Bab 29 – Galazentria, Dulu

Angin kembali bertiup kencang, menghempas tubuh Nadine. Gadis itu membuka mata dan menatap sekelilingnya. Ia dan yang lainnya berdiri di sebuah pelataran luas berbentuk lingkaran. Sejumlah pilar berulir berdiri di tepi pelataran tersebut, memagarinya. Tiang-tiang tersebut sudah tidak utuh dan patah di sana-sini. Ada yang masih dalam kondisi sempurna, menjulang tinggi ke angkasa. Ada yang hanya setinggi manusia; ujung atasnya terpotong bagaikan tertebas senjata tajam. Ada yang telah roboh terguling ke pelataran.

Di belakang pelataran tersebut terhampar sebuah kota yang luas. Berbentuk lingkaran konsentrik, setiap deretan bangunan yang satu berada di bawah deretan bangunan berikutnya, membentuk undakan-undakan landai yang semakin ke bawah semakin meluas. Kota tersebut sebenarnya tidak dapat disebut sebagai kota, karena setiap bangunan yang ada di sana berada dalam keadaan hancur. Rumah-rumah megah dengan atap yang tinggal separuh, atau sudah hilang sama sekali. Gedung-gedung yang runtuh sebagian, atau hanya tinggal kerangkanya saja. Menara-menara yang dulunya mungkin beratap indah, kini kehilangan puncaknya atau malah terpotong di tengah. Kubah-kubah berkilau yang berlubang di sana-sini.

Walaupun kehancuran terlihat di mana-mana, kota tersebut masih mampu membuat siapa pun yang melihatnya menarik napas kagum, karena setiap permukaan, setiap sudut, dan setiap sisinya memantulkan cahaya matahari dalam bias warna-warni menyilaukan mata. Seluruh bangunan, lantai, dan atap di sana terbuat dari kristal, dengan lapisan emas dan perak di sana-sini, masih berkilauan walaupun telah terkelupas parah.

Di ketinggian seperti ini, pemandangan kota tersaji tanpa hambatan, bahkan sampai ke batas akhir kota, sebuah dinding emas yang masih berkilauan walaupun sudah cukup dimakan kerusakan, sekitar satu kilometer di bawah sana. Dan di baliknya, tanah berakhir dan langit dimulai. Gumpalan awan putih berkumpul di bawah kota, seakan menyangga dataran tersebut dengan kumpulannya.

”Di mana ini?”

Nadine menoleh ke arah Reinald. Pemuda itu masih mengamati keadaan sekelilingnya dengan takjub. Melinda dan Indra juga sama tercengangnya. Hanya Gakka yang terlihat biasa saja, tapi siapa yang tahu apa yang sebenarnya dipikirkan sang urnduit di balik wajahnya yang tak berekspresi.

”Shambala,” jawab Nadine. ”Utopia. Agartha. El Dorado. Camelot. Atlantis. Masih banyak sebutannya yang lain, tergantung dari mitos mana kamu melihatnya.”

Rei terperangah. ”Maksudnya?”

Nadine kembali memandangi kota hancur tersebut. ”Dulu, di zaman Bumi Kuno, ketika para grasth masih menguasai dunia, mereka mendirikan sebuah kota. Kota paling indah, paling megah, yang tak ada bandingannya di mana pun di muka bumi ini. Inilah kota tersebut. Beberapa menyebutnya Kota Impian. Yang lain memanggilnya Kota Kristal. Ada juga yang menyebutnya Kota Cahaya. Nama sebenarnya Galazentria, atau dalam bahasa Ildaris, Ibukota Para Dewa.”

Reinald ternganga. Di sebelahnya, wajah Melinda mendadak pucat pasi. ”Galazentria yang itu?” tanya gadis itu. ”Kita sudah ada di Enfir Alle?”

”Bukan,” sahut Indra. Seperti yang lain, pemuda itu masih memandangi sekitarnya, namun dengan tatapan lebih tenang. ”Lebih tepat kalau dikatakan kita ada di Galazentria lama.”

Nadine mengangguk. ”Galazentria itu nama kota yang dulu pernah benar-benar ada di bumi. Lambang kebesaran para grasth. Karena itulah Aryo memakainya untuk menamai benteng kami di Enfir Alle.”

”Tapi, apa hubungannya dengan Atlantis, atau Camelot, atau apa pun kota yang tadi kamu sebut?” tanya Rei lagi.

Kali ini Indra yang menjawab. ”Itu semua nama kota yang hanya ada di mitos atau cerita. Keberadaannya tidak pernah bisa dibuktikan sampai sekarang.”

”Benar,” lanjut Nadine. ”Semua kota ajaib itu sebenarnya mengacu pada satu kota saja, yaitu Galazentria ini. Dulu, tidak semua orang bisa masuk ke kota ini. Kalaupun bisa, orang-orang biasa hanya bisa melihat kota ini sekilas, atau hanya mendengarnya dari cerita mulut ke mulut. Oleh karena itu, berkembang cerita dan mitos yang tidak akurat mengenai Galazentria. Kota emas. Kota di mana semua penduduknya hidup bahagia. Kota di bawah tanah. Atau kota yang tenggelam.”

”Tapi,” Reinald masih tampak kebingungan. ”Semua kota yang tadi kamu sebutkan itu kan ada di belahan bumi yang beda-beda. Bagaimana caranya semuanya bisa mengacu pada satu kota yang sama?”

Nadine menepis rambutnya yang berkibar diterpa angin kencang. ”Coba kamu lihat sekeliling kita. Menurutmu, di mana kita sekarang?”

Rei mengedarkan pandangan ke sekeliling, begitu juga Melinda. Indra hanya diam saja. Sepertinya pemuda itu sudah tahu jawabannya. Gakka ikut mengamati keadaan di sekitar mereka, namun sang urnduit juga tak mengatakan apa pun, seperti tak ingin ikut campur dalam percakapan itu.

Jawabannya datang dari Melinda, diucapkan dalam nada suara yang penuh ketidakpercayaan. ”Kita ada di langit?”

”Ya,” jawab Nadine. ”Galazentria ini tidak pernah benar-benar menetap di satu tempat. Para grasth zaman dulu menyihir kota ini sehingga Galazentria bebas berkelana di langit. Dan melapisinya dengan pelindung yang membuat kota ini tidak terlihat oleh orang lain. Hanya para grasth yang bisa menemukan posisi kota ini di langit, dan hanya mereka yang bisa melihat dan masuk ke dalamnya. Mantra yang tadi aku ucapkan itu merupakan satu-satunya cara untuk masuk ke sini.”

Sesaat semuanya terdiam. ”Kira-kira kita ada di atas benua apa ya, sekarang?” gumam Reinald, seperti berbicara pada diri sendiri.

”Entah,” Nadine menjawabnya. ”Bahkan Aryo pun tidak bisa menentukan posisi kota ini dengan tepat. Ayo, kita masih harus bergerak. Jangan buang-buang waktu lagi.”

”Ke mana, Teh?” tanya Indra.

Nadine menunjuk dengan jarinya. Ke atas, ke puncak Galazentria.

Tanpa berkata apa-apa lagi mereka semua mulai berjalan. Desau angin menemani langkah mereka menyusuri tangga lebar yang terbuat dari kristal. Melewati gedung bertingkat tiga yang dulunya pastilah beratap emas, namun kini hampir hancur lebur tak bersisa. Melewati tiga kubah berdempetan dari perak yang tampak seperti tiga buah bola yang terbenam ke dalam tanah. Sekali waktu bahkan melewati pecahan kepala patung yang setengah terkubur di antara reruntuhan kristal. Patung tersebut pastinya sangat besar ukuran aslinya, karena kepalanya saja hampir seperti gedung bertingkat tiga.

Nadine melangkah seraya memandangi Galazentria di sekitarnya. Kota itu sungguh berbeda dengan benteng bernama sama yang Aryo dirikan di Enfir Alle. Tempat ini sangat indah, walaupun hanya reruntuhannya yang tersisa. Bertolak belakang dengan benteng Galazentria di Enfir Alle, yang – walaupun masih berdiri tegak – kalah jauh dalam hal estetika dan kemegahan. Benteng tersebut didirikan dengan tujuan membuat basis pertahanan yang tak tertembus, sementara kota ini dibangun dengan tujuan memamerkan kekuatan dan kemampuan para grasth.

Mendadak sebuah pemikiran terlintas dalam kepalanya. Kenapa Aryo menggunakan nama kota ini sebagai nama benteng mereka di Enfir Alle? Apa tujuannya? Padahal wajah kota ini jauh berbeda dengan benteng tersebut, bagaikan langit dan bumi. Dan nama Galazentria berasosiasi dengan sebuah tempat yang sudah runtuh, lambang kejayaan masa lalu. Kenapa menamakan sebuah benteng, yang diharapkan tahan dari gempuran apa pun, dengan nama kota yang sudah hancur?

“Nadine, kenapa kalian tidak menghancurkannya saja?”

Gadis itu tersentak kaget. Reinald ternyata telah menjejeri langkahnya, dan pemuda itu kini menatapnya. “Kedua gerbang itu,” jelas Rei. “Kalau memang para penyerang itu masuk lewat Sonara Lide, kenapa tidak kalian hancurkan saja sekalian? Atau minimal menyegelnya, supaya tidak ada yang bisa melewatinya?”

“Kamu pikir kami tidak terpikirkan soal itu?” jawab gadis itu. “Itu hal pertama yang Aryo coba. Namun semua usaha kami tetap tidak bisa menghalangi masuknya para penyerang itu.”

Ya, waktu itu ia dan anggota Ildarrald Daevar lain sudah mencoba segala macam cara. Dengan Bola Varre, Aryo pernah mencoba menghancurkan Sonara Lide, namun gagal. Mereka juga pernah mencoba mengurung Sonara Lide dalam tembok tinggi yang berlapis-lapis. Selama beberapa bulan tembok itu memang bertahan, namun gelombang serangan berikutnya berhasil menghancurkan tembok tersebut. Tembok itu kemudian diperbaiki, namun tak butuh waktu lama sebelum kembali hancur ketika Enfir Alle diserang. Setelah itu tembok itu akhirnya dibiarkan begitu saja tanpa pernah diperbaiki lagi.

Mereka juga pernah bermaksud menyerang langsung ke dimensi makhluk-makhluk pendatang tersebut. Namun dengan sangat mengejutkan mereka menemukan kenyataan bahwa para penyerang itu datang dari dimensi yang berbeda-beda. Sonara Lide ternyata terhubung ke banyak dunia. Mustahil bagi mereka untuk mendatangi dimensi-dimensi tersebut satu-persatu, dan memerangi makhluk yang ada di dalamnya.

“Pilihan yang tersisa hanyalah bertahan di Galazentria,” kata gadis itu.

Reinald mengangguk mengerti. Selama beberapa saat kesunyian dan angin kencang menemani langkah mereka menaiki tangga Galazentria.

“Kadang-kadang aku berharap kami tidak pernah menemukan Bola Varre,” Nadine menggumamkan pemikiran yang sebenarnya sudah lama menghantuinya.

Rei menoleh. “Maksudnya?”

“Dulu kami menemukan artefak itu di kota ini. Kalau saja waktu itu Aryo tidak memungut Bola Varre, semua ini tidak akan terjadi.”

“Bola Varre ditemukan di kota ini?

“Ya. Sepertinya benda itu dibuat pada zaman Bumi Kuno dulu. Sama seperti Sonara Lide dan Ladare Lide.”

Reinald menatapnya kaget. “Dua pintu dimensi itu dibuat?”

“Kami curiga seperti itu. Karena Bola Varre punya karakteristik yang sama dengan Sonara Lide dan Ladare Lide. Semakin diserang dengan grae malah semakin kuat, seakan-akan bola itu menyerap semua grae yang diberikan padanya. Karena itu jugalah aku hanya bisa menyembunyikan Bola Varre dari Aryo. Kalau bisa dihancurkan, pasti sudah kuhancurkan dari dulu.”

“Tapi, kalau benar semua grae yang diarahkan pada Bola Varre hanya diserap, bagaimana caranya Aryo bisa menggunakan artefak itu dengan cara menarik keluar semua energi yang terkumpul tersebut?”

“Terus terang aku tidak tahu,” sahut Nadine. “Mungkin hanya Aryo yang tahu cara menggunakannya. Karena itu jugalah aku tidak bisa menggunakan Bola Varre untuk melawan Aryo.”

Sekali lagi keheningan menghampiri mereka. Nadine menoleh ke belakang, dan melihat Melinda dan Indra masih mengikuti. Raut wajah Melinda tampak masam, sementara Indra mengamati keadaan sekitarnya dengan penuh rasa ingin tahu. Gakka berjalan di belakang mereka, mata putih tak berkelopaknya mengawasi mereka semua.

”Galazentria,” tiba-tiba Reinald berkata. ”Kamu berkata Aryo menggunakan nama yang sama untuk menamai benteng kalian di Enfir Alle? Kalau melihat dari obsesinya memberi nama semua orang dan benda dengan menggunakan bahasa Ildaris, si brengsek itu seakan ingin membangkitkan lagi kejayaan grasth zaman dulu.”

Langkah Nadine terhenti mendadak. Iya, itu dia jawabannya! Selama ini ia tidak memedulikan keanehan Aryo yang ingin menamai segala sesuatu di sekitar mereka dengan bahasa tersebut. Saat itu, hal itu terasa biasa saja baginya. Namun sekarang, setelah dipikir-pikir lagi, kata-kata Rei sangat masuk akal.

Pemuda itu menoleh ke belakang, menatapnya. ”Kenapa?”

Nadine menggeleng. ”Tidak. Hanya saja… kamu benar. Kemungkinan besar Aryo memang ingin seperti itu. Tapi… kenapa berniat menghancurkan bumi ini, kalau dia memang bermaksud membangkitkan lagi kekuasaan grasth di zaman Bumi Kuno?”

”Entah,” sahut Reinald. ”Yah, apa pun tujuan dan alasannya, yang penting kita akan menghentikannya. Dan kita pasti bisa,” pemuda itu tersenyum.

Nadine membalas senyumannya. ”Ya, kita pasti bisa.”

Setelah berjalan agak lama, akhirnya mereka sampai di puncak Galazentria. Tempat tertinggi di kota tersebut adalah sebuah pelataran yang teramat luas, mungkin berukuran dua sampai tiga kali lipat lapangan sepak bola. Angin melolong kencang di tempat itu, menerpa tubuh dan pakaian setiap orang di sana dengan dahsyat, seperti akan menerbangkan mereka.

“Apa itu?” tanya Reinald.

Gadis itu menoleh ke arah tatapan pemuda itu. Di tengah-tengah pelataran tersebut berdiri dua buah patung, wanita di sebelah kiri dan pria di sebelah kanan. Keduanya diukir dengan sangat indah dan teliti, sehingga terlihat seperti hidup. Pakaian berpotongan asing yang mereka kenakan dibuat sangat cermat sehingga terlihat seolah-olah dapat berkibar diterpa angin setiap saat. Kedua patung itu, yang hanya setinggi manusia, tampak amat kerdil di tengah-tengah pelataran luas tersebut.

“Penjaga gerbang,” jawab Nadine. “Atau semacam itu.”

Gadis itu mendekati kedua sosok dari batu tersebut, yang lain mengikuti langkahnya. Sesampainya di depan kedua patung itu, Nadine menarik napas dan mengucap, “Amane te lide ha Enfir Alle!”

Sesaat tidak terkadi apa-apa. Kemudian kedua patung itu bergerak.

Terdengar jeritan kaget Melinda, juga seruan terperanjat Indra, namun Nadine tidak menghiraukan mereka. Di hadapannya, kedua sosok batu tersebut berputar, si wanita ke kanan, sementara yang pria ke arah sebaliknya. Setelah kedua patung tersebut berhadapan, mereka bergeser mundur, saling menjauh satu sama lain. Begitu mencapai tepi pelataran, keduanya berhenti. Lalu tangan kanan mereka mulai terangkat perlahan ke atas, tinggi di atas kepala.

Sedetik kemudian angin berpusar semakin kencang, dan sebuah bidang cahaya berwarna hijau menyilaukan muncul di udara, di antara patung-patung tersebut. Bidang tersebut kemudian membesar dan melebar, sampai membentuk segi empat raksasa yang menjulang ke langit, mencakup setiap jengkal pelataran, berdiri tegak lurus tanpa penyangga apa pun.

Tak ada yang berkata-kata, terpukau oleh pemandangan tersebut. Kemudian Nadine berucap, ”Itu portal yang berhubungan dengan Ladare Lide. Begitu melewatinya, kita akan sampai di Enfir Alle.”

Kalimat tersebut serta-merta membuat atmosfir di tempat itu menjadi berat. Melinda terlihat muram, seolah gadis itu menyesali keputusannya, namun tak bisa berbalik lagi. Indra memandangi pintu dimensi di hadapannya penuh keingintahuan. Wajah Reinald yang sampai tadi masih terlihat santai kini dipenuhi keseriusan. Gakka tetap diam seperti biasa. Entah apa yang dipikirkan sang urnduit.

Nadine melangkah ke depan portal tersebut. Bidang cahayanya yang berwarna hijau terus berputar tanpa henti. ”Aku akan masuk terlebih dulu,” gadis itu berkata pada yang lain. ”Untuk memeriksa apakah ada penjaga atau penyerang di sana. Melinda dan Indra masuk setelah aku, baru terakhir Rei dan Gakka, ya.”

Tak ada yang menyahut, dan gadis itu menganggapnya sebagai tanda persetujuan. Nadine menoleh kembali ke arah pintu dimensi tersebut. Sebelum ini, tak pernah sekali pun terlintas dalam pikirannya bahwa ia akan kembali lagi ke Enfir Alle. Kembali ke dimensi yang sama dengan Aryo.

Sejujurnya, gadis itu sama sekali tidak mau melakukannya. Kalau bisa memilih, lebih baik ia tetap tinggal di bumi saja, melupakan kenyataan bahwa ia adalah anggota Ildarrald Daevar, seorang lurnagrasth, atau seseorang yang menyandang nama Felledia. Tapi Nadine tahu ia sudah tak bisa mundur lagi. Ia tidak bisa membiarkan Lili dan Lex membantu Aryo menghancurkan dunia.

Walaupun itu berarti ia harus berhadapan dengan Aryo. Dengan toregrasth terkuat di bumi, bahkan mungkin di seluruh alam semesta.

Di luar kendalinya, tangan gadis itu mulai gemetar. Nadine mengepalkannya kuat-kuat, namun getarannya tak kunjung menghilang. Sial, jangan di saat seperti ini, di saat semua orang masih takut dan ragu! Ia tak boleh terlihat gentar. Ia harus menunjukkan ketenangan diri dan kepastian. Kalau tidak, kepercayaan diri yang lainnya akan menghilang, dan bukan tidak mungkin Melinda dan Indra akan mengurungkan niat mereka pergi bersamanya.

Seseorang menggenggam tangannya, dan Nadine menoleh kaget. Reinald telah berdiri di sampingnya, tersenyum lembut. ”Biar aku masuk bersamamu,” kata pemuda itu. ”Gakka bisa masuk paling belakang, menjaga punggung kita. Kamu tidak keberatan, kan, Gakka?”

-Tidak, Rei vathek,- sahut makhluk itu. -Silakan masuk terlebih dulu. Aku akan menjaga kalian.-

”Tuh,” pemuda itu menyeringai.

Mau tidak mau Nadine tersenyum. Gadis itu menggenggam tangan Rei, yang balas meremasnya. Ya, tidak apa-apa. Mereka pasti bisa menghentikan rencana Aryo. Selama bersama Reinald, semuanya akan baik-baik saja.

Nadine berdiri tegak di depan portal bercahaya itu. Kemudian, bergandengan tangan dengan Reinald, gadis itu memasuki pintu dimensi tersebut.

***

Category(s): Artefaktor

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

 

You may use these HTML tags and attributes: <a href="" title=""> <abbr title=""> <acronym title=""> <b> <blockquote cite=""> <cite> <code> <del datetime=""> <em> <i> <q cite=""> <s> <strike> <strong>