Bab 26 – Badai di Tengah Samudra

Reinald terombang-ambing dalam rasa sakit. Seluruh dunianya seperti hanya terdiri dari lautan gelap yang bergelombang dahsyat, sementara badai berkecamuk di sekitarnya. Ombak menerpanya tanpa ampun, membakar sekujur tubuhnya dengan api tak kasat mata. Sementara itu badai menerjangnya, menyayatkan rasa perih yang teramat sangat. Pemuda itu membuka mulut, berteriak sekuat tenaga, namun tak satu pun suara keluar dari tenggorokannya.

Sewaktu grae Lili melumpuhkannya, Rei tahu ia harus mencari cara untuk dapat kembali bergerak. Jadi ia memanas-manasi Lex dan Lili, berharap salah satu dari mereka akan menyerangnya. Dan pertaruhannya berhasil. Lili membuatnya merasakan sakit yang luar biasa di sekujur tubuhnya. Entah bagaimana cara gadis itu melakukannya, yang penting rasa sakit itu berhasil membuatnya kembali memegang kendali atas badannya. Membuatnya bisa mencabut pisau pemberian Pak Edwin dari sarungnya.

Ketika Lex memasukkan jari ke dalam mulutnya, Reinald tahu bahwa ia harus bertindak cepat. Ia ingat Nadine pernah memberi tahunya kalau Lex adalah pengguna racun. Dan ia sadar Lex sedang berusaha membunuhnya. Jadi saat titik racun pertama mengalir ke dalam kerongkongannya, pemuda itu menusukkan pisau yang ia genggam ke luka di perutnya, menyamarkan gerakan itu dengan berpura-pura menarik lengan Lex. Dan pada saat yang bersamaan, ketika ia memerintahkan Seise Felliri menyerang Lex, pemuda itu memanggil Racunvora dari liontin hijau yang masih tersimpan di sakunya. Menyuruh ngengat artefak itu menghisap racun dalam tubuhnya dari luka bekas tusukan pisau.

Sedetik kemudian dua buah racun menyerangnya dari dua arah. Racun Lex menyayat kerongkongannya, menyebarkan rasa sakit ke seluruh tubuh, sementara racun dari pisau membakar perutnya, dalam sekejap membungkus tubuhnya dalam hawa panas, seolah seluruh aliran darahnya mendadak mendidih. Reinald ingin menjerit, tapi tenggorokannya seolah tercekik, membuatnya tak mampu bernapas. Kemudian pemuda itu merasakan dirinya terlempar ke dalam dunia gelap yang bergelora dahsyat tersebut.

Sekarang, kedua racun itu terus bertempur dalam dirinya, sementara ia terjebak di tengah-tengah. Pemuda itu tak mampu melarikan diri dari rasa sakitnya, namun juga tak mau menyerah. Karena ia tahu, sekali saja ia berhenti berjuang, kedua racun itu akan menang, dan ia pasti mati.

Jadi Rei bertahan, sementara badai racun Lex beradu dengan lautan racun pisau. Ketika gelombang menenggelamkannya, Reinald berjuang untuk muncul lagi ke permukaan. Ketika badai menghempasnya, pemuda itu berlindung di balik ombak. Ia terus mempertahankan posisinya agar berada di tengah-tengah, tidak ditelan ombak, namun juga tidak diterpa badai. Ia tidak tahu sampai kapan ia harus bertahan. Ia tidak tahu apa Racunvora akan berhasil menghisap semua racun yang ada dalam tubuhnya atau tidak. Reinald hanya tahu, sekali ia menyerah, samudra dan badai tersebut akan menyeretnya ke dalam kematian.

Ombak terus menerjangnya, angin ribut menamparnya tanpa ampun, dan Rei mulai merasa lelah. Tubuhnya belum pulih benar dari keletihan dan luka-luka malam kemarin, namun ia memaksa diri terus bergerak. Tidak tenggelam namun juga tidak berada di permukaan terlalu tinggi. Setiap ayunan tangan membuat tenaganya semakin terkuras, setiap hentakan kaki membuat tubuhnya semakin berat, seolah berubah menjadi batu. Tapi Reinald menolak untuk menyerah. Ia harus kembali. Ia tak mau jika tak bisa lagi menatap wajah Nadine. Tak bisa lagi memeluknya. Menghiburnya. Menciumnya.

Energinya hampir habis, dan Rei tak mampu mengelak ketika sebuah gelombang menghantamnya. Pemuda itu terbatuk-batuk, berusaha menghirup udara, namun yang ada hanyalah air pekat yang membakar tenggorokan. Kini angin seolah bekerja sama dengan lautan, mendorongnya semakin dalam ke dasar rasa sakit. Reinald menendang dan mengayuh, berusaha tetap timbul di permukaan, namun tenaganya hampir tak tersisa. Sementara badai dan ombak semakin mengganas, mengurungnya.

Tiba-tiba setitik cahaya muncul di langit yang gelap. Cahaya tersebut semakin lama semakin membesar, kemudian mewujud menjadi seekor ngengat raksasa yang terbang mendekat. Keenam sayapnya mengepak kuat, mengusir angin ribut yang berputar di sekeliling Reinald. Tubuh hewan itu memancarkan kemilau hijau yang menerangi kegelapan di sekitarnya.

Racunvora. Dengan sisa-sisa energi terakhir, Rei mengulurkan tangan ke arah hewan artefak itu. Racunvora terbang mendekat, meraih tubuh pemuda itu dengan kaki-kaki berbulu, lalu mengangkatnya keluar dari lautan yang bergelora. Membawanya pergi menembus badai yang masih terus menerpa.

 ***

Reinald membuka mata dan menatap langit-langit kamar. Gakka sudah ada di sisinya, berlutut di sebelahnya. -Rei vathek,- makhluk itu terdengar khawatir bercampur lega. -Kamu selamat!-

”Nadine!” pemuda itu buru-buru bangkit. ”Mana Nadine?” Baru saja mencapai posisi duduk, rasa sakit teramat sangat telah mendera perutnya. Rasa mual tak tertahankan mengikuti rasa sakit tersebut, dan Reinald tertunduk, memuntahkan darah segar ke lantai.

-Jangan bergerak dulu,- Gakka menopang tubuhnya. -Kamu baru saja lolos dari kematian. Hampir saja kamu tidak selamat tadi. Dan luka di perutmu terbuka lagi. Aku sudah berusaha membalutnya, tetapi aku tidak memiliki kemampuan untuk menyembuhkannya.-

”Tapi… Nadine…” pemuda itu tak mampu berkata-kata lagi, karena saat itu rasa tersayat-sayat di perutnya semakin memuncak, membuatnya tak mampu bernapas.

-Minum ini,- Gakka menyerahkan secangkir cairan kepadanya. -Ini akan membantumu merasa lebih baik.-

Dengan bantuan sang urnduit, Reinald meneguk minuman tersebut. Teh daun Qili yang terasa hangat-dingin di tenggorokannya. Perlahan-lahan, rasa sakit yang menyerangnya menghilang, dan pemuda itu merasa tenaganya mulai kembali sedikit demi sedikit.

Setelah menelan habis ramuan itu, Rei menghela napas panjang dan menyeka mulut. Badannya masih gemetar karena kesakitan dan kelelahan. ”Mana Nadine?” tanyanya lagi.

Gakka tidak menjawab. Makhluk itu bangkit berdiri dan bergeser dari tempatnya. Di belakangnya, Nadine terbaring di atas tempat tidur. Gadis itu tak bergerak sama sekali. -Aku yang memindahkannya ke sana,- ucap sang urnduit. -Aku sudah berusaha menyadarkannya, namun Nadine Felledia tidak siuman juga.-

”Nadine,” Reinald memaksa tubuhnya bangkit, walaupun Gakka menahannya agar tetap duduk. Pemuda itu melangkah dan rasa sakit yang tajam mendera perutnya, membuatnya kembali jatuh berlutut. Gakka bergegas membantunya, dan akhirnya dengan pertolongan sang urnduit lah Rei berhasil tertatih ke arah tempat tidur dan duduk di tepinya.

Nadi gadis itu masih berdetak, walaupun agak lemah, dan Reinald menghembuskan napas lega. Dengan tangannya ia memindahkan Racunvora, yang saat itu masih menempel di lukanya, ke salah satu luka sayatan di leher Nadine. Selama beberapa saat ngengat artefak itu diam di sana, kemudian Racunvora kembali terbang dan hinggap di luka pemuda tersebut. Itu berarti tidak ada racun di dalam tubuh Nadine. Sepertinya gadis itu hanya pingsan.

Rei membelai pipi gadis itu. ”Nadine,” ucapnya, berharap panggilannya dapat menyadarkan gadis itu. ”Nadine. Ini aku. Kamu sudah tidak apa-apa. Nadine, bangun.”

Nadine masih belum menunjukkan tanda-tanda sadar, dan kekhawatiran mulai mencengkeram jantung pemuda itu. Bagaimana kalau sebenarnya gadis itu tak sadarkan diri akibat serangan grae? Kalau memang benar, ia tidak akan bisa menolong Nadine, karena ia tidak tahu bagaimana caranya mengalahkan tenaga sihir tersebut. Bagaimana ini?

Reinald memeluk gadis itu erat, tak tahu lagi harus berbuat apa. ”Nadine,” panggil pemuda itu. ”Nadine, bangunlah. Nadine. Nadine…”

***

Nadine berlari sekuat tenaga. Di depannya, Lili dan Lex berjalan amat cepat. Kedua orang itu membelakanginya, hanya punggung mereka saja yang terlihat. Nadine sudah mengayunkan kaki secepat mungkin, namun Lili dan Lex tak juga terkejar.

“Kita bisa menggunakan artefak ini,” sebuah suara terdengar dari kanannya. Itu suara Aryo. Sejak kapan pemuda itu ada di sini? “Kalau sendiri-sendiri, tenaga kita tidak akan cukup. Kita harus menggunakan Bola Varre.”

Napas gadis itu mulai terengah-engah. Ia harus mengejar Lili dan Lex. Mereka membawa pergi Bola Varre! Tapi kenapa ia tak juga bisa mengejar mereka? Mendekati saja tak bisa! Kenapa?

“Kita harus melakukannya, Dialarri,” suara Aryo terdengar lagi. Dari mana pemuda itu berbicara? Kenapa hanya suaranya saja yang terdengar? “Bumi sudah tidak tertolong lagi. Kita harus melakukannya.”

“Kamu salah!” Nadine mendengar dirinya sendiri menjawab sambil terus berlari. “Bumi pasti masih bisa diselamatkan. Manusia pasti masih bisa berubah!” Gadis itu mencoba berlari lebih cepat, tapi punggung Lili dan Lex malah semakin menjauh.

“Berapa banyak lagi orang yang akan kamu bunuh?” tanya Aryo. “Berapa banyak lagi nyawa yang harus kamu cabut, sebelum manusia mau berubah?”

Nadine merasakan air mata meleleh di pipinya. Berapa banyak lagi? Tidak, ia tidak mau membunuh satu pun lagi! “Tidak akan!” jawab gadis itu. “Manusia pasti akan berubah. Pasti!”

Mendadak jalan yang Nadine lalui dipenuhi sesuatu. Tubuh-tubuh yang bergelimpangan, tulang belulang yang berserakan. Gadis itu tidak sempat mengerem laju larinya. Kakinya tersandung sesuatu, dan detik berikutnya ia sudah jatuh terguling-guling di tengah-tengah tumpukan mayat tersebut. Tubuhnya terhempas keras dan seluruh napasnya terdorong keluar dari dada, membuat pandangannya berputar.

“Kamu tidak akan bisa berhenti membunuh,” suara Aryo kembali terdengar. “Selama manusia tidak berubah, kamu akan selalu jadi pembunuh.”

”Pembunuh,” entah dari mana, bisikan itu mulai terdengar. Mula-mula pelan, kemudian semakin lama semakin keras. ”Pembunuh. Pembunuh. Pembunuh.”

Nadine menutup kuping, namun erangan dan desahan itu menyelinap masuk ke dalam pendengarannya. “Hentikan!” jerit gadis itu. “Bukan mauku seperti ini. Bukan mauku!”

“Nadine…” mendadak bisikan lain terdengar di telinganya.

Gadis itu mengangkat wajah. Di ujung tumpukan mayat tersebut, terbaring sebuah sosok yang ia kenal. Nadine merasa punggungnya seperti disiram air es. Tubuh yang tertelungkup itu Reinald. Mata pemuda itu putih seluruhnya. Darah hitam mengalir dari sudut mulutnya.

“Kamu lihat?” ucap Aryo. “Lagi-lagi jatuh korban, karena kamu tidak mau melakukan hal yang seharusnya kamu lakukan dari dulu.”

“Tidak,” gumam gadis itu ngeri. “Tidak.”

”Nadine,” bisik Reinald dengan bibir sepucat hantu. ”Nadine.”

”Rei!” gadis itu bermaksud menghambur ke arah pemuda itu, tapi kakinya tak dapat digerakkan. Ketika melihat ke belakang, Nadine baru menyadari bahwa tangan-tangan hancur dan tulang belulang telah mencengkeram pergelangannya, menahannya di tempat.

“Tapi ini semua masih bisa dicegah,” suara Aryo terdengar lagi. “Dia tidak perlu mati. Tidak perlu ada lagi nyawa yang melayang di tanganmu. Kamu hanya perlu melakukan satu hal.”

”Lepaskan!” dengan panik gadis itu berusaha melepaskan kakinya, namun tangan-tangan itu mencengkeramnya kuat. ”Rei!”

”Nadine,” panggil Reinald, kali ini lebih lemah. ”Nadine.”

“Kembalikan Bola Varre padaku, Dialarri,” suara Aryo terdengar dari segala arah. “Kembalikan artefak itu, dan ini semua tidak perlu terjadi.”

“Tidak akan!” seru gadis itu. “Aku tidak akan memberimu benda itu!”

“Kembalikan Bola Varre padaku,” kata Aryo lagi. “Kembalikan padaku.”

“Tidak!” jerit Nadine. Susah payah gadis itu berusaha merayap ke tempat Reinald, namun tangan-tangan mayat tersebut malah menyeretnya menjauh. “Rei. Rei!”

“Baiklah,” suara Aryo terdengar sedih. “Kalau itu maumu. Kalau kamu mau kehilangan lagi orang yang kamu sayangi…”

Suara Aryo menghilang, berganti dengan suara Reinald. ”Nadine…” bisikan pemuda itu terdengar amat lemah. Sesaat kemudian ia pun terdiam.

“Rei?” gadis itu merasa jantungnya seperti berhenti berdetak. “Rei?”

Tak ada jawaban. Reinald sudah terbaring tak bergerak. Matanya yang terbuka menatap kosong.

Rasa sakit yang amat sangat meledak dalam tubuh Nadine, menghancurkannya tanpa ampun.

“REI!!!”

Tiba-tiba matanya terbuka lebar dan Nadine tersentak, terengah-engah menarik napas. Gadis itu menatap langit-langit kamar yang diterangi lampu TL. Kenapa mendadak ia ada di kamar? Mana Rei? Mana Aryo?

Seseorang memeluknya. ”Nadine!” ia bisa mendengar suara Reinald, terdengar amat lega. ”Akhirnya kamu sadar juga! Aku sudah sangat khawatir. Kupikir kamu kenapa-kenapa!”

”Rei?” Nadine memandangi pemuda itu, tak percaya pada penglihatannya. Reinald tampak baik-baik saja, walaupun masih agak pucat. Reinald yang hidup dan bernafas, bukan Rei yang terbaring tak bernyawa. Nyatakah ini? Atau ini semua hanya mimpi?

Tanpa ia sadari, tangan Nadine telah terangkat dan menyentuh pipi pemuda itu. Panas tubuh Reinald terasa di telapaknya, seolah memastikan bahwa apa yang ia lihat memang nyata. Rei masih hidup, dan baik-baik saja. Racun Lex tidak membunuhnya.

Pemuda itu balas menggenggam tangan gadis itu, menekankannya ke wajah dan tersenyum. ”Ya, ini aku.”

Butuh beberapa saat untuk meresapi kenyataan tersebut, bahwa Rei memang baik-baik saja. Kemudian Nadine menabrakkan tubuh pada pemuda itu sampai Reinald berseru kaget, melingkarkan lengan di leher pemuda itu dan memeluknya erat-erat.

”Rei!” ia ingin mengatakan kalau ia sangat senang pemuda itu masih hidup. Kalau ia amat khawatir ketika melihat pemuda itu terkulai oleh racun Lex. Namun yang bisa keluar dari mulutnya hanyalah isak tangis, dan nama pemuda itu berulang-ulang. Dadanya terasa seperti akan meledak oleh rasa khawatir sekaligus lega, takut sekaligus senang.

Reinald balas memeluknya dan membelai kepalanya. ”Sudah,” ucap pemuda itu lembut. ”Aku tidak apa-apa, kok.”

Selama beberapa saat Nadine hanya mampu terisak. Kelegaan membanjiri hatinya. Namun kemudian ia ingat apa yang baru saja terjadi. Pada pengkhianatan Lili dan Lex. Kepergian mereka ke Galazentria. Dan Bola Varre yang turut mereka bawa.

Rasa tak berdaya menghantam Nadine. Bola Varre sudah lenyap, kembali ke tangan Aryo. Semua upaya yang ia lakukan untuk melarikan artefak tersebut dari Galazentria kini sia-siasaja. Sekarang, dengan Bola Varre di tangannya, Aryo pasti akan melanjutkan rencananya. Dan tak ada seorang pun yang dapat menghentikannya.

Bumi akan hancur, dan ia tak sanggup melakukan apa pun untuk mencegahnya.

Nadine membekap mulutnya sendiri, tapi sia-sia saja. Sedu sedan mulai terlepas dari tenggorokannya. Seluruh tubuhnya terasa sakit, dari ujung kepala sampai ke ujung kaki, membuatnya mencengkeram bahu Reinald, tapi rasa perih itu tak kunjung hilang.

”Nadine?” gadis itu bisa mendengar Rei memanggilnya, namun ia tak kuasa menjawab. Kenapa ia tak mampu mengetahui rencana Lili dan Lex? Kenapa ia bisa begitu bodoh? Dulu Ronny yang harus menanggung kesalahannya. Kini Gakka dan kaum urnduit lah yang menjadi korban. Lalu Kolektor beserta semua teman-temannya.

Berikutnya, bumi dan seluruh manusia di dalamnya yang akan menjadi korban.

Rasa teriris-iris itu kian memuncak, dan Nadine mulai berteriak. Menjerit tanpa bisa dikendalikan lagi.

”NADINE!” seruan Rei menyentakkannya. Gadis itu tertegun, terengah-engah kehabisan napas. Tubuhnya masih berguncang hebat, lengannya memeluk erat leher pemuda itu.

”Tenanglah,” kata Reinald. ”Aku di sini. Tarik napas. Tenanglah.”

Rasa sakit itu masih menyerang, namun kali ini Nadine berusaha bertahan. Reinald terus memeluknya erat, tangan pemuda itu membelai lembut punggungnya. Membantunya mengusir perasaan tersiksa yang masih menghantuinya.

Akhirnya rasa perih itu lenyap, dan Nadine terkulai lemas. Seluruh tenaganya seperti mengalir pergi tanpa tersisa sedikit pun dalam tubuh.

”Gakka, tolong ambilkan air minum,” terdengar suara Rei. ”Lalu kalau bisa, aku minta lagi teh Qilimu, ya. Sepertinya manjur sekali, nih. Sekalian buat Nadine juga, ya.”

-Akan segera kusiapkan,- terdengar jawaban makhluk itu.

Ternyata ada Gakka juga di sana. Tadinya Nadine sempat khawatir kalau-kalau Lili dan Lex menyerang makhluk itu juga, namun sepertinya sang urnduit tidak tersakiti sedikit pun. Kelegaan sedikit menyusup ke dalam hatinya.

Dengan lembut Rei melepaskan dekapannya dan membantu Nadine bersandar pada kepala tempat tidur. ”Ada apa? Kenapa kamu menangis sampai seperti itu?” mata pemuda itu memandanginya penuh kekhawatiran. ”Ceritakan padaku. Semuanya.”

Dari mana ia harus mulai bercerita? Nadine menarik napas dalam-dalam dan tersedak. Dadanya masih terasa tertekan, tapi akhirnya ia berhasil berbicara. ”Bola Varre,” suaranya terdengar lirih. ”Rei, aku… aku sudah tidak tahu lagi harus bagaimana…” rasa tak berdaya kembali menerpanya, dan gadis itu mulai terisak-isak lagi.

Pemuda itu menyeka air matanya, menenangkannya. ”Kenapa dengan Bola Varre?”

Nadine menelan ludah. Kerongkongannya seperti terbakar, membuat gadis itu terbatuk-batuk. ”Aryo… mau menggunakan Bola Varre untuk menyatukan Enfir Alle dengan bumi.”

Kening Rei berkerut. ”Lalu?”

”Lalu? Kamu tidak mengerti?” Nadine mencengkeram baju pemuda itu. ”Kalau Aryo berhasil melakukan itu, dunia ini bisa hancur! Kenapa kamu tidak mengerti?!”

”Nadine, bagaimana aku bisa mengerti kalau kamu tidak menceritakannya dari awal?” pemuda itu menjawab tenang. ”Apa itu Enfir Alle? Apa itu Bola Varre? Makanya, jelaskan semuanya, biar aku mengerti.”

Kata-kata Reinald menyadarkan gadis itu. Ya, benar, ia memang tidak pernah bercerita mengenai hal tersebut. Rahasia itu ia simpan rapat-rapat, karena jika ada orang lain yang tahu, nyawanya bisa terancam. Haruskah ia menceritakannya pada Rei sekarang? Walaupun mungkin saja itu akan menyebabkan pemuda itu pergi dari sisinya, begitu tahu apa yang sebenarnya dipertaruhkan dalam masalah ini?

Ya, biarlah. Kalau memang pemuda itu lantas meninggalkannya, mungkin itu jauh lebih baik bagi Reinald. Pemuda itu tidak akan terancam bahaya lagi. Rei tidak perlu terluka, tidak perlu menanggung resiko yang tidak perlu.

Walaupun itu berarti ia harus sendirian lagi.

Nadine menarik napas dalam dan menyeka air mata yang masih menggenang. Kemudian mulai bercerita.

***

Category(s): Artefaktor

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

 

You may use these HTML tags and attributes: <a href="" title=""> <abbr title=""> <acronym title=""> <b> <blockquote cite=""> <cite> <code> <del datetime=""> <em> <i> <q cite=""> <s> <strike> <strong>