rautnya ketika ia tersenyum pada hadirin di hadapannya.
“Selamat malam,” ucapnya dengan suara baritonnya yang khas, tegas dan penuh wibawa. “Terima kasih atas kehadiran kalian semua. Sekali lagi kita sampai di event terpenting dalam perusahaan kita. Malam Natal telah tiba, dan begitu juga dengan tugas utama kita semua. Selama setahun penuh kita telah bekerja keras untuk mewujudkan event ini. Dan saat inilah puncaknya.”
Sepertinya Presdir berpidato dalam bahasa Cina yang merupakan bahasa ibunya. Namun Deri tetap dapat memahami setiap perkataan pria tersebut dengan baik seolah ia bicara dalam bahasa Indonesia. Inilah salah satu keanehan tempat ini. Bahasa apa pun yang mereka gunakan, yang lain pasti mengerti.
“Namun saya yakin, persiapan yang telah kita lakukan bersama tidak bisa lebih sempurna lagi dari ini,” lanjut Presdir. “Saya yakin, dengan kerja keras kita semua, Malam Natal tahun ini akan lebih meriah lagi daripada sebelumnya!”
Ucapannya disambut tepuk tangan riuh dari hadirin. Deri tidak ikut bertepuk tangan, hanya memasukkan tangan ke dalam saku.
“Seperti biasa, mari kita bersama-sama mengucapkan dengan lantang peraturan dasar perusahaan kita,” kata sang Presdir, memberi isyarat kepada para Direkturnya untuk memimpin.
Setiap tahun selalu seperti ini. Deri tidak mengerti apa perlunya terus-menerus mengulangi penyebutan aturan-aturan tersebut. Tapi diikutinya juga suara-suara para pegawai lainnya, ketika dalam satu kesatuan mereka menyebutkan empat peraturan dasar perusahaan.
Mengantarkan hadiah tepat waktu, sebelum fajar merekah di Hari Natal.
Memastikan semua anak dalam daftar nama telah mendapatkan bingkisan.
Tak pernah terlihat seorang pun, kecuali dalam seragam dan kendaraan perusahaan.
Dan tak memberikan hadiah kepada mereka yang namanya tidak tercantum dalam daftar.
Dua aturan pertama bisa Deri terima karena memang itulah tugas mereka. Aturan ketiga pastinya berhubungan dengan imej perusahaan. Akan sangat kacau akibatnya jika ada satu anak saja yang melihat mereka tidak dalam seragam merah-putih perusahaan, atau kereta yang ditarik rusa-rusa. Hal itu akan merusak imej perusahaan yang telah dibangun beratus-ratus tahun lamanya.
Aturan keempat lah yang paling tidak masuk akal. Untuk apa memberi hadiah kepada anak yang namanya tidak tercantum dalam daftar? Hal itu mungkin saja terjadi kalau ada anak yang namanya terlewatkan, tapi dengan sistem database terkini yang digunakan di perusahaan ini, hal itu tak mungkin terjadi. Kecuali kalau dia adalah anak nakal. Tapi memang seperti itu kan semangat Natal? Memberi hadiah pada anak-anak yang telah bersikap baik selama setahun terakhir, dan mendorong anak-anak yang kurang baik sikapnya agar mereka mau berubah?
Deri curiga aturan keempat itu ada untuk menjaga agar database perusahaan tidak berantakan. Bagi database secanggih itu, satu kesalahan saja pasti akan berakibat fatal pada sistemnya.
“Sekarang marilah kita mengucapkan terima kasih yang sedalamnya kepada pendiri perusahaan kita,” Presdir mengangguk ke arah lukisan besar yang tergantung di dinding belakangnya. Lukisan seorang pria tua berambut dan berjanggut putih, dengan senyum ramah yang diperdalam kerutan tawa di ujung-ujung mata dan mulutnya. Pria tua itu berdiri tegap dalam balutan baju merah-merah yang ujung-ujungnya dihiasi bulu-bulu putih.
“Seorang pria hebat yang dengan semangatnya telah mengubah dunia,” kata Presdir. “Yang dengan kedermawanannya telah memberikan kebahagian kepada begitu banyak manusia. Semoga semangatnya terus hidup dalam hati kita, dan kedermawanannya terus tercermin dalam etos kerja kita. Tepuk tangan untuk Pak Klauss!”
Tepuk tangan membahana di ruangan tersebut. Sekali lagi Deri tidak ikut, membiarkan semangat pegawai lain menerpanya dan melewatinya tanpa mempengaruhinya.
“Dan sekarang, saatnya bekerja!” suara pria itu memenuhi Aula Besar. “Pastikan Anda semua membawa Daftar Anda sebelum berangkat. Selamat bertugas, dan marilah kita jadikan Natal tahun ini lebih berkesan lagi daripada tahun-tahun kemarin!”
Seruan antusias membahana di ruangan tersebut, menyambut perkataannya. Kemudian orang-orang mulai berbaris keluar dari Aula Besar. Sang Presdir memberikan senyum sekali lagi sebelum berlalu bersama para Direkturnya.
“Kok kau tidak terlihat antusias, sih?”
Deri tak perlu menoleh untuk melihat siapa yang bertanya. Ia sudah hapal di luar kepala suara Natalie. Gadis Afro-Amerika itu sedang memandanginya dengan mata coklatnya.
Deri mengangkat bahu. “Buat apa? Bagaimanapun ini hanya pekerjaan. Yang penting kita bekerja dengan sebaiknya. Tak perlu pakai antusiasme segala.”
Raut khawatir tampak di wajah Nat. “Deri, aku selalu ingin menanyakan hal ini. Apa kamu… membenci Natal? Apa sesuatu terjadi di hari Natal sebelum kamu…?”
Deri tahu kata apa yang tak mampu Nat sebutkan. Sebelum ia meninggal. Sebelum ia mengalami kecelakaan yang meremukkan tubuhnya dan mencabut paksa nyawanya dari badannya.
Semua pegawai yang ada di sini sebenarnya adalah manusia-manusia yang telah meninggal. Termasuk Presdir sekalipun. Ketika mati, ternyata jiwa manusia tidak serta-merta masuk surga ataupun neraka, seperti yang selama ini Deri tahu. Jiwa-jiwa mulia dapat terlahir kembali menjadi malaikat. Jiwa tercela akan menjadi iblis. Dan ada juga jiwa-jiwa nyasar seperti dirinya yang terlahir kembali menjadi Sinterklas.
Aneh memang. Deri tidak tahu kriteria apa yang membuatnya jatuh ke dalam kelompok tersebut. Ia bahkan sama sekali tidak percaya akan keberadaan Sinterklas. Ia juga bukan pemuda yang banyak melakukan kebaikan semasa hidupnya. Kalaupun ia bisa terlahir kembali, seharusnya ia jadi iblis, karena dulu ia sudah banyak melakukan hal-hal buruk.
Tapi di sinilah dia berada, sebagai salah seorang Sinterklas di perusahaan ini. Jadi ia hanya bisa bekerja sebaik mungkin.
Toh, ternyata jadi seorang Sinterklas juga bukan sesuatu yang jelek-jelek amat.
Deri menatap Natalie. “Aku nggak benci Natal, kok. Aku cuma berpikir tidak ada gunanya terlalu bersemangat seperti itu. Seperti yang kukatakan, yang penting pekerjaan kita beres.”
Sejenak gadis itu hanya memandanginya. Namun kemudian ia tersenyum. “Suatu saat nanti aku akan membuatmu menyambut Natal dengan senyuman dan keceriaan.”
Kalau kamu orangnya, mungkin saja, batin Deri ketika gadis itu menggandeng tangannya dan mulai menariknya ke arah berlalunya para pegawai lain.
Bersama-sama mereka memasuki Area Persiapan. Di sana Deri dan Nat berbaris, menunggu giliran menerima Daftar dari pegawai bagian Persiapan. Setelah menerima alat seukuran ponsel tersebut Deri mengaktifkannya dan membaca kota yang menjadi tugasnya kali ini.
Dan tertegun.
Jakarta. Itulah kota tempatnya bekerja kali ini.
“Ada apa?” seperti biasa, Nat menyadari perubahan emosinya. Gadis itu mendekat dan menatap layar Daftarnya.
“Itu… kota tempat tinggalmu dulu?” gadis itu menatapnya.
Deri hanya bisa mengangguk.
Kekhawatiran memenuhi wajah Nat. “Mungkin ada kesalahan. Seorang Sinterklas biasanya tidak pernah ditugaskan ke kotanya sendiri.”
“Biasanya, tapi bukannya tidak mungkin, kan?” sahut Deri ringan, berusaha menahan kecamuk dalam hatinya. “Tenang saja, Nat. Tak ada kesalahan dalam penugasanku.”
Gadis itu masih ingin membantah, namun Deri buru-buru menggandengnya, menariknya ke arah Area Keberangkatan. “Ayo. Kalau tidak cepat-cepat, bisa-bisa tugas kita tidak selesai nanti.”
Para Sinterklas lain sudah berbaris di ruangan besar beratap terbuka tersebut. Beberapa malah sudah mulai berangkat, sosok mereka mulai memenuhi langit malam.
Tiap-tiap Sinterklas dibebaskan untuk menggunakan benda apa pun sebagai alat transportasi mereka. Ada yang memilih untuk menaiki kereta yang ditarik rusa-rusa, sesuai dengan imej perusahaan. Tapi lebih banyak lagi yang menggunakan benda yang sering mereka gunakan semasa hidup dulu. Mungkin karena mereka sudah terbiasa dan nyaman menggunakan benda-benda tersebut.
Dalam sekejap angkasa di atas Deri dipenuhi mobil, bus, taksi, sepeda, dan berbagai macam alat transportasi lainnya, ketika para Sinterklas bertolak pergi. Beberapa malah pergi dengan menaiki sapu terbang ataupun gumpalan awan. Tak sedikit juga yang menunggangi binatang; kuda, singa, burung, sampai hewan-hewan mistis seperti naga dan burung api. Itulah salah satu hal yang membuat Deri betah di perusahaan ini. Para Sinterklasnya diberi kebebasan bekerja yang seluas-luasnya selama tugas mereka bisa diselesaikan dengan baik.
Kecuali yang menyangkut keempat peraturan dasar perusahaan.
Natalie menatap langit yang bertaburkan bintang. Sepasang sayap putih tumbuh di punggungnya, melebar sampai membentang anggun di belakang tubuhnya. Dengan wajah yang amat lembut, rambut keriting coklat yang tergerai sampai ke pinggang, Nat jadi terlihat seperti malaikat.
Gadis itu berpaling pada Deri dan tersenyum. “Selamat bekerja! Nanti kalau pekerjaanmu sudah selesai, kutunggu di Kafe, ya! Ada yang mau kuceritakan!”
Pemuda itu tak menjawab, hanya turut tersenyum dan memberikan isyarat setuju dengan menjentikkan jari telunjuk dan tengah dari pelipis. Senyum Nat semakin melebar melihatnya.
Tanpa melompat ataupun mengepakkan sayap tubuh Nat mulai mengambang naik, seolah-olah anginlah yang menjemput dan membawanya terbang. Tak sedikit mata yang turut mengamati kepergiannya. Moda transportasi Natalie memang salah satu yang paling terkenal di perusahaan. Banyak yang berusaha menirunya, namun tak seorang pun yang bisa menyamai keanggunan dan keindahannya.
Kadang-kadang Deri berpikir kalau memang ada kesalahan dalam kelahiran kembali Natalie. Gadis itu seharusnya tercipta lagi menjadi seorang malaikat, bukan seorang Sinterklas.
Setelah Nat melesat ke langit malam, hanya tinggal sedikit Sinterklas yang masih ada di Area Keberangkatan. Deri menarik napas dan memanggil kendaraan kesayangannya.
Sebuah motor sport muncul di hadapannya, berwarna hitam mengkilat. Pemuda itu menaikinya dan menghidupkannya. Deru mesinnya membahana di ruangan tersebut.
Tanpa membuang waktu Deri mengarahkannya ke angkasa luas di atasnya. Menuju Jakarta.
Kota kelahirannya.
Juga kota tempatnya menjemput kematian.
***
Hamparan bintang seakan melesat di langit ketika Deri melaju menuju Jakarta. Angin beku menerpanya dahsyat, namun pemuda itu tak lagi merasakannya. Setelah menjadi Sinterklas tubuhnya tak pernah lagi mengalami kedinginan, kelelahan, atau pun kelemahan manusia lainnya.
Tak butuh waktu lama sebelum akhirnya Jakarta terbentang di hadapannya. Lautan lampu kota menyambutnya, lebih meriah daripada hamparan bintang di angkasa malam. Deretan lampu jingga yang berbaris rapi menunjukkan jalan raya dengan lampu-lampu kendaraan lalu lalang di atasnya.
Rindu menerpa Deri ketika ia melayang di atas Jakarta. Dulu ia pikir ia takkan pernah meninggalkan kota metropolitan ini. Mengejar semua mimpi-mimpinya di sini. Siapa sangka ia akan meninggal di usia tujuh belas tahun, kemudian terlahir kembali jadi Sinterklas, dan kini menghabiskan waktunya dengan bekerja di perusahaan paling aneh sedunia?
Deri menepis kecamuk perasaannya jauh-jauh, mengeluarkan Daftar miliknya dari saku dan meletakkannya di panel yang ada di sebelah speedometer motor. Secara otomatis motornya bergerak ke alamat yang ditunjukkan di Daftar.
Tak butuh waktu lama sebelum Deri sampai di tujuan. Sebuah apartemen yang menjulang ke langit, seluruh dindingnya dari kaca. Pemuda itu menghentikan motornya di tengah udara, di depan sebuah jendela. Kemudian ia mengambil Daftar dari kepala motor dan menekan tombol lain di alat tersebut.
Dalam sekejap Deri sudah berada di dalam ruangan di balik jendela tempatnya berhenti tadi. Sebuah ruang keluarga yang temaram. Sebatang pohon Natal berdiri di sana, dipenuhi hiasan di sana-sini.
Tanpa membuang waktu Deri mengarahkan Daftarnya ke kaki pohon Natal di hadapannya dan menekan sebuah tombol. Seberkas sinar serta-merta memancar keluar dari layar alat tersebut dan menyorot lantai. Ketika sinar itu hilang, di bawah pohon Natal kini terdapat tiga hadiah, terbungkus kertas kado dan pita warna-warni.
Sinterklas zaman dulu dikisahkan harus membawa hadiah-hadiah dalam bentuk nyata. Karena itulah mereka menggunakan kereta, karena tidak ada alat transportasi lain yang cukup efektif dan efisien untuk membawa tumpukan hadiah tersebut. Tapi kini kerepotan seperti itu sudah tak perlu lagi, digantikan sistem pengurai material yang membuat hadiah bisa dikirim langsung dari perusahaan ke alamat penerima. Yang diperlukan hanyalah seorang Sinterklas untuk memastikan koordinat penerimaan barang.
Deri menggunakan Daftarnya untuk kembali berpindah ke motornya yang masih mengambang di udara di luar. Kemudian pemuda itu menaikinya dan kembali melesat ke tujuan berikutnya.
Demikianlah malam itu berlalu. Dari satu rumah ke rumah lain. Daftar alamat yang harus ia datangi seakan tak pernah habis, namun Deri yakin ia bisa menyelesaikan pekerjaannya dengan baik. Tahun ini merupakan tahun kelimanya bertugas, dan selama ini ia belum pernah gagal mengantarkan hadiah sebelum fajar terbit.
Di suatu rumah, anak kecil yang tinggal di sana ternyata masih bangun. Dengan tenang Deri mengaktifkan tabir ilusi yang akan membuatnya tampak seperti Sinterklas yang selama ini manusia yakini. Anak kecil itu tak curiga sama sekali bahwa orang yang berdiri di hadapannya sebenarnya adalah seorang pemuda tujuh belas tahun, berambut hitam pendek, berjaket dan bercelana kulit hitam, serta bersepatu bot hitam.
Anak kecil itu terlihat amat bahagia ketika menerima hadiahnya, dan tanpa Deri sadari ia sendiri juga telah tersenyum lebar. Kepuasan yang amat sangat memenuhi hatinya. Dulu ia pertama kali mendapati perasaan tersebut ketika menghadiahkan mainan pada Tobi, adik laki-lakinya. Melihat wajah ceria Tobi saat itu membuat sesuatu terpancang di hati Deri, suatu keinginan untuk terus memberi hanya agar dapat melihat kebahagiaan yang sama dengan yang adiknya perlihatkan. Sejak saat itu ia menghujani Tobi dengan berbagai macam pemberian hanya agar selalu bisa melihat wajah senangnya.
Heh, mungkin gara-gara itulah ia terpilih jadi seorang Sinterklas.
Deri telah sampai di alamat berikutnya ketika mendadak ia mengenali lingkungan tempatnya berada sekarang.
Rumah yang ia tuju adalah rumah yang tepat berada di seberang rumahnya dulu.
Mendadak Deri teringat akan Tobi. Tahun ini seharusnya adiknya itu berusia sepuluh tahun. Umur yang masih sangat mungkin menerima hadiah Natal. Apa salah satu tugasnya malam ini adalah mengantarkan hadiah pada adiknya sendiri?
Deri mengeluarkan fasilitas pencarian dan mengetikkan alamat rumahnya. Namun dengan sangat terkejut didapatinya alamat tersebut tidak termasuk dalam database pengantaran tahun ini.
Kenapa? Apa ada kesalahan? Atau jangan-jangan…
Kali ini Deri mengetikkan nama Tobi di fasilitas pencarian. Dan data yang berikutnya muncul membuatnya tersentak.
Sejak lima tahun lalu Tobi tak pernah lagi masuk dalam database anak-anak baik yang berhak menerima hadiah Natal. Adiknya itu ternyata telah melakukan keburukan demi keburukan.
Merusak barang-barang
Menolak masuk sekolah.
Memaki-maki kedua orang tua juga gurunya.
Memukuli teman-temannya.
Dan seterusnya dan seterusnya dan seterusnya.
Sinterklas seharusnya tak bisa lagi merasakan sakit, namun Deri merasakan nyeri teramat sangat menghantam dadanya. Apa yang terjadi? Kenapa Tobinya yang manis bisa jadi seperti ini?
Ia harus mencari tahu apa yang terjadi. Tapi sempatkah ia melakukannya?
Deri melirik penunjuk waktu di Daftarnya. Sudah hampir pukul tiga pagi. Fajar akan terbit pukul setengah lima.
Tak apa-apa. Pasti masih sempat. Alamat yang tersisa di Daftarnya juga tinggal sedikit.
Sebelum bimbang lagi Deri buru-buru menekan tombol dan ia pun berpindah, memasuki rumahnya.
Ruang keluarga yang sunyi menyambutnya. Kepedihan menggores hati Deri, karena ruangan itu tampak sama persis seperti yang terakhir kali ia ingat lima tahun lalu. Seakan-akan waktu di rumah itu berhenti begitu saja.
Sekali lagi Deri menekan tombol di Daftarnya dan ia pun berpindah ke kamar adiknya di lantai dua.
Di atas tempat tidur, suatu sosok terlihat meringkuk dalam selimut. Tobi sudah amat besar sekarang, sangat beda dengan lima tahun lalu. Deri mengaktifkan tabir ilusi dan mulai menggoyangkan tubuh adiknya, “Tobi, bangun.”
Anak laki-laki itu terlompat bangun. Selama sesaat matanya nyalang mengamati seisi ruangan, tangannya mencengkeram selimut.
“Jangan takut,” Deri tersenyum. “Maaf membangunkanmu, tapi aku…”
Mata Tobi memicing melihatnya. “Sinterklas?” tanyanya tak percaya.
Gelombang rasa rindu menghantam Deri ketika mendengar suara adiknya, membuat matanya mendadak berkaca-kaca. Sekuat tenaga ditahannya perasaan tersebut ketika berkata, “Ya, aku Sinterklas. Selamat Natal, Tobi.”
Kecurigaan mulai membayang di wajah anak itu. “Ayah, ya?”
“Bukan. Sudah kukatakan kan, aku Sinterklas.”
Tobi masih memandanginya lekat-lekat, kecurigaan belum hilang dari wajahnya. “Mau apa?” tanyanya kasar.
Deri hampir berjengit mendengar kekasaran suara adiknya, namun berhasil ditahannya karena saat itu ia mendengar sesuatu di balik kekasaran tersebut. Harapan. Adiknya masih berharap kalau ia akan menerima hadiah Natal malam ini.
“Tobi,” Deri duduk di tepi tempat tidur dan menatap adiknya lekat-lekat. “Aku datang malam ini untuk bertanya padamu. Kenapa kau terus-terusan melakukan hal-hal tidak baik? Kamu tahu kan hal itu akan membuatmu tak mendapatkan hadiah Natal?”
Anak laki-laki itu membuang muka, namun Deri dapat melihat kemarahan hebat berkobar di wajah Tobi. Apa yang sudah terjadi? Kenapa adiknya yang dulu sangat baik hati itu kini bisa berekspresi seperti itu?
“Kenapa kamu melakukan hal-hal tersebut? Apa yang terjadi? Ceritakan padaku. Mungkin aku…”
“Gara-gara kamu!” bentak Tobi, menyentakkan Deri. “Semua gara-gara kamu!”
“Apa?”
“Aku sudah berusaha jadi anak baik!” teriak Tobi. “Berdoa serajin mungkin. Walaupun Mama tak lagi peduli padaku. Walaupun Papa selalu sibuk kerja. Walaupun semua orang mengejekku soal meninggalnya Kakak. Tapi kamu tetap tak mengabulkan permintaanku!”
Deri menggeleng tak percaya, “Semua orang mengejekmu? Kenapa?”
Tobi mengernyit seakan kesakitan. “Mereka bilang Kakak meninggal karena kesalahannya sendiri. Karena ikut-ikutan geng motor dan ngebut ke sana kemari. Mereka bilang Kakak pantas mati!”
Deri terhenyak. Ia tak menyangka akan terjadi hal seperti itu setelah ia meninggal. Selama ini ia juga tak memantau keadaan keluarganya, sibuk dengan pekerjaan dan menganggap keluarganya telah merelakannya pergi. Tapi ternyata…
“Jadi kupukul mereka,” tubuhTobi bergetar hebat. “Aku tahu itu membuatku jadi anak nakal. Tapi apa gunanya jadi anak baik? Kamu tetap tidak mengabulkan permintaanku. Kakak tetap meninggal. Kalau begitu, sekalian saja aku jadi anak jahat!”
Tak tahan lagi, Deri memeluk adiknya erat-erat. Rasa pedih mencekik tenggorokannya, membuatnya sulit bernapas. Dalam pelukannya Tobi memberontak, namun Deri menahannya.
“Kamu ingin Kakakmu hidup lagi? Itu permintaan yang kamu kirimkan padaku selama lima tahun ini?”
Pertanyaan itu berhasil membuat Tobi berhenti memberontak. Anak laki-laki itu tak menjawab, tapi dari caranya diam Deri tahu kalau ia benar.
Pemuda itu memejam. Tuhan, apa yang harus ia lakukan? Kalaupun ingin, ia tetap tak bisa mengabulkan permintaan itu. Sinterklas tak bisa menghidupkan orang mati. Apa yang harus ia lakukan?
“Kalau kukabulkan permintaanmu, kamu mau janji jadi anak baik mulai dari sekarang?”
Masih tak ada jawaban. Masih sambil memeluk Tobi, Deri mengeluarkan Daftar dari kantongnya dan menekan satu tombol.
“Tobi, kamu mau janji jadi anak baik mulai dari sekarang?”
Terdengar tarikan napas tercekat, dan detik berikutnya Tobi menarik diri lepas dari pelukannya dan menatapnya lekat-lekat. Karena tadi Deri berucap dengan suaranya sendiri. Dan kini menghadapi adiknya itu dengan sosok aslinya, karena ia sudah mematikan tabir ilusinya.
“Kakak…?”
Deri tersenyum. “Sinterklas bilang kamu sudah jadi anak nakal, jadi Kakak datang buat menegurmu.”
Selama beberapa saat Tobi masih terpana. Namun kemudian anak laki-laki itu menabrakkan diri pada Deri dan menangis sejadi-jadinya.
Pemuda itu balas memeluknya erat-erat, air matanya sendiri tak lagi bisa ditahan. “Maafkan Kakak,” ia hanya mampu berbisik. “Maafkan Kakak.”
Selama beberapa saat mereka terus berpelukan seperti itu. Namun kemudian Deri memaksakan diri melepaskan adiknya. “Tobi, lihat Kakak.”
Adiknya itu masih terisak-isak, tapi akhirnya mengangkat wajah dan menatapnya.
“Kakak tidak bisa terus di sini bersamamu.”
Ketakutan dan kepedihan tergores di wajah Tobi dan anak itu tampak ingin menangis lagi, sehingga Deri cepat-cepat berkata. “Tapi kalau kamu janji mau jadi anak baik, Kakak akan datang lagi Natal tahun depan. Gimana? Kamu janji mau jadi anak baik?”
Detik-detik berlalu tanpa ada jawaban, namun akhirnya adiknya itu mengucap juga, “Aku… janji…”
“Bagus,” Deri mengusap kepala Tobi penuh sayang. “Walaupun Kakak tidak ada di sisimu, Kakak akan selalu mengawasimu. Kamu tidak sendirian. Ingat itu.”
Tobi mengangguk, air mata kembali mengaliri pipinya. Deri sangat ingin memeluknya lagi, tapi pemuda itu tahu kalau ia harus segera pergi. Ia masih harus menyelesaikan tugasnya.
“Sampai jumpa di Natal tahun depan, Tobi.”
Dan Deri menekan tombol yang akan membawanya kembali ke motornya di luar sana.
Angin malam menerpanya kencang. Sinterklas tidak bisa merasakan kepedihan, tapi pemuda itu berani bersumpah kalau saat itu hatinya terasa jauh lebih sakit daripada dulu sewaktu ia masih jadi manusia.
Daftarnya menunjukkan pukul setengah empat pagi. Masih ada waktu untuk menyelesaikan pekerjaannya. Namun Deri merasa tak bisa mengarahkan motornya pergi dari sana.
Mendadak terdengar teriakan, “Kakak!”
Deri tersentak. Di bawah sana sosok Tobi terlihat berlari keluar rumah. Anak itu menoleh ke kiri dan kanan, seakan mencari sesuatu. Mencari dirinya?
Seakan mendengar pikirannya, tiba-tiba kepala Tobi tertengadah ke arahnya. Dan Deri dapat melihat kalau adiknya itu tersenyum sebelum berlari lurus ke arahnya, menyeberangi jalan.
Karena terus mendongak, adiknya itu tidak melihat mobil yang melaju kencang ke arahnya.
Semuanya terjadi begitu cepat. Deri hanya mampu ternganga ketika dengan suara benturan yang amat keras tubuh Tobi terhantam bagian depan mobil, tersungkur ke bawah dan tergilas.
Teriakan terlontar dari mulut Deri. Kenapa jadi begini? Padahal seharusnya Tobi sudah bahagia sekarang, karena permintaannya telah terkabul. Kenapa? Kenapa?
Apa karena pemuda itu telah melanggar aturan dengan memperlihatkan sosok aslinya? Hanya karena itu, adiknya sekarang… sekarang…?
Tak tahan lagi, Deri menjerit sejadi-jadinya. Hatinya serasa dicabik-cabik.
Padahal seharusnya malam ini adalah malam Natal terindah bagi Tobi. Tapi karena dirinya, kini adiknya itu tak lagi bisa mengalami malam Natal.
Selama-lamanya…
***