Bab 24 – Air Mata

Reinald duduk bersandar pada sofa, meneguk teh Qili panas yang masih beruap. Ramuan tersebut tidak dapat menghilangkan kelelahan yang mendera tubuhnya. Luka-luka yang telah Nadine bekukan mulai berdenyut-denyut menyakitkan, terutama luka besar di perutnya. Namun pikirannya menolak untuk beristirahat, malah berputar amat kencang seperti mobil yang sedang dipacu.

Sekitar pukul lima pagi tadi, ia dan Nadine berhasil membawa Lex mencapai Farsei Foruna. Gakka menyambut mereka di depan rumah. Makhluk itu sepertinya hendak mengatakan sesuatu, namun setelah memandangi Nadine, melihat bekas-bekas darah yang masih tampak jelas bahkan di atas pakaian tempur Ildarrald Daevar yang berwarna hitam, dan terutama menatap mata gadis itu, sang urnduit tak berkomentar apa-apa.

Setelah membaringkan Lex di salah satu kamar tidur di sana, Nadine segera menghubungi Lili. Gadis berambut coklat itu tiba sekitar sejam kemudian dengan wajah berurai air mata. Begitu melihat Lex, air mata Lili kembali tumpah ruah. Tak henti-hentinya gadis itu menjabat tangan Rei dan mengucapkan terima kasih padanya, sampai-sampai pemuda itu merasa rikuh. Kalau saja Nadine ada di sana, pastinya gadis itu yang akan jadi sasaran Lili. Namun setelah menelepon Lili, Nadine sudah menghilang entah ke mana.

Sekarang Farsei Foruna kembali tenang. Lili sedang menemani Lex di dalam kamar. Gakka tak terlihat, kemungkinan besar sedang menyiapkan makanan di dapur. Nadine masih juga belum terlihat. Reinald sendiri telah mandi dengan air panas, membersihkan semua noda darah di tubuhnya, kemudian mengenakan baju ganti yang bersih. Sekarang ia memiliki kesempatan untuk berpikir, merenungkan semua yang telah terjadi.

Ia telah melihat dengan mata kepala sendiri kehebatan Nadine sebagai seorang lurnagrasth. Dan kekejaman gadis itu sebagai seorang algojo; sebagai tangan kanan Aryo. Salah seorang anggota perkumpulan penyihir yang mereka hadapi sempat menyebut gadis itu sebagai iblis. Pembunuh yang dulu pernah meneror dunia sihir Bandung. Orang yang ditakuti bahkan oleh anggota kelompoknya sendiri.

Jauh berbeda dengan Nadine yang ia tahu. Gadis itu memang minim emosi, dingin seperti es, namun mudah retak jika disentuh di tempat yang tepat. Terkadang, gadis itu pun mampu tertawa lepas. Dan ia memiliki senyum terindah di seluruh dunia, walau seringkali senyum itu tak menyentuh matanya.

Jadi, yang mana Nadine yang sebenarnya? Nadine yang dengan tega mencabik-cabik orang lain, atau Nadine yang tersenyum sangat manis? Bagaimana ia harus bersikap jika nanti bertemu lagi dengan gadis itu? Pemuda itu ingin bertingkah biasa saja, namun ia sendiri tak dapat mengenyahkan rasa ngeri yang membayangi hatinya.

Suatu sosok muncul di hadapannya, membuat Rei terlonjak kaget. Ternyata itu adalah Gakka, yang sedang memandanginya dengan mata putih tak berkelopaknya.

-Maaf mengagetkanmu,- ucap sang urnduit.

”Tidak apa-apa, Gakka,” pemuda itu mengusap kening. ”Aku hanya… tidak menyadari kedatanganmu.”

-Beristirahatlah. Kau pasti lelah. Aku yang akan melayani Lilian Daevar dan Alex Daevar.-

”Nanti saja. Masih ada yang kupikirkan.”

-Apa mengenai persiapan pesta kemarin? Kau mau aku mempersiapkannya sekarang?-

Reinald tertawa pendek, walaupun saat itu ia tak merasa lucu sama sekali. “Aku malah sudah lupa. Tidak, bukan itu yang kupikirkan.”

-Apa mengenai Nadine Felledia?-

Reinald mengangkat wajah dan menatap sang urnduit. ”Kamu tahu ke mana dia?”

Terdapat jeda sejenak sebelum Gakka menjawab, -Nadine Felledia ada di dalam kamarnya.-

”Beristirahat?”

Sang urnduit tak menjawab, dan Rei mendapat kesan bahwa apa pun yang sedang gadis itu lakukan, Gakka pasti tahu, namun sang urnduit tak bersedia memberitahukannya.

”Gakka.”

-Ya?-

”Kamu tahu kalau Nadine sudah… ?”

-Ya,- sang urnduit memotong penjelasannya. -Aku tahu persis apa yang telah Nadine Felledia lakukan.-

”Kamu tidak marah atau kesal karena bukan kamu yang melakukannya?”

Sang urnduit menatapnya dalam-dalam. -Aku sempat kesal,- makhluk itu mengaku. -Namun kemudian aku dapat mengerti dan menerima tindakan yang Nadine Felledia ambil. Ia telah membuatku mampu menjaga sumpahku.-

”Sumpah?”

-Kami urnduit telah bersumpah untuk tak pernah lagi melakukan kekerasan,- jawab Gakka. -Tak pernah lagi mengotori tangan sabit kami dengan darah. Melakukan kekerasan adalah sesuatu yang sangat terlarang dan memalukan. Karena itulah kaumku tak melawan ketika ada yang menyerang mereka. Dan karena itu jugalah Nadine melarangku membalas dendam.-

Reinald terdiam, tak tahu harus berkata apa. Pembicaraan itu berbelok ke arah pembantaian di Alleterre, topik yang sebenarnya tak ingin ia ungkit-ungkit lagi. ”Kamu sempat memanggilnya ’ragen’,” pemuda itu mencoba mengalihkan percakapan.

-Raghen,- koreksi Gakka.

”Itu bahasa urnduit?”

Gakka menggeleng. -Bukan, itu bahasa Ildaris. Dalam bahasa kalian, artinya Jenderal.-

”Setelah menyandang sebutan Tangan Kanan, Algojo, Pedang, sekarang Jenderal juga?”

-Itu pangkat yang ia sandang ketika Nadine Felledia menyelamatkan nyawaku dulu.-

”Menyelamatkan nyawamu?”

Gakka terdiam sejenak. -Ingatkah ketika dulu kuceritakan, aku dan saudara-saudaraku dibawa ke bumi oleh seorang ildar?-

Rei mengangguk.

-Ternyata ildar tersebut, bersama teman-temannya, membawa kami ke dunia ini untuk dijadikan budak,- lanjut Gakka. -Para grasth itu menggunakan kami sebagai pembunuh, pelayan, dan semua pekerjaan-pekerjaan lain yang terlalu kotor untuk disebut. Tangan sabit kami kembali berlumuran darah, dan itu membuat kami hidup dalam rasa malu dan putus asa yang luar biasa. Tak jarang dari kami yang mati oleh rasa tak berdaya, atau memutuskan untuk mengakhiri hidup.

-Karena muak akan keadaan tersebut, aku mengumpulkan kaumku sesama budak dan mengajak mereka melakukan pemberontakan pada penguasa kami. Sayangnya berita tersebut sampai ke telinga para ildar. Mereka menangkapku dan menyiksaku berhari-hari, menyuruhku memberi tahu semua yang berhubungan dengan pemberontakan tersebut. Ketika aku tak juga mau membuka mulut, mereka bersiap membunuhku.

-Ketika itulah Nadine Felledia datang. Seorang diri ia menolongku yang hampir menjemput kematian. Menghabisi para grasth itu, dan membebaskan kami. Memberi kami tempat tinggal baru di Alleterre dan menjaga kami. Bagi saudara-saudaraku, ia adalah pahlawan yang tak tergantikan oleh siapa pun. Bagiku, perbuatannya menyelamatkanku saat itu hanya mungkin ditebus dengan nyawaku sendiri.-

Reinald termangu. Ternyata ada lagi sisi Nadine yang tak ia ketahui. Jadi mana Nadine yang sebenarnya?

”Nadine terlihat tidak suka kamu panggil raghen, padahal itu pasti posisi yang tinggi dan sangat bergengsi, bahkan dalam Ildarrald Daevar sekalipun?” tanya pemuda itu.

-Hal itu harus kamu tanyakan sendiri pada Nadine Felledia,- jawab Gakka.

Ya, benar, mungkin lebih baik ia tanyakan saja langsung pada gadis itu. Hanya diam di sini tidak akan membuat pikirannya jadi jernih. ”Oke,” putus Rei seraya bangkit dari tempat duduk.

-Kalau aku jadi dirimu, aku akan menunggu sampai Nadine Felledia keluar dari kamarnya.-

”Kenapa? Bukankah kamu yang menyuruhku bertanya langsung pada Nadine?”

-Ya, tapi jangan sekarang. Di saat seperti ini, Nadine Felledia sangat tidak suka jika ada yang mengganggunya.-

Mau tak mau Reinald teringat kembali kejadian beberapa hari silam, ketika sama seperti hari ini, Nadine menghilang ke dalam kamarnya, dan baru keluar keesokan harinya. Ketika muncul kembali, wajah gadis itu pucat pasi, bibirnya terkatup rapat, dan lingkaran hitam membayang di bawah matanya. Pandangannya menerawang jauh, dan raut mukanya tak berekspresi sama sekali.

Dulu ia bertanya-tanya, apa yang sebenarnya terjadi pada Nadine? Kini ia tahu jawabannya, karena ekspresi Nadine saat itu sama dengan yang gadis itu tunjukkan setelah membakar kediaman Kolektor. Raut muka minim ekspresi yang siap melakukan kekejaman. Kalau ia mengganggu gadis itu sekarang, bisa-bisa Nadine membunuhnya tanpa berpikir dua kali.

Tapi, benarkah Nadine akan berbuat begitu? Benarkah seorang gadis yang terlihat dingin namun sebenarnya rapuh sanggup untuk begitu saja membantai orang lain, bahkan orang jahat sekalipun?

Mendadak sebuah kesadaran menyentaknya, membuat Rei ingin menghajar kepalanya sendiri. Astaga, bodohnya ia, tak menyadari hal sejelas itu! Wajah Nadine bukanlah wajah kejam seseorang yang tak merasakan apa-apa setelah membunuh orang lain. Itu adalah wajah yang telah melihat beribu kematian dan terus-menerus dihantui olehnya. Wajah tak berekspresi akibat tak sanggup lagi menangis.

Wajah seseorang yang tersiksa dan mengharapkan pertolongan.

Reinald menatap Gakka. ”Aku harus ke sana. Justru di saat seperti ini Nadine tidak boleh dibiarkan sendirian.”

Sang urnduit mengangkat sebelah lengan sabitnya, menghalangi jalan pemuda itu. -Jangan, Rei vathek.-

”Halangi aku sesukamu, tapi aku tidak akan berhenti. Aku akan tetap pergi ke kamarnya.”

-Sudah kukatakan, aku tidak mau melakukan kekerasan.-

”Ya, aku tahu,” jawab pemuda itu. ”Maaf, Gakka, tapi aku akan menemui Nadine.”

Sang urnduit tak mengatakan apa-apa, namun kemudian ia menurunkan lengan. Reinald menepuk bahunya dan berkata, ”Terima kasih.” Kemudian pemuda itu melewati makhluk tersebut, lurus menuju ruang tidur Nadine.

Di depan pintu, pemuda itu mengetuknya. Tak ada jawaban dari dalam. Rei mengetuk lagi. Ketika masih tak ada jawaban, pemuda itu membuka pintu dan melangkah masuk.

Udara sedingin es menabraknya, menyesakkan dada. Di dalam kamar, suasananya gelap gulita, membuatnya tak dapat melihat apa pun. Namun pelan-pelan matanya berhasil menyesuaikan diri, dan Reinald dapat melihat isi ruangan tersebut.

 ***

Nadine mendengar pintu dibuka. Gadis itu langsung tahu bahwa yang masuk adalah Reinald. Sial, apa Gakka tidak memberi tahu pemuda itu kalau di saat seperti ini ia sama sekali tak ingin diganggu?

Terdengar bunyi pintu ditutup, disusul keheningan. Apa pemuda itu tidak jadi memasuki kamarnya? Atau sebaliknya, Rei malah masuk ke dalam, walaupun tidak ia persilakan?

Nadine mengepal geram. Kenapa ia bisa sampai lupa mengunci pintu kamarnya? Ia sedang tak ingin bertemu pemuda itu. Ia sedang tak ingin bertemu siapa pun. Tadi ia berhasil melarikan diri, buru-buru memasuki kamar mandi sebelum Lili datang. Membekukan luka-lukanya sebisa mungkin, lalu membersihkan tubuhnya dari darah yang memenuhi setiap jengkal kulitnya. Setelah itu pun ia berhasil memasuki kamar tanpa diganggu siapa pun. Sekarang, karena kecerobohannya, Reinald berhasil mendekati dirinya.

Kesunyian masih memenuhi kamar tersebut. Berarti pemuda itu masih belum berpindah dari posisinya di dekat pintu. Mungkin masih terpaku di sana, mengamati isi kamar tidurnya. Melihat dirinya yang duduk bersila di lantai. Mencoba menerka kenapa ada ratusan bola-bola es kecil yang melayang di atas kepalanya, memenuhi kamar tersebut dengan hawa dingin.

Apa yang pemuda itu pikirkan? Sedang bertanya-tanya dalam hati, apa kegunaan bola-bola beku tersebut? Atau bingung harus berbuat apa, khawatir atas dirinya, namun terlalu takut untuk mendekat?

Yah, wajar saja Rei takut padanya, setelah pemuda itu melihat sendiri apa yang mampu ia lakukan. Kengerian seperti apa yang sanggup ia timbulkan. Akhirnya pemuda itu melihat wajahnya yang satu lagi. Wajah yang selama ini ia sembunyikan rapat-rapat.

Pemuda itu masih belum bereaksi, dan Nadine mulai kesal. Kalau pemuda itu memang takut padanya, untuk apa memaksakan diri berada di ruangan yang sama dengannya? Kenapa Reinald harus mengganggunya seperti ini? Ayolah, tinggalkan ia sendiri!

Masih belum ada gerakan apa pun. Gadis itu menghela napas. Baiklah, kalau Rei tak mau meninggalkannya, maka ia sendiri yang akan mengusir pemuda itu.

Nadine membawa sebuah bola es melayang mendekati tubuh dan mendaratkannya di telapak. Kemudian dengan suara jelas gadis itu berkata, ”Kolektor, nama asli tidak diketahui. Yaugrasth yang bisa membangkitkan mayat. Pemimpin perkumpulan sihir yang mulai muncul belakangan ini di Bandung. Kupaku ia ke tembok dan kusiksa sampai jeritannya terdengar ke seluruh rumah.”

Lalu gadis itu menekankan bola es tadi ke lengan kanan. Benda yang terbuat dari grae itu meresap masuk ke dalam bajunya, terus ke balik kulit. Dalam sekejap rasa dingin menggigitnya, namun Nadine tak menghiraukannya.

Gadis itu kembali meraih sebentuk bulatan dan menggenggamnya. ”Adam, tangan kanan Kolektor. Arograsth yang menciptakan arothen dari bayangan. Kemungkinan juga orang yang menghalangi pandangan masa depan Melinda, mengirim mata-mata ke Farsei Foruna, arothen ke rumah Rei, dan empat arothen lilin ke toko. Kubunuh dia dengan menusukkan pasak grae ke tubuhnya.”

Bola es itu kembali meresap ke dalam lengannya, dan Nadine menggigit bibir. Rasa dingin yang membekukan tulang membuat tubuhnya merinding, namun ia tak berhenti. Masih banyak bola-bola lain yang menggantung di atas kepalanya. Masih banyak nama yang harus ia sebutkan.

“Semua grasth yang ada di rumah Kolektor. Pemuda berambut panjang, yang menggunakan grae petir. Kubunuh dengan tombak grae. Rani, arograsth yang menggunakan grae api. Kurobek mulutnya. Gadis berambut panjang yang memakai katana. Kubunuh dengan pedangnya sendiri…”

Dan masih banyak lagi. Orang-orang yang tak seharusnya mati, kalau saja ia bisa menahan kemarahannya.

“Penjaga rumah di jalan Sabang. Yang kubunuh dengan tombak grae, yang kupatahkan lehernya, yang kubekukan dan kuremukkan badannya…”

Terlalu banyak nama yang ia tidak tahu. Yang ia takkan pernah tahu. Terlalu banyak. Terlalu banyak…

Rasa dingin semakin mendera tubuh Nadine, seiring semakin banyak bola magis yang ia resapkan ke dalam badan. Bayangan-bayangan kembali terlintas di dalam kepalanya, seolah ia kembali melihat mereka dengan mata kepala sendiri. Suara-suara yang menjerit kesakitan. Tubuh-tubuh yang menggelepar sekarat. Wajah-wajah kaku yang dijemput kematian. Anggota badan yang terpotong-potong. Darah yang mengalir tanpa henti.

“Para urnduit di Alleterre. Tetua Derturufo, Keranu, Bomide, Asgerjam. Zifuke dan istrinya Lekuta, dan anak-anak mereka, si kecil Wuseha dan Oqeja. Vauki, Nutero, Bendora, Konoga…”

Semua urnduit yang ia kenal, yang selalu menyapanya setiap kali ia berkunjung ke sana. Yang selalu tersenyum padanya seolah ia adalah bagian dari keluarga mereka. Yang sekarang takkan pernah bisa tersenyum lagi. Karena ia meminta mereka menyembunyikan Bola Varre.

Semakin lama Nadine merasa badannya semakin membeku. Napasnya mulai sesak oleh hawa dingin. Mungkin orang akan mengira bertahun-tahun berkutat dengan grae es akan membuat dirinya tahan terhadap rasa dingin. Mereka salah. Walaupun energi magis itu mengubah warna mata dan rambutnya, tubuhnya tetap tubuh manusia. Badan yang tak kuat menahan hawa beku terus-menerus.

Para pemburu yang mengejarnya dari satu tempat ke tempat lain. Dan sebelumnya, para prajurit yang ia bunuh ketika melarikan diri dari Galazentria. Orang-orang yang tertawa bersamanya, menangis bersamanya, dan terluka bersamanya. Orang-orang yang mempercayainya untuk menjaga punggung mereka, yang rela menyerahkan nyawa mereka demi menjaganya. Dan ia mengkhianati mereka semua. Ia membantai mereka semua.

Entah sudah bola keberapa sekarang. Nadine merasakan tubuhnya mulai kebas. Badannya gemetar tanpa bisa ia hentikan, sementara jumlah bola yang melayang di kamar itu seperti tak berkurang sama sekali. Tidak, ia tidak boleh berhenti sekarang. Ia harus meneruskan hal ini. Sampai bola terakhir di kamar itu habis. Sampai semua orang ataupun makhluk yang pernah dibunuhnya terpatri dalam-dalam di setiap relung hatinya.

Janan, Porte, Ainre, Keishie, Hured, Sherey. Semua orang yang terbunuh karena kelemahannya. Karena kesalahannya. Karena kebodohannya. Karena dirinya.

Gigi Nadine bergemeletukan tanpa henti sekarang. Ia bisa melihat orang-orang yang ia bunuh mengelilinginya. Mayat-mayat dengan wajah kesakitan, dengan raut sekarat. Tubuh-tubuh yang berlumuran darah, yang terpotong di sana-sini. Bibir-bibir pucat yang membisikkan namanya, mengajaknya untuk bergabung dengan mereka dalam kegelapan abadi.

Ya, sebentar lagi. Setelah aku mengingat semua yang sudah pernah kubunuh, aku akan menemani kalian di sana. Tunggu aku. Sedikit lagi…

Kemudian terdengar sebuah suara. Bunyi apa itu? Langkah kaki?

Kesadaran Nadine kembali pada kamar tidurnya yang gelap. Seseorang sedang mendekatinya. Reinald? Pemuda itu masih di sini? Kenapa pemuda itu belum juga melarikan diri darinya?

Nadine bisa merasakan Rei duduk di belakangnya. Lalu, tanpa disangka-sangka, lengan pemuda itu melingkari tubuhnya dan menariknya, memeluknya dari belakang.

Gadis itu tersentak kaget. Insting pertama menyuruhnya memberontak. Melarikan diri sejauh-jauhnya dari pemuda itu. Namun suatu sensasi menyelinap masuk ke dalam tubuhnya. Sebuah kehangatan yang – walaupun tidak membuat badannya berhenti gemetar – cukup untuk membuatnya tetap sadar dan kembali berpijak di dunia ini.

Sejenak suatu dorongan memenuhi hati Nadine. Dorongan untuk berhenti, untuk bersandar pada pemuda itu dan melupakan semua yang sudah terjadi. Namun ia tahu, ia tidak boleh berhenti sekarang.

Jadi gadis itu kembali menyebutkan orang-orang yang ia bunuh. Setiap nama yang ia tahu, setiap makhluk yang ia cabut nyawanya, setiap yang mati baik secara langsung oleh tangannya, atau secara tak langsung oleh tindakannya. Dan selama itu Reinald tak mengatakan apa pun. Ia hanya diam membisu. Namun dekapannya tak pernah lepas, kehangatan tubuhnya selalu setia menemani walaupun hawa dingin terus mendera badan Nadine tanpa henti.

Sosok-sosok kematian masih mengelilingi gadis itu. Namun kini bayang-bayang tersebut tidak lagi mengepungnya serapat tadi. Sosok mereka pun perlahan-lahan mulai mengabur, tatapan mereka tak lagi semengerikan tadi. Dan bisikan-bisikan mereka terdengar semakin menjauh.

Akhirnya hanya tersisa satu bola es di kamar tersebut. Dengan tangan gemetar Nadine meraih dan menimangnya. Bulatan beku tersebut adalah yang paling besar, paling jernih, dan paling indah dari yang lainnya.

”Ronny Adhana,” ucap gadis itu. ”Salah satu pendiri Ildarrald Daevar. Lurnagrasth yang sangat bijak dan menjunjung tinggi keadilan. Kami semua sayang dan kagum padanya. Dia sudah seperti kakak kami sendiri. Hanya Aryo yang tidak suka padanya, padahal Ronny adalah sahabatnya sendiri.”

Kenapa ia bercerita seperti ini pada Reinald? Biarlah, gadis itu tak peduli. Ia sudah tak peduli pada apa pun lagi. ”Aryo menganggapnya berbahaya karena Ronny mulai menentangnya, menentang rencananya atas Ildarrald Daevar. Jadi Aryo memerintahkanku untuk mengeksekusi Ronny. Dan eksekusi itu harus dilakukan di depan semua anggota lain, sebagai contoh agar tidak ada lagi yang berani menentang Aryo.”

Ya, ia masih ingat jelas semuanya. Hari itu ia berdiri di tengah ruangan. Di belakangnya Melinda dan Marina terisak tanpa henti. Ferdi mencengkeram bahu keduanya, kengerian tampak jelas di wajahnya. Aryo bersandar di sudut, wajahnya tak mengekspresikan apa pun. Niken berdiri di sampingnya, rautnya sama keras dengan suaminya. Di sudut yang lain Lex memeluk Lili erat-erat, wajah keduanya pucat pasi. Ruben tetap bermuka datar seperti biasa, namun jelas terlihat ikut terguncang atas kejadian itu. Dan Indra, Indra yang biasanya baik hati, Indra yang biasanya selalu tersenyum padanya, hari itu menatapnya penuh kebencian.

Lalu Ronny sendiri, yang terikat di hadapannya. Orang yang pertama kali menyebutnya Diallari, Adik Biru. Orang yang sebentar lagi akan menjemput ajal, tapi malah terus tersenyum sedih padanya, seolah pemuda itu mengasihani dirinya. Mengasihani dirinya? Untuk apa? Untuk apa?!

”Dan aku melakukannya. Mengeksekusi orang yang sudah mengajariku banyak hal, yang sudah kuanggap kakakku sendiri. Hanya karena aku takut melawan perintah Aryo, aku mencabut nyawa orang yang paling berharga buatku.”

Kemudian gadis itu menempelkan bola es tersebut di dada, tepat di atas jantung. Membiarkannya melebur perlahan-lahan ke dalam tubuh, meresapi rasa dinginnya yang teramat sangat.

Begitu bola beku itu lenyap, sesuatu terasa pecah di dalam dirinya, dan detik berikutnya Nadine menangis tersedu-sedu tanpa bisa ditahan lagi. Hatinya terasa amat perih sampai sekujur tubuhnya terasa sakit. Kenapa? Kenapa waktu itu ia tidak melawan Aryo? Air matanya mengalir deras seperti bendungan yang hancur. Kenapa ia menurut saja? Kenapa ia membunuh Ronny? Kenapa?

Seharusnya ia bisa melawan perintah Aryo. Meyakinkan pemuda itu untuk membatalkan eksekusi Ronny. Tapi ia tidak melakukan itu semua. Ia takut melawan Aryo. Ia hanyalah seorang pengecut. Dan Ronny lah yang harus membayar harga kepengecutannya.

Seharusnya waktu itu ia saja yang mati. Seharusnya ia membangkang perintah Aryo, dan dibunuh menggantikan Ronny. Tapi ia bahkan terlalu pengecut untuk melakukan hal itu.

Kenapa pemuda itu harus mati? Kenapa bukan ia saja yang mati? Ronny. Vosalarre-nya, Kakak Peraknya tersayang. Ronny…

Rei masih belum berkata-kata. Pemuda itu hanya terus memeluknya. Kemudian Nadine merasakan pemuda itu melepaskan dekapannya. Dengan lembut memutarkan tubuhnya sampai kepalanya bersandar di dada pemuda itu, lalu kembali memeluknya, kali ini lebih erat.

”Sudah,” bisik Rei. ”Sudah…”

Tangisan Nadine pecah semakin keras, dan gadis itu membenamkan wajah dalam-dalam di dada pemuda itu, mencengkeram bajunya sekuat tenaga. Menjeritkan segenap kesedihan yang tertahan, penyesalan yang terus menggerogoti tubuhnya dari dalam.

“Kamu memang sudah melakukan itu semua, tapi kamu pasti punya alasan kuat untuk melakukannya, kan?” Reinald berkata lembut di telinganya. “Jadi, jangan salahkan dirimu sendiri. Jangan hukum dirimu sendiri atas kematian mereka. Maafkanlah dirimu sendiri. Maafkanlah dirimu sendiri…”

Perlahan-lahan, kata-kata itu membuat rasa perih di tubuh Nadine mereda. Sosok-sosok pucat yang mengepungnya mulai mengabur, suara-suara mereka semakin melemah, sebelum akhirnya menghilang sama sekali.

Reinald terus memeluknya erat, membisikkan kata-kata penghiburan. Pemuda itu mengangkat wajah Nadine yang bersimbah air mata dan membelainya lembut. Menyeka air mata yang masih mengaliri pipinya. Lalu pemuda itu menunduk dan mengecup dahinya. Mengecup kedua matanya yang basah. Dan terakhir mencium bibirnya.

Ciuman itu begitu lembut, begitu hangat. Kehangatannya menjalar ke seluruh tubuh gadis itu, mengusir pergi hawa dingin yang mengurungnya. Rei terus menciumnya, semakin lama semakin dalam, seolah ingin menekankan, aku ada di sini.

Jangan menangis lagi. Aku di sini.

Aku di sini…

Dan untuk pertama kalinya, setelah bertahun-tahun lamanya, Nadine tak lagi merasa sendirian.

***

Category(s): Artefaktor

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

 

You may use these HTML tags and attributes: <a href="" title=""> <abbr title=""> <acronym title=""> <b> <blockquote cite=""> <cite> <code> <del datetime=""> <em> <i> <q cite=""> <s> <strike> <strong>