Nadine membuka mata. Kedua kelopaknya terasa amat berat, dan seluruh tubuhnya terasa amat kaku, seperti terbuat dari batu. Gadis itu mengerjap beberapa kali, lalu mengamati keadaan sekitarnya.
Ia masih berada dalam kamarnya sendiri. Tirai menutupi setiap jendela yang ada di sana, membuat ruangan itu menjadi gelap. Sinar matahari membias dari balik tirai-tirai tersebut, jadi mungkin sekarang sudah siang.
Ia sendiri terbaring di atas tempat tidur, berada dalam pelukan Reinald. Kepalanya bersandar pada dada pemuda itu, dan ia bisa mendengar detak jantung Rei yang lambat dan teratur. Pemuda itu masih tertidur, kedua lengannya mendekap gadis itu erat.
Nadine kembali memejam dan menarik napas panjang. Menikmati kehangatan tubuh Reinald, dan mendengarkan irama jantungnya yang menenangkan. Sudah berapa lama ia tak pernah merasa senyaman ini? Rasanya sudah bertahun-tahun lamanya. Sejak bergabung dengan Ildarrald Daevar, rasanya ia tak pernah benar-benar merasakan ketenangan seperti sekarang ini.
Seseorang membelai rambutnya, dan Nadine membuka mata. Mendongak dan menatap Reinald yang sedang memandanginya. Pemuda itu sudah bangun, walau kedua matanya masih berat oleh kantuk.
”Hei,” sapa pemuda itu lembut. Suaranya terdengar agak serak.
”Hei.”
Rei membelai pipinya, lalu tersenyum. “Mukamu gawat banget. Habis bertinju sama siapa? Chris John?”
Nadine tertawa. Tampaknya matanya bengkak parah, akibat menangis selama berjam-jam. Sekujur tubuhnya mendadak terasa sakit karena guncangan tawa tersebut, tapi gadis itu mengabaikannya. “Kamu sendiri? Berkaca dulu, baru mengomentari orang lain.”
“Oke,” pemuda itu menarik dagu gadis itu, lalu menatap matanya dalam-dalam. “Ah, baru bangun seperti ini pun aku tetap keren, kok,” ia terkekeh.
Nadine menepis tangan pemuda itu dari dagunya. “Jangan berkaca di mata orang!”
“Maaf. Habis matamu indah sekali. Aku jadi tidak tahan.”
Gadis itu merasakan mukanya memerah. Segera ia melepaskan diri dari pemuda itu. “Jangan menggodaku. Mataku aneh.”
“Aku tidak menggodamu,” Reinald meraih tubuh Nadine dan memeluknya lagi. Pemuda itu menatapnya dalam-dalam. ”Dan matamu tidak aneh. Maaf, aku sempat takut melihatmu. Tapi setelah kuperhatikan lagi, matamu ternyata sangat indah. Seperti danau yang sangat jernih.”
Wajah gadis itu memanas lagi. ”Tidak ada danau yang warnanya satu hitam satu biru, tahu.”
”Ada,” balas pemuda itu. ”Danau Kelimutu.”
Nadine merenggut kesal, dan Rei tertawa. ”Yah, memang tidak sama persis dengan Danau Kelimutu, tapi mirip, lah.”
”Kamu… tidak takut padaku?”
Pemuda itu berhenti tertawa dan menatapnya serius. Kemudian Reinald menunduk dan berbisik di telinga gadis itu. ”Aku mencintaimu.”
Sontak wajah Nadine merah padam. Jantungnya berdetak kencang, sampai-sampai seperti akan melompat keluar. ”Ka – kamu pasti bercanda!” semburnya.
Rei memandanginya dengan kening berkerut. ”Aku tidak bercanda. Aku serius waktu berkata begitu, walaupun saat ini mukamu bonyok seperti preman habis berkelahi.”
”Tuh, kan, kamu mempermainkanku lagi!”
Pemuda itu menatapnya dalam-dalam. ”Sudah kukatakan, aku serius. Aku mencintaimu, Nadine.”
Ucapan itu membuat jantung gadis itu berdegup semakin keras. ”Tapi, tapi, aku ini…”
”Aku tidak peduli siapa pun kamu,” potong Reinald. ”Apa pun kamu. Dulu, sekarang, ataupun nanti. Kamu adalah kamu. Itu sudah cukup buatku.”
Nadine merasakan dadanya sesak. Tanpa ia ketahui sebabnya, air mata kembali mengalir di pipinya.
”Ssshh,” pemuda itu menyeka air matanya. ”Kenapa kamu menangis lagi? Kamu tidak suka aku berkata begitu?”
Gadis itu menggeleng. ”Tidak, bukan itu. Aku hanya…”
“Jadi kamu suka aku berkata begitu?” pemuda itu menyeringai.
“Aku… jangan buat aku bingung!”
Rei terkekeh dan mendekapnya lagi. ”Aku mencintaimu,” untuk kesekian kalinya pemuda itu mengucapkannya. Kemudian ia menunduk ke arah gadis itu.
Nadine menutup mata ketika bibir pemuda itu menyentuh bibirnya. Menciumnya dalam kecupan yang membuat tubuhnya terasa meleleh. Lengan pemuda itu memeluknya erat, seolah tak ingin melepaskannya lagi. Menyelimutinya dalam kehangatan yang kian lama membuat darahnya mengalir kian kencang.
Waktu terasa melambat dan berhenti. Suara-suara menghilang, meninggalkan mereka dalam kesunyian.
Mendadak terdengar ketukan di pintu. Nadine terkesiap, refleks melepaskan diri dari dekapan Reinald.
”Biar kubuka,” kata gadis itu seraya bangkit, namun Rei menariknya, memaksanya kembali berbaring.
”Biarkan saja,” gumam pemuda itu.
”Tapi…” Nadine tak sempat menyelesaikan kata-katanya, karena pemuda itu kembali membungkam mulutnya, menciumnya sampai gadis itu tak sanggup berpikir apa-apa lagi.
Ketukan kembali terdengar, kali ini diikuti suara seseorang. ”Nana, kamu di dalam?”
Itu suara Lili. Tampaknya Reinald juga menyadarinya, karena pemuda itu kemudian melepaskannya sambil menghela napas kesal. ”Bukalah, mungkin penting.”
Nadine buru-buru berdiri dan melangkah ke pintu. Dengan gugup dirapikannya bajunya yang kusut di sana-sini. Aduh, apa yang akan Lili pikirkan kalau ia muncul dengan baju berantakan seperti ini, setelah berjam-jam mengurung diri dalam kamar bersama Rei? Ah, peduli amat! Gadis itu membuka pintu.
Lili berdiri di hadapannya, wajahnya tampak cemas. Di luar dugaan Nadine, Lex ada di samping Lili. Muka pemuda itu terlihat pucat, tapi ia berdiri tanpa dibantu gadis di sebelahnya.
”Lex! Kamu baik-baik saja?” tanya Nadine.
Lex mengangguk. ”Aku tidak apa-apa. Lili sudah menyembuhkanku.”
”Maaf ya, Na,” sahut Lili. ”Aku tidak mau mengganggu, tapi aku khawatir. Jadi aku…”
Suara gadis itu menghilang dan matanya terbuka lebar. Seseorang merangkul bahu Nadine, membuat gadis itu menoleh. Reinald telah berdiri di sebelahnya, menatap Lili dan Lex dengan ekspresi tak senang yang sama sekali tak disembunyikan. Kancing kemeja yang ia kenakan terbuka semua, seolah-olah ia baru saja buru-buru mengenakan pakaian tersebut. Tatapan kaget Lili beralih darinya ke baju Nadine yang kusut, rambutnya yang berantakan, dan pengertian muncul di mata gadis berambut coklat itu, diikuti rona merah di pipinya.
”Eh, sepertinya aku memang mengganggu, ya? Ya sudah, nanti saja, deh.”
Nadine jadi ingin mengeluh keras-keras. Rei pasti sengaja. Pasti! ”Tidak, Li, kamu tidak mengganggu, kok. Ada apa?”
Gadis itu masih terlihat agak kikuk. ”Eh, aku – aku khawatir. Aku lihat kamu juga terluka parah, jadi aku ingin menyembuhkanmu. Hitung-hitung ucapan terima kasihku karena sudah menyelamatkan Lex.”
Nadine menggeleng. ”Tidak perlu berterima kasih segala. Aku hanya melakukan apa yang harus aku lakukan.”
”Kami benar-benar berhutang budi padamu,” Lex angkat bicara. ”Setidaknya biarkan kami membalasnya dengan apa yang bisa kami lakukan.”
Nadine menghela napas. ”Ya sudah,” diulurkannya tangan pada Lili.
”Di dalam saja,” sahut gadis itu. “Kamu tahu kan seberapa kuatnya efek penyembuhanku?”
Nadine menurut dan melangkah ke dalam, menghidupkan lampu kamar. Lili dan Lex mengikutinya di belakang. Reinald telah menyingkir ke sudut ruangan, wajah pemuda itu masih dipenuhi kekesalan, membuat Nadine ingin menjitaknya.
”Aku berbaring dulu di tempat tidur?” tawar Nadine.
Lili menggeleng. ”Di sini saja, Na,” gadis itu meletakkan tangan di bahu Nadine, dan mendadak seluruh tulang dan sendi dalam tubuh Nadine seperti menghilang, membuatnya terkulai lemas ke lantai.
”Nadine!” Rei menghambur ke arahnya. ”Kamu kenapa?”
”Tidak apa-apa,” sahut gadis itu, lalu berpaling ke arah Lili. ”Aduh, Li, tidak terlalu kuat nih penyembuhannya?”
”Aku sengaja,” sahut Lili. ”Supaya kamu tidak bisa menghalangiku.”
Tiba-tiba Lex bergerak cepat, menyergap Reinald dan menariknya menjauh dari Nadine. Pemuda itu tak sempat bereaksi, dan dengan mudah Lex memiting lengannya ke belakang, mengunci gerakannya. Dalam sekejap Lili sudah ada di sampingnya. Gadis berambut coklat itu meletakkan tangan di dahi Rei, dan pemuda itu pun jatuh tertelungkup ke lantai.
”Apa-apaan ini, Li?” Nadine berusaha bangkit, tapi tenaganya seolah hilang dari seluruh tubuh, membuatnya hanya mampu tertelungkup tanpa daya di lantai. Untuk mengangkat leher pun ia harus bersusah payah. “Apa yang kamu lakukan?”
Lili tidak menjawab. Gadis itu mengamati Lex yang telah menggeledah isi lemari besar yang berdiri di dekat sana. Tak menemukan yang ia cari, pemuda itu beralih ke tempat tidur. Kemudian Lex berseru penuh kemenangan, dan kembali dengan mendekap sesuatu di dada. Sebuah bola seukuran bola basket.
Ketakutan mendadak melanda Nadine, membuat punggungnya seperti disiram air beku. ”Bola Varre,” kata gadis itu tak percaya. ”Tapi, kenapa? Kenapa?”
”Sederhana saja,” sahut Lili. ”Kami akan mengembalikan artefak ini ke Aryo.”
Nadine merasakan tubuhnya seperti disambar petir. Kengerian menyergapnya, memuntir jantungnya tanpa ampun. Gadis itu berusaha bangkit dan menyerbu Lili, tapi tubuhnya tak mau bergerak. ”Jangan! Kamu tidak tahu apa yang kamu lakukan!”
”Oh, aku tahu, kok,” sahut Lili. ”Aku tahu persis apa fungsi Bola Varre ini. Makanya kupancing kamu supaya membawa sendiri artefak itu ke sini.”
”Apa?”
Tiba-tiba Lili tertawa. ”Jadi kamu tidak tahu? Kamu benar-benar tidak sadar? Bahkan Nadine yang hebat itu pun tertipu!”
”Apa maksudnya?”
”Semuanya rencana kami,” Lex angkat suara. Pemuda itu kini berdiri tegak, sama sekali tidak terlihat lelah ataupun habis menderita cedera. ”Pesan darurat yang Lili kirim. Tentang aku yang ditangkap. Semuanya hanya kebohongan.”
Nadine terperangah. ”Tapi… tapi…”
”Aku dan Lili sebenarnya sudah berencana untuk menghabisi perkumpulan grasth amatir itu,” lanjut Lex. ”Tapi kemudian kami mendapat kabar kalau kamu sudah kembali ke sini dengan membawa artefak curian dari Galazentria. Saat itulah kami mulai menyusun rencana. Jebakan untuk menangkapmu, merebut Bola Varre, sekaligus menghancurkan gerombolan penyihir itu.”
”Lex sengaja mendekati pemimpinnya,” timpal Lili. ”Cewek itu senang sekali. Dia pikir dia berhasil merekrut penyihir hebat untuk masuk ke dalam kelompoknya. Kalau tahu dia hanya dimanfaatkan, mungkin dia akan marah sekali, ya?”
“Yang kami khawatirkan hanya ramalan masa depan Melinda,” sahut Lex. “Percuma, kan, kalau kami sudah menyusun rencana sesempurna mungkin, tapi ketahuan olehnya? Makanya kami minta salah satu grasth peliharaan cewek itu untuk menghalangi kemampuan Melinda.”
“Selanjutnya pasti bisa kamu runut sendiri,” Lili melanjutkan. “Lex pura-pura tertangkap, dan aku mengirim pesan padamu, memintamu menolong Lex. Waktu kamu pergi, kami memanas-manasi cewek bodoh itu untuk merebut Bola Varre dari Alleterre. Cewek itu mau saja lagi, mengira dia bisa mendapatkan artefak paling hebat di muka bumi ini. Ha, bodoh sekali!”
“Bagian yang sulit hanyalah mencari tahu di mana kamu menyembunyikan Bola Varre,” kata Lex. “Untunglah ada seseorang yang berbaik hati memberi tahu kami tempatnya, dan memberi tahu kami bagaimana cara membuka mantra pelindungnya.”
“Apa? Siapa?” seru Nadine. “Siapa yang sudah memberi tahu kalian?”
“Seperti yang sudah kami duga, kamu datang sendiri ke pusat perkumpulan itu untuk merebut Bola Varre,” Lili mengabaikan pertanyaannya. “Harus kami akui, kami tidak menyangka kamu sampai membantai habis mereka semua. Yah, salah mereka juga sih, kenapa membunuh makhluk-makhluk yang menjaga artefak itu? Jadinya kan mereka membuat marah Yang Mulia Algojo. Tapi, yah, bagaimanapun prosesnya, hasil akhirnya sesuai dengan yang kami inginkan. Sekali tepuk, dua hama musnah!”
Nadine ternganga mendengarnya. Semua ini hanya jebakan? Gakka sampai kehilangan semua saudaranya, hanya karena Lex dan Lili ingin merebut Bola Varre? Bahkan Kolektor dan semua rekannya pun ikut jadi korban, karena siasat mereka?
Amarah muncul dalam hatinya, bergelora hebat ke seluruh tubuh. Nadine meraih ke arah sumber grae terdekat, menggenggamnya, bersiap untuk melontarkan segenap kemurkaannya kepada Lili dan Lex, namun aliran energi magis itu tergelincir dari tangannya. Gadis itu terperangah. Dicobanya lagi menarik grae, tapi tenaga sihir itu malah menghilang sama sekali, membuat Nadine menjerit kesal. Kenapa? Ini belum pernah terjadi sebelumnya! Apa karena ia sudah terlalu lemah? Atau sihir Lili yang mencegahnya mengakses grae? Kenapa? Kenapa?!
Tak jauh darinya, Reinald juga berwajah murka. Pemuda itu mencoba untuk bangkit, namun tak sanggup melakukan apa pun. “Cih, taktik murahan begitu saja bangga. Memang otak kecoak hanya sanggup berpikir segitu saja.”
Lex menggeram dan mulai melangkah ke arah pemuda itu, namun Lili mencegahnya. Gadis itu mendekati Reinald, berjongkok di sebelahnya, kemudian meletakkan tangan di kepala pemuda itu.
Mendadak teriakan kesakitan terlontar dari mulut Rei. Pemuda itu mencoba menggeliat, berusaha melepaskan diri dari tangan Lili, namun gadis berambut coklat itu mencengkeram kepala pemuda itu erat-erat.
“Taktik murahannya kecoak begini saja masih kena,” kata Lili lembut, sementara Reinald masih terus meronta-ronta dalam cengkeramannya. “Makanya level kamu tidak naik-naik dari mahasiswa baru.”
”Rei!” Nadine memaksa tubuhnya bergerak, tapi walaupun sudah berusaha sekuat tenaga, gadis itu hanya mampu mengangkat bagian atas badannya sedikit, bertumpu pada lengan. ”Lepaskan Rei! Lepaskan dia!”
Lili masih terus menyiksa pemuda itu, namun kali ini Reinald menutup mulut rapat-rapat. Mata pemuda itu terpejam erat karena kesakitan, namun tak satu pun suara keluar dari tenggorokannya. Bibir Lili tertekuk kesal, dan cengkeramannya di kepala Rei semakin mengencang, tapi pemuda itu masih tidak bersuara sama sekali.
“Lili,” ucap Lex. “Untuk apa kamu membuang-buang grae-mu seperti itu? Ayo, kita harus mengembalikan artefak ini ke Aryo.”
Lili berdecak kesal, namun akhirnya gadis itu melepaskan Reinald. “Rei!” panggil Nadine, namun pemuda itu tak menjawab, terbaring tak bergerak. “Rei!”
“Aku hanya ingin menunjukkan, walaupun aku hanya seorang penyembuh, mereka tetap tidak bisa macam-macam padaku,” kata Lili seraya berdiri dan kembali ke sisi Lex. “Tapi kamu benar. Ayo.”
”Jangan!” jerit Nadine. “Jangan, Lex, Li! Kalau kalian lakukan itu, dunia ini akan hancur!”
”Lalu kenapa?” sergah gadis berambut coklat itu. ”Untuk apa mempertahankan dunia yang sudah korup ini? Penduduk yang tidak tahu terima kasih? Aryo benar. Biarkan saja mereka hancur. Yang sanggup bertahan akan membuktikan diri mereka sebagai manusia-manusia yang layak hidup.”
”Aryo tidak berhak menentukan itu!” sekali lagi Nadine berusaha bangkit, tapi gadis itu hanya mampu mengepal. ”Dia tidak berhak menentukan manusia mana yang boleh hidup, mana yang tidak!”
”Lalu siapa yang berhak?” balas Lili. Amarah gadis itu sepertinya mulai tersulut. ”Kamu? Algojo Ildarrald Daevar yang agung?”
Ucapan itu seperti menampar Nadine. Gadis itu termangu, ingin berkata-kata, tapi tak mampu mengingkari kebenaran dalam kata-kata Lili.
Lili mendekatinya dan berlutut di sebelahnya. ”Nadine Felledia Si Mata Biru,” suaranya terdengar amat mengejek. ”Sang Pedang. Tangan kanan Aryo. Yang Mulia Algojo. Jenderal yang selalu berdiri di garis terdepan. Padahal kamu hanya pembunuh. Pembunuh!”
Tubuh Nadine mulai gemetar. Kata-kata Lili seperti mengiris-irisnya. ”Li…”
”Tapi, kamu yang hanya pembunuh ini malah jadi tangan kanan Aryo. Orang yang paling dekat dengannya. Orang yang selalu ada di sisinya! Kenapa bukan aku atau Lex? Padahal kemampuan Lex jauh lebih hebat darimu. Apa karena kami tidak sepenurut kamu pada Aryo? Apa karena kemampuanku bukan sihir penyerangan sepertimu, makanya aku tidak bisa terjun ke medan pertempuran?”
Nadine ternganga. Ia sama sekali tak menyangka Lili ternyata berpikiran seperti itu. ”Siapa saja bisa jadi tangan kanan Aryo,” sahut gadis itu. ”Tidak harus aku. Melinda, Marina, Indra juga bisa. Kamu juga bisa! Kalau kamu mau, aku akan dengan senang hati menyerahkan jabatan raghen padamu!”
”Tapi tetap aja Aryo memilihmu,” kebencian terdengar kental dalam suara Lili. ”Kalau tidak, kenapa Aryo mengajakmu ke Galazentria, tapi tidak mengajakku atau Lex? Marina, Ruben, Ferdi, semuanya ia ajak. Tapi kenapa aku dan Lex tidak? Kenapa?”
”Itu…”
Lili mendengus. ”Apa pun alasannya, sekarang aku dan Lex bisa bergabung dengan Aryo. Lex bisa menjadi raghen yang baru. Kami berdua akan menjadi tangan kanannya, menggantikanmu yang sudah berkhianat.”
Nadine merasakan wajahnya memucat. Tangannya mendadak terasa sedingin es. ”Kamu… tahu…?”
”Ya, kami tahu,” Lili memandangnya dengan tatapan mencemooh. ”Nadine Felledia si pengkhianat. Kamu melarikan Bola Varre dari Galazentria, membunuh teman-teman kita yang menghalangimu, dan kabur ke sini. Kamu sebegitu sukanya ya, membantai saudara-saudaramu sendiri? Dosamu sudah tidak terhitung, tahu! Kalau aku jadi kamu, sudah lama aku akan bunuh diri karena malu!”
Kata-kata itu terasa bagaikan palu yang menghajar Nadine. Rasa bersalah dan penyesalan kembali mendera, membuat air matanya menggenang. ”Li, kamu boleh membenciku, tapi kumohon, jangan bawa Bola Varre kembali pada Aryo. Kumohon.”
Lili memandanginya, lalu tersenyum. ”Tidak kusangka wajahmu bisa sememelas itu, Na.”
”Kumohon, Li. Kumohon!”
”Kamu pikir aku mau menolongmu?” sergah Lili. ”Aku benci kamu, tahu. Sangat benci! Kamu selalu jadi yang nomor satu. Selalu jadi yang paling depan. Selalu jadi yang paling penting! Padahal kita seumur. Padahal aku yang lebih dulu jadi grasth daripadamu. Hanya karena kamu punya kemampuan menyerang, dan aku hanya bisa menyembuhkan orang, makanya aku harus puas ada di belakang, sementara kamu bisa menikmati semua sorotan di depan! Aku benci sekali! Kalau aku sudah melihatmu mati tersiksa, baru rasa benciku bisa terpuaskan!”
”Kalau begitu bunuh saja aku!” teriak Nadine. ”Lakukan apa pun yang kamu inginkan padaku, tapi jangan bawa Bola Varre!”
”Oh, aku akan melakukan hal yang kuinginkan, kok,” Lili menyeringai. ”Aku akan membuatmu menderita. Menderita sampai kamu merasa semua kukumu dicabut pun lebih baik daripada apa yang akan aku lakukan. Menderita sampai kamu merasa lebih baik kamu tidak pernah dilahirkan ke dunia ini!”
Mendadak, tanpa peringatan apa pun, Seise Felliri muncul di udara, mewujud solid dari jejak-jejak asap. Pedang itu berputar lalu melesat, lurus ke arah Lili.
Semuanya terjadi begitu cepat. Lili menjerit kencang. Seise Felliri nyaris menikamnya, namun Lex melompat, menjatuhkan gadis itu ke lantai. Pedang itu pun menerjang lewat, tipis melewati telinganya.
Rei! Nadine menoleh dan menatap pemuda itu. Reinald masih tertelungkup di lantai, namun ia telah berhasil mengangkat kepalanya sedikit. Tangannya terkepal erat.
Di udara Seise Felliri berputar, dan kembali melesat ke arah Lex dan Lili. Lex menggunakan Bola Varre untuk menangkis serangan senjata tajam tersebut, namun pedang itu terus menyabet, lagi dan lagi. Dari atas, kanan, belakang, bawah, kiri, depan. Tanpa ampun menggempur kedua orang itu.
“Nadine!” raung Lex marah. Pemuda itu mulai merangsek ke arahnya, namun Lili menghentikannya.
“Bukan dia!” seru gadis berambut coklat itu. “Cowok itu! Rei yang mengendalikan pedang itu!”
Lex berteriak murka dan melompat. Reinald sedang berusaha bangkit ketika pemuda berkacamata itu menerkamnya. Tangan kiri Lex menjambak rambut Rei, menariknya sampai pemuda itu tertengadah, dan tangan kanannya menghunjam masuk ke dalam mulut Reinald.
”Jangan!” jerit Nadine, tapi terlambat. Cairan ungu muncul di sela-sela jari Lex, membanjiri mulut Rei. Reinald menggeliat, mencengkeram tangan kanan Lex dan berusaha menariknya, tapi pemuda berkacamata itu bergeming.
Seise Felliri berbalik arah, menyerbu ke leher Lex. Tapi sebelum pedang tersebut sempat menebas pemuda berkacamata itu, Seise Felliri telah menghilang, meninggalkan kabut kelabu di udara. Di lantai, mata Rei membalik ke atas. Pemuda itu berhenti meronta dan terkulai ke lantai. Pisau kecil dari Pak Edwin, yang rupanya sempat pemuda itu cabut, tapi tak sempat ia gunakan, terlepas dari tangannya.
”REI!” Nadine menumpukan tangan, sekuat tenaga mencoba untuk bangkit, tapi tubuhnya tak mau menurut. Ayo bergerak, bergerak! Mati-matian ia mencoba berdiri, tapi badannya seperti terpisah dari kepalanya, tak lagi bisa ia perintah. ”Rei!” air mata tak berdaya deras mengaliri pipinya, perih mendera dadanya. ”Rei! REI!”
”Hampir saja,” komentar Lili. Gadis itu bangkit dari lantai. ”Tidak kusangka cowok itu punya kemampuan tersembunyi. Kupikir dia hanya bercanda sewaktu mengatakan kalau dia muridmu, Na.”
”Rei tidak ada hubungannya dengan semua ini!” raung Nadine. ”Kenapa kamu menyakitinya juga?!”
”Dia sudah terlibat dengan semua ini, tapi kamu masih berpikir dia tidak ada hubungannya?” sahut Lex seraya menarik tangannya keluar dari mulut Reinald dan melepaskan pemuda itu. Kepala Rei terkulai ke lantai, tubuh pemuda itu tak bergerak sama sekali. “Reinald ini berbahaya. Siapa yang tahu kemampuan apa lagi yang ia simpan? Lebih baik ia langsung dihabisi seperti ini, daripada jadi penghalang di kemudian hari.”
Nadine menggertakkan gigi, berusaha mencapai Reinald, tapi ia hanya mampu menyeret tubuhnya maju beberapa sentimeter saja. Mati-matian gadis itu berusaha meraih sumber grae terdekat, tapi lagi-lagi energi sihir itu tak mampu ia jangkau. ”Lakukan apa pun yang kamu inginkan padaku, tapi jangan sakiti Rei. Jangan sakiti dia!”
”Aduh, manisnya,” sahut Lili. ”Kamu juga cinta padanya, ya? Ternyata Nadine si algojo kejam pun bisa jatuh cinta juga, ya. Bagiamana rasanya, Na, melihat orang yang kamu cintai mati di depan matamu? Mungkin rasanya sama seperti dulu, waktu kamu membunuh Ronny, ya?”
”HENTIKAN!” Nadine terisak-isak. Rasa marah, pedih, dan tak berdaya menggumpal di tenggorokan, mencekiknya. ”Jangan lakukan ini. Jangan lakukan ini!”
”Cih,” kata Lili. ”Menderitalah, seperti dulu aku menderita.”
Lex menggandeng tangan Lili, dan Nadine merasakan segenap grae mulai terhimpun di sekitar kedua orang itu. Bagaimana mungkin? Ia sendiri sama sekali tidak bisa meraih grae, tapi kedua orang itu dapat melakukannya dengan sangat mudah!
”Lili! Lex!” seru gadis itu. ”Kumohon, jangan bawa Bola Varre. Kumohon!”
Kedua orang itu mengabaikannya, berkonsentrasi penuh. Tak lama kemudian rumah itu mulai bergetar, seperti diguncang gempa. Sebuah lubang terbentuk di hadapan Lili dan Lex. Bukaan besar yang menampilkan lorong gelap di dalamnya, dengan dinding-dinding yang berputar kencang. Lubang itu bergoyang, kadang hilang, kadang mengecil, sebelum kemudian membesar kembali.
Portal menuju Enfir Alle. Ke Galazentria. Tempat Aryo berada.
”Jangan!” jerit Nadine. ”Jangan!”
Tanpa menoleh lagi, Lili dan Lex melangkah masuk ke dalam lubang tersebut.
”JANGAAAAANNNNN!!!!”
Terlambat. Kedua orang itu menghilang ke dalam lubang, dan portal itu pun menutup. Membawa pergi Bola Varre dari dirinya. Nadine merasakan dunia di sekitarnya berputar, sebelum semuanya menjadi gelap.
***