Entry Februari 2012 – Kastil Misterius

Dimas memandangi kastil yang berdiri di hadapannya. Bangunan tersebut terlihat amat tua di mata anak laki-laki tersebut. Bebatuan yang menyusun dinding-dindingnya berwarna abu-abu kotor, diselimuti lumut hijau di sana sini. Menara-menaranya yang tinggi seakan mencakar langit, dan jendela-jendela kastil yang gelap seperti mata yang memelototi siapa pun yang berdiri di hadapannya.

Seperti inikah kastil misterius tersebut? Kastil yang katanya ‘menelan’ siapa pun yang memasukinya, karena orang-orang yang menginjakkan kaki di bangunan tersebut tidak ada satu pun yang kembali?

Untuk ukuran bangunan yang mempunyai reputasi angker, penampilannya tidak terlalu mengesankan.

“Kenapa bengong?” Tanya Yuda yang berdiri di sebelahnya. “Ayo!”

Anak laki-laki bertubuh besar itu melangkah dengan bersemangat ke arah pintu ganda besar yang menjadi jalan masuk ke kastil. Ketika disadarinya Dimas tidak mengikuti, Yuda kembali berbalik. “Kenapa? Takut?”

“Kamu yakin ada harta karun di dalam sana?” Dimas mengabaikan nada mencemooh dalam suara Yuda.

“Tentu saja!” sahut Yuda. “Kalau tidak, kenapa Arjun yang masuk ke sana tidak kembali lagi? Dia pasti sudah jadi sangat kaya, sehingga tidak mau jadi pengemis lagi. Kalau si bodoh itu saja bisa, kenapa kita tidak?”

Tidakkah terpikir olehmu bahwa mungkin saja terjadi sesuatu pada Arjun, sehingga ia tidak kembali lagi ke rumah kumuh yang kita tempati bersama? Namun pemikiran itu tidak Dimas utarakan keras-keras.

Tidak sabar lagi, Yuda menghampiri Dimas dan menggenggam tangan anak itu. “Ayo!” anak laki-laki bertubuh besar tersebut menariknya, membuat Dimas tidak punya pilihan lain selain terseret mengikuti.

Di depan pintu, Dimas memperhatikan Yuda memeriksa kedua gagangnya sejenak. Mungkin ingin mengecek apakah ada perangkap atau tidak. Dengan gumam puas – mungkin karena tidak menemukan jebakan apa pun – Yuda mendorong kedua gagang tersebut. Dimas baru saja berpikir kalau pintu ganda itu tidak mungkin dibuka hanya dengan tenaga Yuda, ketika kedua daun pintu terayun membuka dengan mudah, tanpa suara.

Keremangan menyambut di baliknya. Angin dingin mendadak berhembus, seakan-akan kastil tersebut menghela napas panjang. Namun Yuda seperti tidak mengenal rasa takut. Dengan masih menggenggam tangan Dimas, anak laki-laki bertubuh besar itu berjalan masuk dengan percaya diri.

Sekali lagi Dimas tidak punya pilihan selain tertarik mengikuti.

Bagian dalam kastil tersebut sangatlah luas, berupa sebuah ruangan tunggal yang sangat besar, dengan tiang-tiang batu yang menopang langit-langit nun jauh di atas sana. Tidak ada sumber penerangan di dalam, namun ruangan tersebut tidak gelap. Batu-batu penyusun dinding dan lantainya seolah berpendar, memberikan cahaya yang cukup untuk melihat sekeliling, namun tidak cukup untuk menerangi keseluruhan ruangan, membuat kastil tersebut tenggelam dalam bayang-bayang.

Dimas memandangi sekelilingnya tanpa emosi. Walaupun kastil tersebut tampak menyeramkan, rasa takut tak menyerangnya sedikit pun. Mungkin karena sudah bertahun-tahun bertahan hidup di jalanan, membuat Dimas tidak lagi bisa merasakan apa pun. Rasa takut, senang, maupun sedih.

Yang ada hanya kehampaan, seperti halnya kehidupannya.

“Ayo kita masuk lebih ke dalam!” Yuda kembali menyeretnya, namun kali ini Dimas menyentakkan tangannya sampai terlepas.

Anak laki-laki bertubuh besar itu berbalik, memandanginya marah. “Kenapa kamu lepaskan tanganku?”

“Karena…” karena aku tidak suka kau perintah seenaknya, kata Dimas dalam hati. Namun yang keluar dari mulutnya adalah, “Kita harus berhati-hati. Siapa yang tahu apa isi kastil ini?”

“Aku tahu apa isi katil ini,” sergah Yuda. “Harta karun! Dan letaknya pasti di bagian terdalam kastil. Ayo, kita harus cepat menemukannya. Sebelum keduluan orang lain!”

“Bagaimana kalau ada jebakan?” tanya Dimas.

“Kita pasti bisa mengatasinya,” sahut Yuda. “Ayo. Kalau tidak, kutinggalkan kau di sini.”

Dimas baru akan membuka mulut untuk menjawab ancaman itu, ketika terdengar sebuah suara di samping mereka, “Ah, ada tamu rupanya, mmrraawww.”

Dimas terlonjak kaget. Jantungnya seperti tercabut dari dadanya. Namun instingnya yang tertempa bertahun-tahun cepat mengambil alih, dan Dimas pun melompat menjauh dari sumber suara tersebut. Di seberang sana, ia melihat Yuda juga telah mengambil jarak.

Di tempat suara tersebut berasal, dua buah sinar kuning melayang-layang di sana, tanpa ditopang apa pun. Apa itu? Apakah hantu, yang banyak diceritakan orang-orang di pasar?

“Lho, jangan takut. Maaf, Kapten Kucing tidak bermaksud menakuti kalian, mmrraww.”

Dimas mengerjap. Kapten Kucing? Baru kemudian ia sadari bahwa dua sinar tersebut ternyata adalah dua buah mata. Tepatnya, dua buah mata seekor kucing yang sedang berdiri di antara ia dan Yuda. Berdiri dengan dua kaki seperti manusia. Dan berbicara seperti manusia.

“Kalian pasti pendatang yang ingin dikabulkan keinginannya, bukan?”

“Eh?” Dimas berpandangan dengan Yuda. Anak laki-laki bertubuh besar itu juga terlihat sama herannya. “Maksudnya…?”

“Kastil ini adalah kastil yang dapat mengabulkan keinginan,” jawab Kapten Kucing. “Karena itulah banyak yang datang kemari untuk dikabulkan keinginannya.”

Kastil yang dapat mengabulkan keinginan? Tidak mungkin, batin Dimas. Di dunia ini tidak ada hal seaneh itu.

Dan, kalaupun itu benar, Dimas tahu bahwa hal tersebut tidak akan dilakukan dengan cuma-cuma. Sepanjang kehidupannya, Dimas dengan pahit mempelajari bahwa semua hal ada harganya. Jika permintaanmu ingin dikabulkan, kamu pasti harus membayar harga yang pantas.

Berapa harga yang harus dibayar untuk memenuhi keinginan itu? Apa jiwanya dan jiwa Yuda yang akan diminta? Apa karena itulah tidak ada seorang pun yang kembali dari kastil ini, karena semua orang yang dikabulkan permintaanya akan dicabut nyawanya?

“Bohong,” terdengar suara Yuda. Anak laki-laki memandangi Kapten Kucing lekat-lekat. “Kamu pasti bohong.”

“Kapten Kucing tidak bohong, mmraww,” sahut hewan tersebut, telinganya tertekuk sedikit.

“Kalau begitu, tunjukkan buktinya,” kata Yuda. “Kabulkan permintaanku.”

“Bukan Kapten Kucing yang bisa mengabulkan keinginanmu,” sahut si kucing. “Tapi Kapten Kucing bisa membawa kalian kepada seseorang yang mampu.”

“Kalau begitu, cepat bawa kami!” seru Yuda.

Kapten Kucing mengangguk. “Kemari, mmrraww,” sahutnya seraya mulai berjalan dengan dua kaki, seperti layaknya manusia.

Yuda antusias mengikuti, sementara Dimas masih ragu. Kucing yang bisa bicara? Orang yang bisa mengabulkan permintaan? Semua ini terlalu aneh. Terlalu berkesan seperti jebakan baginya.

“Ayo, mmrraww,” panggil Kapten Kucing. Hewan tersebut melambaikan tangan. “Jangan sampai tertinggal. Kastil ini luas. Tanpa pemandu, kamu bisa tersesat di sini.”

“Sudah, tak usah pedulikan dia!” desak Yuda. Namun Kapten Kucing tetap setia menunggu, ekornya yang panjang bergerak-gerak.

Dimas mengamati binatang tersebut. Tatapan matanya terkesan jujur. Yah, mungkin ada baiknya ia ikuti dulu si kucing. Mungkin orang yang akan mereka temui benar-benar dapat mengabulkan keinginan.

Tapi orang itu tidak akan bisa mengabulkan keinginanku. Tak seorang pun yang bisa.

Kapten Kucing terus memandu mereka. Sambil berjalan, Dimas memperhatikannya. Kucing tersebut mengenakan pakaian pelindung yang sepertinya terbuat dari besi, lengkap dengan topinya. Pakaian tersebut tampak berat, namun Kapten Kucing berjalan dengan ringan, seakan pelindung besi tersebut tak membebaninya sama sekali. Sungguh aneh.

Mereka terus berjalan, melewati lorong-lorong temaram, menaiki dan menuruni tangga. Mau tak mau Dimas mulai berpikir, jangan-jangan si kucing ingin membuat mereka tersesat? Apa mungkin? Padahal tadi tatapan mata Kapten Kucing sangat jujur, tak terlihat niatan mencelakai sedikit pun.

Kemudian terdengar sebuah suara dari sebelah kanan mereka. Dimas menarik napas tercekat. Di sampingnya, Kapten Kucing juga terlihat waspada.

Sesuatu muncul dari balik bayang-bayang. Sebuah sosok berkaki empat, bertubuh ramping, berkepala segitiga. Kemudian sosok itu menjelma menjadi seekor kijang berbulu keemasan. Kepalanya tertoleh ke kanan dan kiri, seolah sedang mencari sesuatu.

“Aduh, aku tersesat lagi!” gumam kijang tersebut.

Kapten Kucing menegakkan tubuh. “Nona Di?” panggilnya pada sosok itu.

Kijang tersebut menoleh. Ketika melihat Kapten Kucing, matanya membulat lega. “Kapten Kucing! Syukurlah!”

“Tersesat lagi, Nona?” tanya si kucing.

“Begitulah,” keluh si kijang, yang dipanggil Nona Di. “Kupikir aku sudah mengambil arah yang tepat, tapi ternyata lagi-lagi aku salah.”

“Nona mau ke mana?”

“Taman Belakang.”

“Kalau begitu, ikutlah bersama kami, mmrraww. Kami juga akan ke sana.”

Nona Di menatap Dimas dan Yuda. “Apa mereka ini adalah anak-anak yang ingin dikabulkan keinginannya?”

“Ya, Nona.”

Nona Di tersenyum. Matanya yang lembut berbinar-binar. “Kalian anak-anak yang beruntung. Ayo, Kapten Kucing, jangan membuat anak-anak ini menunggu lebih lama lagi!”

Mereka pun kembali berjalan. Nona Di di depan bersama Kapten Kucing, Dimas dan Yuda di belakang. Dimas ingin menggeleng-geleng rasanya. Pertama kucing yang bisa bicara. Sekarang kijang yang juga bisa bicara! Apa semua penghuni kastil ini adalah hewan-hewan ajaib seperti ini?

Tanpa Dimas sadari, mereka sudah meninggalkan lorong-lorong kastil yang berbayang, dan keluar ke udara terbuka. Dengan segera napas anak itu tercekat di tenggorokannya. Di hadapannya, terhampar taman yang luar biasa keindahannya. Rumput hijau terhampar sejauh mata memandang. Pepohonan rindang tumbuh di sisi kiri dan kanan taman, menawarkan keteduhan di bawah bayang-bayang mereka.

Rumpun bunga berwarna-warni tumbuh berkelompok, menambah semarak taman. Kemudian agak jauh di tengah taman, terhampar sebuah danau yang cukup luas. Airnya yang berwarna biru memantulkan cahaya matahari. Langit biru, dan bayangan pegunungan nun jauh di latar belakang menjadi pelengkap keindahan taman tersebut.

Baru beberapa saat kemudian Dimas menyadari bahwa taman itu dipenuhi oleh banyak orang. Tua maupun muda, tinggi maupun pendek, besar maupun kecil. Beberapa hewan juga terlihat di sana. Seekor angsa hitam sedang menari dengan anggun, diiringi beberapa anak yang bergerak segemulai si angsa. Seekor bebek kuning sedang duduk di tepi danau, dikelilingi banyak orang. Sayapnya seperti menulisi sesuatu di udara, namun alih-alih tulisan, bentuk-bentuk bermunculan di udara, berlompatan, dan orang-orang yang mengelilinginya pun bertepuk riuh melihatnya. Di dekat si bebek, seekor serigala putih sedang sibuk mencelupkan buah-buahan ke dalam cairan coklat, dan membagikannya pada siapa pun yang meminta, baik anak-anak maupun orang dewasa.

“Mana orang yang katanya bisa mengabulkan keinginan itu?” tiba-tiba terdengar suara Yuda, membuyarkan kekaguman Dimas akan tempat itu.

Kapten Kucing berpandangan dengan Nona Di. “Jangan terburu-buru, mmraww,” sahut si kucing.

Yuda melipat tangan di dada. “Jangan membuang-buang waktu lagi. Pokoknya aku mau bertemu dengannya!”

“Baiklah,” sahut Nona Di. Tapi bukannya beranjak, ia malah menoleh pada Dimas. “Apa keinginanmu, Dimas?”

Ditanya seperti itu, sontak Dimas gelagapan.

“Kenapa bertanya padanya?” seru Yuda marah.

“Sebelum bertemu orang itu, kalian sudah harus tahu apa keinginan kalian,” jawab Kapten Kucing. “Jika tidak, orang itu tidak akan dapat mengabulkannya. Kami tahu kamu sudah menyadari apa keinginanmu,”kata si kucing pada Yuda. “Namun, apa temanmu juga begitu?”

Tiga pasang mata menatapnya. Dimas menelan ludah. Apa keinginannya? Ia melihat Yuda memelototinya. Harta, mata itu seolah berkata. Katakan kalau kau ingin harta karun!

Dimas membuka mulut. Namun alih-alih menjawab seperti itu, yang keluar dari mulutnya adalah, “Aku tidak punya keinginan.”

Kapten Kucing menggeleng sedih. “Kalau begitu, kalian tidak bisa bertemu orang itu.”

“Apa maksudmu kami tidak bisa bertemu orang itu?” seru Yuda geram.

“Seperti yang sudah kukatakan, mrraww,” Kapten Kucing menggaruk telinganya resah. “Kalian sudah harus menyadari apa keinginan kalian sebelum menemuinya. Kalau tidak, orang itu tidak akan dapat mengabulkannya.”

“Kalau begitu, aku saja yang bertemu dengannya! Dia tidak usah ikut!”

“Tidak bisa,” jawab si kucing. “Kalian masuk berdua, maka kalian harus menghadap orang itu berdua pula.”

Yuda berbalik menghadap Dimas. “Kamu kan sudah tahu apa keinginanmu,” sahutnya dengan nada rendah berbahaya. “Kita sudah tahu apa yang kita mau!”

Mendengar ancaman itu, Dimas membuka mulut untuk mengiyakan perkataan Yuda. Namun lagi-lagi mulutnya mengkhianatinya dengan berucap, “Aku tidak punya keinginan.”

Mata Yuda membelalak. Anak laki-laki bertubuh besar itu sudah mulai melangkah maju, namun kata-kata Nona Di menghentikannya, “Sudahlah. Jangan paksa temanmu. Biarkan ia menyadari dulu keinginannya. Tak apa-apa bukan, menunggu sedikit lagi?”

Perkataan itu diucapkan dengan lembut, namun tetap ada ketegasan di baliknya, membuat Yuda terdiam. Setelah lama memandangi Dimas dengan tatapan marah, akhirnya Yuda berbalik dan melangkah kesal ke arah bangku di bawah pepohonan. Kapten Kucing mengikutinya.

Nona Di memalingkan wajah ke arah Dimas. “Benar kamu tidak punya keinginan?”

“Ya,” sahut anak laki-laki itu. “Kabulkan saja keinginan Yuda. Kasihan jika ia harus menungguiku sampai aku memiliki keinginan.”

“Begini saja,” kata Nona Di. “Berbicaralah dengan orang-orang di taman. Tanyai apa keinginan mereka. Mungkin dengan begitu kamu jadi bisa mengetahui apa keinginanmu.”

Sesungguhnya Dimas masih ragu, namun ketegasan Nona Di membuatnya melangkah ke taman. Yah, mungkin saja salah satu dari orang-orang itu bisa membantunya menyadari apa yang ia inginkan.

Dimas melangkah menyusuri taman. Orang-orang yang ia lewati semua tersenyum ramah dan melambaikan tangan padanya. Merasa rikuh, Dimas tetap menatap lurus ke depan, tak mengacuhkan mereka semua. Ia tak tahu harus membalas seperti apa. Sepanjang hidupnya, ia hanya pernah disapa dengan makian, lemparan benda, pukulan, bahkan tidak jarang serangan senjata tajam.

Si angsa hitam menarik perhatiannya. Anak-anak yang tadi menari di sekelilingnya tidak terlihat, namun si angsa masih terus menari anggun. Bintik-bintik putih di punggung dan sayapnya berkilauan terkena cahaya matahari, seperti manik-manik kaca yang indah.

Si angsa menyadari kedatangan Dimas dan menyapa, “Selamat siang.”

Dengan terkejut Dimas mendapati bahwa suara si angsa adalah suara laki-laki, tidak terlalu berat namun tetap berwibawa. “Se… selamat siang.”

“Ingin menari bersama?” tanya si angsa jantan.

“Tidak. Aku… tidak bisa menari.”

“Tidak bisa menari juga tak apa,” jawab si angsa. “Cukup gerakkan tubuhmu sesuka hati. Ayo, cobalah.”

Dimas masih merasa ragu, namun si angsa sudah meraih tangannya dengan sayap-sayap hitam, dan membawanya berputar.

Gerakan mereka tidak bisa disebut tarian, seakan hanya bergerak sembarangan saja. Namun anehnya, perasaan Dimas semakin lama semakin ringan. Seolah-olah setiap gerakan membawanya melayang sedikit demi sedikit ke angkasa.

“Menyenangkan, bukan?” tanya si angsa ketika akhirnya mereka selesai ‘menari’.

Mau tak mau Dimas mengangguk setuju. “Apa keinginanmu yang dikabulkan di kastil ini adalah terus menari?”

“Menari adalah sesuatu yang sudah mampu kulakukan dari dulu,” jawab si angsa. “Bukan, keinginanku yang dikabulkan bukan itu.”

“Apa itu?”

Si angsa menatapnya. “Keinginanku sama dengan keinginanmu.”

Tertegun, Dimas hanya bisa mengangguk ketika si angsa mohon diri darinya.

Masih dengan termangu, Dimas kemudian mendatangi si bebek dan si serigala. Si serigala sedang memanggang roti-roti yang berbau harum,membuat Dimas teringat kalau ia belum makan apa-apa dari kemarin. Mendengar bunyi perut Dimas, si serigala segera memberikan dua buah rotinya, yang segera dilahap Dimas. Roti-roti itu sungguh lezat!

Sementara itu si bebek masih menulisi sesuatu di udara, kata-kata dari cahaya berwarna-warni. Ketika si bebek membubuhkan tanda titik di akhir kalimat, dalam sekejap kata-kata cahaya itu meliuk, bersatu, kemudian membentuk seekor kuda bersayap yang mengentakkan kaki di atas gumpalan awan bergulung-gulung. Sebuah kata berubah menjadi sebentuk istana nun jauh di ujung hamparan awan, dan kuda bersayap itu berbalik, mengibaskan sayap-sayapnya, kemudian berderap mendekati istana tersebut. Semakin lama sosoknya semakin mengecil, sampai akhirnya kuda itu sirna bersama lenyapnya gumpalan awan dan istana.

“Apa keinginanmu adalah menghidupkan kata-kata yang kau tulis?” tanya Dimas kepada si bebek.

Hewan itu menggeleng. “Aku sudah memiliki kemampuan ini dari dulu. Bukan, keinginanku yang dikabulkan bukan itu.”

“Lalu apa?”

Si bebek menatapnya. “Keinginanku sama seperti keinginanmu.”

Lagi-lagi jawaban yang sama. Dimas menoleh ke arah si serigala, yang sedang sibuk melumuri roti-roti panggangnya dengan saus coklat yang menggiurkan.
“Apa keinginanmu adalah memasak makanan yang lezat?”

Si serigala tertawa. “Bukan. Aku juga sudah punya keahlian ini dari dulu. Keinginanku sama dengan keinginanmu.”

“Tapi aku tidak punya keinginan,” kata Dimas.

Si bebek dan si serigala memandanginya. “Kamu punya,” jawab si bebek.

“Kamu hanya takut mengakuinya,” lanjut si serigala.

Dimas tertegun. Benarkah? Benarkah ia sebenarnya sudah punya keinginan, namun takut mengakuinya?

Tiba-tiba lengannya dicekal seseorang. Terkejut, Dimas menatap Yuda. “Sudah cukup mengobrolnya,” kata anak laki-laki itu. “Jangan buang-buang waktu lagi. Kamu sudah punya keinginan bukan?”

“Mungkin…” jawab Dimas ragu.

“Bagus. Aku tahu kamu tidak akan mengecewakanku,” Yuda tersenyum. “Kamu memang sahabatku yang terbaik.”

Dimas terdiam. Yuda sering menyebutnya seperti itu. Padahal pada kenyataannya, perlakuan anak laki-laki itu padanya sama sekali bukan perlakuan seseorang yang menganggapnya sahabat. Seorang sahabat seharusnya membantu sahabatnya yang lain, berbagi kesenangan dan kesedihan bersama. Bukannya memerintahnya, memanfaatkannya, menghinanya.

Yuda bukanlah sahabatnya. Tidak ada seorang pun yang memperlakukannya sebagai sahabat. Tidak ada seorang pun yang memperlakukannya sebagai teman. Tidak ada seorang pun.

Mendadak Dimas tahu apa yang sebenarnya ia inginkan.

Yuda menyeretnya kembali ke hadapan Kapten Kucing dan Nona Di. Kali ini ada sesosok makhluk lain di sebelah mereka. Seekor panda berseragam resmi, hitam putih seperti bulunya.

“Sepertinya kalian sudah mengetahui apa keinginan kalian, mmrraww,” kata Kapten Kucing.

“Ya!” jawab Yuda mantap, sementara Dimas hanya mengangguk lemah.

“Baiklah,” si kucing melirik ke arah Nona Di. “Silakan, Nona.”

Mata Nona Di menyapu Dimas dan Yuda. “Katakan apa keinginan kalian. Aku akan mengabulkannya.”

Dimas dan Yuda sama-sama terbelalak. “Katamu yang bisa mengabulkan keinginan kami adalah seseorang,” kata Yuda. “Dia kan hanya seekor hewan!”

“Jangan berlaku tidak sopan, graw,” si panda angkat bicara. “Nona Di mampu mengabulkan apa pun keinginan kalian.”

“Tidak apa-apa, Opsir Panda,” kata Nona Di pada si panda.

“Apa pun keinginan kami bisa terkabul?” tanya Yuda.

“Ya,” jawab Nona Di.

“Tapi berhati-hatilah ketika meminta,” sahut Kapten Kucing. “Jangan tertipu oleh kemauan semu. Mintalah sesuatu yang kalian inginkan dari lubuk hati yang terdalam.”

“Keinginanku memang berasal dari lubuk hati terdalam!” sambar Yuda. “Aku ingin keinginanku bertambah menjadi tiga buah. Dan, aku ingin masing-masing dari tiga keinginan itu menjadi tiga buah keinginan lagi. Dengan begitu keinginanku yang dapat dikabulkan tidak akan habis-habis!”

Sesaat tidak ada yang berkata-kata. Dimas menahan napas. Bolehkah meminta seperti itu? Akankah Nona Di mengabulkan permintaan Yuda?

Tiba-tiba Kapten Kucing menggeleng sedih. “Kamu sudah meminta sesuatu yang terlarang. Sebagai akibatnya, kamu akan menjalani hukuman.”

Yuda terbelalak. “Apa?”

“Anak yang serakah adalah anak yang nakal,” kata Opsir Panda. “Dan anak yang nakal harus dihukum, graw.”

“Tidak! Aku…!” Yuda mencoba untuk lari, namun Opsir Panda cepat menangkap dan meringkusnya. Kemudian si panda membawa anak laki-laki bertubuh besar itu ke dalam kastil. Teriakan marah Yuda masih terus terdengar, sebelum akhirnya berangsur jadi samar dan tak terdengar lagi.

“Tidak usah khawatir,” kata Nona Di. Dimas menoleh padanya. “Yuda tidak apa-apa. Ia hanya akan dididik untuk menyadari dan memperbaiki kesalahannya.”

Dimas mengangguk, tak tahu harus berkata apa. Yah, mungkin hal itu adalah yang terbaik bagi Yuda. Namun, tak urung Dimas merasa iba juga pada anak laki-laki itu.

“Sekarang, katakanlah keinginanmu.”

Dimas terdiam. Sanggupkah ia mengatakan keinginannya? Sesuatu yang ia dambakan sedari dulu, namun ia tekan dalam hati karena tahu kemauan itu takkan terkabul sampai kapan pun?

Di luar dugaannya, tubuhnya mulai gemetar. Keinginan itu sudah begitu lama terpendam, sehingga ketika akan dikeluarkan, terasa amat sakit.

“Tidak apa-apa, mmrraww, ”Kapten Kucing meraih tangan Dimas dan menggenggamnya dengan cakarnya yang berbulu lembut. “Apa pun keinginanmu, Nona Di pasti dapat mengabulkannya.”

“Aku…” Dimas menelan ludah. “Aku ingin memiliki keluarga yang menyayangiku. Yang mencintaiku. Yang takkan pernah meninggalkanku seorang diri.”

Sekali lagi tidak ada yang berkata-kata. Kemudian Nona Di tersenyum. “Tidakkah kamu sadar? Keinginanmu sudah terkabul dari pertama kali kau menjejakkan kaki di kastil ini.”

Dimas terperangah. “Maksudnya?”

Kapten Kucing turut tersenyum, dan Dimas menyadari bahwa orang-orang dan hewan-hewan mulai berdatangan menghampiri mereka. Si angsa hitam. Si bebek dan si serigala. Orang-orang yang tadi menyapanya dengan ramah.

“Kami sudah dapat mengetahui keinginanmu sejak kau memasuki kastil ini,” kata Nona Di. “Kami dapat mengetahui semua keinginan yang terpendam dalam hati seseorang. Namun, agar keinginan itu dapat terkabul seutuhnya, si pemilik keinginan harus menyadari dan mengakuinya. Kini, ketika kau telah menyadarinya, keinginan terdalammu terwujud secara sempurna. Memiliki sebuah keluarga yang menyayangimu.”

“Seperti halnya keinginanku,” mendadak si angsa angkat bicara.

“Seperti juga halnya keinginan kami,” kata si bebek dan si serigala.

Semua yang hadir di sana turut mengucapkan hal yang sama. Lalu semua tersenyum padanya. Senyum hangat yang penuh kasih sayang. Senyum tulus yang penuh kegembiraan. Dan Dimas pun turut tersenyum. Dadanya terasa sesak oleh kebahagiaan, karena keinginannya yang selama ini terpendam akhirnya terwujud.

Ia telah memiliki sebuah keluarga.

Ia tak perlu mencari ke mana-mana lagi.

***

Category(s): Lomba Cerbul Kastil Fantasi

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

 

You may use these HTML tags and attributes: <a href="" title=""> <abbr title=""> <acronym title=""> <b> <blockquote cite=""> <cite> <code> <del datetime=""> <em> <i> <q cite=""> <s> <strike> <strong>