Entry Edisi Epik (Januari 2013) – Katalis

Dari balik bayang-bayang tembok Rima mengamati rumah berpagar putih tak jauh dari sana. Bangunan itu tak ada bedanya dengan rumah-rumah lain di kawasan Pondok Gede ini. Langit malam pekat tak berawan menenggelamkan daerah tersebut dalam keremangan.

Sejak sepuluh menit lalu rekan-rekan satu timnya telah berada di posisi masing-masing, mengepung rumah tersebut, siap menyerbu. Namun entah kenapa Kapten tak kunjung memberikan perintah.

Untuk kesekian kalinya Rima melirik panel di tangan kirinya. Titik merah, yang menandakan target mereka, masih belum bergerak. Namun empat titik lain, musuh, semakin mengepung titik merah tersebut. Gadis itu menggertakkan gigi. Apalagi yang Kapten tunggu?

Sesaat perhatian gadis itu teralihkan ke ujung jalan, tempat massa berkumpul di belakang garis perimeter. Walaupun sudah dihalau polisi, masyarakat sekitar masih saja mendekat untuk menonton. Bahkan ada tukang nasi goreng yang nekat berjualan tepat di depan garis kuning polisi, membuat Rima menggeleng-geleng.

Mendadak sesuatu bergerak di sudut matanya, membuat gadis itu menoleh cepat. Cahaya perak terlihat berkilau melalui jendela rumah sasaran mereka. Sinar tersebut hanya berarti satu hal.

Musuh telah mengaktifkan medan gravitasi Sakaimatter, siap menyerang target.

Rima sontak melesat maju. Sesaat ia bisa mendengar seruan Kapten yang menyuruhnya berhenti lewat komunikator di telinganya, sebelum gadis itu mematikan alat tersebut. Rima bergegas melompat ke gerbang rumah, memanjatnya dan melemparkan diri ke pekarangan di baliknya. Kemudian gadis itu melesat ke beranda seraya menarik pistol otomatisnya dari pinggang. Pintu rumah sudah dalam keadaan terdobrak, hasil kerja musuh. Rima mengangkat pistol dan menerobos masuk.

Ruangan yang hancur menyambutnya. Hampir semua perabotan di sana sudah terguling atau patah. Di sudut ruangan seseorang bersandar miring ke dinding, tangannya memegangi perut. Di hadapannya satu musuh sudah terkapar di lantai, namun tiga orang masih mengepungnya, berpakaian hitam-hitam anti peluru lengkap dengan pelindung kepala. Medan gravitasi Sakaimatter berpendar di sekeliling mereka, selubung energi bercahaya perak.

Rima melihat ketiga prajurit musuh serentak menoleh ke arahnya, dan gadis itu serta-merta mengaktifkan superkonduktor di pistolnya ke titik maksimum dan menembakkannya tiga kali. Medan magnet yang dihasilkan superkonduktor membuat peluru pistolnya terlontar dengan kecepatan beratus kali lipat senjata biasa. Peluru-peluru tersebut menembus selubung energi perak, dan medan gravitasi Sakaimatter membuatnya melaju makin kencang sampai hampir tak terlihat. Hanya terdengar bunyi teredam ketika peluru menembus pelindung kepala masing-masing prajurit lawan, dan orang-orang itu pun tumbang dengan darah terpercik ke mana-mana.

Sebuah benda terlempar dari tangan salah seorang dari mereka, sebuah alat pengaktif medan gravitasi Sakaimatter. Rima menembak alat tersebut, dan selubung cahaya perak di tempat itu pun menghilang.

Rima menarik napas panjang, barulah menatap orang di hadapannya. Seketika itu juga gelombang emosi menerpanya. Sudah bertahun-tahun sejak terakhir kali ia melihat pemuda itu, namun Rima tak pernah melupakan wajahnya yang lembut dengan sorot mata teduh. Namun saat ini mata tersebut sedang menatapnya tajam penuh kewaspadaan, seakan masih mengantisipasi serangan.

Gadis itu menyarungkan pistol ke pinggang. “Kau baik-baik saja?” ia bertanya setenang mungkin, namun tak urung suaranya bergetar juga.

Pemuda itu mengerutkan kening. “Kamu…?”

Rima melepaskan pelindung kepalanya. “Ini aku, Ndre.”

Pemuda itu sontak terbelalak. “Rima? Apa yang…? Bagaimana…?”

Kerinduan menerpa gadis itu, mencekik tenggorokannya. Banyak yang ingin ia katakan, tapi yang keluar dari mulutnya hanyalah, “Aku mencarimu.”

Andre menggeleng tak percaya. “Mencariku? Tapi, kenapa…?” mendadak pemuda itu merosot dari dinding dan jatuh terduduk.

“Andre!” Rima buru-buru meraih pemuda itu. Baru saat itulah ia melihat luka di perut Andre, lubang bundar yang tembus sampai ke punggungnya. Pemuda itu ternyata sempat tertembak.

Dengan satu tangan Rima menekan luka tersebut, sementara tangannya yang satu lagi mengaktifkan komunikator. “Target berhasil diamankan, namun terluka. Kuulangi, taget terluka. Kirim bantuan medis secepatnya!”

“Jangan kira aku akan membiarkan tindakanmu hari ini, Rima!” terdengar teriakan balasan dari komunikator.

“Hukum aku sesukamu nanti, Kep. Tapi pastikan bantuan medis sampai secepatnya!”

“Jangan memberikan perintah seenaknya!” bentak Kapten, namun yang berikutnya terdengar dari komunikator adalah seruannya pada tim medis agar bergerak secepat mungkin.

Rima menatap Andre. Mata pemuda itu terpejam, wajahnya pucat pasi, namun ia masih bernapas.

“Bertahanlah, Ndre. Kamu sudah selamat. Aku sudah menemukanmu. Bertahanlah…”

***

Rima sedang duduk di kursi di samping tempat tidur ketika Andre membuka mata. Pemuda itu memandangi langit-langit ruangan sejenak, sebelum kemudian menoleh menatapnya.

Gadis itu bangkit dan menghampiri pemuda itu. “Bagaimana keadaanmu?”

Sejenak tak ada jawaban. “Rima,” akhirnya pemuda itu mengucap, suaranya masih serak. “Kamu benar-benar Rima?”

Gadis itu tersenyum, meraih tangan pemuda itu dan menggengamnya. “Ini aku.”

Sesaat pemuda itu hanya terus memandanginya. Kemudian tangannya balas meremas genggaman gadis itu. “Ini bukan mimpi,” gumamnya. “Ini benar-benar bukan mimpi…”

“Beristirahatlah. Kamu beruntung peluru yang mengenaimu langsung tembus keluar dan tidak mengenai organ penting. Kata dokter–“

“Di mana ini?”

Rima menatap Andre, yang balas memandanginya. “Rumah sakit Badan Antariksa Nasional,” jawab gadis itu.

“BAN? Kamu anggota BAN sekarang? Kukira kamu benci tentara.”

“Secara teknis BAN bukan bagian angkatan bersenjata.”

“Kamu kira aku tidak tahu? Aku tahu kalau BAN sebenarnya ada di bawah Angkatan Antariksa Indonesia. Hanya saja pemerintah takkan pernah mengakuinya secara resmi.”

Dari mana Andre tahu hal itu? “Terus?”

“Terus? Rima, bukannya dulu kamu pernah bilang akan kuliah di jurusan Materi dan Energi Luar Angkasa? Mempelajari Sakaimatter? Kenapa sekarang kamu di sini?”

“Aku mencarimu.”

“Kenapa?”

“Sejak kamu dibawa pergi lima tahun lalu, aku sudah bertekad untuk menemukanmu.”

Ya. Lima tahun lalu, ketika baru saja lulus SMU, Andre tiba-tiba menghilang. Kedua orang tuanya tutup mulut mengenai hal tersebut, dan tak ada orang lain yang tahu ke mana pemuda itu pergi.

Baru belakangan Rima tahu kalau Andre dibawa pergi oleh para Katalis. Orang-orang yang dapat memanipulasi Energi Tolak yang ada di seluruh alam semesta ini. Energi dorong yang mempercepat perluasan alam semesta, dan dulunya dikenal dengan nama dark energy. Energi yang menyusun tiga perempat bagian dari seluruh alam semesta.

Setiap orang yang menunjukkan bakat Katalis memang akan langsung ditarik ke Akademi Merah Putih. Institusi tempat bernaungnya para Katalis, yang namanya merupakan penghormatan atas pendirinya. Sang Katalis Pertama, Heru Santoso, putra Indonesia. Andre, yang bakatnya terlihat setelah lulus SMU, juga langsung ditarik masuk.

“Kenapa, Rima?” suara Andre terdengar lagi. “Kamu tahu kan kalau berurusan dengan Katalis hanya akan membuatmu dipenjara?”

Atau bahkan lebih buruk lagi. Kata-kata tak terucap itu menggantung di antara mereka. Dua tahun lalu Perserikatan Antariksa tiba-tiba saja melarang keberadaan Katalis. Akademi Merah Putih diserbu dan semua anggotanya ditangkap. Beberapa dikabarkan berhasil melarikan diri, namun mereka dengan segera menjadi buronan yang paling dicari. Selain karena diburu pemerintah, banyak pihak lain yang juga ingin menguasai satu-satunya makhluk hidup di dunia ini yang dapat menggunakan Energi Tolak.

Tadinya Sakaimatter diharapkan dapat menandingi Energi Tolak para Katalis. Materi ini dulunya dikenal dengan dark matter, sesuatu yang “mengikat” setiap benda yang ada di luar angkasa. Pada abad keduapuluh satu seorang ilmuwan Jepang berhasil mengidentifikasi materi ini, yang namanya kemudian diabadikan sebagai nama benda tersebut.

Sakaimatter dapat menghasilkan Energi Tarik dan medan gravitasi yang dapat mengikat atom-atom dan unsur-unsur yang tadinya sama sekali tidak bisa dikombinasikan. Berbagai teknologi yang tadinya mustahil kini dapat diwujudkan dengan Sakaimatter; superkonduktor, sumber energi baru pengganti minyak bumi, dan terutama penjelajahan luar angkasa.

Namun energi tarik Sakaimatter tetap tak dapat menandingi Energi Tolak yang digunakan para Katalis. Dan seberapa banyak pun percobaan yang dilakukan, Sakaimatter tetap tak dapat menghasilkan Energi Dorong tersebut. Hanya para Katalislah yang dapat menggunakannya.

Para Katalis tetap memiliki kelemahan, yaitu mereka hanya bisa mengeluarkan kekuatan maksimalnya dalam kondisi gravitasi nol. Oleh karena itulah Sakaimatter sering digunakan untuk menghadapi seorang Katalis, untuk menghasilkan medan gravitasi agar seorang Katalis tak bisa mengeluarkan kekuatan maksimalnya.

Namun hal itu tak mengubah kenyataan bahwa hanya para Katalislah yang mampu menggenggam energi paling dahsyat di seluruh alam semesta ini. Itulah yang semakin menguatkan tekad Rima untuk menemukan Andre. Ketika mengetahui kalau nama pemuda itu tak ada dalam daftar Katalis yang ditangkap dari Akademi Merah Putih, gadis itu tahu bahwa keselamatan Andre hanya merupakan masalah waktu. Cepat atau lambat, akan ada seseorang yang menangkapnya.

Dan Rima telah bersumpah bahwa orang itu haruslah dirinya, walaupun ia harus mempertaruhkan segalanya untuk itu, termasuk nyawanya.

Gadis itu tersenyum. “Tidak semua orang memusuhi kalian. Selama beberapa tahun ini BAN telah menyelamatkan banyak Katalis. Kamu akan aman di sini, Ndre. Kamu tak perlu lagi melarikan diri.”

Rima mengira Andre akan merasa lega mendengar kata-kata itu. Namun di luar dugaan tatapan tajam pemuda itu tak berubah sama sekali. “Benarkah?” sahutnya. “Benarkah dengan ada di BAN aku akan aman?”

Tatapan itu terasa seperti peluru yang menghunjam. “Tentu saja,” tukas Rima ringan, berusaha menutupi sakit yang mendadak menyerang dadanya. “BAN didirikan untuk melindungi Katalis. Untuk itulah kami ada.”

Andre masih memandanginya. Kemudian pemuda itu tersenyum. “Aku senang sekali melihatmu lagi, Rima.” Tapi ada kesedihan yang dalam pada suara dan senyum itu, bercampur dengan kelelahan yang amat sangat.

“Beristirahatlah,” Rima menepuk tangan pemuda itu, sebelum melepaskannya dan meninggalkan kamar.

Di luar, Rima bersandar ke dinding. Kenapa? Kenapa Andre seakan tidak senang karena diselamatkan? Kenapa pemuda itu seakan tak percaya padanya? Dan ke mana tatapan teduh pemuda itu dulu? Senyumnya yang lembut?

“Rima.”

Gadis itu menoleh dan menatap Kapten. Makhluk Tarakaz tersebut menjulang di atasnya. Kemejanya yang tergulung sampai siku menampakkan kulit bersisik hijau cerah yang mirip kadal. Kemarahan terlihat jelas di ketiga mata kuningnya, dan kelima jemari kanannya menekuk di atas gagang senjatanya, seolah gatal untuk menggunakannya.

Rima menegakkan tubuh dan memberi hormat. “Anda ke sini untuk memberitahukan hukumanku?”

Kapten menggeram, “Akan kupastikan hukumanmu akan membuatmu tak bisa lagi beraksi seenaknya seperti kemarin!” Namun mendadak raut wajahnya melunak, kalau saja wajah seorang Tarakaz yang selalu tampak marah bisa disebut melunak. “Tapi itu nanti. Bagaimana keadaannya?”

Rima menatap Andre melalui jendela kamar. “Stabil.”

“Kita harus memindahkannya secepat mungkin.”

“Aku tahu.”

“Bagaimana dengan barang-barang yang ia bawa?”

Rima terdiam sejenak sebelum menjawab, “Ia tidak membawa barang apa pun.”

“Kamu yakin?”

“Aku sendiri yang memeriksanya.”

“Oke. Begitu dokter memperbolehkannya keluar, kita berangkat.”

“Siap.”

Sang Tarakaz pun berlalu. Rima menatap Andre lagi, sebelum kemudian mengikuti langkah-langkah Kapten.

***

Norsk Romsenter atau Norwegian Space Centre resminya berkantor di Oslo. Hanya sedikit yang tahu bahwa markas utama mereka ada di bawah laut Artik, dekat kota Reine, distrik Lofoten. Kota pariwisata kecil yang tenang itu sebenarnya merupakan gerbang masuk ke institusi luar angkasa terbesar di Eropa tersebut.

Seraya berjalan menyusuri dinding metal tebal di markas NSC, Rima memandangi Andre yang berjalan di hadapannya. Ketika berangkat dari Jakarta wajah pemuda itu masih pucat, namun ia kini berjalan tegak diapit dua petugas BAN. Tubuhnya sudah dibersihkan, rambut panjangnya yang acak-acakan dipotong rapi, dan kini dalam balutan jubah merah-putih Katalis, Andre terlihat seperti orang yang berbeda.

Mereka berhenti di depan pintu ganda besar dari metal. Terdengar bunyi klik dan pintu tersebut bergeser membuka. Di posisi paling depan Kapten melangkah masuk, disusul Andre dan kedua petugas BAN, baru Rima.

Ruangan luas yang merupakan pusat NSC menyambut mereka. Berpuluh-puluh hypercomputer memenuhi tempat tersebut. Manusia dan makhluk asing lalu lalang di sana, semuanya terbalut seragam perak-hitam NSC.

Di ruang kerja Direktur Utama NSC, Direktør Isak Lund sendiri yang menerima mereka. Pria Norwegia tersebut sudah cukup berumur, namun tubuhnya yang bangkit dari balik meja kerja tampak masih amat tegap dan liat.

“Selamat datang, Katalis Witjaksono,” sambutnya dalam bahasa Inggris yang fasih. “Aku sungguh bersyukur rekan-rekan BAN berhasil menyelamatkanmu tepat waktunya.”

“Terima kasih,” sahut Andre dalam bahasa yang sama, namun nada suaranya teramat dingin, dan pemuda itu menatap sang Direktør tajam.

Pria itu beralih pada Kapten. “Seperti biasa, kerja tim Anda sangat baik.”

“Terima kasih.”

“Bagaimana dengan barang-barang sang Katalis?” mendadak pria itu bertanya dalam bahasa Norwegia.

Rima mengerutkan kening. Kenapa sepertinya semua orang amat berminat pada barang-barang milik Andre? Dan kenapa Direktør menanyakannya dalam bahasa Norwegia, seakan tak ingin Andre tahu?

“Ia tidak membawa apa pun,” jawab Kapten.

“Begitu?” sahut Direktør, kembali menggunakan bahasa Inggris. “Baiklah, sekarang setelah sang Katalis berhasil diantarkan dengan selamat, kami akan memastikan keamanan dan keselamatannya.”

Kata-kata itu diucapkan dengan ramah, namun jelas mengandung makna pengusiran. Kerja BAN sudah selesai. Kini Andre ada dalam wewenang NSC.

Entah kenapa hal itu menimbulkan rasa tak enak di hati Rima. Ditambah kenyataan bahwa selain mereka terdapat sepuluh agen NSC bersenjata lengkap di ruangan tersebut. Tangan Rima setengah terangkat ke pinggang untuk meraih pistol ketika gadis itu ingat kalau semua senjata mereka telah ditinggalkan di pintu masuk NSC.

Di depannya Kapten sudah berbalik. Namun alih-alih mengikutinya Rima berkata, “Apa yang akan kalian lakukan dengannya?”

Sang Direktør menatapnya. “Melindunginya, tentu saja.”

“Apa buktinya?”

Pria itu tersenyum. “Mungkin Anda khawatir, tapi–“

“Kalau NSC tak bisa menjamin keselamatan sang Katalis, BAN bisa mengambil kembali wewenang tersebut.”

“Petugas!” bentak Kapten, namun kata-kata tersebut terlanjur terucapkan. Wajah Direktør tetap tenang, namun matanya mulai berkilat.

Mendadak Andre tertawa pendek, membuat semua mata tertuju padanya.

“Keamanan dan keselamatan?” ucap pemuda itu dingin, dan dengan sangat mengejutkan, dalam bahasa Norwegia. “Jangan bercanda. Kenapa tidak kau katakan saja kepada semua orang di sini bagaimana perlakuan NSC kepada setiap Katalis yang berhasil kalian tangkap? Bagaimana kalian mengurung kami, menyiksa kami, melakukan eksperimen-eksperimen keji demi mengetahui bagaimana kami bisa menggunakan Energi Alam Semesta?”

Rima terperangah mendengarnya. Di depannya raut wajah Direktør tak berubah sama sekali, namun nada pahit dalam suara Andre membuat Rima merasa pemuda itu sama sekali tak berbohong.

“Kamu ingin tahu kenapa aku bisa tahu rahasia busukmu?” lanjut Andre. “Kuberi tahu satu hal. Melalui Energi Alam Semesta, kami saling terhubung. Kami bisa merasakan satu sama lain. Keberadaan, juga rasa sakit dan penderitaan.”

“Bawa sang Katalis ke ruangan yang sudah disiapkan untuknya–“ Direktør mulai berucap.

“Kalian menangkapku karena menginginkan ini, bukan?” Andre membuka kedua tangan dan mendadak cahaya warna-warni muncul di atas telapaknya. Sedetik kemudian sebuah buku bersampul merah-putih dan berukir lambang Katalis jatuh ke tangannya.

Rima menahan napas. Buku. Relik dari masa lalu. Kenapa Andre bisa memilikinya? Pesatnya perkembangan teknologi dan informasi, juga ditetapkannya Akta Konservasi Dunia, membuat kertas tak lagi diproduksi. Media tulisan kini menggunakan alat elektronik yang jelas lebih praktis, tahan lama, dan ramah lingkungan daripada buku.

“Tadinya kupikir benda ini layak dipertahankan,” kata Andre. “Tapi aku salah. Buku ini hanya membuat kami semakin diburu. Seharusnya kulakukan hal ini dari dulu.”

Mendadak Rima merasakan dirinya mulai melayang. Di sekelilingnya semua benda dan orang turut mengambang. Hanya Andre yang tetap berdiri di lantai. Entah bagaimana caranya, pemuda itu telah membuat gravitasi di ruangan tersebut jadi nol.

Buku di tangan Andre tiba-tiba buyar menjadi partikel-partikel kecil. Pemuda itu telah menggunakan Energi Tolaknya untuk menghancurkan benda tersebut. Kemudian ia mengangkat wajah dan menatap tajam Direktør Lund.

Namun detik berikutnya medan gravitasi Sakaimatter telah menyelubungi mereka semua. Benda-benda sontak terjatuh kembali ke lantai dengan bunyi nyaring. Rima merasakan gravitasi yang kuat menariknya dan ia pun mendarat dengan menekuk kedua kaki untuk mengurangi hentakan. Di depannya Andre masih berdiri tegak, namun kini sepuluh pistol mitraliur telah teracung ke arahnya.

“Sayang sekali Anda harus melakukan hal tersebut,” dengan tenang Direktør bangkit dari lantai. “Kami tak dapat menoleransi penggunaan Energi Tolak tanpa izin, dan kami akan menggunakan cara-cara keras untuk memastikan hal tersebut.”

Dalam sekejap dua agen NSC telah meringkus Andre. Pemuda itu memberontak, namun satu sodokan senjata ke perut membuatnya jatuh berlutut.

“Andre!” Rima menghambur ke arahnya, namun acungan pistol membuatnya terhenti. Dari sudut matanya ia bisa melihat Kapten dan kedua petugas BAN lain juga telah ditodong.

“Terima kasih, Løytnant,” kata Direktør pada salah satu agen NSC. “Sekarang tolong antar sang Katalis ke ruangannya, serta rekan-rekan BAN ke pintu keluar.”

Dua agen NSC mulai menyeret Andre pergi. Rima ingin sekali menghentikan mereka, namun todongan senjata membuatnya tak bisa bergerak. Secepat kilat gadis itu berusaha mencari alat pengaktif medan gravitasi Sakaimatter di ruangan itu. Kalau bisa menemukannya, mungkin ia akan bisa mematikannya, dan Andre mungkin akan bisa menggunakan kekuatan Katalisnya.

Tapi tak satu pun benda di ruangan itu yang mirip alat tersebut. Sementara itu Andre terus diseret pergi. Jadi dengan satu gerakan cepat Rima menyentakkan laras pistol yang teracung ke arahnya ke samping. Senjata itu meledak, namun pelurunya tak mengenai gadis itu. Rima mengayunkan sikunya sekuat tenaga ke bahu agen NSC di hadapannya, namun mendadak sesuatu menghantam perutnya.

Udara terdesak keluar dari paru-parunya dan Rima roboh ke lantai. Ia berjuang untuk bangkit lagi, namun kekuatannya seperti menghilang. Gadis itu hanya mampu mengangkat wajah untuk melihat agen NSC telah membawa Andre sampai ke pintu ruang kerja.

Pemuda itu berhasil menoleh ke belakang dan menatapnya sekilas. Tatapan tajam telah menghilang dari matanya, berganti dengan pandangan teduh miliknya dulu, lima tahun lalu. Andre tersenyum lembut, walaupun penuh kesedihan.

Detik berikutnya pintu metal tebal telah jatuh menutup di antara mereka berdua.

“Tidak,” Rima berusaha bangkit, namun tak kuasa melakukannya. “Andre. ANDRE!!!”

***

Rima terbaring di tempat tidur, air mata membasahi kasurnya. Entah sudah berapa lama sejak ia kembali ke kamarnya di markas BAN ini, namun tangisannya masih belum dapat dihentikan.

Lima tahun. Lima tahun lamanya ia mencari Andre. Dan ketika akhirnya berhasil menemukannya, sekali lagi pemuda itu direnggut darinya. Kali ini untuk selamanya.

Isakan terlontar dari bibirnya. Sekujur tubuhnya seperti dicabik-cabik.

Tak ada yang bisa ia lakukan sekarang. Andre telah sepenuhnya berada dalam tangan NSC, tanpa sedikit pun kemungkinan melarikan diri.

Tiba-tiba di sudut matanya Rima melihat sesuatu. Sebuah pancaran cahaya berwarna-warni.

Gadis itu mengangkat wajah dan melihat sebuah benda mewujud dari cahaya tersebut. Sebuah buku bersampul merah putih, berukir lambang Katalis.

Selama beberapa saat Rima hanya mampu menatapi benda tersebut. Kemudian jarinya terulur dan menyentuh permukaan buku. Terasa sedikit kasar, tekstur yang tidak familiar. Namun tak salah lagi, benda itu nyata.

Dengan jemari gemetar Rima membuka halaman pertamanya. Sesuatu yang terlipat ada di sana, beberapa lembaran kertas bertulisan. Gadis itu mengangkatnya hati-hati dan mulai membaca.

Rima,

Kamu pasti kaget ketika menerima buku ini. Kuharap aku takkan pernah harus memberikannya padamu, tapi aku tak punya pilihan lain.

Buku ini adalah penyebab kenapa Katalis dihapuskan keberadaannya dari alam semesta. Kenapa Perserikatan Antariksa memburu kami sampai orang terakhir.

Energi Alam Semesta adalah energi yang melingkupi seisi dunia. Di dalamnya tidak hanya ada tenaga dan kekuatan, namun juga ada informasi. Dengan mengaksesnya, seorang Katalis akan turut mengakses informasi tersebut.

Inilah berkah sekaligus kutukan seorang Katalis. Karena kami bisa mengetahui rahasia alam semesta ini. Bagaimana sebuah planet bisa terbentuk. Bagaimana dua galaksi bisa bersatu. Bagaimana alam semesta bermula.

Dan terutama, bagaimana alam semesta bisa dihancurkan.

Bisa kamu bayangkan bukan, apa yang akan terjadi jika informasi ini sampai jatuh ke tangan yang salah?

Kami tak berani mencatat informasi ini di media elektronik, yang selalu bisa di-hack kapan pun dan di mana pun. Oleh karena itulah kami menuliskannya di sebuah buku.

Mungkin inilah kesalahan terbesar kami. Mengira informasi ini bisa digunakan untuk kebaikan. Namun kenyataannya informasi ini hanya menghasilkan tragedi demi tragedi.

Seharusnya buku ini kuhancurkan saja. Tapi ternyata aku tak sanggup melakukannya. Aku terlalu pengecut untuk melakukannya.

Aku benar-benar tak ingin melibatkanmu dalam hal ini. Tapi tak ada lagi orang lain yang dapat kupercaya.

Selesai membaca surat ini, hancurkanlah buku ini. Lakukanlah hal yang tak dapat kulakukan. Itulah permohonan terakhirku padamu.

Rima. Ketika bertemu denganmu lagi, kupikir aku benar-benar bermimpi. Selama ini tak pernah sekalipun aku berani berharap akan dapat melihatmu lagi, karena tahu harapan itu hanya akan menghancurkanku.

Tapi ternyata kamu benar-benar ada. Kamu benar-benar datang menyelamatkanku.

Dan untuk pertama kalinya, dalam lima tahun terakhir ini, jantungku terasa kembali berdetak.

Terima kasih. Terima kasih telah mencariku. Terima kasih telah menggenggam tanganku sekali lagi.

Walaupun hanya sesaat, namun akan terus kukenang selama tubuh ini masih mampu bernapas.

Maafkan aku atas segalanya.

Selamat tinggal.

Air mata Rima kembali tertumpah. Gadis itu mendekap surat itu dan menangis tersedu-sedu. Jadi inilah alasan kenapa Katalis sampai diburu. Kenapa Andre sampai harus menghilang selama bertahun-tahun. Andre. Oh, Andre…

Gadis itu menatap buku merah-putih tersebut. Benda itu terlihat amat rapuh. Satu percikan api saja dapat menghancurkannya tanpa bekas.

Tapi sanggupkah ia melakukannya? Ketika masih ada kemungkinan kalau dalam buku itu tersimpan cara menyelamatkan Andre?

Tapi bagaimana dengan permohonan terakhir pemuda itu?

Dengan tangan bergetar Rima meraih buku tersebut dan mendekapnya erat.

Apa yang harus ia lakukan?

***

Category(s): Lomba Cerbul Kastil Fantasi

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

 

You may use these HTML tags and attributes: <a href="" title=""> <abbr title=""> <acronym title=""> <b> <blockquote cite=""> <cite> <code> <del datetime=""> <em> <i> <q cite=""> <s> <strike> <strong>