Entry Fantasy Fiesta 2012 – Pencari Warna

Tidakkah seharusnya dunia ini tidak hanya seperti ini?

Kief memandangi foto di tangannya. Foto itu memperlihatkan selembar daun yang agak lebar. Setelah mengamatinya beberapa saat, anak laki-laki itu menempelkan foto tersebut ke halaman buku tulis yang terbuka di pangkuannya, lalu menulis di bawahnya:

21

Abu-abu muda gelap

Kemudian kembali terdiam, sebelum akhirnya menghembuskan napas keras-keras.

Sudah dua puluh satu warna yang ia temukan. Seharusnya ia senang. Itu bukan pencapaian mudah, karena ia harus mengamati setiap benda dengan teliti, dan membandingkan warnanya dengan benda yang lain. Sudah dua puluh satu warna yang berhasil ia bedakan, namun entah mengapa, bukannya merasa puas, hatinya malah terasa semakin hampa.

Kief bersandar ke batang pohon di belakangnya dan mendongak. Dari tempatnya duduk, ia dapat mengamati bulan separuh yang menggantung di langit malam. Putih, begitu kata orang-orang kala menyebut sinar bulan. Putih terang, Kief akan membantah, karena ada putih muda untuk susu yang sering ia minum, dan putih kusam untuk kaus kesukaannya.

Orang-orang akan menertawakannya. Kief si tukang mimpi, kata mereka. Ia akan menyebut bajumu sebagai hitam muda, dan celanamu sebagai hitam tua, padahal warnanya sama-sama hitam. Dasar Kief si tukang khayal. Dasar Kief si sinting!

Kief menggertakkan gigi. Tidakkah orang-orang itu sadar bahwa warna-warna itu berbeda? Walaupun sama-sama hitam, namun hitamnya berbeda. Yang satu lebih gelap daripada yang lain. Tak adakah yang memperhatikan hal tersebut, kecuali dirinya? Tidak adakah orang lain yang merasa seperti dirinya, merasa bahwa dunia ini seharusnya tidak hanya seperti ini?

Tidak hanya diwarnai oleh putih, hitam, dan abu-abu?

Lihat saja nanti. Ia akan mengumpulkan semua warna yang ada di dunia ini, dan menuliskannya ke dalam sebuah buku. Dan setelah membaca buku tersebut, orang-orang yang menertawakannya akan berhenti tertawa, begitu menyadari bahwa selama ini mereka salah. Bahwa masih ada banyak warna lain di dunia ini, tidak hanya hitam, putih, atau abu-abu.

“Buku apa itu?”

Kief terlonjak. Di belakangnya ternyata sudah berdiri seorang perempuan, yang saat itu sedang membungkuk dan mengamati isi buku tulisnya.

Anak laki-laki itu langsung menutup buku tersebut. “Bukan apa-apa.”

“Abu-abu muda gelap?” tanya wanita itu. “Apa itu?”

Kief mengenali perempuan itu sebagai salah seorang dari kelompok pengelana yang sedang singgah di kotanya untuk beristirahat dan membeli perbekalan. Kemeja abu-abu muda, celana panjang abu-abu tua, dan sepatu bot hitam yang wanita itu kenakan tampak asing di mata Kief. Ibu sering mengingatkannya untuk tidak berurusan dengan orang tak dikenal, jadi anak laki-laki itu segera bangkit dari duduknya dan bermaksud beranjak dari sana.

“Ah, aku mengerti,” mendadak wanita tersebut berkata. “Itu nama yang kamu berikan untuk warna daun itu, bukan? Apa kamu sedang berusaha mengenali warna yang berbeda-beda dari benda-benda di sekitarmu?”

Tubuh Kief membeku. Bagaimana orang asing itu bisa tahu? Selama ini tak ada satupun orang-orang kota yang mengerti apa yang Kief lakukan, kecuali jika anak laki-laki itu jelaskan. Sekarang wanita ini bisa menebaknya hanya dengan sekali lihat.

“Aku benar, bukan?” tanya perempuan itu.

Kief ingin sekali menanyakan kenapa wanita itu bisa tahu, namun yang keluar dari mulutnya adalah, “Aku tidak boleh berbicara dengan orang asing.”

Perempuan itu terdiam sejenak, kemudian tersenyum. “Kalau begitu, mari berkenalan. Aku Violet,” ia mengulurkan tangan ke arah Kief.

Tidak mau semudah itu terpengaruh senyuman wanita tersebut, Kief melangkah menjauh. “Dari mana Anda tahu?” tanyanya.

Perempuan itu menarik kembali tangannya, tapi senyumnya tetap tak memudar. “Mengenai warna itu? Karena aku juga memiliki buku yang serupa.”

Jantung Kief mendadak berdebar kencang. “Buku serupa?”

Sebagai jawabannya, Violet merogoh ke dalam sebuah tas yang ia sandang, yang sebelumnya tidak Kief sadari keberadaannya. Wanita itu mengeluarkan sebuah buku yang lebih besar dan tebal dari milik Kief, dan menyodorkannya. “Lihatlah.”

Masih ragu-ragu, namun penasaran, Kief menerima buku tersebut dan membukanya.

Dan tersentak.

Seperti buku tulisnya, buku Violet juga dihiasi berbagai macam foto di setiap halamannya, bahkan juga gambar buatan tangan. Ada foto buah, gambar kupu-kupu, foto batu, gambar bunga, dan masih banyak lagi. Kemudian mata Kief tertumbuk pada sebuah gambar daun yang serupa dengan foto yang baru saja ia tempel di bukunya sendiri. Di sebelah gambar tersebut terdapat sederetan tulisan tangan yang berbunyi:

Daun Beringin

24 Januari 2011, 09.18

Kota T, Wilayah Republik L

Warna hijau yang serupa daun kelapa, namun lebih tua warnanya (lihat hal. 32). Jika kering akan berwarna coklat, serupa daun pohon kamboja, namun lebih terang (lihat hal. 57).

“Hijau? Coklat?” tanpa sadar Kief bergumam.

“Ya, itu warna daun tersebut,” sahut Violet.

Kief menatap wanita tersebut. “Itu nama yang Anda berikan untuk warna daun tersebut?”

Violet terlihat bingung. “Nama yang kuberikan? Itu memang nama dari warna daun tersebut. Bukan aku yang memberinya.”

Rasa tersinggung mulai merayapi hati Kief. “Aku memang masih anak-anak, tapi aku tidak bodoh. Daun itu warnanya abu-abu. Tidak ada warna yang bernama hijau. Anda pasti menciptakannya.”

Sesaat Violet seperti akan berkata-kata, namun kemudian ia tampak menyadari sesuatu, dan mengurungkan niatnya. “Boleh aku tahu namamu?”

Masih kesal, Kief menggeleng.

“Baiklah, kalau kau tak mau memberi tahu, aku akan memanggilmu Pencari Warna. Nah, Pencari Warna, maukah kamu mendengar ceritaku?”

Pencari Warna? Sebutan itu seperti merasuk jauh ke dalam relung hati Kief, membuatnya tanpa sadar mengangguk.

Violet meletakkan tangan di batang pohon, matanya menelusuri tumbuhan tersebut. “Pernahkah kamu merasa bahwa dunia ini tidak hanya seperti yang terlihat oleh kita? Bahwa sesungguhnya ada sesuatu yang luput kita tangkap? Bahwa seharusnya dunia ini tidak hanya seperti ini?”

Kief terhenyak. Seharusnya dunia ini tidak hanya seperti ini. Wanita itu menyuarakan sesuatu yang sudah lama ia tanyakan dalam hati, namun tidak berani ia kemukakan pada siapa pun.

Tatapan wanita itu seolah mengisyaratkan ia mengerti apa yang sedang berkecamuk dalam kepala Kief. “Kamu ingin tahu jawabannya?”

Sebelum sepenuhnya sadar apa yang ia lakukan, anak laki-laki itu sudah mengangguk.

“Karena,” Violet memetik setangkai daun dari ranting di dekatnya. “Dunia yang sesungguhnya memang tidak hanya seperti ini. Lihatlah daun ini, Pencari Warna. Lihat baik-baik dengan hatimu, bukan dengan matamu.”

Kief tidak mengerti maksud kata-kata wanita itu, tapi diperhatikannya sungguh-sungguh daun itu.

Selama sesaat tidak terjadi apa-apa.

Kemudian daun itu berubah warna.

Kief ternganga. Daun itu betul-betul berganti warna. Sesaat warnanya tetap abu-abu muda gelap. Namun sekerjapan mata kemudian warnanya berubah menjadi sesuatu yang lain. Sesuatu yang belum pernah Kief lihat seumur hidup.

“Ini adalah warna hijau,” ucap Violet pelan. “Warna yang seharusnya dari sebuah daun.”

Jantung Kief mulai berdetak kencang. Tubuhnya gemetar tak terkendali. “Anda…” anak laki-laki itu menelan ludah. “Anda pasti melakukan sesuatu.”

“Aku tidak melakukan apa-apa,” sahut Violet. “Kamulah yang melakukan sesuatu. Kamu memutuskan untuk melihat warna yang sesungguhnya dari daun ini.”

“Anda pasti melakukan sebuah sulap,” Kief mulai melangkah mundur. “Atau melakukan sihir. Ibu pernah berkata bahwa orang asing dari daratan Barat bisa menyihir. Anda pasti menyihirku.”

“Tidak, aku…”

Tanpa mendengar lanjutannya, Kief sudah berbalik dan berlari sekuat tenaga meninggalkan tempat itu.

***

Kief ingin sekali melupakan semua yang ia alami kemarin, namun semakin ia coba, kejadian itu malah semakin terpampang jelas di depan matanya. Perubahan warna daun itu. Kata-kata Violet kepadanya.

Pernahkah kamu merasa bahwa seharusnya dunia ini tidak hanya seperti ini?

Ini adalah warna hijau, warna yang seharusnya dari sebuah daun.

Langkah membawa Kief kembali ke tempat semalam. Daun itu masih ada di sana, tergeletak di dekat akar pohon. Dan warnanya masih tetap sama seperti kemarin, warna hijau yang tampak lebih menyala dalam latar belakang dunia hitam-putih-abu-abu dalam pandangan anak laki-laki itu. Kejadian kemarin benar-benar nyata, bukan mimpi.

Kief memungut daun itu dan bergegas menghampiri orang terdekat yang ada di sekitar sana. Ketika menanyakan warna daun itu, ia mendapat jawaban, “Abu-abu! Kenapa bertanya begitu, Kief tukang mimpi? Mau menggangguku seperti kau sering mengganggu orang lain?”

Kief menggeleng dan langsung meninggalkan orang itu. Kembali ke pohon tempat ia bertemu Violet semalam. Apa yang sebenarnya terjadi? Kenapa orang lain tidak bisa melihat warna hijau itu?

“Itu karena mereka hanya melihat apa yang ingin mereka lihat.”

Kief mengangkat wajah dan menatap Violet. Wanita itu telah berdiri di dekatnya. “Apa maksudnya?” tanya anak laki-laki itu.

“Banyak manusia yang memilih untuk hanya melihat hitam, putih, dan abu-abu,” Violet mendekati pohon dan bersandar ke batangnya. “Seiring waktu, mereka menjadi lupa bahwa sebenarnya masih ada banyak warna-warna lain di dunia ini.”

“Kenapa ada manusia yang memilih seperti itu?” tanya Kief. Ia sama sekali tidak mengerti. Bagaimana bisa ada orang yang memilih untuk tidak melihat warna seperti hijau daun di tangannya itu? Warna yang begitu indah, yang begitu memberikan kesan damai?

“Manusia memiliki alasannya masing-masing,” hanya itu jawaban Violet.

Kief memandangi wanita itu. “Anda berkata masih ada warna-warna lain di dunia ini?”

“Ya.”

“Warna lain selain hijau?”

“Tentu saja,” Violet tersenyum. “Dunia ini begitu penuh warna sampai-sampai kamu tidak akan bosan memandanginya.”

“Bisakah aku…,” Kief menelan ludah. Tenggorokannya mendadak terasa kering. “Bisakah aku melihatnya juga?”

Senyum Violet menghilang. Wanita itu menatap Kief tajam ketika bertanya, “Kamu sungguh-sungguh ingin melihatnya?”

Sejenak Kief ragu. Ada sesuatu pada nada suara perempuan itu yang membuat rasa sangsi menyelinap ke dalam hatinya. Namun ditepisnya rasa itu jauh-jauh. “Ya.”

“Bahkan jika prosesnya akan sangat sulit dan menyakitkan?”

“Ya.”

“Bahkan jika hal itu akan mengubah duniamu selamanya?”

“Ya!” sahut Kief. “Apa pun yang terjadi, apa pun yang harus kulakukan, aku ingin melihatnya!”

“Baiklah,” kata Violet. “Bisakah kamu ikut pergi bersamaku dan teman-temanku?”

Sejenak Kief ragu. “Ke mana?”

“Suatu tempat di mana kamu bisa melihat warna sesungguhnya dari dunia ini. Tidak jauh, hanya berjarak satu hari perjalanan. Kita akan kembali tiga hari lagi.”

Sebenarnya Ibu pasti melarangnya pergi bersama orang-orang asing, namun Kief telah memantapkan hatinya. “Aku akan pergi.”

Violet tersenyum. “Baiklah, kita bertemu lagi di tempat ini besok pagi-pagi sekali. Sampai jumpa, Pencari Warna.”

Wanita itu sudah akan beranjak pergi ketika Kief mengucap, “Kief.”

Violet menghentikan langkahnya dan menatap anak laki-laki itu dengan pandangan bertanya.

“Itu namaku. Kief.”

Violet tersenyum mendengarnya, dan kembali meneruskan langkahnya.

***

Keesokannya, di pagi hari yang masih amat dingin, Kief telah berangkat bersama Violet dan keempat temannya yang lain. Sebelum pergi, anak laki-laki itu telah beralasan akan menginap bersama teman. Bukan kebohongan, namun juga bukan kebenaran seutuhnya. Ibu sempat menatapnya curiga, namun akhirnya mengizinkan.

Sepanjang perjalanan, Kief mengamati orang-orang yang satu kendaraan dengannya. Violet sempat mengenalkannya kepada teman-temannya, tiga pria dan satu wanita. Jingga, Azur, dan Perak, itu nama-nama ketiga laki-laki tersebut. Si wanita bernama Magenta. Nama-nama yang aneh, sama anehnya dengan nama Violet.

Setelah berkendara selama setengah hari, mereka sampai di daerah pegunungan. Kief sempat kaget ketika mengetahui mereka akan mulai mendaki gunung tersebut. Anak laki-laki itu sama sekali tidak membawa perlengkapan apa pun, hanya baju seadanya. Untunglah Violet dan teman-temannya telah menyiapkan satu ransel khusus yang penuh dengan berbagai macam perlengkapan untuk Kief.

Pendakian pun dimulai. Kief berjalan di tengah, diapit Violet dan teman-temannya. Perjalanan itu seharusnya menjadi pengalaman yang sangat mengasyikkan bagi Kief, karena ia tak pernah mendaki gunung sebelumnya. Namun hatinya dipenuhi berbagai macam pertanyaan mengenai apa yang akan Violet tunjukkan padanya, membuat Kief tidak dapat menikmati pemandangan yang terhampar di sekelilingnya.

Sepanjang perjalanan mereka berhenti beberapa kali untuk beristirahat. Setiap kali berhenti, Kief akan menahan napas, bersiap-siap mengalami sesuatu. Namun selalu tak terjadi apa-apa. Selesai beristirahat, mereka akan kembali berjalan, membuat kekecewaan menerpa Kief.

Malam hari telah menjelang ketika akhirnya mereka mencapai sebuah tempat terbuka yang berada tinggi di puncak gunung. Angin menghempas Kief tanpa ampun, dan anak laki-laki itu mulai gemetar kedinginan. Namun ketika Violet menyatakan bahwa mereka sudah sampai di tujuan, semangat Kief langsung membara dan rasa dingin di tubuhnya langsung terlupakan. Ia yakin sekarang ia akan bisa melihat warna sesungguhnya dari dunia ini. Namun di luar dugaannya, Violet malah menyuruhnya beristirahat.

“Tapi…!” Kief mencoba memprotes.

“Besok kamu akan bisa melihat dunia yang sesungguhnya. Tapi tidak sekarang,” balas Violet tegas. “Sekarang kamu harus tidur. Kita akan mulai pagi-pagi sekali.”

Tidak punya pilihan lain, Kief masuk ke salah satu tenda yang sudah disiapkan. Ia mencoba memejamkan mata, namun karena terlalu berdebar-debar, akhirnya Kief hanya bisa berguling-guling gelisah. Rasanya ia belum tertidur sama sekali ketika Violet membangunkannya.

“Ini saatnya,” kata wanita itu.

Lelah, namun benar-benar penasaran, Kief mengikutinya. Di luar, teman-teman Violet telah berdiri tegak menunggu. Cahaya api unggun menyinari senyuman mereka, penuh dukungan.

Violet membawa Kief ke pinggir tempat terbuka tersebut. Karena sampai di malam hari, anak laki-laki itu tidak menyadari bahwa tempat itu ternyata berada di tepi tebing. Di hadapannya terbentang pemandangan lembah yang amat luas, yang terlihat indah bahkan dalam keremangan cahaya fajar.

Violet memposisikan dirinya di belakang Kief dan menaruh kedua tangan di bahu anak laki-laki itu. “Ketika matahari terbit, tataplah ia baik-baik,” kata wanita itu. “Sama seperti waktu itu, lihatlah dengan hatimu, bukan dengan matamu. Jangan sekalipun melepaskan pandangan darinya. Matahari akan menjadi pembuka pandanganmu menuju dunia yang sesungguhnya.”

Dengan jantung berdetak keras, Kief menatap jauh ke kaki langit, meneguhkan hatinya. Langit mulai berubah warna, dari hitam ke abu-abu lalu ke putih, namun tetap tidak terjadi apa pun. Tidak ada yang berubah.

Lalu matahari terbit, dan sinarnya yang amat menyilaukan menusuk mata Kief.

Anak laki-laki itu berteriak kaget, namun remasan Violet di bahunya berhasil mencegahnya memalingkan wajah. Entah mengapa, cahaya matahari terasa lebih kuat dari biasanya, namun Kief memaksa matanya tidak berkedip. Matahari terus merangkak naik, dan seiring detik-detik yang menyakitkan tersebut pandangan anak laki-laki itu terasa semakin perih, seolah-olah matahari membakar matanya. Tapi Kief bertahan, menggertakkan gigi dan terus menatap bola cahaya menyilaukan itu.

Ketika akhirnya matahari telah menggantung bulat sempurna di langit putih, tangan Violet menutup kedua mata Kief, dan anak laki-laki itu membiarkan dirinya terjatuh ke dalam kegelapan.

***

Kief tersadar dalam kegelapan. Sesuatu yang dingin menutupi matanya. Anak laki-laki itu baru akan menyingkirkan benda itu ketika tangan seseorang menghentikannya, dan terdengar suara Violet. “Pelan-pelan. Kamu baru saja sadar.”

“Apa…” Kief menelan ludah. “Apa aku sudah buta?”

Sejenak tak ada jawaban, kemudian suara wanita itu kembali terdengar. “Mari kita lihat.”

Dengan dibantu Violet, Kief bangkit dari tempatnya berbaring. Penghalang di matanya sudah dilepaskan, namun atas perintah wanita itu, Kief tetap menutup matanya. Violet menuntunnya ke suatu tempat, kemudian kembali berdiri di belakangnya, menggenggam bahunya sebelum berkata, “Bukalah matamu. Perlahan-lahan saja.”

Untuk apa membuka mata, kalau ternyata ia sudah buta? Namun Kief menurutinya, dan mulai membuka kedua matanya.

Dan tersentak.

Yang pertama terlintas dalam benaknya adalah ternyata ia masih bisa melihat.

Dan yang kedua, adalah warna.

Warna, warna, warna di mana-mana! Di pepohonan, di pegunungan, di langit. Bukan lagi hitam, putih, atau abu-abu, namun sesuatu yang lain sama sekali. Warna-warna yang belum pernah ia lihat seumur hidupnya.

Ilustrasi oleh Rama Indra

Ilustrasi oleh Rama Indra

Kebahagiaan luar biasa menerpa Kief, membuatnya tertawa gembira. Ternyata selama ini ia benar! Dunia ini tidak hanya seperti ini, tidak hanya terdiri dari hitam, putih, dan abu-abu.

Violet memeluknya dari belakang. “Selamat datang, Pencari Warna,” katanya hangat. “Sekarang kau salah satu dari kami.”

Jingga, Azur, Perak, dan Magenta bergantian memeluknya. Dengan keterkejutan baru Kief menyadari bahwa pakaian yang mereka kenakan sangat beraneka warna, tak ada satu pun yang sama.

“Kami mengenakan baju yang sesuai dengan nama kami,” kata Violet. “Saat seorang Pencari Warna akhirnya menemukan warna dunia yang sesunggungnya, kami akan menghadiahkan sebuah nama baru kepadanya. Sebuah nama yang akan mencerminkan warna yang paling ia sukai. Nah, Kief, apa warna kesukaanmu?”

Kief menatap sekelilingnya. Ada begitu banyak warna di sekitarnya. Semuanya tampak sangat indah, namun sejak awal hanya satu yang menarik perhatiannya. Kief menunjuk ke arah pepohonan dan berkata, “Warna daun.”

Violet mengangguk, “Kalau begitu, kami akan menghadiahimu sebuah nama yang mencerminkan kedamaian, tetapi juga tekad kuat. Hijau. Itulah namamu sekarang.”

***

Dalam perjalanan pulang, tak henti-hentinya Kief menanyakan semua warna yang ia lihat. Dengan sabar Violet dan teman-temannya menjawab semua pertanyaannya, mengajarkan merah, kuning, biru, dan masih banyak warna lagi kepadanya.

Di suatu titik perjalanan, Violet menatap Kief dalam-dalam dan bertanya, “Maukah kau ikut berkelana bersama kami?”

Anak laki-laki itu terperangah. “Apa?”

“Kami bepergian untuk mencatat semua warna yang ada di dunia ini,” ucap Violet. “Kalau kau bersedia, kau bisa ikut. Akan selalu ada tempat untukmu.”

Kief menggeleng. “Untuk apa? Aku sudah memiliki tempat sendiri. Di rumahku. Di kotaku.”

Violet tidak menjawab. Namun matanya seakan mengucapkan berbagai kata tak terucapkan.

***

Sesampainya di rumah, Kief langsung mendatangi ibunya. “Lihat, Bu!” dengan gembira anak laki-laki menunjukkan beberapa batu berwarna-warni yang sengaja ia bawa dari pegunungan. “Ternyata aku benar. Dunia ini tidak hanya berwarna hitam, putih, dan abu-abu. Masih ada banyak warna yang lain! Lihat, Bu. Lihatlah dengan hati Ibu, bukan dengan mata. Ibu juga pasti bisa melihatnya, sepertiku!”

Ibu tersenyum kepadanya, namun tanpa melihat batu-batuan itu berkata, “Ya, Ibu bisa melihatnya.”

Mendadak jantung anak laki-laki itu seakan dicengkeram sesuatu. “Ibu tak percaya padaku.”

“Ibu percaya padamu. Ibu melihat batu-batu yang berwarna-warni. Putih, hitam, dan abu-abu.”

“Bukan!” seru Kief. “Warna-warna batu ini bukan itu. Mengapa Ibu tidak bisa melihatnya?”

“Kenapa Ibu harus melihat warna lain?”

Pertanyaan itu membuat Kief terdiam. “Karena… karena dunia ini seharusnya tidak seperti ini. Dunia ini seharusnya lebih dipenuhi warna. Puluhan, bahkan ratusan warna berbeda!”

“Kalau seperti itu, bukankah dunia ini akan menjadi dunia yang sulit dimengerti?”

Kief terperangah. “Maksud Ibu?”

“Bukankah lebih menyenangkan jika dunia ini mudah dimengerti?” kata Ibu tenang. “Tiga warna tentu saja lebih mudah dipahami daripada seratus warna. Ibu malah lebih memilih dunia ini hanya terdiri dari hitam dan putih. Dengan begitu, segala sesuatunya akan semakin mudah dipahami.”

Kief terdiam, tak tahu harus berkata apa. Kata-kata Violet dulu terngiang kembali di kepalanya.

Manusia memilih untuk hanya melihat hitam, putih, dan abu-abu.

Mereka memiliki alasannya masing-masing.

Dan inilah alasan ibunya.

***

Seminggu kemudian, Kief menemui Violet dan teman-temannya yang sedang berkemas. Mereka akan segera melanjutkan perjalanan.

Violet menatapnya dalam-dalam. “Jadi, apakah keputusanmu?”

Keputusannya? Tetap tinggal di kota yang hanya ingin melihat hitam, putih, dan abu-abu?

Atau pergi bersama orang-orang yang mengerti dirinya, yang mengerti tekadnya untuk melihat warna dunia yang sesungguhnya?

Pilihan yang mudah, sebenarnya.

Kief membuka mulut, dan menjawab. “Aku akan tetap tinggal di sini.”

Violet menatapnya. “Walaupun tidak ada satu pun yang mau melihat dunia ini sepertimu?”

Anak laki-laki itu mengangguk. “Aku akan terus berusaha membuka hati mereka. Aku tidak akan menyerah sampai mereka bisa melihat warna dunia yang sesungguhnya.”

Violet diam sejenak, lalu tersenyum. “Kami mengerti. Kau sungguh mencerminkan namamu, Hijau. Tegarlah, seperti tumbuhan yang berwarna sama denganmu. Sampai jumpa lagi, Pencari Warna.”

Kief mengantar kepergian mereka dengan senyuman. Ya, ia akan menunjukkan kepada semua orang bahwa dunia ini tidak hanya seperti ini.

Bahwa, walaupun sulit dimengerti, dunia yang berwarna-warni jauh lebih indah daripada dunia hitam, putih, dan abu-abu.

***

Category(s): Fantasy Fiesta

3 Responses to Entry Fantasy Fiesta 2012 – Pencari Warna

  1. Eh… Jadi entry FF kemaren ini tulisannya DPK? :O

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

 

You may use these HTML tags and attributes: <a href="" title=""> <abbr title=""> <acronym title=""> <b> <blockquote cite=""> <cite> <code> <del datetime=""> <em> <i> <q cite=""> <s> <strike> <strong>