Bab 27 – Dua Dimensi

”Kamu ingat, aku pernah berkata kalau dimensi di dunia ini sebenarnya tidak hanya ada satu, tapi banyak?” Nadine memulai.

Rei mengangguk. ”Seperti Ezon, dimensi asal kaum Gakka.”

”Ya. Dimensi-dimensi ini ada yang saling berhubungan, ada yang tidak. Salah satu dimensi yang berhubungan itu adalah Enfir Alle dengan bumi. Enfir Alle merupakan dimensi yang jadi tempat masuk ke bumi. Seseorang tidak akan bisa masuk ke bumi tanpa melewati Enfir Alle terlebih dulu. Enfir Alle itu sendiri artinya Dunia Gerbang, jadi bisa dikatakan semacam dunia yang menjadi gerbang masuk ke bumi.”

”Oke. Lalu?”

Pandangan Nadine menerawang jauh. Ingatan masa lalu selalu membuat emosinya bercampur aduk. Membuatnya rindu teramat sangat, namun juga diliputi kesedihan tiada tara. ”Setahun setelah pembentukan Ildarrald Daevar, Aryo menyadari bahwa musuh-musuh yang selama ini kami taklukkan ternyata berasal dari tempat yang sama. Dari dimensi-dimensi di luar bumi. Jadi, untuk mengurangi kerusakan di bumi, Aryo mengajak kami untuk mencegat makhluk-makhluk itu di Enfir Alle.

”Tidak seperti bumi, Enfir Alle adalah dimensi yang tidak stabil. Aliran grae di sana tidak bisa dikendalikan semudah di sini. Tapi menurut Aryo, di situlah letak kunci kemenangan kami. Kalau kami berhasil mengendalikan aliran grae yang liar itu, kami pasti bisa mendapatkan kekuatan yang lebih besar lagi daripada di bumi.

”Akhirnya kami berenam nekat pergi ke sana. Aryo, Niken, aku, Marina, Ferdi, dan Ruben. Kami membawa semua senjata terbaik dan peralatan terampuh kami. Kemudian kami berhasil sampai di Enfir Alle.

“Enfir Alle ternyata adalah dimensi yang kosong melompong. Isinya hanya dataran yang sangat luas, yang di ujung-ujungnya berdiri dua portal dimensi. Ladare Lide dan Sonara Lide, begitu kami menyebutnya. Ladare Lide, atau Pintu Bumi, adalah gerbang yang menghubungkan bumi dengan Enfir Alle. Sementara Sonara Lide, atau Pintu Langit, adalah gerbang yang menghubungkan Enfir Alle dengan dimensi-dimensi lain di luar bumi. Saat itu kami muncul tepat di depan Ladare Lide.”

Ya, ia masih dapat melihat Pintu Bumi tersebut dengan jelas, seolah-olah ia sedang berada di tempat itu sekarang. Gerbang raksasa yang menjulang sampai ke langit, tingginya hampir seperti gedung bertingkat empat puluh, dengan lebar kira-kira seluas lapangan bola. Bagian tengah portal tersebut merupakan bidang cahaya berbentuk segiempat yang terus berputar tiada henti. Sementara nun jauh di kaki langit, berdiri Sonara Lide, masih jelas terlihat karena ukurannya yang luar biasa besar. Dua gerbang kembar yang mampu membuat siapa pun yang menatapnya gentar, karena merasa begitu kecil dan tak berarti.

”Setelah berhasil sampai di Enfir Alle, yang kami lakukan berikutnya adalah membangun benteng pertahanan,” lanjut Nadine. “Bangunan itu sengaja dibuat persis di tengah-tengah antara Ladare Lide dan Sonara Lide, jadi siapa pun yang mau masuk ke Ladare Lide, harus melewati benteng itu dulu. Selama pembangunan itulah pertama kalinya aku melihat Bola Varre digunakan.”

Nadine menghela napas. “Bola Varre itu sebenarnya adalah artefak yang bisa digunakan untuk menampung grae. Waktu itu kami semua bersama-sama menyatukan kekuatan, menghimpun segenap energi dari seluruh alam semesta, dan mengumpulkannya di Bola Varre. Benda itu ternyata sanggup menampung sebanyak apa pun grae yang kami alirkan ke dalamnya. Kemudian dengan grae yang luar biasa besarnya itu, Aryo membuat benteng pertahanan kami hanya dengan satu kali pengerahan tenaga. Benteng raksasa yang seharusnya memakan waktu belasan tahun untuk membuatnya. Sedahsyat itulah kekuatan Bola Varre.”

Gadis itu kemudian menatap Reinald lekat-lekat. ”Benteng itu kami namakan Galazentria.”

Pengertian tersirat di wajah pemuda itu. ”Oh, jadi itu yang namanya Galazentria? Jadi waktu Lili berkata dia tidak bisa minta tolong pada anggota Ildarrald Daevar yang lain, karena mereka semua ada di Galazentria, maksudnya mereka semua ada di dimensi lain?”

Gadis itu mengangguk. ”Aku… sebenarnya tidak ingin kamu tahu mengenai tempat itu. Karena kamu pasti tidak akan percaya kalau kukatakan aku datang dari dimensi di luar bumi.”

”Ya, memang,” jawab Reinald. ”Kalau sebelumnya aku tidak mengalami semua ini, aku pasti tidak akan percaya sedikit pun. Tapi sekarang aku percaya, jadi itu bukan masalah, kan?” pemuda itu tersenyum. ”Lalu? Apa yang terjadi?”

”Galazentria menjadi basis pertahanan kami di Enfir Alle,” lanjut Nadine. ”Setahun lamanya kami tinggal di sana, memerangi makhluk-makhluk dari dimensi lain yang masuk ke Enfir Alle untuk menguasai bumi ini. Bertempur tanpa henti di depan Sonara Lide. Awalnya hanya ada kami berenam, tapi pelan-pelan Aryo berhasil meyakinkan bangsa lain untuk membantu kami. Pelan-pelan jumlah kami semakin banyak, dari belasan jadi puluhan, dari puluhan jadi ratusan, lalu jadi ribuan. Tapi makhluk-makhluk dari dimensi lain itu seperti tidak ada habisnya. Gelombang demi gelombang penyerang terus muncul dari balik Sonara Lide. Tapi akhirnya pertempuran panjang itu berakhir juga. Dan untuk beberapa saat, keadaan di Enfir Alle kembali tenang.”

Saat itu Gakka kembali muncul, membawa senampan penuh cangkir. Satu cangkir ia berikan pada Reinald, dan satu lagi makhluk itu sodorkan pada Nadine. Gadis itu menerimanya dan meneguk minuman hangat tersebut. Ramuan khas para urnduit itu mengaliri kerongkongannya, membuat tubuhnya menjadi lebih baik.

Nadine mengembalikan cangkir tersebut pada sang urnduit. ”Terima kasih, Gakka.”

Makhluk itu tak menerimanya, hanya terus menatapnya. -Nadine Felledia,- suara Gakka terdengar berat. -Aku telah gagal melindungimu. Aku membiarkan Lilian Daevar dan Alex Daevar melukaimu. Aku siap menerima hukuman.-

Nadine mengerjap, tidak menyangka akan mendengar hal seperti itu dari sang urnduit. Namun kemudian gadis itu mengerti ketika memandang mata makhluk itu. Gakka mengira ia telah kembali menjadi raghen. Kembali mengambil posisi seorang jenderal seperti dulu.

Gadis itu menutup mata. Dulu ia mungkin akan langsung menjatuhkan hukuman keras pada sang urnduit. Kesalahan seperti itu hampir-hampir tak termaafkan di Ildarrald Daevar. Begitulah yang selalu Aryo ajarkan. Tapi saat ini ia sudah bukan raghen lagi. Ia sudah membuang jauh-jauh pangkat itu. Sikapnya kemarin di Alleterre semata hanya untuk memaksa Gakka menurutinya. Jika ada cara lain, gadis itu pasti menggunakannya, daripada harus membuat makhluk itu memandangnya dengan cara seperti sekarang.

Lagipula, Gakka bukanlah makhluk yang mudah lengah. Jika ia sampai tidak waspada seperti ini, justru menunjukkan bahwa sang urnduit masih terpengaruh oleh kematian kaumnya. Gakka mungkin tidak memperlihatkannya sama sekali, tapi gadis itu tahu, makhluk itu masih sangat berduka.

”Gakka,” sahut Nadine. ”Kamu tidak melanggar sumpahmu padaku. Ini semua karena kesalahanku sendiri. Seharusnya aku bisa mengetahui rencana Lili dan Lex. Tapi aku lengah. Kusangka… kusangka aku bisa percaya pada mereka. Ini semua salahku sepenuhnya.”

-Tapi, seharusnya aku…-

”Sudah,” potong Reinald. ”Ini bukan salah siapa-siapa. Memang benar kita sudah tertipu, tapi sekarang bukan waktunya menyesali apa yang sudah terjadi. Sekarang waktunya menentukan apa yang harus kita lakukan selanjutnya.”

Kata-kata pemuda itu menyusup ke relung hati Nadine, membuat gadis itu termangu. Ya, Rei benar. Sekarang bukan waktunya larut dalam penyesalan. Sekarang waktunya bertindak.

Di sebelahnya, sang urnduit juga terdiam. Sepertinya kata-kata Reinald tadi juga berefek pada dirinya. Gadis itu menyodorkan lagi cangkir kosong tersebut pada Gakka. ”Kita sama-sama gagal. Tapi kita masih bisa memperbaikinya. Kamu masih mau membantuku, kan?”

Sang urnduit menatapnya, lalu menundukkan kepala. -Siap, Nadine Felledia. Aku takkan mengecewakanmu lagi.-

”Terima kasih, Gakka.”

”Nah, sekarang, kamu mau kan, meneruskan lagi ceritamu?” tanya Reinald padanya.

Nadine mengangguk. Di sebelahnya, Gakka mengumpulkan cangkir-cangkir yang kosong, lalu berdiri. -Aku ada di dapur jika kalian memerlukanku.-

”Gakka,” gadis itu menggenggam lengan sabit sang urnduit, menahannya. ”Kamu di sini saja. Aku… ingin kamu juga mendengar semua yang sudah terjadi.”

Sejenak makhluk itu terdiam. Kemudian ia meletakkan lagi nampan yang ia bawa ke atas meja di samping tempat tidur. -Suatu kehormatan, Nadine Felledia.-

Gadis itu tersenyum mendengarnya, lalu kembali melanjutkan. ”Setelah pertempuran panjang itu, semua energi kami seakan sudah habis terkuras. Kami semua kelelahan, fisik dan terutama mental. Kurasa, yang paling mengalami efeknya adalah Aryo. Sejak pertempuran itu Aryo jadi sering merenung. Jadi muram dan penyendiri. Selama berminggu-minggu ia jadi pendiam, tidak mau berbicara dengan siapa pun kecuali Niken. Ketika akhirnya Aryo mau berkata-kata lagi, yang keluar dari mulutnya hanyalah komentar bahwa penyebab banyaknya makhluk yang menyerang ke Enfir Alle itu sebenarnya adalah manusia di bumi itu sendiri.”

”Kok bisa?” tanya Rei.

”Enfir Alle sangat dipengaruh keadaan di bumi,” jawab Nadine. ”Kalau banyak manusia di bumi yang hidup selaras dengan grae, maka keadaan di Enfir Alle pun akan damai. Kalau banyak manusia yang mengotori grae, keadaan di sana akan bertambah parah, karena situasi di dimensi itu merupakan cerminan berkali-kali lipat dari bumi. Aryo menganggap bahwa banyak manusia di bumi yang sudah seenaknya mengotori aliran grae dengan cara merusak alam. Akibatnya, banyak makhluk jahat yang menyerang ke Enfir Alle karena tertarik oleh energi negatif yang terhimpun di sana.”

Ya, ia masih ingat. Saat itu Aryo terus-menerus marah. Terus-menerus sedih. ”Aryo berkata bahwa manusia di bumi itu tidak tahu terima kasih. Kami sudah mati-matian melindungi mereka, tapi mereka malah semakin mengundang para penyerang datang ke Enfir Alle dengan cara mengotori aliran grae. Manusia bumi dengan teganya menyia-nyiakan pengorbanan kami. Semua keringat, darah, dan air mata kami yang sudah tertumpah sebegitu banyaknya seperti tidak ada artinya bagi mereka. Akhirnya, karena kemarahan yang sudah tidak tertahankan lagi, suatu hari Aryo membuat sebuah rencana. Rencana untuk melindungi Enfir Alle, dan bumi di baliknya.

”Aryo berniat menyatukan Enfir Alle dengan bumi. Dengan melakukan hal itu, semua manusia yang mengotori grae akan terbasmi seluruhnya. Yang akan tersisa hanyalah orang-orang yang selaras dengan grae. Dan dengan melakukan itu, dimensi yang perlu dipertahankan hanya satu, bukan dua. Tapi menyatukan dua dimensi itu membutuhkan grae yang luar biasa besarnya. Karena itulah Aryo membutuhkan Bola Varre untuk menampung energi penyatuan tersebut.”

”Sebentar,” sela Reinald. ”Aku tidak mengerti. Kenapa dengan menyatukan bumi dengan Enfir Alle, orang-orang yang tidak selaras dengan grae bisa terbasmi?”

”Menurut Aryo, grae itu sebenarnya merupakan energi alam berfrekuensi tinggi. Karena itulah, tidak banyak orang yang bisa merasakan atau menggunakan grae di dunia ini. Hanya sedikit orang-orang yang frekuensinya selaras dengan grae, sehingga bisa mendeteksi dan memanipulasi energi alam tersebut. Orang-orang itulah yang disebut grasth, orang-orang yang hidupnya selaras dengan alam.”

Dulu, semua manusia di bumi adalah grasth, karena mereka masih hidup sejalan dengan alam, selaras dengan grae, kata Aryo dulu. Tapi kemudian ketamakan manusia mendorong mereka untuk menaklukkan alam. Menundukkan grae demi kepentingan pribadi. Mereka tidak menyadari bahwa dengan melakukan hal itu, frekuensi manusia jadi menurun sangat rendah. Akibatnya, banyak manusia yang kemudian mulai kehilangan kemampuan grasth-nya. Seperti halnya hanya kelelawar yang bisa mendengar suara berfrekuensi tinggi, hanya grasth lah yang masih mampu mengakses grae yang memiliki frekuensi tinggi. Hal seperti itu berlangsung terus, sampai sebagian besar manusia di dunia sekarang ini memiliki frekuensi yang lebih rendah dari alam dalam tubuh mereka.

”Enfir Alle memiliki frekuensi yang lebih tinggi dari bumi, walaupun lebih tidak stabil,” Nadine mengulangi penjelasan Aryo kala itu. ”Yang lebih parah lagi, kedua dimensi itu memiliki fase gelombang yang berlawanan. Menurutmu, apa yang akan terjadi kalau dua frekuensi yang fasenya berlawanan disatukan?”

Rei terdiam sejenak. ”Frekuensi yang tinggi akan mengalahkan yang lebih rendah?”

Nadine mengangguk. ”Aryo memperkirakan, jika Enfir Alle dan bumi disatukan, Enfir Alle akan menang. Bumi akan berganti dengan suatu dimensi yang frekuensinya jauh lebih tinggi, yang lebih mendekati frekuensi grae. Dalam situasi seperti itu, manusia yang tidak bisa beradaptasi dengan frekuensi baru tersebut akan hancur. Menyisakan makhluk hidup dengan frekuensi tinggi yang selaras dengan grae. Tidak akan ada lagi orang-orang berfrekuensi rendah yang mengotori grae. Dunia akan terbebas dari para penyerang yang tertarik oleh kumpulan energi negatif di Enfir Alle. Seluruh masalah kami terselesaikan hanya dengan satu tindakan.”

Ekspresi tak percaya tergambar di wajah Reinald, disusul kemudian dengan raut muak dan marah. ”Tapi, itu namanya pembantaian! Apa hak Aryo untuk melakukan seleksi alam seperti itu? Dia bukan Tuhan!”

Nadine tertawa pendek. ”Kamu benar. Tindakan Aryo memang keterlaluan. Tapi dulu aku mendukungnya tanpa keraguan sedikit pun. Siap berkorban tubuh dan nyawa demi rencananya itu. Karena waktu itu aku juga kesal dan marah luar biasa terhadap manusia-manusia di bumi. Banyak teman-temanku yang gugur dalam pertarungan di Enfir Alle, tapi orang-orang di bumi sama sekali tidak tahu apa-apa mengenai pengorbanan mereka. Lebih parah lagi, manusia-manusia itu terus saja merusak alam, mengotori grae dengan ulah mereka. Padahal sahabat-sahabatku sudah berkorban nyawa untuk mereka. Kematian sahabat-sahabatku seolah-olah mereka injak-injak seenaknya!”

Rei memandanginya, dan Nadine baru menyadari bahwa nada suaranya meninggi, terdorong emosi. Buru-buru gadis itu menarik napas, lalu melanjutkan dengan nada suara biasa. ”Tapi, akhirnya aku sadar kalau cara Aryo salah. Dan yang menyadarkanku adalah para urnduit di Alleterre.”

Gadis itu tersenyum pada Gakka, yang balas menatapnya dengan pandangan bertanya. ”Kalau ada yang bisa disebut sebagai makhluk hidup yang paling selaras dengan grae, merekalah orangnya. Hidup berdampingan dengan alam, tidak berusaha menaklukkannya. Tumbuh dan berkembang seiring dengan bumi ini.

”Setiap kali merasa sedih, aku selalu datang ke tempat mereka. Untuk mengobrol, atau sekedar memandangi mereka merawat Alleterre. Tempat tinggal mereka selalu diliputi kedamaian, suasana yang tidak pernah aku dapatkan di Enfir Alle. Bersama mereka adalah saat-saat yang paling menyenangkan dan paling menenangkan buatku.

”Dari merekalah aku belajar membuka mata. Menyadari bahwa tidak semua manusia itu jahat. Memahami bahwa semua makhluk hidup itu sama derajatnya. Manusia biasa, grasth, penjajah, semuanya setara di mata alam. Tak ada bedanya dalam aliran grae. Sehingga bukan hak grasth untuk menentukan makhluk mana yang pantas hidup, mana yang tidak.”

Nadine menunduk. ”Tapi, walaupun menyadari seberapa berbahayanya rencana yang Aryo susun, aku masih tidak berani bertindak. Pengaruh Aryo sangat besar di Galazentria. Tidak ada yang berani menentangnya, karena Aryo juga lah yang selalu menyelamatkan kami dari kehancuran dengan siasat-siasatnya. Kata-katanya adalah kebenaran absolut. Tapi akhirnya aku sadar, Aryo harus dihentikan. Bagaimanapun caranya, apapun bayarannya, walaupun itu adalah nyawaku sendiri.

”Maka malam itu, waktu seisi Galazentria tidur, aku mencuri Bola Varre dari tempat penyimpanannya dan membawanya kabur. Tapi Aryo keburu tahu, dan langsung memerintahkan pasukan penjaga benteng untuk menghentikanku. Hari itu, ratusan orang mengepungku. Orang-orang yang kukenal baik. Prajurit yang sudah berjuang hidup dan mati bersamaku. Sahabat-sahabat yang berbagi darah dan air mata denganku. Mereka menghalangiku, dan aku terpaksa membunuh mereka semua. Tanpa terkecuali. Demi membawa Bola Varre pergi dari sana. Demi mencegah rencana Aryo.”

Air mata kembali menggenang di matanya, dan Nadine menggigit bibir. Pedih rasanya mengenang hari itu, hari yang terasa seperti mimpi buruk. Hari yang masih menghantuinya sampai sekarang.

Reinald memeluknya dan Nadine memejam. Meresapi kehangatan tubuh pemuda itu, menggunakannya untuk mencegah isak tangis yang menggumpal di tenggorokannya. ”Hari itu aku berhasil lolos, walaupun terluka parah. Lari tunggang langgang dan melemparkan diriku melewati Sonara Lide, kabur ke dimensi lain. Aku tidak berani kembali ke bumi, karena tempat itu pasti jadi tujuan pertama Aryo untuk mencariku. Jadi aku berpindah-pindah dari satu dimensi ke dimensi lain, melarikan diri dari pengejaran pasukan Galazentria. Bertahan hidup sebisa mungkin.

”Berbulan-bulan lamanya aku lari, dan selama itu juga pasukan Galazentria terus mengejarku. Entah sudah berapa banyak dimensi yang kusinggahi. Sudah berapa banyak pengejar yang kubunuh. Yang kutahu hanyalah, aku tidak boleh tertangkap. Bola Varre tidak boleh sampai jatuh lagi ke tangan Aryo. Jadi aku lari dan terus lari.

“Semakin lama energiku semakin terkuras. Aku tahu, kalau harus melarikan diri lagi, aku bisa gila atau mati kelelahan. Akhirnya, di suatu dimensi yang jauh dari bumi, aku membiarkan pasukan Galazentria menyudutkanku. Dan aku berpura-pura mati di sana. Setelah pasukan Galazentria kembali ke Enfir Alle dengan mayat yang mereka kira adalah diriku, diam-diam aku membuat portal ke tempat yang bisa kuingat waktu itu. Ke Alleterre, tempat para urnduit.”

Nadine melepaskan diri dari pelukan Reinald lalu menoleh pada Gakka. ”Kamu pernah berkata kalau kamu dan saudara-saudaramu tidak pernah bisa membalas jasaku. Kamu salah. Hari itu, kalian sudah membayar lunas semua hutang kalian. Kalian mau menerimaku yang waktu itu kelelahan, ketakutan, penuh luka di sekujur tubuh. Kalian mau melindungiku, merawatku sampai sembuh, walaupun resikonya kalian bisa dibunuh pasukan Galazentria.”

Gakka memandanginya. -Saudara-saudaraku tak ada di sini, tapi kalau mereka ada, aku yakin kalau mereka akan berkata bahwa menyelamatkanmu adalah kehormatan tertinggi bagi mereka. Bagi kami semua.-

Ucapan itu membuat tenggorokan Nadine kembali terasa sesak. ”Aku sangat berterima kasih pada kalian. Kalian adalah makhluk paling mengagumkan yang pernah kutemui. Aku… benar-benar sedih karena kehilangan saudara-saudaramu.”

Gakka tidak menjawab. Sang urnduit hanya menyilangkan kedua lengan sabitnya dan menunduk.

”Setelah cukup sehat, aku menitipkan Bola Varre pada kaum urnduit,” Nadine kemudian melanjutkan. ”Aku keluar dari daerah Alleterre dan pergi ke Bandung. Kembali ke kota terakhir yang kutinggali sebelum berangkat ke Galazentria. Aku tidak berani kembali ke Farsei Foruna, karena aku tahu Aryo pasti mengawasi tempat itu. Dalam keadaan tidak punya tempat tinggal, tidak punya uang, aku nekat pergi ke toko kostum Masquerade. Waktu kabur, aku sempat membawa Seise Felliri dan beberapa artefak. Aku bermaksud menjual benda-benda itu di sana untuk mendapatkan sedikit uang.

”Ternyata Kak Tina, pemilik toko itu, kasihan melihatku. Alih-alih membeli artefak yang kubawa, Kak Tina mengajakku bekerja sama. Aku boleh bekerja di sana, tapi sebagai gantinya, aku membantunya membuat kostum-kostum unik yang tidak ada di toko lain. Aksesoris dan pernak-pernik ajaib yang belum pernah orang lain lihat sebelumnya.”

Gadis itu tertawa pendek. ”Aku sama sekali tidak menyangka semua pengalamanku sampai saat itu, yang sebenarnya ingin kulupakan seumur hidup, malah membantuku bertahan hidup. Semua baju perang yang pernah kulihat, semua senjata yang pernah beradu denganku, kubuatkan desainnya untuk Kak Tina. Dia senang sekali, karena buatanku lain dari yang lain. Berkat itu, toko kostumnya sangat sukses. Namanya jadi terkenal ke seluruh Indonesia.”

Nadine mengangkat wajah, dan tatapannya bertemu dengan Reinald. ”Setahun lamanya aku bekerja di Masquerade. Sampai hari di mana kamu datang. Lalu… yah, kamu sudah tahu kelanjutannya.”

Sesaat ruangan itu menjadi hening. Rei sama sekali tak berkomentar apa-apa. Matanya masih terus memandangi Nadine. Apa yang sedang pemuda itu pikirkan? Gadis itu sama sekali tak bisa menebaknya. Bukan, mungkin bukan tak bisa menebak, tapi tak mau. Gadis itu takut mengetahui reaksi pemuda itu. Takut kalau-kalau Reinald memutuskan untuk pergi meninggalkannya, karena tak sanggup menghadapi semua resiko yang terbentang di depan mereka.

Mendadak pemuda itu tersenyum. ”Aku tidak akan meninggalkanmu.”

Nadine terperanjat. Mukanya memerah seketika. ”Kamu…! Bagaimana bisa…?!”

Rei terkekeh. ”Dulu kamu memang gadis es, tapi sekarang, setelah kamu mau membuka hatimu padaku, perasaanmu jadi tergambar jelas di wajahmu. Yah, mungkin tidak begitu bagi orang lain, tapi setidaknya jelas sekali bagiku.”

Gadis itu merasakan wajahnya semakin membara. Sial! Kenapa jadi begini? Padahal ia sudah berlatih bertahun-tahun lamanya untuk menyembunyikan emosinya. Sekarang semuanya jadi gagal!

Masih sambil tertawa, Rei merengkuhnya lagi. ”Terima kasih,” ucap pemuda itu. ”Terima kasih, sudah mau bercerita padaku.”

Nadine masih ingin marah, namun kata-kata itu membuat kekesalannya menyurut. Dalam dekapan pemuda itu, sulit rasanya untuk marah, karena ia langsung diselimuti ketenangan.

”Tapi sebenarnya percuma saja aku bercerita begini,” kata Nadine lemah. ”Bola Varre sudah hilang. Lili dan Lex pasti sudah mengembalikannya pada Aryo. Dan kehancuran bumi pun sudah tidak bisa dihentikan lagi.”

”Bisa,” Reinald melepaskannya, dan menatapnya lekat-lekat. ”Kita ke Galazentria, lalu kita hadang Lili dan Lex sebelum mereka sampai ke tempat Aryo.”

Nadine ternganga. ”Apa kamu sudah gila? Waktu di Enfir Alle itu berjalan dua kali lebih cepat dari di sini! Satu hari di sini sama dengan dua hari di sana! Kamu pikir kita bisa mengejar mereka dalam keadaan begitu?”

”Bisa,” ulang pemuda itu. ”Kita memang harus berangkat secepatnya, tapi kita pasti masih bisa mengejar mereka.”

Nadine termangu, tak tahu harus berbuat apa. Tanpa ia sadari tangannya terangkat ke leher. Ke tempat tato Ildarrald Daevar berada. Kembali ke Galazentria? Ke daerah kekuasaan Aryo? Dulu ia mati-matian lari dari sana. Sekarang ia harus kembali lagi ke tempat itu dengan suka rela? Rasanya ia bisa gila mendadak!

”Kamu… tahu kan, apa yang akan terjadi kalau aku bertemu lagi dengan Aryo?”

Reinald menggenggam tangannya. ”Aku masih ingat semua kata-katamu. Tidak usah takut. Kita bisa merebut Bola Varre dari Lili dan Lex tanpa perlu bertemu dengan Aryo. Kalau pun yang terburuk terjadi, kamu tidak perlu menghadapi si brengsek itu sendirian. Aku akan membantumu. Juga Gakka.”

Gadis itu terperangah. ”Jangan sangkutkan Gakka di masalah ini!”

Pemuda itu menoleh ke sang urnduit. ”Kamu juga mau ikut, kan?” nada suara pemuda itu sama sekali bukan nada bertanya.

Nadine turut menatap Gakka. Sang urnduit memandangi Reinald, lalu mata putih tak berkelopaknya menyapu gadis itu. -Nadine Felledia, aku sangat senang dapat mendengar kisahmu. Ke mana pun kau pergi, aku akan ikut. Aku akan terus menjaga punggungmu sebagai tohsa-mu.-

Rasa haru memenuhi dada gadis itu, membuat matanya berkaca-kaca. ”Hubungan kita sudah bukan jenderal dan kapten lagi,” sahut Nadine. ”Jadi kamu tidak usah memanggilku seperti itu. Ikutlah sebagai sahabatku. Tolong bantu aku.”

Kegembiraan dan rasa terima kasih terpancar dari sang urnduit. -Siap, Nadine Felledia.-

”Ajak juga Melinda dan Indra,” cetus Reinald tiba-tiba.

Nadine terperanjat. Rasa senangnya menguap seketika. ”Tapi…” gadis itu tak sanggup melanjutkan kata-katanya. Tapi mereka membenciku. Tapi mereka takut padaku. Alih-alih berkata seperti itu, gadis itu melanjutkan, ”Belum tentu mereka mau. Kita bukan membicarakan acara jalan-jalan. Mungkin saja… mungkin saja kita takkan bisa kembali lagi ke bumi.”

”Tanyakan pada mereka,” kata Rei. ”Ceritakan semua yang sudah kamu ceritakan barusan, termasuk resiko yang harus mereka tanggung. Mereka pun berhak tahu. Setelah itu, terserah mereka mau ikut atau tidak. Yang penting kita sudah memberitahukan semuanya.”

Nadine masih termangu. Sanggupkah ia? Sama seperti pada Reinald, gadis itu takut mengetahui reaksi Melinda dan Indra. Takut terluka akan penolakan mereka.

Rei merangkulnya. ”Jangan khawatir. Aku akan menemanimu berbicara pada mereka. Kamu sudah tidak sendirian lagi.”

Ucapan itu menenangkan gadis itu. ”Ya. Aku – aku akan berbicara pada mereka. Malam ini juga.”

Reinald tersenyum. ”Kalau begitu, sekarang kita istirahat dulu. Nanti malam kita pastikan semuanya.”

Gakka membereskan cangkir-cangkir dan beranjak pergi. Setelah makhluk itu keluar dari kamar, Rei menunggu Nadine membaringkan tubuh, baru kemudian menyelimutinya. ”Tidurlah,” pemuda itu membelai kepalanya. ”Kamu butuh istirahat.”

”Sebentar,” Nadine menarik pergelangan tangan pemuda itu ketika ia hendak pergi.

”Kenapa? Kamu mau dikeloni dulu sebelum tidur?” Reinald tersenyum jahil.

”Bukan!” gadis itu merasakan wajahnya memanas. ”Lukamu. Sini.”

Pemuda itu menatap perutnya dengan raut wajah seakan baru sadar kalau ia terluka, padahal darahnya sudah merembes sampai ke baju yang ia kenakan. ”Oh, ini?” sahutnya ringan. ”Tidak apa-apa, kok. Tinggal dikasih obat merah, besok juga sembuh.”

Nadine tidak menghiraukan ucapan Rei. Gadis itu menempelkan tangan di luka pemuda itu. Sesaat ia sempat merasakan Reinald berjengit akibat sentuhannya. Ha, katanya tidak apa-apa! Gadis itu mengerahkan grae yang masih tersisa dalam tubuhnya, dan membekukan luka pemuda itu.

Setelah selesai, Reinald tersenyum padanya. ”Terima kasih, ya. Sekarang, tidurlah.” Kemudian pemuda itu beranjak pergi.

Sebuah dorongan kuat muncul dalam hati Nadine, dan ia berkata lirih, ”Rei?”

”Hm?”

”Kamu… mau menemaniku?”

Sesaat Rei terdiam. Kemudian pemuda itu tersenyum dan kembali duduk di tepi tempat tidur. Mencondongkan tubuh dan merengkuh gadis itu ke dalam dekapan erat.

”Pasti,” jawab pemuda itu. ”Pasti…”

***

Category(s): Artefaktor

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

 

You may use these HTML tags and attributes: <a href="" title=""> <abbr title=""> <acronym title=""> <b> <blockquote cite=""> <cite> <code> <del datetime=""> <em> <i> <q cite=""> <s> <strike> <strong>