Bab 18 – Tangan Kanan

Reinald memandangi Indra dan Melinda di hadapannya, yang saat itu juga sedang mengamatinya. Indra dengan tatapan penasaran yang polos, sementara Melinda dengan pandangan curiga yang tak ditutupi. Rei mengedipkan mata pada Melinda, dan langsung dihadiahi dengusan kesal.

Pemuda itu tertawa dalam hati. Tampaknya mengaku sebagai pacar Nadine tidaklah cukup untuk membuatnya diterima dengan tangan terbuka di Ildarrald Daevar. Yah, wajar sih. Ildarrald Daevar pastinya bukan sebuah kelompok yang mudah menerima orang luar.

Lili keluar dari kamar sendirian. Gadis itu menghampiri mereka dan duduk kembali di sofa, menghela napas dalam.

”Bagaimana?” tanya Reinald.

Lili menatapnya. ”Nadine tidak apa-apa. Lukanya sudah kusembuhkan. Sekarang dia sedang beristirahat sebentar di kamarku. Nah, katanya kamu juga luka?” gadis itu mengulurkan tangan.

Sejenak Rei ragu. Bagaimana rasanya disembuhkan dengan grae? Apa ia akan merasa kesakitan? Apa ada efek sampingnya? Tapi mungkin tidak ada salahnya dicoba. Lagipula, rasa sakit yang ia rasakan akibat cederanya benar-benar mengganggu.

Ketika Reinald mengulurkan kedua tangan, terdengar suara protes dari Melinda, “Lili!”

Lili balik menatap gadis itu. “Masa aku akan membiarkan ada orang terluka di depanku tanpa melakukan apa pun?”

Ketika tak ada jawaban dari Melinda, Lili meraih kedua tangan Reinald dan menutup mata.

Mendadak Rei merasakan kantuk menyerangnya tiba-tiba. Otaknya mulai terasa ringan dan tubuhnya jadi lemas. Kepalanya terayun menunduk, matanya menutup secara refleks. Tiba-tiba saja ia jadi ingin berbaring dan tidur.

Pemuda itu merasakan Lili melepaskan tangannya. ”Selesai,” ucap gadis itu. Hening sejenak, sebelum suaranya terdengar lagi, ”Efeknya terlalu keras, ya? Maaf, bagi yang tidak biasa pasti rasanya pusing sekali. Bersandar saja dulu, tutup mata. Kamu bisa terjatuh kalau memaksa berdiri.”

Pemuda itu menuruti saran gadis itu, menghempaskan punggung ke sandaran sofa. Kepalanya seperti berputar. ”Efek apa maksudnya?”

”Setiap kali aku menyembuhkan orang, orang itu akan merasa seperti dibius. Yah, mendadak jadi seperti mengantuk. Kalau lukanya kecil, biasanya hanya pusing atau mengantuk saja. Kalau lukanya parah, bisa langsung tertidur, seperti Nadine sekarang ini.”

Reinald mengangguk pelan, takut menggoyangkan kepala lebih cepat dari itu. Jadi itu sebabnya kenapa Nadine disembuhkan di dalam kamar Lili? Huh, ternyata cedera gadis itu memang parah. Gadis itu pasti hanya pura-pura kuat saja, agar ia tidak khawatir! ”Berapa lama aku akan seperti ini?”

”Sebentar saja, kok, tidak usah khawatir.”

Benar saja. Beberapa menit kemudian efek bius itu mulai mereda, dan Reinald dapat melihat sekelilingnya lagi lebih jelas. Kepalanya tak lagi terasa pening. Pemuda itu mengangkat tangan dan mengusap kepala dan matanya, dan menyadari bahwa rasa sakit yang mengganggunya lebih dari seminggu ini telah hilang tak berbekas.

Pemuda itu mengetes tangannya beberapa kali, mengepal dan membukanya. Benar, tak ada lagi rasa sakit yang terasa.

”Wah, hebat!” ucap Rei. “Terima kasih, ya.”

Lili tersenyum. ”Sama-sama. Ngomong-ngomong, kenapa kamu bisa terluka seperti itu? Luka Nadine juga lumayan parah. Jarang-jarang dia bisa luka separah itu, kecuali kalau sehabis…” mendadak gadis itu mengatupkan mulut, seolah baru ingat bahwa ia tak seharusnya berbicara seperti itu.

”Kecuali kalau sehabis…?” pancing Reinald.

”Jadi bagaimana ceritanya kamu bisa terluka seperti itu?” gadis itu mengabaikan pertanyaannya.

Bagaimana aku harus menjawabnya? Apa harus kuceritakan semuanya, tentang Seise Felliri, tentang Kolektor, tentang kemampuan Artefaktorku? “Kalau kamu jawab pertanyaanku, aku akan jawab pertanyaanmu,” pemuda itu menyeringai.

“Bagaimana kalau kamu saja yang menerangkan siapa kamu sebenarnya?” mendadak terdengar suara Melinda.

Rei menoleh ke arahnya. Gadis pendek itu masih menatapnya dengan pandangan menusuk. “Aku tidak percaya kalau kamu cowoknya Nadine. Apalagi kalau kamu itu muridnya, atau kalau kamu akan direkrut masuk Ildarrald Daevar. Nadine kelihatannya tidak sepercaya itu padamu. Siapa kamu? Jangan-jangan kamu mata-mata kelompok grasth yang sedang kami selidiki?”

Pemuda itu memasang tampang tak berdosa. “Mata-mata? Aku? Dari mana kamu bisa dapat kesimpulan seperti itu?”

“Bisa saja kan kamu pura-pura terluka supaya bisa mendekati Nadine,” sahut Melinda.

“Kamu terlalu banyak nonton film, ah.”

Gadis peramal itu memelototinya, namun Lili cepat bersuara. “Sudah, deh, Mel. Tidak penting siapa Reinald ini sebenarnya. Lagipula, yang membawanya itu kan Nadine. Kamu meragukan penilaian Nadine? Lebih baik kita memikirkan tentang Lex. Kalian belum lupa padanya, kan?” pertanyaan terakhir itu dilemparkan dengan sedikit kesal.

“Ya pasti belum lah, Teh Li,” hibur Indra. “Tapi kata Teh Nadine, kita jangan melakukan apa-apa dulu.”

“Nadine berkata jangan lakukan tindakan mencolok, bukannya jangan lakukan tindakan apa pun!” balas Lili. Amarah gadis itu tampaknya mulai terbakar.

“Lili benar,” sahut Reinald. “Kalau aku boleh menyarankan, ada kok yang bisa kalian lakukan. Nadine minta kalian menginap di sini, kan? Bagaimana kalau sekarang kalian pulang dulu ke rumah? Siapkan barang-barang, pamit pada orang rumah, baru ke sini lagi? Sementara itu, aku akan menemani Lili di sini sampai kalian datang.”

Tiga pasang mata langsung menatapnya terkejut. Mungkin ia salah karena langsung mencoba menyuruh-nyuruh teman-teman Nadine ini, tapi apa yang ia sarankan memang benar. Jadi Rei mengabaikan pemikiran itu dan menyunggingkan senyum.

“Kalau kamu pikir kami mau saja meninggalkan Lili sendirian bersamamu, kamu salah besar,” tukas Melinda. “Kami tidak sepercaya itu padamu, tahu.” Indra tidak ikut berkomentar, namun dari raut wajah pemuda itu, ia tampak sependapat dengan Melinda.

Rei jadi ingin menggaruk kepala. Apalagi yang harus ia lakukan supaya teman-teman Nadine tersebut mau percaya padanya?

“Sudah, Mel, tidak usah sebegitu curiganya,” sahut Lili. “Nadine percaya pada Reinald, dan aku percaya pada Nadine. Lagipula, yang Reinald katakan memang benar. Lebih baik kalian bersiap-siap secepatnya. Kecuali kalau kalian berubah pikiran tentang menemaniku.”

Ucapan itu berhasil membuat aura kecurigaan menghilang dari udara. “Kami tidak berubah pikiran, kok,” sahut Indra. “Kalau begitu, kami pulang dulu untuk bersiap-siap. Kang Reinald, tolong temani Teh Lili, ya.”

“Tenang saja, Ndra,” Rei tersenyum ke arah pemuda itu dan Melinda. “Lili akan kujaga baik-baik.”

Melinda hanya mendengus pendek menanggapinya. Namun gadis itu turut bangkit bersama Indra dan keluar dari rumah.

Rei menunggu di ruang tengah sementara Lili mengantarkan Melinda dan Indra ke halaman depan. Begitu gadis berambut coklat itu kembali nanti, pemuda itu akan meminta izin melihat keadaan Nadine. Entah bagaimana kondisi gadis itu saat ini. Dasar gadis es sok kuat. Membuatnya khawatir saja!

Mendadak pemuda itu melihat sesuatu. Suatu benda sedang melayang-layang di dinding di hadapannya. Sesuatu yang berwarna coklat dan hitam, bersayap enam, dan memiliki antena bercabang-cabang.

Racunvora? Refleks Reinald meraba liontin yang tersembunyi di balik kausnya. Apa yang hewan itu lakukan di sini? Dan bagaimana ia bisa keluar sendiri dari tempatnya? Ia harus cepat-cepat memanggil makhluk artefak itu kembali, sebelum Lili melihatnya. Sekali menatap Racunvora, gadis itu pasti sadar bahwa hewan itu bukanlah binatang biasa.

Namun belum sempat Rei melakukan apa pun, Lili telah kembali memasuki ruangan. Gadis itu menghempaskan diri ke sofa dan menghela napas dalam.

Pemuda itu tersenyum, berusaha sekuat tenaga untuk tidak menatap ke arah Racunvora. “Kamu baik-baik saja?” tanyanya pada Lili.

Gadis berambut coklat itu balas tersenyum. “Iya, terima kasih.”

“Tenang saja. Nadine pasti bisa menyelamatkan cowokmu.”

Lili menatapnya. “Dari mana kamu tahu? Nadine yang memberi tahu?”

Reinald menggeleng. “Tidak diberi tahu pun aku sudah tahu. Terlihat dari sikapmu yang sangat mengkhawatirkannya.”

Gadis itu menghela napas lagi. “Aku memang benar-benar khawatir.”

“Sudah kukatakan, kan? Tenang saja. Percaya pada Nadine.”

“Ya, kamu benar,” Lili tersenyum. “Terima kasih, ya. Ternyata kamu orangnya baik juga.”

Rei menyeringai. “Baru tahu?”

Gadis itu tertawa pendek. “Ngomong-ngomong, kenapa tanganmu bisa terluka seperti itu? Kamu belum jawab, lho.”

Aduh, pertanyaan itu lagi. Bagaimana ia harus menjawabnya? ”Ehm, jadi begini. Waktu itu aku diserang makhluk aneh seperti monyet. Nadine menolongku. Dia berhasil menghabisi monyet aneh itu, tapi terluka karenanya.”

”Makhluk seperti monyet?” Lili tampak khawatir. ”Makhluk apa itu? Kenapa makhluk itu menyerangmu?”

”Aku juga tidak mengerti. Monyetnya naksir aku barangkali?”

Lili tertawa, tawa kecil yang sesaat menghilangkan kekhawatiran di wajahnya. ”Jadi Nadine menolongmu. Dia menggunakan ­grae-nya?”

”Iya, makanya aku jadi tahu kalau Nadine itu grasth,” dari sudut mata, Reinald bisa melihat Racunvora kini bertengger di dinding di belakang Lili. Sial, jangan sampai Lili melihatnya! “Aku sempat kaget juga sih, tidak menyangka akan melihat hal-hal magis seperti itu di dunia ini. Tapi, yah, karena melihat dengan mata kepala sendiri, mau tidak mau jadi percaya, kan?”

Lili mengangguk setuju. “Ya, kamu benar.”

Sesaat ruangan itu menjadi hening. Lili tampak kembali tenggelam dalam kecemasan, sehingga Rei mengambil kesempatan untuk melirik ke arah Racunvora. Kembali, perintahnya pada ngengat itu, namun makhluk itu bergeming. Sial, kembali ke sini!

“Kira-kira apa yang akan Nadine lakukan untuk menyelamatkan Lex, ya?” Lili menatapnya, dan pemuda itu buru-buru mengalihkan mata dari hewan artefak itu.

“Aku tidak tahu, tapi aku yakin Nadine pasti sudah menyusun rencana. Ngomong-ngomong, ceritakan soal Nadine dong, waktu dia di Ildarrald Daevar bersamamu. Nadine tidak pernah mau bercerita tentang itu padaku”

Mendadak raut wajah Lili berubah. Gadis itu tampak seperti seseorang yang disuruh mengingat sesuatu yang sebenarnya tak ingin ia ingat-ingat lagi. Namun beberapa saat kemudian gadis itu tersenyum, seolah ingin menutupi reaksinya tadi, “Kenapa bertanya seperti itu?”

“Aku hanya ingin tahu segala sesuatunya tentang Nadine.”

”Nadine itu… orangnya baik. Dia selalu mau menolong orang lain, kadang-kadang tanpa memikirkan dirinya sendiri. Orangnya tegas, berjiwa pemimpin, dan selalu siap melakukan tugas apa pun yang diberikan padanya. Ia juga sangat loyal.”

“Oh? Kalau begitu, kenapa tadi waktu pertama bertemu dengannya, kamu terlihat takut? Indra dan Melinda juga begitu. Kalian seperti bertemu hantu saja.”

Untuk kedua kalinya Lili terdiam. Sejenak gadis itu berwajah tegang, namun kemudian ia kembali tersenyum. ”Ah, tidak kok. Barangkali hanya perasaanmu saja. Ngomong-ngomong, kuambilkan minuman dulu, ya.”

“Tidak usah,” sahut pemuda itu cepat, tahu kalau Lili berkata seperti itu karena tak ingin menjawab pertanyaan terakhir tadi. Namun gadis itu telah berlalu ke arah dapur.

Mendapatkan kesempatan, Rei cepat menoleh ke arah Racunvora. Ngengat jadi-jadian itu kini menempel di dinding belakangnya. Racunvora, kembali! perintah pemuda itu, namun lagi-lagi hewan itu bergeming. Ada apa sebenarnya dengan makhluk itu? Reinald menajamkan konsentrasi, memfokuskan pikiran pada ngengat tersebut. Kembali. Kembali. Racunvora, aku perintahkan kamu untuk kembali!

Mendadak tanpa peringatan apa pun pandangannya berubah. Detik sebelumnya ia sedang memandangi ngengat tersebut. Detik berikutnya ia memandangi seseorang dari sudut yang aneh, seolah ia sedang berada di ketinggian dan orang itu berada di bawahnya.

Dan orang itu adalah dirinya sendiri.

Rei tersentak kaget dan jatuh terjerembab ke lantai. Napasnya terdorong keluar, dan untuk beberapa saat ia tak mampu berpikir. Apa yang sedang terjadi? Apa itu tadi?

Darah kembali mengalir ke kepalanya, membuatnya mampu berpikir, dan pemuda itu kembali duduk di sofa, lalu mendongak ke atas. Ke arah hewan jadi-jadian yang masih menempel di dinding sana. Apa mungkin? Apa mungkin ia baru saja melihat dari mata ngengat itu?

“Silakan.”

Reinald berbalik dan menatap Lili. Gadis itu telah mengisi ulang teko tehnya, dan sedang menuangkan isinya ke dalam cangkir. Melihat pandangan pemuda itu, Lili terdiam sejenak. “Kenapa?”

“Tidak apa-apa.” Ia harus mencobanya lagi. Memastikan apakah ia memang bisa memasuki pandangan Racunvora atau tidak. Tapi nanti, di Farsei Foruna. Jangan di sini. Jangan di depan Lili.

“Mengkhawatirkan Nadine?” tanya gadis itu seraya duduk di hadapannya.

Pemuda itu meminum tehnya. “Sedikit,” akunya.

“Tenang saja. Nadine pasti baik-baik saja. Begini-begini kemampuan penyembuhanku lumayan juga, lho.”

“Aku tak pernah meragukan itu,” Rei tersenyum pada gadis itu. “Aku hanya… khawatir saja.”

“Aku mengerti,” sahut Lili. “Nadine itu suka tak memikirkan dirinya sendiri. Dulu dia sering marah-marah kalau ada dari kami yang tidak menjaga diri, tapi dia sendiri tidak pernah peduli kalau dia terluka demi menjaga kami. Aneh, ya.”

Rei meletakkan cangkir di atas piringnya. “Ngomong-ngomong, ketua Ildarrald Daevar itu Aryo, kan? Kenapa kamu tidak minta tolong padanya?”

Wajah Lili kembali membeku, seolah-olah nama Aryo memicu sesuatu pada diri gadis itu. Rei mengamatinya lekat-lekat. Kalau gadis itu mencoba untuk mengalihkan pembicaraan lagi, kali ini pemuda itu tidak akan tinggal diam.

”Aku sudah minta tolong padanya,” sahut Lili akhirnya. ”Tapi Aryo sedang tidak di sini, jadi ia tak bisa membantu.”

”Oh, gitu? Kalau yang namanya Ferdi? Nadine sempat menyebut namanya.”

”Dia juga tidak di sini.”

“Di mana? Galazentria?”

Reinald melihat bahwa ekspresi Lili memucat mendengarnya. “Di mana itu?” kejar pemuda itu.

”Itu…” gadis itu tampak ragu sejenak. ”Di luar negeri.”

”Oh ya? Di mana? Aku kok tidak pernah dengar ada kota namanya Galazentria?”

”Ada, kok. Di Inggris sana.”

Ekspresi Lili tampak meyakinkan, namun Reinald tahu pasti kalau gadis itu berbohong. Mana ada kota bernama Galazentria di Inggris? Tapi ia memutuskan untuk berpura-pura percaya. ”Wah, jauh, dong.”

”Makanya aku senang sekali waktu tahu Nadine sedang ada di Bandung. Kalau tidak, siapa lagi yang bisa menolongku?”

Rei mengangguk setuju. “Tapi sejauh-jauhnya Inggris, seharusnya Aryo dan Ferdi tetap bisa kembali ke sini, kan? Ada yang namanya pesawat. Apalagi kalau masalahnya sedarurat ini.”

Wajah Lili menegang lagi. “Kenapa kamu bertanya-tanya seperti ini, sih? Aku jadi curiga kalau kamu sebenarnya memang mata-mata.”

“Aku bukan mata-mata. Aku hanya ingin tahu tentang Nadine. Juga tentang kelompoknya, yang tampaknya sebegitu ia sayangi sampai ia mau membahayakan nyawanya sendiri untuk kelompok itu.”

“Kenapa kamu tidak tanya langsung padanya?”

“Sudah kukatakan, kan? Nadine tidak mau bercerita padaku.”

“Mungkin memang ada alasannya kenapa Nadine tidak mau cerita padamu. Mungkin memang lebih baik kalau kamu tidak tahu apa-apa tentang Nadine.”

Rei menatap gadis itu. Lili balas memandanginya, bibir gadis itu terkatup rapat. “Maksudmu?” tanya pemuda itu.

“Mungkin kalau kamu tahu yang sebenarnya, kamu tidak akan mau jadi pacar Nadine.”

“Apa itu maksudnya?”

Lili menatapnya tajam. “Kalau kamu memang mau tahu, tanya saja sendiri pada Nadine. Jangan padaku.”

“Lili, dengar, ya. Aku tidak peduli siapa pun Nadine. Apa pun dia. Aku hanya ingin membantunya. Hanya ingin membuatnya bisa mempercayai orang lagi. Hanya ingin bisa memeluknya dan berkata kalau aku akan selalu melindunginya. Kalau aku…”

”Mencintainya?” potong Lili.

Reinald tertegun. Mencintai Nadine? Apa itu alasan di balik semua kepeduliannya pada gadis itu? Kenapa ia selalu ingin ada di samping Nadine?

”Aku sudah berjanji akan selalu menjaganya,” pemuda itu mendengar dirinya sendiri menjawab. ”Dan aku peduli padanya.”

Lili mengamatinya sejenak, kemudian mendengus. ”Yah, kalau itu istilahmu. Kamu mau tahu jawaban pertanyaanmu? Kuperingatkan, ya, jawaban yang akan kamu dengar mungkin tidak akan kamu suka.”

”Tidak apa-apa,” sahut Rei. ”Apa pun jawabannya, penilaianku pada Nadine tidak akan berubah.”

Lili menghela napas dalam. ”Nadine itu tangan kanan Aryo. Dulu di kalangan kami, sering disebut-sebut kalau tangan kanan Aryo adalah pedang, sedangkan tangan kirinya adalah pisau.”

”Maksudnya?”

Gadis itu memandanginya dalam-dalam ”Maksudnya Nadine itu algojo. Dan yang seorang lagi, tangan kiri Aryo, itu pembunuh.”

Algojo? Nadine? ”Maksudnya apa?” tanya Rei lagi.

Lili menyandarkan punggung ke sofa. ”Kamu sudah dengar apa sebenarnya Ildarrald Daevar itu. Kami adalah sebuah organisasi grasth yang membasmi grasth lain yang melanggar aturan. Kalau pembasmian tersebut perlu dilakukan secara sembunyi-sembunyi tanpa meninggalkan jejak sama sekali, tangan kiri Aryo lah yang bertugas. Kalau pembasmian itu harus dilakukan secara terang-terangan, untuk memberi contoh bagi yang lain, Nadine lah yang pergi. Dan biasanya, contoh ini… dibuat semengerikan mungkin agar kelompok lain jera.”

Reinald merasakan sesuatu yang dingin menjalari punggung dan meremas jantungnya. ”Apa…” di luar dugaan, suaranya mendadak menjadi serak. ”Apa kamu pernah melihat… contoh itu?”

”Syukurnya tidak secara langsung,” jawab Lili. ”Kalau iya, mungkin aku bisa mimpi buruk seumur hidup. Aku sudah cukup hampir terkena serangan jantung ketika melihat Nadine pulang dari salah satu tugas itu. Sekujur tubuhnya masih penuh darah, mukanya dingin tak berekspresi. Kupikir ada malaikat maut yang datang.”

Sebuah pemandangan terbayang di depan mata Rei. Bayangan Nadine yang baru saja keluar dari kamar. Wajah yang pucat pasi, lingkaran hitam di bawah kedua matanya, bibir yang terkatup rapat.

Dan mata yang seolah-olah baru melihat beribu kematian.

Apa waktu itu Nadine baru pulang dari membunuh lagi? Atau gadis itu teringat akan semua nyawa yang sudah dicabutnya?

”Apalagi matanya. Tidak heran kalau Nadine menyandang sebutan Felledia.”

Reinald baru sadar Lili telah melanjutkan penjelasannya. ”Bukannya Felledia itu memang nama Nadine?”

Lili mendengus. ”Felledia itu bahasa Ildaris. Artinya Mata Biru.”

”Apa maksudnya? Mata Nadine kan hitam?”

Gadis itu memandangnya dengan tatapan menusuk. ”Kamu harus menanyakannya sendiri pada Nadine.”

Tanya sendiri sama Nadine? Sepertinya semakin ia ingin mengenali gadis itu, semakin panjang daftar pertanyaan yang harus ia ajukan kepadanya.

”Kamu tanya kan, kenapa sepertinya kami takut pada Nadine?” lanjut Lili. “Ya, kami semua memang takut padanya. Siapa yang tidak takut pada orang yang sanggup melakukan hal-hal seperti itu? Nadine memang sahabat kami, tapi membayangkan kalau dia bisa begitu saja mencabut nyawa orang lain, dan dengan cara yang sangat kejam, membuatku tidak bisa berhenti merinding kalau ada di dekatnya. Lagipula, dulu pernah ada kejadian yang membuat kami pertama kali takut padanya. Kalau dipikir-pikir lagi, sepertinya semenjak kejadian itu juga lah Nadine mau menjadi algojo Aryo.”

”Kejadian apa?”

Lili menghela napas. ”Kejadian itu ada hubungannya dengan orang yang bernama Ronny. Dia itu seumur dengan Aryo. Dia itu…”

Mendadak pintu kamar Lili terbuka, dan Nadine muncul dari sana. Gadis itu terhuyung-huyung, wajahnya masih amat pucat. Sejenak mata gadis itu mengamati seisi ruangan, seakan berusaha mencerna apa yang sedang terjadi. Kemudian mata  tersebut berhenti pada Reinald.

”Rei?” suara gadis itu masih kental akan rasa kantuk.

Pemuda itu melompat berdiri dan segera menghampiri gadis itu. “Ada apa?”

Nadine mengerjap beberapa kali, seolah masih pusing. “Aku… terbangun…”

Rei meraih gadis itu ke dalam pelukan. Satu sisi dalam dirinya cukup terkejut karena gadis itu tidak melawan sama sekali. “Bagaimana keadaanmu?”

Nadine menyandarkan kepala ke dada pemuda itu. “Capai,” gumam gadis itu. “Berapa lama aku tidur?”

Sepertinya gadis itu memang benar-benar kelelahan. Kalau tidak, ia tidak akan bersikap seperti ini. Reinald mendekapnya erat dan membelai kepala gadis itu lembut. “Baru sebentar, kok. Baru juga sejam. Sana, tidur lagi.”

”Iya,” timpal Lili. ”Kamu belum cukup istirahat. Lebih baik kamu tidur lagi, Na.”

Sepertinya Nadine baru sadar bahwa Lili juga ada di sana. Gadis itu langsung membuka mata dan menegakkan tubuh. Melepaskan diri dari pelukan Rei, membuat pemuda itu ingin mengerang kesal.

”Sejam sudah cukup,” sahut Nadine. Kelelahan sudah lenyap sama sekali dari suaranya. “Masih banyak yang harus kita lakukan.”

”Belum cukup. Dengan luka seperti itu, minimal kamu harus berbaring tiga jam lagi,” protes Lili.

”Kita harus cepat-cepat menyelamatkan Lex,” sahut Nadine tegas. ”Kamu juga maunya begitu kan, Li?”

Lili masih terlihat ingin memprotes, tapi akhirnya gadis itu menutup mulutnya kesal.

“Lili hanya khawatir padamu,” Reinald tersenyum pada Nadine. “Sekarang, kamu minum dulu, ya? Kamu pasti haus.”

Nadine tidak berkata apa-apa, namun gadis itu membiarkan dirinya dibimbing ke arah sofa. Dari cara gadis itu menumpukan berat badan pada Rei, pemuda itu tahu bahwa rasa pusing masih mendera Nadine. Namun Reinald diam saja, tahu bahwa jika ia mengemukakan hal itu, Nadine malah akan semakin menyembunyikan kondisi tubuhnya.

Gadis itu duduk, lalu mulai minum perlahan. Tangannya yang menggenggam cangkir masih sedikit gemetar, namun pelan-pelan warna mulai kembali ke wajahnya. Setelah menghela napas beberapa kali, Nadine mengedarkan pandangan, “Melinda dan Indra mana?”

“Pulang untuk menyiapkan barang-barang. Kan kamu yang menyuruh mereka untuk menginap di sini?” sahut Rei.

Nadine mengamatinya sejenak, seolah pikirannya belum bisa mencerna perkataan pemuda itu. “Oh, iya ya?” akhirnya ia bergumam. Kemudian gadis itu berpaling pada Lili. “Li, aku pinjam satu atau dua baju Lex, ya. Kalau bisa yang paling sering dia pakai.”

Gadis berambut coklat itu mengangguk. “Aku ambilkan dulu.”

Setelah Lili menghilang ke dalam kamar, Nadine menghempaskan diri ke sofa dan menutup mata. Gadis itu menghela napas dalam, seolah baru saja melakukan pekerjaan yang memeras semua tenaga yang tersisa dalam tubuh.

Reinald menggenggam tangan gadis itu. “Seharusnya kamu istirahat lagi saja.”

Nadine menatapnya. “Aku tidak apa-apa. Sebentar lagi juga akan baik-baik saja.”

“Kamu selalu seperti ini. Memaksakan diri padahal sebenarnya kamu sudah hampir tumbang. Kenapa kamu tidak pernah mau minta bantuan orang lain? Aku selalu siap membantumu. Yang perlu kamu lakukan hanya memintanya.”

Gadis itu tak menjawab, hanya memandanginya. Kemudian pelan-pelan Nadine tersenyum, senyum tulus yang memenuhi wajahnya, membuat napas pemuda itu tertahan di tenggorokan.

“Terima kasih, Rei.”

Pemuda itu mengerjap, tidak menyangka akan mendengar kata-kata tersebut. Ketika ia akan menyahut, Lili telah keluar dari kamar, membawa setumpuk kain di tangan. Senyum Nadine seketika menghilang, dan gadis itu kembali duduk tegak.

“Ini baju Lex yang paling sering dia pakai,” kata Lili setelah kembali duduk di sofa. “Untuk apa ini sebenarnya, Na?”

“Untuk berjaga-jaga saja, Li,” Nadine menerima pakaian tersebut. “Kamu standby di sini, ya. Rumahmu kita jadikan pusat komando. Aku sudah melapisi rumah ini dengan sihir perlindungan. Kalau Melinda dan Indra sudah kembali, suruh Indra mencari informasi lagi, dan suruh Melinda untuk terus meramal. Coba ingat-ingat lagi semua hal yang pernah dikatakan Lex, mungkin ada petunjuk di situ yang terlewat oleh kita. Yuk, Rei.”

”Mau ke mana, Na?” tanya Lili. ”Bukannya kamu katakan pusat komandonya di sini? Kamu tidak menginap di sini juga?”

”Nanti, Li,” sahut Nadine. ”Ada yang harus kulakukan, dan itu tidak bisa dilakukan di sini. Salah-salah, tempat ini malah bisa jadi sasaran. Kalau ada perkembangan, pasti akan langsung kuberitahukan padamu.”

Lili mengangguk, dan mengikuti Nadine meninggalkan ruangan. Reinald sengaja agak berlama-lama di belakang keduanya. Pemuda itu melirik ke arah dinding, dan itu dia di sana. Racunvora masih menempel di permukaannya, tak bergeming sama sekali.

Bagaimana caranya agar ngengat itu mau kembali ke liontinnya? Apa ia harus menggunakan cara paksa, mengambil hewan tersebut dengan tangannya? Tapi tempat makhluk itu berada jauh tinggi di dekat langit-langit, tak terjangkau olehnya. Jadi, bagaimana ini? Apa yang harus ia lakukan?

Seolah-olah mendengar kebingungannya, Racunvora melayang turun dan hinggap di dadanya. Kemudian wujud ngengat itu pun menghilang, kembali ke dalam liontinnya.

Rei mendengus kesal. Dari tadi, kek! Kemudian pemuda itu segera menyusul Nadine keluar rumah.

***

Category(s): Artefaktor

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

 

You may use these HTML tags and attributes: <a href="" title=""> <abbr title=""> <acronym title=""> <b> <blockquote cite=""> <cite> <code> <del datetime=""> <em> <i> <q cite=""> <s> <strike> <strong>