Melinda menatap orang-orang di hadapannya dengan kecurigaan yang semakin bertambah seiring menit yang berlalu. Memandangi Nadine yang sedang duduk di sofa. Wajahnya amat pucat, dan lingkaran hitam membayangi mata gadis itu, seolah sudah berminggu-minggu ia kurang tidur. Di sebelah kanannya duduk Reinald, pemuda yang menyebut dirinya sebagai pacar Nadine, walaupun Melinda tidak yakin itu benar. Dan di sebelah kiri Nadine berdiri makhluk mengerikan yang disebut-sebut sebagai urnduit. Siapa nama sosok itu? Gafta, atau Kaka, atau semacam itulah. Sejak pertama kali melihatnya, Melinda sudah merasa takut pada monster itu. Sampai sekarang ia tak habis pikir, kenapa Nadine mau menjadikan makhluk itu anak buahnya.
”Terima kasih sudah mau datang malam-malam begini, Mel, Ndra,” Nadine membuka pembicaraan.
”Ada apa sih, Na?” sebenarnya Melinda merasa kesal pada gadis itu. Ia ingin mengomeli Nadine, mengatakan bahwa gadis itu tak punya hak untuk memerintahkannya datang, apalagi semalam ini! Tapi disembunyikannya kemarahan itu baik-baik. Ia tak ingin membuat sang algojo marah. Semenjak insiden dengan Ronny, ia sudah merasa sangat takut pada gadis itu. ”Apa ada hubungannya dengan Lex? Kamu sudah berhasil menyelamatkannya?”
Sejenak Nadine terlihat ragu, tampak jelas merasa gelisah. Aneh. Tidak biasanya Nadine bersikap seperti itu, seolah tak tahu harus menjawab apa. Biasanya gadis itu selalu menguarkan kepercayaan diri yang besar, seakan selalu tahu harus bertindak apa. Selalu siap mengantisipasi keadaan apa pun.
Tangan Reinald terulur dan meraih tangan Nadine, menggenggamnya. Pemuda itu tersenyum, dan gadis itu menoleh, lalu membalas senyumannya. Kerutan di kening Melinda bertambah dalam. Nadine, tersenyum? Nadine, membiarkan tangannya diremas pemuda lain? Mungkin akhirnya gadis itu sadar bahwa dirinya adalah seorang – yah – gadis. Atau Reinald memang adalah pacarnya. Atau sedang terjadi sesuatu yang sangat aneh di sini.
Nadine kembali menatapnya, lalu memandang Indra. Tanpa sadar Melinda mencengkeram lututnya sendiri. Mata itu. Mata Nadine yang sebelah kiri kini berwarna biru cerah, sangat kontras dengan mata kanannya yang hitam.
Mata biru. Felledia.
Sebuah gambar mendadak melintas di kepalanya. Salah satu lukisan yang terpajang di galeri grae-nya. Gambaran masa depan yang baru muncul malam ini, tepat sebelum Nadine menelepon. Penglihatan masa depan yang menampakkan sepasang mata biru jernih. Mata biru yang mengalirkan air mata darah, sepekat warna merah yang menjadi latar belakangnya. Mata biru yang menatap kosong, sementara tubuh pemiliknya terbujur kaku di tanah. Mungkinkah? Mungkinkah…?
”Kurasa… Lex baik-baik saja,” ada sesuatu pada nada suara Nadine ketika ia menyebut nama pemuda itu. ”Aku memanggil kalian malam ini juga karena aku diburu waktu. Ada sesuatu yang telah terjadi, dan aku… aku…” sejenak Nadine terdiam, seperti kehilangan kata-kata. ”Ah, lebih baik kuceritakan dari awal. Semuanya.”
Kemudian gadis itu mulai bertutur, dan Melinda merasakan bulu kuduknya meremang seiring penjelasan tersebut. Tentang Enfir Alle. Tentang Ladare Lide dan Sonara Lide. Dan Galazentria di tengah-tengahnya. Serta kepergian anggota Ildarrald Daevar, kecuali ia, Indra, Lex, dan Lili, ke sana.
Lalu tentang pertempuran tanpa akhir. Tentang kesimpulan Aryo mengenai mengapa banyak makhluk yang menyerang Enfir Alle. Dan rencana pemuda itu menggunakan artefak yang bernama Bola Varre untuk menyatukan kedua dimensi tersebut.
Tentang kaburnya Nadine dari Galazentria, membawa serta Bola Varre bersamanya. Tentang bagaimana gadis itu melarikan diri dari satu dimensi ke dimensi lain. Tentang bagaimana gadis itu berpura-pura mati. Tentang Bola Varre yang akhirnya dititipkan pada urnduit yang tinggal di Alleterre. Dan tentang Nadine yang akhirnya kembali ke Bandung.
Lalu yang mengejutkan, tentang siasat Lex yang berpura-pura tertangkap. Tentang Nadine yang tertipu sampai menghabisi satu perkumpulan sihir sendirian. Tentang taktik Lili merebut Bola Varre dari tangan gadis itu. Dan tentang Lili dan Lex yang telah kembali ke Galazentria untuk mengembalikan artefak itu pada Aryo.
”Karena itulah, kita harus menghentikan Lex dan Lili,” jelas Nadine. ”Kita harus mencegah Bola Varre jatuh lagi ke tangan Aryo. Untuk itu aku butuh bantuan kalian.” Bola mata berwarna biru dan hitam itu kembali menyapu ia dan Indra, kali ini dengan ketegasan yang tak ada sebelumnya. ”Lili dan Lex sudah pergi tadi siang. Itu berarti kira-kira satu hari sudah berlalu di Enfir Alle. Kita tidak bisa buang-buang waktu lagi. Kita harus menyusul mereka secepatnya, besok kalau bisa. Tapi asal kalian tahu, Enfir Alle itu tempat yang tidak seaman bumi. Dan sekali kita ke sana, ada kemungkinan kita tidak bisa kembali lagi ke sini. Makanya, sekarang terserah kalian. Aku tahu kalian takut padaku. Aku tahu kalian benci padaku,” ada nada pahit dalam suara gadis itu. ”Tapi kuminta, tolong bantu aku menghentikan Lili dan Lex. Kumohon.”
Melinda terkesima. Butuh waktu untuk menyerap semua penjelasan tersebut. Lili dan Lex berbohong? Semua itu hanyalah pura-pura? Lalu bagaimana dengan pertemuan-pertemuan yang sering mereka lakukan? Hari demi hari yang mereka habiskan dalam mengatur strategi untuk melindungi Bandung sepeninggal Aryo dan yang lainnya? Apa itu semua juga hanya kebohongan?
Sejenak kemarahan bercampur aduk dengan ironi dan kesedihan dalam hati Melinda. Marah pada Lex dan Lili, yang sudah begitu tega menipunya. Tapi gadis itu juga ingin tertawa, karena lagi-lagi instingnya benar. Insting untuk tak mempercayai siapa pun di Ildarrald Daevar, bahkan Indra sekalipun. Tapi gadis itu juga ingin menangis, karena sebenarnya ia ingin bisa mempercayai rekan-rekannya itu. Ia ingin bisa, sekali saja, menganggap bahwa mereka hanyalah apa yang mereka tunjukkan padanya. Bukanlah orang yang penuh tipu muslihat atau agenda tersembunyi. Bukan orang yang tersenyum padanya, namun akan menusuknya begitu ia membalikkan badan.
Tapi lagi-lagi instingnya benar, jadi Melinda tak punya pilihan lain selain menyingkir. Ia sudah lelah dimanfaatkan, sudah capai hanya jadi alat yang digunakan untuk melihat masa depan.
Gadis itu membuka mulut untuk menolak permintaan Nadine, dan mendadak mengurungkan niat. Nadine sedang menatapnya dengan pandangan mata yang lurus. Itu bukan mata seseorang yang berbohong. Atau seseorang yang menyembunyikan sesuatu. Itu adalah tatapan seseorang yang berkata jujur.
“Kita memang keduluan selangkah dari Lex dan Lili,” tiba-tiba Reinald angkat suara. “Tapi kalau kita bergerak cepat, kita masih bisa mengejar mereka.”
Melinda ternganga mendengarnya. Kenapa tiba-tiba pemuda itu mengambil alih situasi? Dan apa katanya? Kita? Memangnya dia akan ikut juga ke Galazentria?
Seolah membaca pikirannya, Nadine berkomentar pelan, ”Sebenarnya yang mengusulkan ide ini Rei. Dan dia, juga Gakka, memang akan ikut dengan kita.”
Melinda semakin terperangah. Di sebelahnya Indra juga terpana. Apa-apaan cowok yang satu ini? “Kamu sadar tidak sih apa yang kamu bicarakan?” sergah Melinda pada Reinald. “Kamu mengerti tidak sih tempat seperti apa Galazentria itu sebenarnya?”
“Aku tahu,” jawab pemuda itu tenang. “Galazentria itu daerah kekuasaan Aryo. Tempat ratusan atau bahkan ribuan prajuritnya siap menghadang kita.”
Nah, itu kamu mengerti! “Yang berarti kita sama saja bunuh diri kalau pergi ke sana!”
“Belum tentu,” sahut Reinald. “Percayalah, kita masih bisa merebut Bola Varre lagi, tanpa harus berhadapan dengan Aryo. Kita bukannya tidak punya keunggulan di sisi kita juga, lho.”
Melinda menggeleng tak percaya. Sombong sekali pemuda itu. Apa yang membuatnya bisa berhalusinasi seperti itu, ya?
“Keunggulan apa, Kang?” tanya Indra.
“Yang pertama, Lili dan Lex tidak tahu tempat seperti apa Galazentria itu sebenarnya,” jelas Reinald. “Dari yang kudengar dari Nadine, aliran grae di sana tidak sestabil di sini. Untuk beradaptasi di sana tidaklah semudah yang kita bayangkan. Jadi ada kemungkinan Lex dan Lili akan terhambat oleh masalah ini.”
“Aku juga tahu situasi di Galazentria, Kang,” kata Indra. Pastinya, pikir Melinda, karena tidak ada yang lebih banyak membaca buku-buku kuno daripada Indra. Kalau ada yang paling tahu mengenai masa ketika para grasth menguasai bumi ini, masa yang disebut-sebut sebagai masa Bumi Kuno, Indra lah orangnya. Selain Aryo, mungkin. “Bukankah itu juga kerugian bagi kita, ya? Kita kan juga terpengaruh oleh grae? Selain Teh Nadine, yang memang sudah terbiasa dengan keadaan di sana?”
Reinald tersenyum. “Tidak salah, tapi tidak tepat juga. Karena di antara kita, ada yang tidak terpengaruh oleh grae. Aku dan Gakka.”
Melinda mengerutkan kening. “Bukannya kamu grasth juga? Kamu murid Nadine, kan? Atau kamu memang berbohong?”
“Aku memang muridnya Nadine, tapi aku bukan grasth,” pemuda itu menyeringai. “Tapi aku tidak berbohong, lho. Aku tidak pernah sekalipun menyebut diriku grasth. Kalian saja yang menarik kesimpulan seperti itu.”
Melinda menahan kekesalannya. “Jadi, kamu ini siapa sebenarnya? Kenapa Nadine mau menjadikanmu muridnya? Lagipula, kenapa kamu katakan makhluk itu tidak terpengaruh oleh grae?”
-Itu benar,- sebuah suara mendadak bergema di dalam kepala Melinda, membuatnya menjerit kaget. Ada apa ini? Siapa yang berbicara?
“Tidak apa-apa, itu Gakka,” sahut Nadine. “Aku juga kaget waktu pertama kali mendengarnya. Tapi sebentar lagi kalian juga pasti terbiasa.”
Jadi monster itu yang berbicara? Kengerian Melinda atas makhluk itu semakin menjadi. Bagaimana tidak, monster itu bisa memasuki kepalanya!
Di sebelahnya, Indra juga tampak ketakutan. Namun keingintahuan juga tersirat di wajah pemuda itu, membuat Melinda ingin menggetok kepalanya. Indra memang selalu tidak bisa menahan diri jika menemukan hal baru. Semengerikan apa pun hal tersebut.
-Maaf mengagetkan kalian, Melinda Daevar, Indra Daevar,- suara Gakka kembali bergema di dalam kepala Melinda. -Namun apa yang dikatakan Rei vathek benar. Kami urnduit kebal terhadap grae. Grae tidak punya pengaruh apa-apa pada kami.-
Melinda meringis. Monster itu tidak mempan grae! Bagaimana mereka bisa mengalahkan makhluk itu, jika suatu saat ia berbalik menyerang mereka? Kenapa Nadine masih mau bersama monster semengerikan itu, sih?
“Oke, itu satu,” sela Reinald. “Keuntungan kedua, kita punya Nadine yang sudah mengenal baik daerah sana. Nadine pasti sudah lebih tahu setiap jalan di Galazentria, setiap bangunannya, daripada Lili dan Lex. Jadi kita bisa mencari jalan untuk mencegat mereka sebelum mereka sampai ke Aryo.”
Hal itu lebih mudah diucapkan daripada dilakukan, tahu! batin Melinda. Namun mau tak mau ia mengakui kebenaran perkataan Reinald. Apa yang pemuda itu sampaikan memang masuk akal.
“Yang ketiga,” lanjut pemuda itu. “Kita punya senjata rahasia.”
Kening Melinda berkerut. Senjata rahasia? Apa maksudnya?
”Rei bisa membuat barang-barang,” sahut Nadine. “Dia bisa mengaktifkan benda-benda menjadi artefak.”
Mendengarnya, mata Indra mendadak berkilat penuh rasa ingin tahu. Melinda sendiri merasa ingin mengerutkan kening lagi. “Maksudnya?” tanya gadis itu.
Nadine sudah akan menjawab ketika Reinald menggenggam tangannya. “Biar aku yang menjelaskan, Sayang.”
Pemuda itu memandangi Melinda dan Indra dengan senyum terkembang. Sesaat kemudian, tanpa peringatan apa pun, gumpalan asap muncul di ruangan tersebut, bergulung dan menebal. Asap itu kemudian mewujud menjadi sebilah pedang yang berputar di udara. Senjata tajam tersebut kemudian bergerak, melesat mengitari ruangan, meliuk-liuk bagaikan hidup, sebelum akhirnya lenyap dalam jejak-jejak kabut keruh.
Melinda melongo sejadi-jadinya. Apa itu tadi? Pedang yang bisa bergerak sendiri? Yang bisa muncul dan menghilang begitu saja?
“Itu… pedang Teh Nadine dulu?” suara Indra terdengar penuh kekagetan sekaligus rasa penasaran.
“Iya, Ndra, itu Seise Felliri,” jawab Nadine. “Kalian masih ingat kan, kalau pedang itu dulu sudah dinonaktifkan? Rei berhasil menghidupkan kembali pedang itu dengan kemampuannya, dan sekarang Seise Felliri jadi miliknya. Rei juga sudah banyak membantuku di pertempuran, jadi aku tahu persis kalau dia bisa kita andalkan.”
Seise Felliri? Melinda tahu mengenai pedang itu. Walaupun Nadine tak lagi menggunakannya, senjata tersebut tetap menjadi benda kesayangan gadis itu. Tak pernah sekali pun Nadine jauh-jauh dari senjata tajam tersebut. Sekarang, gadis itu menyerahkan Seise Felliri kepada orang lain? Secara sukarela? Bahkan dengan nada bangga tersirat dalam suaranya? Ini gila!
Di sebelahnya, mendadak Indra terduduk tegak. Pemuda itu menatap Reinald lekat-lekat. ”Master Artefak,” ucapnya. ”Akang ini Master Artefak, ya?”
”Aku lebih memilih dipanggil Artefaktor,” Reinald menyeringai. ”Tapi sepertinya kamu tahu kemampuanku?”
Indra mengangguk. ”Literatur yang menyinggung tentang Master Artefak – salah, Artefaktor? – itu sebenarnya ada banyak, tapi tak satu pun dari tulisan itu yang membahas apa Artefaktor itu sebenarnya. Siapa mereka, dari mana kemampuan mereka berasal, apa yang sebenarnya mereka lakukan? Tidak ada satu pun petunjuk mengenai hal itu. Tadinya kukira Artefaktor itu hanya sebutan bagi pembuat barang. Benda-benda yang mereka buat, yang katanya punya kemampuan ajaib, kukira hanyalah fakta yang dibesar-besarkan saja. Atau Artefaktor sebenarnya hanya grasth, yang tidak ada bedanya denganku atau anggota Ildarrald Daevar lainnya. Tapi ternyata Artefaktor benar-benar ada,” pemuda itu menatap Reinald dengan kekaguman baru. ”Boleh tidak… boleh tidak kalau aku bertanya-tanya sedikit soal kemampuan Akang? Kalau memang kemampuan Artefaktor itu ilmu yang sangat dirahasiakan, aku janji tidak akan membocorkannya pada siapa pun. Aku hanya… aku hanya ingin tahu…”
Reinald tertawa mendengarnya. ”Tidak masalah. Kalau semua ini sudah selesai, kamu boleh menanyaiku siang malam sampai kamu puas. Tidak ada yang perlu kurahasiakan dari kemampuanku, kok.”
Indra berseri-seri mendengarnya, membuat Melinda jadi ingin meneriaki pemuda itu. Indra itu terlalu polos! Akibatnya pemuda itu bisa jatuh begitu saja ke dalam pesona Reinald. Tapi tidak dirinya. Ia tidak akan terbuai oleh kata-kata pemuda itu. Tidak akan!
”Ndra, kamu pernah memberi tahu Aryo mengenai Master Artefak ini?” mendadak Nadine bertanya. Kekhawatiran terdengar kental dalam nada suaranya.
Indra menatapnya. ”Teh Nadine, tidak semua yang aku tahu teh aku beri tahu ke Kang Aryo. Lagipula, kalaupun Kang Aryo tahu, paling-paling dia menarik kesimpulan yang sama denganku.”
Nadine terlihat amat lega mendengarnya. ”Oh, syukurlah kalau begitu.” Kemudian wajahnya kembali serius. “Nah, kalian sudah dengar sendiri apa yang Rei katakan. Kita masih punya kesempatan untuk menghentikan Lili dan Lex. Tapi semuanya kembali ke kalian lagi. Kalian boleh menolak, kok. Bagaimanapun juga, nyawa kalian yang jadi taruhannya. Tapi aku tidak akan segan-segan berkata kalau aku butuh bantuan kalian untuk menghalangi Aryo, dan aku akan memohon berulang kali jika perlu.”
Melinda tak tahu harus berkata apa. Nadine telah berubah. Dulu gadis itu benar-benar terlihat seperti ratu es; keras, dingin, dengan isi hati tak terbaca sama sekali. Sekarang, walaupun kekerasan hati itu masih tergambar di wajahnya, raut mukanya bukan lagi ketegasan yang kejam dan beku, melainkan kemantapan hati yang lebih lembut. Seolah-olah wajahnya selama ini ternyata adalah topeng es, yang kini mencair dan menampakkan muka asli gadis itu di bawahnya. Walaupun matanya kini berbeda warna, Nadine malah tampak lebih manusiawi dibandingkan dulu, saat kedua matanya masih sama-sama berwarna hitam.
Apa yang membuat gadis itu berubah? Pelariannya dari Galazentria? Terlepasnya ia dari pengaruh Aryo? Atau tekanan batinnya karena terus dikejar-kejar selama berbulan-bulan? Apa?
Di hadapannya, Nadine terus memandanginya, seolah mencoba membaca perubahan raut wajahnya. Kecemasan tersirat di muka gadis itu. Kemudian Reinald melingkarkan lengan di bahu gadis itu, lalu menepuk-nepuknya, menenangkannya. Nadine menoleh pada pemuda itu dan tersenyum.
Tiba-tiba saja semuanya jadi jelas bagi Melinda. Oh, gara-gara cowok itu, toh.
”Aku ikut,” sahut Indra tiba-tiba.
Melinda ternganga. Ia sama sekali tak menyangka ucapan itu akan keluar dari mulut pemuda tersebut. Sepanjang yang ia tahu, Indra sangat membenci Nadine, walaupun pemuda itu tak pernah menunjukkannya. Indra sangat mengagumi Ronny, dan karenanya sangat dendam pada Nadine yang mencabut nyawa pemuda itu.
Di hadapannya, Nadine juga terlihat sama terperanjatnya. Sepertinya gadis itu mengira Indra akan menolak permohonannya. Setelah berhasil mengendalikan kekagetannya, barulah Nadine tersenyum. ”Terima kasih, Ndra.”
”Tapi jangan salah sangka, Teh,” ucapan tajam Indra membuat senyum Nadine menghilang. ”Aku ikut bukan untuk membantu Teteh. Aku ikut untuk menghentikan Kang Aryo. Untuk mencegah rencananya jadi kenyataan. Aku masih belum memaafkan Teteh atas tindakan Teteh dulu. Ingat itu.”
Untuk sesaat Nadine tidak berkata apa-apa. Matanya masih memandangi tatapan Indra yang penuh emosi. Kemudian gadis itu menyahut, ”Pasti kuingat. Tapi tetap saja, terima kasih, Ndra.” Senyuman yang mengiringi kata-kata itu terlihat tulus, namun kepedihan terpancar dari mata Nadine. Wajah Indra tidak berubah melihatnya, tapi pemuda itu beringsut sedikit di tempat duduknya.
Melinda menutup mata gemas. Jadi sekarang terserah padanya? Dasar Indra pengkhianat! Tadinya ia berharap pemuda itu akan menolak, sehingga ia juga bisa menolak permintaan tersebut. Tapi ternyata Indra malah setuju untuk membantu Nadine. Sial!
Apa yang harus ia lakukan? Mendengar cerita Nadine membuat perutnya dililit kengerian. Pergi ke dunia lain saja, tanpa ada kepastian untuk bisa kembali lagi, sudah terlalu menakutkan baginya. Apa yang harus ia katakan pada keluarganya? Bahwa ia sedang menginap di rumah teman? Atau mendadak ia ingin kuliah di luar negeri? Seperti yang dulu Marina lakukan?
Ingatan akan adiknya itu membuat gambaran masa depan yang Melinda lihat tadi, sebelum berangkat ke Farsei Foruna, kembali terlintas di depan matanya. Lukisan yang terpampang jelas di musium grae dalam kepalanya. Tidak, ia tak mau! Apa pun yang ditunjukkan penglihatan itu, ia tidak mau pergi ke Galazentria. Ia tak mau bertemu Aryo lagi. Berada dalam dunia yang sama dengan pemuda itu saja rasanya sudah sangat mengerikan!
Tapi apa ia bisa kabur dari penglihatan masa depannya sendiri? Ia adalah orang yang paling tahu, seberapa mutlaknya ramalan tersebut. Apa yang ia lihat pasti akan jadi kenyataan, tidak peduli apa pun yang ia lakukan untuk mencegahnya. Dan jika ramalan menunjukkan bahwa ia akan bertemu lagi dengan Marina, hal itu pasti akan terjadi, dengan satu atau lain cara.
Melinda menghela napas kesal. ”Aku juga ikut,” akhirnya ia menyerah.
Nadine menatapnya kaget, dan Melinda buru-buru menambahkan. ”Aku mau melihat Marina. Sudah lama aku tidak bertemu dengannya.”
Senyuman kembali tersungging di bibir Nadine. Senyuman yang menyentuh matanya. ”Terima kasih, Mel. Ini berarti sekali buatku.”
Melinda hanya bisa terdiam melihat reaksi Nadine. Gadis itu benar-benar berubah. Rasanya rikuh menghadapi Nadine yang seperti ini, yang tersenyum, yang tampak cemas, yang terlihat seperti manusia normal. Tapi anehnya, ada rasa senang di hati Melinda ketika melihat gadis itu. Dan yang lebih aneh lagi, ketakutan yang biasa ia rasakan setiap kali menatap Nadine kini mulai berkurang.
”Kalau sudah diputuskan, kita harus bersiap-siap secepatnya,” kata Reinald. ”Bawa perlengkapan secukupnya saja, karena kita harus bergerak cepat.”
”Aku tidak ingin memburu-buru kalian, tapi Rei benar,” sahut Nadine. “Kita harus cepat-cepat. Sekarang pulanglah ke rumah kalian. Kemasi barang, bawa seperlunya, jangan terlalu berat. Besok kita berkumpul lagi di sini jam tujuh pagi,” nada suara gadis itu telah kembali seperti dulu, nada suara sang Pedang, tangan kanan Aryo.
Indra sudah akan bangkit berdiri, namun Melinda menahannya. “Sebelumnya aku mau bertanya dulu, Na.”
“Apa, Mel?”
“Kenapa dulu Aryo tidak mengajak kami ke Galazentria? Kenapa hanya kamu, Marina, Ferdi, dan Ruben saja yang dia ajak?”
Nadine terdiam sejenak. Mata biru dan hitamnya menyapu Melinda dan Indra, seolah-olah mencoba memperkirakan reaksi mereka jika ia menjawab pertanyaan tersebut. Melinda menantang tatapan itu. Kalau Nadine tidak menjawab jujur, ia tidak jadi ikut ke Galazentria. Peduli amat dengan gambaran masa depan yang ia lihat!
“Karena Aryo tidak percaya pada kalian,” akhirnya gadis itu menjawab. “Sama seperti kalian yang tidak percaya pada Aryo.”
Melinda mengangguk perlahan-lahan. Sepertinya Nadine berkata jujur. Ya, pasti itulah jawabannya. Ia memang sudah tidak mempercayai Aryo. Sejak melihat lukisan masa depan yang menggambarkan Aryo tertawa di atas tumpukan mayat, ia sudah tidak bisa lagi menyakini pemuda itu. Kalau Indra, sejak eksekusi Ronny, pemuda itu memang sudah membenci Aryo. Mengenai Lex, pemuda itu sebenarnya berambisi untuk merebut posisi pemimpin dari tangan Aryo. Dan Lili mendukung kekasihnya itu sepenuh hati.
Tak satu pun dari mereka yang mau mengikuti Aryo. Dan ternyata itulah penyebabnya mengapa Aryo tidak membawa serta mereka ke Galazentria. Kalau saja Lex dan Lili tahu! Kedua orang itu setengah mati ingin tahu alasan dari tindakan Aryo tersebut.
“Ada lagi, Mel?”
”Satu lagi, Na.”
”Apa?”
“Kita masih bisa kembali ke sini, kan?”
Pertanyaan itu menggantung di udara. Nadine tidak menjawab, hanya memandanginya dan Indra. Rei mengamati mereka semua dalam diam, begitu juga Gakka.
“Iya,” sahut Nadine. Gadis itu tersenyum. “Kita pasti bisa kembali ke sini. Aku janji.”
”Oke,” sahut Melinda, lalu berdiri. Sudah ditentukan. Apa pun yang ia lakukan, ia sendiri tak bisa lari dari penglihatan masa depannya.
***
Keesokan harinya, tepat pukul tujuh, mereka semua berkumpul di ruang tengah Farsei Foruna.
Nadine mengamati orang-orang di sekelilingnya satu-persatu. Walaupun enggan, Melinda akhirnya kembali mengenakan seragam tempur Ildarrald Daevar miliknya. Baju itu telah diaktifkan, dan kini motif-motif abstrak berwarna putih berseliweran di atas pakaian tersebut, seolah ada seseorang yang iseng melukisinya. Motif tersebut kadang membentuk gambar-gambar jelas; buku, mata, bunga, awan, petir, sebelum kembali terburai menjadi bentuk-bentuk tak beraturan. Melinda memandangi bajunya dengan tatapan tak suka. Entah kenapa, segala sesuatu yang berhubungan dengan grae sepertinya selalu membuat gadis itu jijik.
Di sebelahnya, Indra juga mengenakan seragam tempur Ildarrald Daevar. Pemuda itu telah mengaktifkan pakaiannya, dan kini seragam tersebut menampakkan alur-alur abstrak berwarna hijau di sepanjang lengannya.
Bukan, bukan alur abstrak, Nadine tiba-tiba menyadari. Hatinya seperti teriris-iris. Itu ish, ish yang sama dengan yang pernah terukir di lengan baju besi milik Ronny. Baju besi yang sudah dimakamkan bersama tubuh pemiliknya. Hanya replikanya saja yang tersisa, terpajang di toko Masquerade. Dan kini Indra mengenakannya kembali, seolah ingin menjadi reinkarnasi Ronny.
Indra menangkap tatapan mata gadis itu. Sejenak pemuda itu tersenyum, namun matanya menyiratkan tantangan bagi Nadine untuk berkomentar. Gadis itu memutuskan untuk diam saja, hanya balas tersenyum.
Reinald berdiri di samping kiri Nadine. Pemuda itu berdiri tegak, terlihat penuh percaya diri sekaligus amat tenang, seolah menguasai keadaan. Ia juga mengenakan baju tempur Ildarrald Daevar miliknya, setelah pakaian tersebut diperbaiki dan dibersihkan dengan mantra. Urat nadi kembali terlihat memenuhi setiap jengkal pakaiannya, namun warnanya kini putih keperakan, bukan lagi tembaga.
Nadine mengerutkan kening. Kenapa warna alur tak beraturan itu bisa berubah? Ada apa dengan baju Rei?
“Kenapa?” tanya pemuda itu. Nadine mengangkat wajah dan menatap Reinald.
“Bajumu. Motifnya berubah warna.”
Pemuda itu seolah baru menyadari hal tersebut. Sesaat ia memeriksa pakaiannya dengan seksama, lalu menyeringai. “Mungkin karena aku bertambah kuat?”
Gadis itu mengerjap. Kenapa ia bisa sampai tidak terpikir akan hal itu? Bajunya sendiri juga bisa berubah-ubah, tergantung jumlah grae yang ada di dalam tubuhnya. Walaupun Rei bukan grasth, mungkinkah baju tempur Ildarrald Daevar tetap bisa berubah, mengikuti perkembangan kemampuan pemuda itu?
Nadine memeriksa seragamnya sendiri. Ujung bawah lengan bajunya baru berubah warna menjadi putih-biru beku sekitar dua sentimeter saja, karena ia belum lagi mengumpulkan grae dalam tubuh. Sejujurnya gadis itu merasa khawatir, takut kalau-kalau ia tidak dapat mengakses energi magis itu, seperti yang terjadi kemarin. Tapi ditepisnya pikiran itu jauh-jauh. Sekarang bukan waktunya untuk tenggelam dalam kekhawatiran. Sekarang saatnya bertindak.
Gakka ada di sisi kanan Nadine. Mata putih sang urnduit dengan tenang menyapu penghuni lain ruangan itu satu-persatu, seolah tak menyadari tatapan gelisah yang diarahkan Melinda dan Indra padanya. Tapi mungkin juga makhluk itu sama sekali tidak tahu kehadirannya menakutkan bagi kedua orang tersebut.
”Baiklah,” Nadine memecahkan kesunyian di antara mereka. ”Kita berangkat sekarang. Kalian semua siap?”
Melinda mengangguk, walaupun tampak masih agak ragu. Di sebelahnya, Indra juga mengiyakan. Reinald mengembangkan senyumnya yang khas; senyum setengah menggoda, setengah usil, dan setengah memukau miliknya seorang.
-Siap, Nadine Felledia,- Gakka menggemakan jawabannya ke setiap orang di ruangan tersebut.
Nadine mengangguk, lalu meraih ransel di hadapannya dan mengenakannya. Yang lain mengikuti contohnya. Hanya Gakka yang tidak membawa benda apa pun.
”Sekarang aku akan membawa kalian ke portal yang berhubungan dengan Ladare Lide,” kata Nadine. ”Dari sana baru kita masuk ke Enfir Alle. Gandeng tangan orang di sebelah kalian, lalu pusatkan konsentrasi padaku.”
Semua orang menurutinya. Dengan kikuk Indra meraih tangan Gakka, seakan takut menyentuh lengan sabit sang urnduit. Melinda menggenggam tangan Rei hati-hati. Pemuda itu tersenyum padanya, yang dibalas dengan kerutan di kening oleh gadis itu. Nadine sendiri meraih tangan Reinald dan lengan Gakka, lalu memejamkan mata.
”Siap?”
Kamu sendiri? Sebuah suara muncul di hatinya. Apa kamu siap? Kembali lagi ke tempat di mana Aryo bisa dengan mudah menemukan dan membantaimu? Tak dihiraukannya suara itu dan dipusatkannya pikiran.
Tak butuh waktu lama baginya untuk menemukan sumber grae terdekat. Dalam pikirannya, sumber tersebut tampak seperti mata air yang mengucurkan grae berkilauan. Nadine mendekatinya dan memeriksanya dengan seksama. Aliran grae tersebut terlihat tidak stabil, kadang deras, kadang kecil, kadang berhenti sama sekali, sebelum akhirnya mengalir kembali.
Apa ini penyebabnya, kenapa – sewaktu menghadapi Lili dan Lex – aliran tenaga sihir tersebut terlepas dari genggamannya? Karena arus energi yang tidak stabil? Tapi kenapa? Biasanya jalur grae di bumi sangat stabil, bagaikan sungai yang mengalir tenang. Kenapa sekarang jadi begini?
Kemudian Nadine menyadarinya. Alleterre. Tumbuhan magis itu berfungsi untuk menstabilkan aliran grae. Namun sekarang Alleterre sudah mati, atau lebih tepatnya membatu. Dan semenjak itu, arus grae menjadi tak beraturan.
Tapi tak masalah bagi Nadine. Setahun lamanya gadis itu berkutat dengan jalur grae liar di Enfir Alle. Ia sudah terbiasa menghadapi yang seperti ini. Gadis itu hanya perlu mengubah sedikit caranya mengakses energi magis tersebut.
Nadine menarik napas panjang dan semakin memusatkan pikiran. Alih-alih menyamakan frekuensi tenaganya dengan aliran grae, gadis itu memaksa arus energi magis itu untuk mengikuti frekuensi tubuhnya. Mengulurkan tangan ke arah mata air grae dalam pikirannya, menggenggamnya, dan menariknya sekuat tenaga. Arus grae itu bergetar, melawan, dan Nadine menarik semakin kuat. Akhirnya aliran tenaga sihir itu kalah dan terpancar keluar dengan deras.
Energi magis yang dingin memasuki tubuh gadis itu, mengisi setiap jengkal badannya dengan tenaga bergelora. Melalui tangan-tangan yang saling terkait, Nadine meneruskan tenaga sihir tersebut ke semua orang, sampai grae memenuhi tubuh mereka semua. Energi alam itu berdenyut di dalam tubuhnya, di dalam darah semua orang, semakin lama semakin kuat. Ketika getaran grae tersebut mencapai puncaknya, Nadine membuka mulut dan mengucap.
“Nue ra absanthe, des keina yerr hana lo yerana te Avte Hine. Nue ra thisar, des keina yerr hana lo yerana te Vesti Vasai. Osei te enfir lo Galazentria gentho du soi thimet du anin.”
Angin mulai bertiup di dalam ruangan, membawa harum bunga dan buah entah dari mana. Hembusan itu makin kencang, dan sebuah sinar putih menyilaukan muncul di tengah-tengah mereka. Cahaya tersebut menyelubungi semua orang yang ada di sana, dan detik berikutnya tubuh mereka menghilang tanpa bekas.
***