Entry Fantasy Fiesta 2011 – Jakarta Tunggu Kami

Karmo menjejakkan kaki di bumi Aceh, dan menghirup udaranya dalam-dalam.

Setahun setelah tsunami yang meluluhlantakkan provinsi tersebut, juga sebagian dari Sumatra Utara, Aceh belum lagi pulih sepenuhnya. Kerusakan masih terlihat di mana-mana. Genangan air masih tersisa di sana-sini. Jalan-jalan masih retak, belum lagi diperbaiki. Dan penduduk Aceh masih banyak yang bermukim di tenda-tenda darurat di pinggir jalan.

Sepagi ini, suhu udara sudah cukup tinggi. Mungkin disebabkan tidak adanya keteduhan pohon di sekitar sana. Matahari bersinar terik, membuat Karmo menudungi matanya. Di sekelilingnya, para relawan sudah mulai beraktivitas. Ada yang menggunakan perkakas dan peralatan untuk membangun rumah-rumah sederhana. Ada yang berbaris untuk mendistribusikan bantuan yang masih terus berdatangan. Ada juga yang sudah melayani pasien di klinik yang dibangun seadanya. Tua maupun muda, besar maupun kecil, lokal maupun internasional, semuanya bersatu, bahu-membahu membangun kembali Aceh.

Tak jauh dari tempat Karmo berdiri, dua orang gadis relawan sedang berfoto-foto. Foto diri mereka sendiri. Foto orang-orang yang lalu lalang di sekitar mereka. Foto pemandangan kerusakan di sekeliling mereka. Kedua gadis itu mengenakan pakaian yang serupa; kaus hitam lengan panjang bertuliskan nama sebuah LSM, celana jins, dan kerudung menutupi kepala. Setiap perempuan yang datang ke Aceh memang diwajibkan menutupi kepala dan rambut mereka.

Karmo melangkah mendekati kedua gadis tersebut. Begitu melihatnya, kedua perempuan itu pun turut mengamatinya. Memandangi kaus putih lusuh dan celana jins butut yang ia kenakan. Ransel yang tersandang di punggung. Terutama kamera yang tergantung di lehernya, dan perekam suara mini yang pemuda itu genggam. Kedua gadis itu mulai sikut-menyikut satu sama lain, mengulum senyum disertai tawa tertahan, sementara Karmo semakin mendekati mereka.

“Pagi, Mbak,” sapa pemuda itu ketika ia sampai di depan gadis-gadis relawan tersebut.

“Pagi, Mas,” jawab yang kulitnya putih. Temannya yang berkulit lebih gelap, namun tampak lebih cantik, turut tersenyum kepadanya.

“Maaf, mau ganggu bentar, nih. Gapapa, kan?”

“Gapapa,” jawab si kulit hitam.

“Oh, iya. Saya Karmo,” pemuda itu mengulurkan tangan kanannya. “Saya dari koran Keadilan. Kalo boleh, bisa nggak mbak-mbak saya wawancara sebentar?”

Kedua relawan tersebut menyalaminya. “Boleh, kok, Mas,” sahut si kulit putih.

“Kita udah nebak, lho, kalo Mas ini wartawan,” tambah si kulit hitam.

Karmo tertawa. “Segitu keliatannya, ya?”

Kedua gadis itu tertawa mengiyakan.

“Nggak lagi sibuk, kan?” tanya pemuda itu.

“Nggak, kok,” jawab si kulit putih. “Kita baru aja selesai masak.”

Karmo mengamati tenda darurat yang berdiri di belakang kedua gadis tersebut. Seorang gadis relawan lain, yang juga berseragam serupa dengan si kulit putih dan si kulit hitam, masih memasak di sana, mengaduk wajan-wajan dan kuali-kuali berukuran besar. Belum selesai kedua wadah itu bergolak, gadis itu sudah beranjak ke tempat lain. Menyeka keringat yang membanjir dengan lengan bajunya, dan mulai memotongi bahan makanan di atas sebuah talenan sederhana. Keletihan terlihat jelas membayangi matanya.

Nggak sibuk? “Jadi gini, Mbak,” Karmo mengalihkan tatapannya pada gadis-gadis di hadapannya. “Kami lagi mau bikin artikel liputan soal para relawan di Aceh sini. Oh, iya. Mbak-mbak ini namanya siapa ya?”

Keduanya berpandangan sejenak. “Nggak bakal ditulis yang aneh-aneh tho, Mas?” tanya si kulit hitam.

“Nggak, lah,” jawab Karmo. “Lagian, nanti draft akhir artikelnya pasti saya kasih ke Mbak dulu. Kalo udah oke, baru naik cetak.”

Kedua gadis tersebut manggut-manggut menyetujui. “Aku Nina,” akhirnya si kulit hitam memperkenalkan diri.

“Tuti,” si kulit putih menambahkan.

“LSM Budi Sentosa ini dari mana, Mbak?”

“Dari Jakarta,” jawab Nina.

“Mbak berdua asli orang Jakarta?”

Tuti menggeleng. “Kita sih aslinya orang Yogya.”

“Oh, wong Jogja, tho? Oke, Mbak, kita mulai, ya.” Karmo menghidupkan perekam suaranya, dan mendekatkannya pada kedua gadis tersebut. “Udah berapa lama jadi relawan di sini?”

Nina tampak mengingat-ingat. “Kayaknya udah dua mingguan, deh,” ia menoleh pada temannya, yang mengangguk-angguk membenarkan.

“Selama dua minggu itu, udah ngapain aja?” tanya Karmo lagi.

“Ngapain aja? Wis kabeh, Mas,” jawab Tuti. “Ngangkut sumbangan. Ngediriin tenda. Ngehibur pengungsi. Tapi kebanyakan sih kita kebagian tugas masak.”

Pemuda itu mengangguk-angguk. “Gimana kesan-kesannya setelah dua minggu jadi relawan di sini?”

“Gimana, ya?” sahut Tuti. “Yah, yang pastinya sih seneng, Mas. Namanya juga ngebantu orang, tho?”

“Tapi bukan berarti nggak capek, lho,” timpal Nina.

“Kadang-kadang sedih juga ngeliat para pengungsi yang nasibnya masih terkatung-katung,” lanjut Tuti.

“Pokoknya pengalaman yang nggak bakal dilupain seumur hidup, deh!” kata Nina.

“Lagian, sekalian jalan-jalan juga, Mas,” kata Tuti, yang segera diikuti tawa renyah Nina dan anggukan kepala gadis itu.

“Nggak takut dateng ke daerah bencana kayak gini?” Karmo meneruskan wawancaranya.

Ndak, lha wong dikawal tentara, kok yha takut?” jawab Tuti.

“Kita sih nggak mikirin takutnya,” sahut Nina. “Sing penting nolong orangnya itu, lho.”

“Wah, mbak-mbak ini emang hebat,” puji Karmo. “Udah baik, berani, cantik-cantik lagi.”

Kedua gadis di hadapannya tertawa. “Ah, si Mas bisa aja,” kata Nina.

“Oke, Mbak, kayaknya cukup, nih. Boleh aku foto, nggak?”

Perempuan-perempuan itu tak keberatan, jadi Karmo meraih kameranya dan memotret mereka berdua. Setelah mendapatkan foto gadis-gadis itu, beserta nomor ponsel mereka sebagai bonusnya, pemuda itu minta izin dan berlalu pergi.

Matahari mulai menanjak naik. Karmo mengambil beberapa foto pemandangan bumi Aceh, lalu beranjak mencari relawan lain untuk diwawancarai.

***

Sisa-sisa kerusakan gempa Yogyakarta masih terlihat di mana-mana, bahkan setelah enam bulan berlalu. Dinding-dinding yang retak. Bangunan-bangunan runtuh yang belum lagi diperbaiki. Pangkal-pangkal pohon yang tersisa di pinggiran jalan. Kengerian masih menghantui mata setiap penduduk yang berlalu lalang, seolah-olah mereka mengira gempa akan kembali mengguncang kota setiap saat.

Karmo mengamati daftar orang hilang di hadapannya. Daftar yang disusun PMI setempat itu sudah amat panjang, lembar demi lembar yang penuh dengan tulisan. Namun tetap saja jumlah nama yang dimasukkan ke dalam daftar tersebut terus bertambah setiap harinya.

Pemuda itu membaca salah satu halamannya secara acak. Di sana tertera nama orang yang hilang, berikut umur dan daerah asal. Diakhiri dengan nama keluarga atau kerabat yang bisa dihubungi jika si orang hilang diketemukan.

Sumarni. 49 tahun. Brebes. Hubungi Suniarti (anak kandung).

Nina Diah Setyo. 20 tahun. Yogyakarta. Hubungi Bimo Setyo (bapak kandung)

Sukarno. 34 tahun. Sleman. Hubungi Rukmini (istri)

Tuti Diningrum. 19 tahun. Yogyakarta. Hubungi Anggraeni (kakak dari ibu kandung)

“Maaf, Mas, bisa tolong bantu, nggak?”

Karmo mengangkat kepalanya. Dua orang sedang berdiri tak jauh darinya. Orang yang tadi bertanya adalah seorang pemuda relawan. Ia sedang mengangkut sekarung beras sendirian, dan mulai tertatih-tatih akibat beban tersebut.

Orang yang tadi diajak berbicara oleh si relawan menurunkan kamera yang sedang ia gunakan. Seraya tersenyum sopan, ia menjawab, “Maaf, Mas, tapi saya lagi diburu deadline. Maaf banget, ya.”

“Oh, nggak apa-apa, Mas!” sahut si pemuda relawan. “Saya yang mestinya minta maaf, soalnya udah ganggu Mas.”

“Nggak apa-apa, kok. Saya juga mesti minta maaf nggak bisa bantu.”

Demikianlah ajang saling meminta maaf itu terus berlanjut, sampai akhirnya si pemuda relawan kembali memanggul karung beras di pundaknya, dan melanjutkan langkahnya dengan sempoyongan. Lawan bicaranya kembali mengabadikan kerusakan bumi Yogyakarta melalui lensa kameranya.

Karmo mendekati si kamerawan dan berdiri di sebelahnya. “Parah banget, ya.”

Si pengambil foto tersebut menoleh pada Karmo, kemudian mengangguk. “Iya. Padahal udah enam bulan, nih. Apa aja sih yang dikerjain pemerintah?”

Karmo mengulurkan tangannya. “Karmo, Mas.”

Si kamerawan balas menjabatnya. “Dasril.”

“Dari koran mana?” tanya Karmo lagi.

“Suaro Kita,” jawab Dasril.

“Wih, koran yang katanya nomer satu di Padang?”

Dasril mengangguk, kebanggaan tergambar di wajahnya. “Mas sendiri dari mana?”

“Koran Keadilan,” jawab Karmo.

“Terbit di mana?”

“Ah, kami cuma koran lokal, kok. Belum segede Suaro Kita.”

Dasril tertawa mendengarnya. “Lagi ngeliput juga, ya?”

“Iya,” jawab Karmo.

Dasril mengangguk mengerti. “Masyarakat emang paling demen berita beginian. Eh, boleh tau nomernya, Mas? Siapa tahu kita bisa tukeran info atau berita.”

“Boleh,” Karmo pun menyebutkan nomor ponsel-nya. Setelah mencatat nomor kontak Dasril, Karmo mohon diri dan meninggalkan Dasril yang kembali memotret.

Tiba-tiba terdengar jeritan memilukan. Karmo menoleh dan menatap pemukiman darurat di sebelah kanannya. Seorang ibu sedang meratap habis-habisan, memeluk tubuh seorang anak kecil yang tak lagi bergerak. Lolongan sang ibu semakin mengencang, dan para pengungsi gempa mulai berdatangan, mengerumuni wanita tersebut. Dasril pun bergegas mendekat dan mulai sibuk memotret wajah pilu sang ibu.

Kemudian Karmo melihat seseorang. Seorang pemuda yang mengenakan pakaian serba putih. Pemuda itu juga sedang memandangi si ibu, tatapannya terlihat amat lelah. Sesaat kemudian pemuda berbaju putih itu menyadari tatapan Karmo. Selama beberapa detik keduanya berpandangan. Lalu pemuda berpakaian putih itu pun berlalu.

***

Suara berbagai macam alat berat berdengung dan menderu bersahut-sahutan. Sebuah sekop daya meraup reruntuhan bangunan yang berserakan di tanah, kemudian menumpahkannya ke atas sebuah truk berbak terbuka. Setelah penuh, truk tersebut pun melaju pergi, untuk kemudian digantikan oleh truk lain.

Karmo mengamati pekerjaan tersebut. Alat-alat berat itu sudah bekerja dari kemarin, namun kerusakan bangunan yang harus dibersihkan masih amat banyak. Tiga bulan telah berlalu sejak gempa 7,6 skala Richter yang menghantam Pariaman. Dan selama tiga bulan tersebut, upaya yang dilakukan untuk memulihkan Sumatra Barat dari bencana yang menimpanya masih amat minim.

Mendadak seorang gadis berlari ke arah peralatan berat tersebut. Seraya berteriak-teriak si gadis memukulkan tinjunya ke badan sekop daya, membuat operatornya terpaksa menghentikan alat tersebut kalau tidak ingin melindas si gadis.

Kasihannyo uni tu,” Karmo mendengar seseorang berkomentar tak jauh darinya. Pemuda itu berpaling dan melihat seorang wanita paruh baya berpakaian lusuh. “Kata orang, dia alah gila karena tunangannyo mati.”

Katonyo lakinyo tu terkubur di bawah bangunan tu,” sahut wanita lain yang tampak seumuran dengan perempuan pertama.

Iyo, makonyo uni itu selalu ke sini, teriak-teriak kayak orang kesetanan. Dia selalu bilang, ‘jangan ganggu laki den.’ Tu aja yang dia ulang-ulang tiap hari.”

“Kasihan, yo. Katonyo dia alah mau nikah ama calonnyo tu.

Iyo. Cuma nunggu lakinyo tu pulang dari tugas. Umur masiang-masiang urang ndak do yang tahu, yo?”

“Padahal katonyo lakinyo tu alah punyo kerjaan tetap. Wartawan, kalo ndak salah?”

Iyo, iyo. Sia tu namanya? Dasril?”

Iyo. Iba awak.”

Gadis yang menjerit-jerit itu kini diamankan oleh beberapa orang tentara. Sekuat tenaga perempuan itu berusaha memberontak, namun kekuatannya tak sebanding dengan para pria yang memeganginya. Akhirnya seraya menangis putus asa dan menyerukan nama tunangannya, gadis itu hanya bisa membiarkan dirinya dibawa pergi.

Karmo baru menyadari bahwa seseorang telah merekam seluruh episode tersebut. Seorang wanita berpakaian tentara, berkulit hitam dan berambut keriting kaku. Ponselnya masih terus terarah ke si gadis yang kini tertunduk pasrah, diseret menjauh dari sana.

“Hei, Bedsiba!” seseorang memanggil si wanita tentara dari arah sebuah tenda darurat yang tak jauh dari sana. Seorang wanita tentara lain yang mengenakan jubah putih dokter. “Ngapa ko bengong-bengong situ?” sambungnya dalam dialek Papua. “Kitong masih banyak pu kerjaan!”

Yombex! Tra sabaran ko!” Bedsiba mengantongi ponselnya dan kembali mengangkat sekotak penuh peralatan medis, yang rupanya tadi ia letakkan di tanah ketika menggunakan ponselnya.

“Nggak sabaran?” dokter wanita yang berada di dalam tenda darurat berkacak pinggang. “Kalo kitong pu kerja udah selesai, baru ko bisa bikin video suka-suka! Sekarang kitong pu banyak pasien di sini!”

Masih sambil menggerutu, Bedsiba bergegas ke arah tenda darurat. Karmo pun mengikutinya. Setelah berada di bawah keteduhan tenda, pemuda itu mendekati kedua wanita tersebut. “Maaf mengganggu, Bu. Saya Karmo, dari koran Keadilan…”

“Kami lagi sibuk, Mas!” sergah si dokter tentara. Tangannya menulisi secarik kertas dengan terburu-buru. “Cari orang lain aja! Kami…”

Tiba-tiba terdengar suara batuk yang teramat keras. Salah seorang pasien di sana, seorang lelaki tua, menarik napas susah payah. Ia kembali terbatuk-batuk hebat, wajahnya memerah akibat serangan tersebut. Si dokter wanita dan Bedsiba segera mendatanginya, namun wajah laki-laki tua itu mulai membiru. Ia megap-megap seolah tak dapat bernafas, kemudian terkulai ke tanah.

Kegaduhan segera memenuhi tenda darurat tersebut. Beberapa perempuan mulai menangis. Anak-anak mencengkeram orang tuanya erat-erat, tak mengerti apa yang sedang terjadi, namun bisa merasakan bahwa ada sesuatu yang buruk di sekitar mereka. Si dokter tentara meneriakkan beberapa perintah, sementara Bedsiba berlutut di samping si bapak tua dan mulai memeriksanya.

Di tengah-tengah kekacauan tersebut, Karmo kembali melihat si pemuda berpakaian serba putih. Pemuda itu berdiri di luar tenda darurat, sekali lagi tampak berwajah letih. Di sekitarnya orang-orang mulai berdatangan, tertarik oleh tangisan dan teriakan dari dalam tenda.

Karmo melangkah keluar, menyelinap di antara penduduk Pariaman, dan mendatangi si pemuda berbaju putih. Mata pemuda itu masih terpaku pada adegan di dalam klinik sederhana tersebut.

“Oi, Ded.”

Pemuda berpakaian putih itu menoleh ke arah Karmo. “Oh, elu, Mo.”

“Abis kerja?” tanya Karmo.

Masih kerja,” pemuda berbaju putih menghela napas panjang. “Elu udah beres?”

“Mana ada beresnya? Kapan sih abisnya?” Karmo balas bertanya, yang kembali dijawab dengan helaan napas.

Akhirnya keriuhan di dalam tenda darurat mereda juga, namun orang-orang yang berkerumun di sana belum juga membubarkan diri, seolah menunggu keributan apalagi yang akan muncul.

“Mau ke mana?” tanya Karmo, ketika pemuda berpakaian putih di sebelahnya mulai beranjak pergi.

“Kerja.”

Karmo mengusap rambutnya. “Iya, deh. Kerja, kerja…”

***

Banjir lumpur, tanah, dan bebatuan telah menyeret apa pun yang ada di jalurnya, kemudian meninggalkan jejak keruntuhan di belakangnya. Rumah-rumah kayu hanyut terbawa, beberapa yang masih berdiri mulai condong, seakan dapat rubuh setiap saat. Angin bertiup, menebarkan bau lembab dan memuakkan ke segala arah.

Karmo mengamati Ded yang sedang berjongkok di tengah-tengah sungai lumpur. Sebuah tangan mencuat keluar dari balik kedalamannya, bergerak-gerak lemah seolah mencari pertolongan. Ded menggenggam tangan tersebut dengan tangannya sendiri, dan beberapa saat kemudian tangan yang mencuat itu pun berhenti bergerak.

“Di daftar lu ada nama Bedsiba, nggak?” tanya Karmo pada Ded.

Pemuda yang tadi berjongkok itu berdiri seraya menghela napas. Pakaian putih yang ia kenakan terus berubah bentuk di mata Karmo. Kadang terlihat seperti baju koko, lengkap dengan sarung dan peci di atas kepala. Sedetik kemudian berubah menjadi jas berkerah tinggi kaku dan celana panjang, khas seragam para pastor. Saat berikutnya sudah menjelma menjadi jubah para biksu, sebelum kemudian berganti lagi menjadi bentuk pakaian yang lain.

“Kok lu malah nanya gue?” jawab Ded. “Bukannya harusnya lu yang lebih tahu? Kan lu sendiri yang naroh nama-nama itu di daftar gue?”

“Salah,” kata Karmo. “Bukan gue, tapi Bos Besar. Gue cuman ngelaporin hasil kerja gue. Lupa, ya?”

Ded hanya menyahutnya dengan gumaman.

Dua orang berlari tergopoh-gopoh ke dekat Karmo dan Ded. Seorang wanita muda, dan seorang pemuda yang memanggul kamera besar. Si wanita serta-merta mengambil posisi di depan sebuah reruntuhan rumah, yang dari dalamnya masih terdengar erangan seseorang yang meminta tolong.

“Selamat pagi, para pemirsa,” si wanita berkata kepada lensa kamera si pemuda. “Saat ini saya melaporkan langsung dari lokasi banjir bandang di Wasior…”

Karmo menggelengkan kepalanya. Sampai kapan mereka mau mengulangi kebodohan ini?

***

Karmo dan Ded mengamati antrian orang-orang di depan sebuah loket sederhana. Walaupun hari masih pagi, deretan tersebut sudah tampak panjang, meliuk-liuk seperti ular. Orang-orang yang berdiri di dalamnya rata-rata mengenakan kaus dan celana jins. Banyak juga yang mengenakan kacamata hitam, membawa tas berisi makanan dan minuman, serta menggandeng anak-anak mereka. Di atas loket tadi terpasang spanduk kecil bertuliskan “Rp 5000/orang”, di samping sebuah spanduk lain berwarna kuning menyala yang bertuliskan “Lava Tour! Dusun Kinahrejo, Desa Umbulharjo, Kecamatan Cangkringan, Kabupaten Sleman, DIY, kampung halaman almarhum Mbah Maridjan.” Di dekat sana, sebuah lapangan mulai terisi penuh oleh motor dan mobil yang diparkir. Penjaja kaki lima sibuk berkeliaran di sana-sini, meneriakkan dagangan mereka, saling bersaing satu sama lain.

Karmo menggelengkan kepalanya takjub. “Manusia-manusia ini. Mereka sadar nggak sih, kalo begini terus, mereka cuma bikin siklus bencana ini nggak selesai-selesai?”

“Kenapa lu nggak ngasih pencerahan aja ama mereka, Mo?” sahut Ded. “Semacem ‘kau menuai apa yang kau tanam’, gitu?”

“Itu sih haknya Bos Besar, bukan gue,” Karmo mendengus. “Gue kan cuman tukang catetnya Beliau. Lagian, Bos Besar yang bersabda aja kadang-kadang manusia ini masih nggak dengerin. Apalagi gue yang ngomong?”

“Ded bener,” kata seseorang di belakang mereka. “Tetep aja sekali-sekali lu mesti ingetin mereka, Mo.”

Karmo menoleh, dan menatap seorang gadis. Hampir saja pemuda itu tak mengenalinya. Terakhir kali bertemu, gadis itu masih tampak sangat cantik, awet muda dan berseri-seri. Kini wajahnya sudah keriput di sana-sini, kotor dan berdebu. Hanya suaranyalah, yang terdengar ringan mengalun seperti layaknya seorang perempuan muda, yang masih belum berubah.

“Eh, Gea, tumben,” sapa Karmo. “Mana baju ijo lu? Biasanya nggak pernah pake warna lain.”

“Baju ijo gue udah musnah,” cibir Gea. “Sekarang adanya cuman coklat, item, ama merah.”

“Ngapain lu di sini, Ge?” tanya Ded lelah. “Belum cukup apa, semua yang udah lu lakuin di sini?”

“Semua yang gue lakuin? Bukan gue, kali. Gue cuma nurutin perintah Bos,” setelah berkata seperti itu, pipi Gea mendadak retak dan membuka, seolah-olah ada yang menyibaknya secara paksa. Detik berikutnya daerah lereng Merapi tersebut mulai bergoncang, membuat orang-orang yang ada di sana berteriak ketakutan. Guncangan tersebut pun hilang secepat kemunculannya, begitu juga rekahan di pipi Gea.

“Gue di sini karena ada perintah baru dari Bos,” sambung gadis itu.

Ded mengerang capek, sementara rasa ingin tahu Karmo langsung terbit. “Daerah mana lagi sekarang?”

“Jakarta,” sahut Gea, yang langsung disambut gumaman putus asa dari Ded.

Karmo merasakan dirinya nyengir. “Akhirnya! Apa Bos Besar udah mutusin buat ngingetin makhluk-makhluknya? Atau gara-gara wisatawan-wisatawan ini banyak yang dari sana?”

“Mana gue tahu?” Gea mengangkat bahunya. “Pokoknya, kali ini levelnya mesti masif dan parah banget.”

Ded menelungkupkan wajahnya dalam-dalam ke tangannya. Karmo menghiraukan pemuda itu dan bertanya, “Ge, lu bawa daftarnya nggak? Kali aja gue bisa kasih masukan yang bagus.”

Secarik kertas muncul di tangan keriput gadis itu. Gea menyerahkannya pada Karmo, yang langsung membacanya. Walaupun masih terus mengeluh, Ded juga bergeser ke sebelah Karmo, ikut mengamati isi kertas tersebut.

“Kayaknya gue bakal lakuin yang nomer dua, deh,” kata Gea.

“Nomer dua?” Karmo membaca tulisan yang tertera di sana. “Jangan, ah. Udah kelewat biasa, Ge. Manusia nggak akan mempan dikasih yang beginian.”

“Terus, yang mana, dong?”

Karmo meneruskan membaca. Kemudian pemuda itu menyeringai lebar. “Eh, yang nomer lima bagus, nih!”

Gea mengerutkan keningnya. “Ah, yang itu cuman iseng-iseng gue doang. Belum tentu Bos setuju.”

“Tapi ini bagus banget!” komentar Karmo. “Belum pernah kejadian sebelumnya di Indonesia. Dan efeknya itu, lho. Pasti masif banget! Coba ajuin ke Bos, Ge. Gue bantuin, deh.”

Ded menggerutu dan mulai berjalan menjauh. “Kalian ini, nggak setia kawan banget. Tahu nggak sih, berapa jumlah manusia di Jakarta? Kalo setengahnya aja mesti gue ambil, udah kerja rodi itu namanya!”

“Jangan ngambek gitu dong, Ded,” Gea menjejeri langkah pemuda itu dan merangkulnya. “Ayo dong, coba nikmatin dikit kerjaan lu.”

Kata-kata sahutan Ded tak lagi terdengar di telinga Karmo, karena keduanya sudah menghilang pergi. Pemuda itu membaca lagi deskripsi bencana yang tertera di daftar milik Gea, nyengir lebar, lalu mengikuti kedua rekannya meninggalkan lereng Merapi.

Jakarta, tunggu kami, ya!

***

Category(s): Fantasy Fiesta

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

 

You may use these HTML tags and attributes: <a href="" title=""> <abbr title=""> <acronym title=""> <b> <blockquote cite=""> <cite> <code> <del datetime=""> <em> <i> <q cite=""> <s> <strike> <strong>