Bab 19 – Racunvora

Reinald mengamati Nadine mengaduk-ngaduk makanannya dengan sendok. Sejak kembali ke Farsei Foruna, pandangan gadis itu menerawang jauh, seolah sedang memikirkan sesuatu.

“Nasinya tidak akan habis walaupun kamu aduk terus, lho,” komentar pemuda itu.

Gadis itu tersentak. Matanya kembali terfokus ke arah Rei. “Aku tidak selera,” sahut Nadine.

“Tapi kamu harus makan. Kalau tidak, kamu tidak akan punya tenaga untuk mencari Lex.”

“Aku tidak selera,” ulang gadis itu. Sepertinya gadis itu memang tidak bernafsu makan. Mungkin karena masih kelelahan, atau masih memikirkan Lex.

“Tadi di rumah Lili ada kejadian aneh, lho,” Reinald mencoba mengalihkan pikiran gadis itu.

Nadine mengangkat wajah, “Kejadian apa?”

“Racunvora tiba-tiba saja keluar dari liontinnya, padahal tidak kupanggil.”

Gadis itu menatapnya dengan kening berkerut. Pelan-pelan ia bergumam, “Hmm, mungkin aku tahu kenapa.”

“Kamu tahu kenapa?”

“Lex itu ahli racun. Dan dia sering ada di rumah Lili, jadi sepertinya sedikit banyak racun Lex terserap ke setiap sudut rumah itu. Mungkin Racunvora terpancing oleh racun itu, makanya dia keluar sendiri.”

Pemuda itu mengangguk. Masuk akal. Ngengat artefak itu memang terkadang muncul sendiri untuk menghisap racun dari pisau pemberian Pak Edwin. Berarti kandungan racun yang ada di rumah Lili cukup banyak, sampai bisa memancing Racunvora keluar dari tempatnya.

“Lili melihat makhluk itu tidak?” ketegangan terdengar jelas di suara Nadine.

Reinald terperangah. “Tidak, lah! Aku sampai mati-matian memastikan kalau Racunvora tidak ketahuan oleh siapa-siapa. Kan sudah kukatakan, aku sendiri juga tidak ingin ketahuan kalau aku ini Artefaktor.”

“Kenapa kamu sebegitu tidak inginnya Lili dan yang lainnya tahu kalau kamu Artefaktor? Apa kamu sebegitu tidak percayanya pada teman-temanku?”

Rei memandangi gadis itu. Raut wajah Nadine terlihat biasa saja, namun matanya menyelidik tajam.

“Yang namanya superhero itu kan biasanya baru ketahuan kemampuan sebenarnya di akhir,” jawab pemuda itu.

“Lalu maksudnya kamu itu superhero, begitu?”

Pemuda itu menyeringai, “Kamu lho yang mengatakannya, bukan aku.”

Nadine mendengus kesal. Reinald hanya tersenyum lebar menanggapinya. Sesaat kemudian kesunyian kembali melingkupi mereka berdua. Pemuda itu mengamati gadis di hadapannya. Sebenarnya bukan itu jawabannya. Rei yakin Nadine sesungguhnya tahu apa alasannya tidak mau menunjukkan kemampuan Artefaktornya. Bahwa ia tidak mempercayai Lili, Melinda, ataupun Indra, sama seperti Nadine tidak mempercayai teman-temannya sendiri. Tapi entah kenapa gadis itu masih menanyakannya. Mungkin Nadine hanya mencoba untuk meyakinkan diri sendiri.

“Ngomong-ngomong, tadi sepertinya aku juga sempat masuk ke dalam matanya Racunvora,” lanjut pemuda itu.

Sendok Nadine terhenti di mangkok. Gadis itu terperangah, “Apa?”

“Aku sedang berkonsentrasi memanggil makhluk itu, dan tiba-tiba pandanganku berubah. Aku bisa melihat diriku sendiri, tapi dari sudut aneh, seakan-akan aku melihat dari pandangannya Racunvora.”

“Kok, bisa?”

Reinald mengangkat bahu. “Di sayapnya Racunvora ada bulatan hitam seperti mata, kan? Mungkin gara-gara itu?”

“Apa hubungannya?” sahut Nadine. “Lagipula, kamu masuk ke dalam matanya Racunvora, bukan ke dalam bulatan seperti mata itu, kan?”

“Aduh, aku juga tidak tahu!” dan itu memang benar. Sepanjang perjalanan pulang, Rei sudah mencoba mendaftar semua penjelasan yang mungkin atas kejadian tersebut. Dan yang terpikir oleh pemuda itu hanyalah bahwa, entah bagaimana caranya, ia sudah mengaktifkan lagi sebuah Inti baru dalam Racunvora. Mungkinkah suatu benda bisa memiliki dua Inti di dalamnya?

“Lalu, seperti apa pandangan Racunvora ini?”

Reinald mencoba mengingat-ingat. “Sepertinya sih mirip dengan penglihatan manusia. Tidak seperti mata serangga yang multi-faset. Tapi sepertinya juga tidak sama persis dengan mata manusia, tapi aku tidak ingat apa yang berbeda.”

“Kamu yakin? Kamu bisa memastikannya?”

“Aku memang berencana seperti itu, sih.”

Gadis itu serta-merta bangkit dari duduknya. “Ayo kita pastikan!”

“Habiskan dulu makananmu, baru kita coba.”

“Tapi…!”

Pemuda itu menyandarkan punggung ke kursi dan melipat tangan di dada. “Sebelum nasi terakhir habis dari piringmu, aku tidak akan bangkit dari sini.”

Nadine memelototinya, namun akhirnya gadis itu duduk kembali, walaupun dengan raut kesal. Dengan puas Rei mengamati gadis itu menghabiskan makanannya sampai tandas. Begitu selesai meneguk minuman, Nadine langsung berdiri. “Ayo.”

“Pelan-pelan saja, Sayang. Tidak usah buru-buru”

“Panggil aku ‘sayang’ lagi, dan kamu akan menyesal seumur hidup,” geram Nadine.

Pemuda itu menyeringai. “Oh, ya? Memangnya apa yang mau kamu lakukan kalau kupanggil ‘sayang’, Sayang?”

Mata gadis itu menyala murka, dan tangannya yang masih menggenggam gelas mulai bergerak. Reinald buru-buru mengangkat kedua tangan. “Sabar, Nadine, sabar. Racunvora, ingat? Lex?”

Kedua mata itu masih memelototinya, namun akhirnya gadis itu menghempaskan gelas tersebut kembali ke atas meja, kemudian pergi ke luar ruangan dengan langkah-langkah menghentak, meninggalkan pemuda itu sendirian. Rei tertawa dan mengikuti si gadis es ke ruang tengah Farsei Foruna.

Nadine menjatuhkan diri ke atas sofa. Tampaknya gadis itu telah berhasil menguasai diri, karena begitu pemuda itu mengambil tempat di sebelahnya, Nadine telah kembali berwajah dingin. “Keluarkan Racunvora,” perintahnya.

Alih-alih memanggil hewan artefak itu, Reinald balik bertanya, “Kenapa kamu ingin memastikan apa aku bisa masuk ke dalam matanya Racunvora atau tidak?”

Gadis itu menghela napas tak sabar. “Tadi sebenarnya aku tidak berhasil melacak Lex, walaupun dia memakai baju tempur Ildarrald Daevar. Seharusnya selama masih mengenakan baju itu, Lex pasti bisa dilacak di mana pun dia berada. Tapi tadi tidak bisa.”

Pemuda itu memandanginya. “Tapi tadi kamu katakan pada Lili kalau kamu sudah tahu Lex ada di mana?”

“Kamu pikir aku bisa memberi tahu Lili hal itu dalam keadaan dia sedang khawatir setengah mati memikirkan Lex?” Nadine balas menatapnya. “Bisa-bisa Lili langsung pingsan mendengarnya!”

“Yah, benar juga, sih.”

“Makanya aku meminjam baju Lex. Kupikir Racunvora mungkin bisa digunakan untuk melacak racun grae-nya Lex. Tapi pastinya akan sangat repot jika kita harus mengikuti Racunvora selama dia melacak Lex, seperti mengikuti anjing yang sedang melacak bau. Jadi jika kamu bisa masuk ke mata Racunvora, kupikir tugas kita akan jadi lebih mudah. Kita bisa melacak Lex dari sini, tanpa perlu keluar rumah dan mengambil resiko yang tidak perlu.”

Rei mengangguk. “Kamu benar. Oke, aku coba, ya.”

Pemuda itu berkonsentrasi, dan sedetik kemudian hewan jadi-jadian itu telah muncul di udara. Ngengat itu berputar-putar sejenak, sebelum akhirnya hinggap di dinding dan membuka keenam sayapnya lebar-lebar.

Reinald kembali memusatkan pikiran. Mensinkronisasikan diri dengan makhluk artefak itu untuk menyatu dengannya.

Tanpa peringatan apa pun pandangan pemuda itu berubah. Selama sedetik ia masih mengamati Racunvora. Detik berikutnya ia telah menatap ruangan tersebut dari atas, seolah mendadak berada di ketinggian.

Puluhan semburat warna memenuhi pandangannya. Hijau, biru, kuning, coklat, merah. Warna-warni semarak tersebut menodai pandangan Racunvora, memusingkannya. Selama beberapa saat Rei kewalahan mengartikannya. Arus informasi yang ia terima benar-benar berbeda, membuat kepalanya terasa seperti akan meledak.

Di hadapannya, sapuan biru muda terlihat di mana-mana, memenuhi pandangan. Suatu kabut merah menguar dari sebelah kirinya. Asap coklat mengambang rendah di ruangan tersebut, dan ada kumpulan hijau di sana-sini yang tampak lebih menenangkan. Semuanya serentak menyerbu inderanya, membuatnya kebingungan.

Perlahan-lahan ia merasakan sesuatu. Suatu sentuhan hangat di tangannya. ”Rei?” terdengar suara Nadine. Tangan gadis itu kemudian menggenggam erat tangannya. ”Kamu tidak apa-apa?”

”Aku…” pemuda itu memaksa diri berbicara. ”Tidak apa-apa. Aku hanya kaget. Aku tidak menyangka akan kewalahan mengendalikan Racunvora. Penglihatannya benar-benar berbeda dengan kita.”

”Apa kita sudahi saja dulu?”

”Jangan, jangan,” Reinald menggeleng dan warna-warni membingungkan itu turut berpusar, membuatnya pusing. ”Aku hanya… butuh waktu untuk membiasakan diri dengan mata makhluk ini. Terus pegang tanganku seperti ini saja. Aku sudah sangat terbantu.”

Nadine tak mengatakan apa-apa, namun tangannya yang satu lagi meraih tangan pemuda itu dan menggenggamnya. Keberadaan gadis itu membuat Rei merasa lebih tenang, membantunya untuk lebih berkonsentrasi.

Pelan-pelan pemuda itu mulai mengerti arus informasi yang diterimanya melalui mata Racunvora. Sebuah pengetahuan baru membantunya menerjemahkan semua warna yang ia lihat. Dari mana pengetahuan itu berasal? Apa dari Racunvora? Mungkinkah ia tidak hanya memasuki mata ngengat itu, tapi juga pikirannya? Apa mungkin hewan artefak memiliki pikiran sendiri?

”Racunvora melihat dunia ini lewat warna-warna,” Reinald mengabaikan pemikiran tadi dan mulai menjelaskan. ”Warna-warna ini sepertinya melambangkan setiap racun yang dia lihat. Pisau dari Pak Edwin itu misalnya, terlihat mengeluarkan asap warna merah. Lalu ruangan ini penuh dengan kabut biru tipis. Entah apa itu, tapi sepertinya tidak berbahaya.”

Pemuda itu mengalihkan pandangan ke sekeliling ruangan. Lambat laun ia juga mulai mengenali bentuk dan tekstur di balik warna-warni tersebut. Bentuk kotak sofa yang ia duduki. Bentuk persegi meja di sudut ruangan. Lalu lekuk-lekuk halus sebuah tangan yang sedang menggenggamnya. Rei menelusuri tangan itu sampai menemukan wajah Nadine. Gadis itu tampak khawatir, terlihat hitam putih dalam pandangan pemuda itu.

“Hmm, benda lain selain racun tidak punya warna di pandangannya Racunvora,” lanjut Rei. “Hanya hitam putih saja. Termasuk kamu. Tapi jangan khawatir, walaupun hanya hitam putih, kamu tetap cantik, kok.”

Nadine menatapnya kesal, dan pemuda itu mulai tertawa. Namun sesaat kemudian tawanya terhenti. Ada sesuatu yang tampak di pangkal leher gadis itu. Sesuatu yang berwarna hitam pekat, terlihat jelas bahkan di dunia hitam putih dalam penglihatan Racunvora. Sesuatu yang sangat beracun, sampai-sampai ngengat artefak itu sendiri tidak mau mendekatinya.

”Nadine, ada sesuatu di sini,” tangan Reinald terulur ke arah pangkal leher gadis itu. ”Baru sedikit terlihat, tapi sepertinya sangat beracun. Kamu kenapa? Ada apa di sini?” Jarinya menyentuh dada gadis itu, dan seketika Rei teringat. Tato itu. Tato aneh berbentuk kalung berliontin mawar es. Apa itu penyebabnya?

Mendadak Nadine melompat berdiri, mengagetkan pemuda itu. Tangan gadis itu mendekap tempat yang tadi Reinald sentuh. ”Aku – aku tidak apa-apa,” gumam gadis itu, wajahnya sekaku batu. Dalam pandangan pemuda itu, warna hitam tadi lenyap dari bawah leher Nadine. ”Mungkin hanya efek samping penyembuhan Lili. Bukan sesuatu yang perlu dikhawatirkan, kok. Lebih baik sekarang kita konsentrasi ke Lex.”

Selama beberapa saat pemuda itu masih mengamati gadis tersebut, namun racun hitam tadi tak lagi menampakkan diri. Bukan sesuatu yang perlu dikhawatirkan? Entah kenapa ia merasa Nadine berbohong. Gadis itu sebenarnya tahu apa yang sedang terjadi pada dirinya, namun berusaha sekuat tenaga menutupinya.

“Begitu?” Rei berpura-pura percaya, padahal dalam hati ia berjanji akan terus memantau kondisi gadis itu. “Oke, aku sudah berhasil masuk ke dalam Racunvora, nih. Sekarang, apa yang harus kulakukan?”

Nadine kembali duduk dan mengangsurkan setumpuk kain yang ada di sebelahnya ke hadapan pemuda itu. “Coba kamu deteksi racun Lex di sini. Mudah-mudahan masih ada yang tersisa.”

Melalui Racunvora, Reinald mengamati baju tersebut. Benar kata Nadine. Samar-samar ia bisa melihat residu racun yang terserap ke dalam serat-serat kain tersebut. Suatu lapisan berwarna ungu.

”Masih ada,” sahut pemuda itu. ”Tinggal sedikit sekali, tapi masih terlihat.”

Pemuda itu pun memerintahkan Racunvora untuk hinggap di baju tersebut, dan merasakan pandangannya bergerak ketika ngengat itu terbang mendekat. Rei kemudian menyuruh hewan artefak itu untuk mencicipi racun Lex, mengingat-ingat rasanya. Racunvora menerjemahkan rasa racun tersebut sebagai pahit-manis. Suatu rasa yang belum pernah makhluk itu kecap sebelumnya.

”Kira-kira Racunvora bisa tidak ya, melacak racun Lex di luar sana?” ‘luar sana’ yang dimaksud Nadine pastinya adalah lingkungan di luar Farsei Foruna.

”Sepertinya sih bisa. Racun ini unik, warnanya ungu, rasanya juga lain dari yang lain.”

Nadine mengangguk. ”Sekarang coba kamu biasakan diri dulu dengan Racunvora. Putar-putar di dalam rumah saja dulu.”

Reinald mengangguk, namun bukan itu yang ada dalam pikirannya. Ia sudah cukup terbiasa dengan pandangan Racunvora. Semakin cepat ia melacak keberadaan Lex, semakin baik.

Jadi pemuda itu memerintahkan hewan tersebut terbang keluar dari Farsei Foruna. Dengan mudah Racunvora menemukan sebuah celah tersembunyi, yang makhluk itu gunakan untuk menyusup keluar ke udara terbuka.

Berbagai macam sensasi menabraknya, dan selama beberapa saat Rei kehilangan kendali. Berbagai macam warna menerpanya, membutakannya, hampir menyapu pergi kesadarannya. Namun pemuda itu menggertakkan gigi, dan menyerahkan diri pada pengetahuan dan insting Racunvora. Ngengat itu tahu apa yang dihadapinya, dan pasti mampu mengatasinya.

Insting hewan itu mengambil alih, dan arus informasi yang tadi membanjiri otak pemuda itu perlahan menyurut sampai ke tingkat yang mampu diterimanya. Reinald mengamati sekelilingnya. Dunia malam yang hitam putih tampak dipenuhi oleh kabut biru yang lebih tebal daripada di dalam Farsei Foruna. Mungkin itu adalah polusi udara, yang ternyata telah cukup kental melingkupi kota Bandung ini. Berbagai macam racun lain memenuhi udara. Racun dari selokan, dari perumahan, dari tukang sate yang mengipasi dagangannya di pinggir jalan, semuanya mewarnai penglihatan Racunvora.

“Rei?” suara Nadine terdengar dari sisinya. Rasanya aneh mendengar suara gadis itu, namun tak melihat sosoknya. “Apa yang kamu lakukan? Di mana Racunvora?”

“Di luar. Aku mengirimnya keluar rumah.”

Terdengar tarikan napas tercekat. “Buat apa kamu buru-buru seperti itu? Belum tentu juga kamu sudah terbiasa mengendalikan Racunvora.”

“Tenang saja, Sayang. Aku sudah bisa mengendalikannya, kok.”

Sesuatu menyentuh lengannya, dan tiba-tiba rasa dingin yang sangat menyerangnya, membekukan lengannya, membuat pemuda itu refleks menarik tangannya menjauh, “Hei!”

“Kenapa, Sayang?” suara Nadine terdengar amat manis berbahaya.

“Tidak apa-apa,” Rei mengusap-usap lengan yang masih terasa kebas. “Kukira tadi ada penyihir es galak yang mau mengamputasi lenganku.”

“Oh ya? Aduh, kasihan sekali kamu,” nada berbahaya itu masih sarat dalam suara Nadine.

Sial, cewek ini benar-benar minta dicium, ya? “Aku mulai melacak Lex, ya?”

Aura main-main tadi mendadak hilang dari udara, berganti dengan kewaspadaan dan ketegangan mencekam. “Oke,” jawab Nadine datar. “Coba mulai mencari dari sekitar rumahnya Lili.”

Reinald tertegun sejenak. Bagaimana caranya menerbangkan Racunvora ke rumah Lili? Pastinya akan makan waktu berjam-jam dengan kecepatan terbang seekor ngengat. Tapi, tunggu dulu. Racunvora pada dasarnya adalah artefak. Penampilannya saja yang seperti hewan sesungguhnya. Mungkin pergerakannya pun tidak harus mengikuti pergerakan binatang aslinya.

Pemuda itu memusatkan pikiran. Mengingat-ingat jalur menuju rumah Lili yang tadi ia lalui dengan Ducati. Kemudian memerintahkan Racunvora mengikuti arah tersebut.

Ngengat artefak tersebut pun melesat, terbang menyusuri jalan dengan kecepatan setara motor, membuat Rei merasa seperti kembali mengendarai Ducati menuju rumah Lili. Pohon, rumah, dan tiang lampu jalan berwarna hitam putih berkelebat di kanan-kirinya ketika Racunvora terus melaju, menembus kabut biru yang mengambang di udara.

Tak lama kemudian ia sampai di depan rumah Lili. Halaman rumah gadis itu tampak temaram dalam dunia malam tuna warna. Lampu-lampu di dalam bangunan masih menyala terang, pertanda Lili belum lagi tidur.

Berhasil! Pemuda itu ingin berseru gembira, namun ditahannya keinginan tersebut. Masih terlalu cepat untuk berpuas diri. Ini baru langkah pertama dari pencarian yang harus ia lakukan.

”Oke, aku sudah di rumah Lili,” ia memberi tahu Nadine.

“Sudah?” keheranan terdengar dari suara gadis itu. “Bagaimana caranya?”

“Masa harus kujelaskan segala? Bisa-bisa waktu kita habis hanya untuk itu. Yang penting aku sudah sampai di sini.”

”Ya sudah. Sekarang, coba cari racun Lex di sekitar sana.”

Pemuda itu segera memeriksa daerah sekelilingnya dengan seksama. Mencari-cari warna ungu dan rasa pahit-manis yang sudah dihafalnya. Bangunan itu dikelilingi oleh beragam warna pudar, tapi tak ada satu pun yang mirip racun Lex. Rei memerintahkan Racunvora terbang mengelilingi rumah tersebut, memeriksa setiap jengkal udara di sana, tapi tak juga menemukannya. Sial, sudah sejauh ini, apa mereka terlambat? Apa kepergian Lex sudah terlalu lama sampai jejaknya pun telah hilang?

Tidak. Jejak Lex pasti masih ada di sini. Indera manusianya mungkin tidak bisa mendeteksi, namun Racunvora pasti bisa.

Seperti tadi, Reinald menyerahkan instingnya pada makhluk itu. Membiarkan ngengat itu merasakan udara dengan antenanya yang bercabang-cabang, mengecapnya dengan bulu-bulu halus yang memenuhi antena tersebut.

Kemudian samar-samar pemuda itu bisa merasakannya. Rasa pahit-manis seperti yang tertinggal di baju Lex. Kemudian Rei menemukannya. Tipis di udara, terlihat jejak-jejak ungu, kadang ada kadang tiada ditiup angin.

”Ada! Jejak Lex masih ada! Tapi sudah tinggal sedikit sekali sampai hampir tidak terlihat.”

“Tapi Racunvora masih bisa mengikutinya?” tanya Nadine.

“Pasti bisa.”

”Kalau begitu, ikuti, Rei!” ketegangan terdengar kental dalam suara gadis itu.

 Siap, Tuan Putri! Tanpa membuang waktu Reinald memerintahkan Racunvora melacak jejak tersebut. Ngengat jadi-jadian itu melesat, mengikuti warna ungu yang menggantung di udara bagaikan seutas pita tak nyata.

Pelacakan itu berlangsung tak mudah, karena jejak racun Lex yang tersisa sangatlah tipis. Kadangkala jalur ungu itu tampak sangat nyata, seperti garis warna yang membentang di udara. Namun kadangkala menghilang sama sekali, sehingga Rei terpaksa berhenti, menyuruh Racunvora mengecap di sana-sini, sebelum akhirnya berhasil menemukan lagi jejak tersebut dan melanjutkan pencarian. Pengejaran itu berlangsung secepat yang pemuda itu bisa, tak berani terlalu terburu-buru karena takut melewatkan jejak yang setipis benang laba-laba tersebut.

Nadine terus menyemangatinya, mendorongnya. Tangan gadis itu menggenggam tangannya erat. Setiap beberapa menit sekali gadis itu akan bertanya, dan memaksanya untuk menjawab. Menjaga kesadarannya tanpa kenal lelah.

Ahirnya, setelah waktu yang terasa seperti bertahun-tahun lamanya, jejak tersebut menguat, membentuk jalan ungu berlatar dunia hitam putih. Reinald terhuyung-huyung mengikuti. Tenaga Racunvora, atau tenaganya sendiri – ia sudah tak mampu membedakan – sudah hampir habis terkuras. Hanya tekad yang terus menopangnya, satu tekad kuat untuk terus mengikuti warna ungu di udara. Untuk terus mengikuti rasa pahit-manis itu.

Jejak tersebut berakhir di sebuah rumah. Dari salah satu jendela di bangunan itu menguar kabut ungu terang, pertanda Lex ada di sana. Dengan lelah Rei hinggap pada sebatang pohon di dekat rumah tersebut. Sayapnya bergetar kelelahan, matanya terayun menutup. Ia capek sekali.

Sebuah dengungan mengganggunya. Reinald tak menghiraukannya, menepisnya jauh-jauh. Ia hanya ingin beristirahat, ingin tidur nyenyak tanpa terganggu.

Dengungan itu terus mengusiknya, makin lama makin keras. Sampai akhirnya mewujud menjadi sebuah suara.

”Rei?”

Sesuatu pada suara tersebut membangkitkan ingatan pemuda itu. Tapi, apa? Ia tak mampu berpikir, tak mampu mencerna.

”Rei! Apa yang terjadi? Sudah bermenit-menit kamu tidak menjawabku. Rei, jawab aku. Rei!”

Suara itu, suara Nadine?

Seperti yang pernah terjadi sebelumnya, ingatan akan gadis itu menerbitkan sesuatu di dalam dirinya, membangunkannya, memberinya kekuatan untuk membuka mata.

Berkas-berkas warna menyambutnya. Biru, ungu, hijau, kuning. Ia ada di sebatang pohon, di depan sebuah rumah. Rumah tempat Lex berada. Memandang dunia ini melalui mata Racunvora.

”Rei!”

”Aku… di depan rumah…” mulutnya terasa sulit digerakkan, seperti berbicara dalam tidur. ”Di rumah… ada Lex…”

”Rumah di mana?”

”Di mana…? Tidak tahu. Capek, ngantuk…”

”Rei! Ingat-ingat rumah itu ada di mana. Lingkungan sekitarnya, bangunan di sekelilingnya. Ingat-ingat semua. Bisa?”

Ingat-ingat? Kelelahan mencengkeramnya, namun dengan kekuatan yang entah datang dari mana, Reinald membuka mata dan mengamati lokasi rumah itu.

“Rumah tua, gaya Belanda, tingkat dua,” bahkan berbicara pun terasa amat meletihkan, seperti mengangkat beban berkilo-kilo beratnya. “Ada plang laundry di dekat sana. Laundry Green Earth, ada alamatnya, jalan Sabang…”

”Bagus, Rei. Kamu hebat sekali. Sekarang, ayo kembali ke sini.”

”Kembali…? Aku capek, mau tidur…”

”Jangan tidur, Rei. Kembali ke sini. Kembali padaku, Rei.”

Kembali padanya? Ucapan itulah yang akhirnya berhasil mengembalikan kesadaran pemuda itu, cukup untuk melepaskan sinkronisasinya dengan Racunvora. Rasanya seperti melenting balik setelah direntang amat jauh dengan tali karet. Di ujung lentingan itu Reinald membuka mata, dan menatap Nadine. Entah sejak kapan kepalanya sudah terbaring di pangkuan gadis itu.

Nadine tersenyum menatapnya. Kelegaan tampak jelas di kedua mata gadis itu. ”Hei.”

”Na–”

”Sst, sudah, tidak usah berkata apa-apa lagi. Istirahat saja. Kamu sudah berjuang keras.”

Rei menggumamkan persetujuan, terlalu lelah untuk berbicara. Dengan sisa-sisa tenaga ia memiringkan tubuh dan melingkarkan kedua lengannya di pinggang Nadine.

“Rei?!”

“Biarkan aku begini dulu,” gumam pemuda itu. “Biarkan begini dulu…”

Sesaat tubuh gadis itu masih terasa tegang. Namun kemudian ketegangan tersebut menghilang, dan sebuah tangan membelai rambut Reinald lembut.

“Istirahatlah, Rei. Istirahatlah…”

Pemuda itu menempelkan kepala ke perut Nadine, menghirup harum mawar yang menyelimuti tubuh gadis itu. Sesuatu menggelitik pikirannya, sesuatu yang seharusnya ia ingat, namun suara Nadine menepis semuanya. Bisikan lembut gadis itu menemaninya, menenangkan, menghanyutkannya ke alam tidur.

 ***

 Reinald terbangun di tempat tidur, sejenak merasa linglung. Ada yang salah di tempat itu. Mana warna-warni yang seharusnya ada? Warna biru, merah, hijau, dan yang paling penting, ungu? Sedetik kemudian ia baru sadar kalau tak ada yang salah di sana. Ia hanya masih mengingat dunia melalui mata Racunvora, masih terbawa akan pencariannya atas jejak racun Lex. Di sini adalah dunia normal yang ia lihat dengan matanya sendiri.

Pemuda itu bangkit dan menyibakkan tirai. Sudah malam. Langit di luar sana sudah gelap sepenuhnya, dan lampu-lampu rumah di sekitar Farsei Foruna telah dinyalakan. Berapa lama ia tertidur?

Rei keluar dari kamar dan turun ke lantai satu. Sesuai dugaannya, ia menemukan Nadine dan Gakka di ruang makan, sedang bercakap-cakap. Gadis itu menoleh mendengar kedatangannya dan tersenyum, ”Sudah bangun? Bagaimana keadaanmu?”

”Baik-baik saja. Berapa lama aku tidur?”

Gadis itu melirik ke arah jam dinding. ”Hampir dua belas jam.”

Reinald terperangah, turut menatap jam. ”Dua belas jam? Selama itu?” Sesaat kemudian pemuda itu baru menyadari sesuatu. ”Sekarang jam tujuh? Sebentar. Berarti kemarin itu kita mencari-cari sampai pagi? Lalu, kamu sendiri tidak tidur?”

”Tidurku tidak selama kamu,” sahut Nadine. “Sana, lebih baik kamu mandi dulu. Setelah makan kita lanjutkan lagi.”

”Tapi kan aku sudah berhasil menemukan Lex? Apalagi yang harus kita lakukan, selain pergi ke sana dan membebaskannya?”

”Tidak semudah itu. Sudah sana, mandi dulu!” usir gadis itu.

Tidak punya pilihan lain, Reinald menurut dan pergi mandi. Setelah berganti pakaian dan makan, ia kembali duduk di ruang tengah Farsei Foruna bersama Nadine.

Untunglah kemarin, atau tadi pagi, pemuda itu sempat membaca alamat rumah tempat Lex berada dari plang laundry yang ada di dekat sana. Dalam beberapa menit ia telah mengirimkan Racunvora kembali ke tempat itu. Ke kawasan Cihapit, salah satu daerah tua di Bandung.

Dengan arahan Nadine, kali ini Reinald mengamati pergerakan di sekitar dan di dalam rumah tersebut. Dengan sangat hati-hati pemuda itu menempatkan Racunvora di sudut-sudut yang yang tidak mencolok, namun memungkinkan makhluk itu untuk melihat seisi bangunan tanpa terhalang. Dari pengamatan seksama, diketahui bahwa rumah tersebut dijaga oleh sekelompok pemuda berusia dua puluhan sampai tiga puluhan tahun. Jumlahnya mencapai sepuluh orang, belum terhitung pemimpinnya yang bertubuh kekar berisi. Racun merah-hitam menguar non-stop dari badannya yang besar dan berotot.

Di lantai dua, dari beberapa ruangan yang ada, hanya ada satu yang diawasi dua puluh empat jam oleh dua orang pemuda. Penjaganya terus diganti setiap delapan jam. Sepertinya Lex ditahan di sana, karena setiap hari, si pemimpin dengan ditemani seorang anak buahnya akan masuk ke sana selama beberapa jam. Ketika keluar, racun di tubuh mereka akan selalu telah bercampur dengan racun ungu khas Lex.

Pemuda itu menyampaikan semua hasil pengamatannya pada Nadine, dan begitu keberadaan Lex berhasil dipastikan, gadis itu segera menelepon Lili. Reinald bisa mendengar jeritan lega Lili dari speaker ponsel Nadine. Setelah menenangkan gadis itu, Nadine ganti berbicara dengan Indra dan Melinda, sebelumnya akhirnya menutup ponsel.

”Belum ada perubahan dari ramalan Melinda,” ucap gadis itu. ”Masih terus-menerus penglihatan yang sama. Indra juga belum mendapatkan tambahan informasi. Dia khawatir kalau-kalau ini semua jebakan untuk kita, untuk memancing kita datang ke sana supaya bisa tertangkap sekaligus. Tapi aku rasa sih bukan. Kalau ini jebakan, mereka pasti sudah menyiksa Lex, supaya kita cepat-cepat menyelamatkannya. Tapi sejauh yang kita amati, sepertinya mereka hanya mencoba mengorek informasi dari Lex, kan?”

“Kita tidak tahu pasti, lho, apa orang-orang itu menyiksa Lex atau tidak,” pemuda itu mengingatkan.

Wajah Nadine menegang. ”Ya, kamu benar. Kita tidak bisa memastikannya. Racunvora masih belum bisa masuk ke kamar itu?”

“Bagaimanapun aku mencari, tidak ada celah sedikit pun untuk masuk ke kamar itu. Racunvora hanya bisa masuk ke sana kalau pintunya dibuka, yang berarti bersama dengan orang-orang itu.”

“Jangan. Terlalu beresiko,” kening gadis itu berkerut, tanda berpikir dalam. “Lagipula, kalaupun mereka tidak menyiksa Lex, tetap ada kemungkinan kalau ini semua memang jebakan.”

“Jadi, apa pun yang kita lakukan, tetap ada kemungkinan kalau kita akan masuk ke dalam jebakan? Hebat. Aku harus buat surat wasiat dulu tidak, nih?”

“Sudah kukatakan dari awal, selalu ada kemungkinan nyawa kita yang akan jadi taruhannya dalam hal ini,” Nadine menatapnya dingin. “Apa baru sekarang kamu sadar?”

“Astaga, aku hanya bercanda, Mbak. Aku tidak serius bicara begitu.”

Gadis itu terdiam sejenak, seolah masih mencoba menerka apakah pemuda itu jujur atau tidak. “Kita coba amati dulu tiga hari ke depan. Baru kita tentukan apakah ini jebakan atau bukan.”

Jadi selama tiga hari berikutnya Rei terus mengawasi rumah tersebut, memantau pergerakan kawanan di dalamnya. Sejauh itu, sama sekali tidak ada perubahan. Pola yang sama juga terus berulang. Keberadaan dan kondisi Lex sendiri tidak dapat dipastikan, sementara waktu terus berlalu.

Akhirnya pada malam ketiga pengintaian, Nadine mengambil keputusan. ”Sebenarnya aku masih ingin mengawasi rumah itu lebih lama lagi, tapi kita dikejar waktu. Selagi Lex masih baik-baik saja, kita harus bertindak, walaupun ini jebakan sekalipun. Besok malam kita bergerak. Siapkan dirimu, Rei.”

***

Category(s): Artefaktor

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

 

You may use these HTML tags and attributes: <a href="" title=""> <abbr title=""> <acronym title=""> <b> <blockquote cite=""> <cite> <code> <del datetime=""> <em> <i> <q cite=""> <s> <strike> <strong>