Bulan sabit menggantung rendah di langit yang baru saja terbebas dari kepungan awan berat. Angin malam yang amat dingin bertiup kencang, menerpa rambut dan wajah Reinald, terasa sampai ke balik baju tempur Ildarrald Daevarnya. Pemuda itu merasa amat lelah. Sekujur tubuhnya terasa berat, seolah-olah tiap sendi dan ototnya berubah menjadi kayu. Entah sudah pukul berapa dini hari sekarang. Rasanya sudah lama sekali berlalu semenjak ia meninggalkan Farsei Foruna.
Di sisinya, Nadine tak terlihat letih sama sekali. Gadis itu sedang mengamati gerbang kayu ganda di hadapan mereka. Pintu masuk itu tersambung pada pagar tembok setinggi dua meter, yang tersusun dari batu bata bercat hitam. Apa pun yang ada di baliknya sama sekali tak terlihat, namun menilai dari tembok itu sendiri, dan dari kawasan Buah Batu di mana mereka berada sekarang, tampaknya terdapat rumah yang cukup besar dengan halaman yang tak kalah luas, di balik tembok tersebut.
”Mereka ada di dalam sana.”
”Siapa?” Rei tak menyangka Nadine akan berbicara. Sejak meninggalkan daerah Alleterre, gadis itu terus-menerus diam, kecuali ketika sedang menunjukkan arah. Ia juga tak menjawab satu pun pertanyaan yang pemuda itu lontarkan.
”Orang-orang itu,” sahut gadis tersebut. Pandangannya seakan dapat menembus gerbang tebal di depannya dan melihat apa yang ada di baliknya.
”Yang ada di Curug Cimahi?” pemuda itu sengaja menghindari menyebutkan kematian kaum urnduit atau pun pencurian di Alleterre pada Nadine. Benda apa yang sebenarnya diambil, Reinald sama sekali tak tahu. Ia hanya bisa menduga kalau itu adalah sesuatu yang sangat penting bagi gadis itu. Kalau tidak, Nadine takkan jatuh pingsan ketika melihat benda itu sudah lenyap.
Sekali lagi gadis itu tak menghiraukan jawabannya. ”Banyak juga lapisan pelindungnya,” gumam Nadine, seolah berbicara pada diri sendiri. ”Tapi kasar sekali buatannya. Dasar amatiran,” gadis itu terkekeh, tapi sama sekali tak ada nada humor pada tawanya.
Rei memandanginya khawatir. Sebagai tambahan atas keengganan gadis itu berbicara, pemuda itu bisa merasakan adanya aura aneh yang menguar dari tubuh Nadine. Aura gelap yang dingin dan berbahaya, seolah-olah gadis itu sedang bersiap-siap untuk menghadapi hal yang terburuk.
Atau mempersiapkan diri untuk melakukan hal yang terburuk.
”Rei.”
Pemuda itu terkejut, tak menyangka gadis itu akan memanggilnya. Nadine menatapnya dari balik Mata Malam, raut mukanya kembali seperti ketika mereka pertama kali bertemu. Dingin tak berekspresi, keras membatu. Seperti mayat-mayat urnduit yang bergelimpangan di kaki Alleterre.
”Kamu di sini saja. Biar aku yang masuk.”
”Kenapa? Apa yang mau kamu lakukan?”
Gadis itu mengangkat bahu. ”Hanya mau melihat, seperti apa sih orang-orang itu,” lalu kembali terkekeh kering.
Reinald terdiam. Ia ingin sekali mencegah gadis itu pergi, melarangnya melakukan apa pun yang akan ia lakukan. Namun entah kenapa, alih-alih berucap ‘jangan’, kata-kata yang terlontar dari mulut pemuda itu adalah, ”Aku ikut.”
Sesaat Reinald mengira gadis itu akan menolak, tapi ternyata Nadine hanya menyahut, ”Terserah. Tapi jangan halangi aku.” Gadis itu menarik lepas Mata Malam dari kepalanya, kemudian kembali menghadap ke arah gerbang.
Mendadak sesuatu meledak di langit di atas mereka, menghasilkan kilatan yang amat menyilaukan mata. Pandangan Reinald yang dicerahkan oleh Mata Malam terbutakan oleh sinar ledakan tersebut, membuat pemuda itu berteriak kesakitan, dan merenggut lepas artefak tersebut dari kepalanya. Raungan membahana memenuhi langit malam ketika Rei mengerjap-ngerjap, berusaha menormalkan pandangannya yang ternoda after-image. Ketika pemuda itu mendongak, terlihat sesosok ular raksasa sedang menggelepar-gelepar di udara. Makhluk itu sangat mengerikan, sisik-sisiknya yang hitam mengkilap terkena cahaya ledakan. Rahangnya yang membuka menampakkan sederetan gigi geligi yang runcing seperti gergaji. Raungan hewani terlontar dari monster itu, menggelegar memekakkan telinga. Namun dalam sekejap makhluk itu membeku, mulai dari ujung ekor sampai kepalanya, kemudian jatuh dan tak terlihat lagi di balik gerbang ganda tersebut.
Belum habis keterkejutan Reinald, Nadine telah mendobrak pintu gerbang dengan angin esnya dan melangkah masuk. Pemuda itu merasakan jantungnya seakan meloncat keluar. Sial, apa cewek itu tidak pernah dengar yang namanya masuk diam-diam, ya?! Cepat-cepat Rei memunculkan Seise Felliri di tangannya dan segera mengejar Nadine, yang masih terus berlalu seolah tak sadar akan kemungkinan bahaya yang dapat menyerang mereka di tempat musuh.
Sebuah halaman luas terhampar di balik gerbang tersebut. Sebidang jalan beraspal membelahnya menjadi dua, dan di kiri dan kanan jalan tersebut tumbuh berbagai macam pohon dan tanaman. Di ujung itu semua berdiri sebuah rumah besar bertingkat tiga. Setiap jendela yang ada di bangunan tersebut tampak gelap.
Nadine berjalan tenang, seakan-akan hanya sedang melangkah santai di pekarangan rumahnya sendiri. Seekor makhluk berderap kencang dari sisi taman yang tertutup bayang-bayang. Sesosok monster besar yang hanya mungkin dideskripsikan sebagai campuran antara singa, banteng, gorila, dan kuda. Rei baru saja hendak berteriak memperingatkan gadis itu, ketika mendadak terjangan makhluk itu terhenti saat sebuah pasak es besar mencuat dari tanah, menembus tubuhnya tanpa ampun. Ketika monster itu melolong kesakitan, tiga sosok makhluk lain telah memburu dari sisi kiri halaman. Dalam sekejap monster-monster itu pun tertusuk oleh pasak beku yang sama. Detik berikutnya geraman dan pekikan kesakitan terdengar dari segala arah, memenuhi halaman tersebut, ketika belasan stalaktit raksasa muncul dari rumput, menusuki makhluk-makhluk menyeramkan yang tak sempat melarikan diri. Entah ada berapa monster yang menjaga tempat ini, namun semuanya tak berdaya, hanya mampu menggelepar di atas pasak es, sebelum akhirnya terdiam selamanya.
Kegaduhan mulai terlihat dari arah rumah. Setiap lampu yang ada di sana menyala terang-benderang. Bayang-bayang orang hilir-mudik di jendela, beberapa mengintip dari balik tirai sebelum akhirnya bergegas pergi. Sementara itu Nadine telah sampai di depan pintu masuk. Sesuatu yang berkilauan muncul di sekeliling tubuh gadis itu, semakin lama semakin banyak. Ketika mendekat, Reinald baru menyadari bahwa benda itu adalah jarum-jarum es, mengambang di sekitar tubuh gadis itu. Jumlahnya terus bertambah cepat, dalam sekejap membungkus badan gadis itu, membuatnya tampak seperti sesosok makhluk bertubuh duri.
Angin kencang mendadak bertiup, menghempas pintu ganda besar tersebut sampai terbuka, mencabutnya dari engsel-engsel dan melemparkannya sampai menabrak dinding di ujung ruangan. Bersamaan dengan itu, bilah-bilah jarum beku di sekeliling tubuh Nadine melesat dan menerjang masuk ke dalam rumah.
Terdengar jeritan dari mana-mana, disusul cipratan darah segar ke segala arah. Di balik pintu tersebut terdapat sebuah ruangan yang cukup luas dan bermandikan cahaya. Sekitar sembilan orang telah berkumpul di sana. Enam orang di antaranya sudah terkapar di lantai, tubuh mereka tercabik-cabik hancur.
Tanpa peringatan apa pun Nadine menghambur masuk. Reinald hendak menghentikan gadis itu, ketika mendadak suaranya tersangkut di tenggorokan. Di hadapannya, Nadine telah melesat menghampiri orang terdekat yang masih berdiri, seorang pemuda yang tampak seumuran dengannya. Gadis itu mengayunkan tangan, dan kedua pergelangan kaki pemuda itu mendadak putus, seolah-olah ditebas oleh pedang tak terlihat. Pemuda itu berteriak seraya terjatuh, namun belum sempat tubuhnya menghantam lantai, kedua tangannya telah terpotong-potong di bagian pergelangan, siku, lalu bahu. Pemuda itu menjerit, teriakan kesakitan yang lebih mirip lolongan hewan daripada manusia. Ia menggelepar-gelepar tanpa daya, bagian tubunya yang terpotong deras memuncratkan darah, mewarnai lantai putih dengan merah segar.
Orang kedua yang hanya mampu ternganga menyaksikan temannya terbunuh menjadi giliran berikutnya. Nadine mengibaskan tangan, dan tubuh orang itu terbelah dua tepat di tengah. Masing-masing bagian badannya yang bersimbah darah kemudian terpotong-potong lagi di bagian leher, bahu, perut, dan paha, sehingga hanya bagian-bagian tubuh yang tak lagi utuh yang menyentuh lantai.
Orang ketiga, gadis berambut panjang sepunggung, ternyata lebih tanggap bereaksi. Dengan sigap ia mencabut sebilah katana dari sarung yang tergantung di pinggang dan menyerang Nadine. Nadine bahkan tidak menghindar sama sekali. Bilah pedang itu menebasnya tanpa ampun, miring dari kiri bawah ke kanan atas. Untunglah baju tempur Ildarrald Daevar cukup kuat untuk menahan senjata tajam tersebut, sehingga Nadine tak terluka. Ketika gadis berambut panjang itu terperangah melihatnya, Nadine cepat menyerang. Dalam sekejap gadis bersenjata katana tersebut pun roboh bermandikan darah.
Reinald merasa mual tak terkira. Tenggorokannya seperti dicekik, sementara perutnya bergejolak hebat. Ia sudah pernah melihat kekerasan; dulu pun ia sempat menghajar habis-habisan supir truk yang menabrak mobil keluarganya. Namun belum pernah ia melihat kekejaman seperti yang sekarang terpampang di depan matanya. Kenyataan bahwa yang melakukan hal mengerikan tersebut adalah orang yang penting baginya semakin memperburuk keadaan.
Terdengar suara berdentam-dentam, dan Rei mengangkat wajah. Segerombolan orang turun dari lantai atas; dua, empat, enam, sepuluh orang. Sejenak mereka terbelalak menyaksikan pemandangan yang terhampar di depan mereka, namun seperti halnya si gadis berambut panjang, kesepuluh orang tersebut cepat tersadar. Dalam sekejap mereka bergerak, memburu ke arah Nadine.
Gadis itu masih tak bergerak dari tempatnya berdiri. Ekspresi wajahnya sama sekali tak berubah, walaupun hampir selusin orang sedang melesat ke arahnya. Dengan tenang ia mengangkat tangan, dan sesaat kemudian bilah-bilah tombak beku meluncur keluar dari telapaknya. Tombak itu melesat kencang dan mengantam para penyerangnya. Empat orang di antaranya langsung terkapar tak bergerak. Dua bilah tombak hampir mencabik seorang gadis berbaju hitam, namun seorang pemuda berambut panjang sigap melompat ke depannya dan menciptakan kubah pelindung. Tombak-tombak itu menghantam tabir tersebut dengan suara membahana, sebelum hancur berkeping-keping.
”Ke sini semua!” seru pemuda itu. ”Jangan maju satu-satu, buat formasi! Dia itu pembunuh yang dulu pernah meneror dunia sihir Bandung! Si Iblis, si Mata Biru!”
Mata biru? Mendadak sesuatu terlintas di kepala Reinald. Ingatan yang rasanya telah terjadi lama sekali, padahal kenyataannya baru berlangsung beberapa hari yang lalu.
”Apalagi matanya. Tidak heran kalau Nadine menyandang sebutan Felledia.”
”Bukannya Felledia itu memang nama Nadine?”
Lili mendengus. ”Felledia itu bahasa Ildaris. Artinya Mata Biru.”
Orang-orang yang tersisa mulai berkumpul, menyurut mundur ke arah si pemuda berambut panjang. Beberapa masih terlihat ragu-ragu. ”Tapi, pembantai gila itu kan dikabarkan sudah mati?” seseorang dari mereka bertanya.
”Tak ada yang pernah melihat mayatnya,” pemuda berambut panjang itu menggertakkan gigi. ”Ada yang berkata kalau dia hanya hilang, bukan mati. Makanya, mundur ke sini semua! Kalau satu-satu, kita tidak akan bisa menghadapinya! Ke sini kalau tidak mau mati!”
Orang-orang itu masih tampak tak yakin, tak tahu harus berbuat apa, namun Nadine tak membuang waktu. Gadis itu kembali menjulurkan tangan, dan kristal-kristal es runcing mendadak mencuat keluar dari dalam tubuh seorang gadis yang tampak masih sangat muda, mungkin hanya berusia belasan tahun. Gadis muda itu menjerit-jerit kesakitan, menangis tanpa daya, sebelum akhirnya terjatuh ke lantai.
Ingatan lain kembali melintas di dalam kepala Reinald. Suara Lili terdengar di telinganya, seolah-olah gadis itu sedang berdiri di dekatnya. ”Nadine itu tangan kanan Aryo. Dulu di kalangan kami, sering disebut-sebut kalau ’Tangan kanan Aryo adalah pedang’.”
“Maksudnya?”
“Maksudnya Nadine itu algojo.”
Si pemuda berambut panjang berteriak marah dan menghentakkan kaki ke lantai. Mendadak petir menggelegar di dalam ruangan tersebut, suaranya memekakkan telinga. Petir itu hampir menyambar Nadine, untung gadis itu sempat menghindar, memutar tubuh ke kiri, dan petir itu pun melesat melewatinya. Petir lain kembali menyambar, lagi dan lagi, membuat Nadine terpaksa merunduk, lalu melompat menjauh untuk menghindari serangan sihir itu.
”Rani, bantu!” perintah si pemuda berambut panjang, dan gadis berbaju hitam tadi cepat melangkah ke sisinya. Rani mulai mengucapkan sesuatu, sederetan kata asing yang terdengar meliuk-liuk di lidahnya. Secara bersamaan, sebuah bola api mulai terbentuk di tangannya yang terkatup, semakin lama semakin membesar.
Tetapi sebelum mantra itu selesai, Nadine telah bertindak. Sudut-sudut mulut gadis yang dipanggil Rani itu mendadak sobek panjang, seperti disayat sampai ke telinga. Jeritan Rani terdengar melengking tinggi. Tubuh gadis itu terkulai lemas, dan si pemuda berambut panjang menangkapnya, meneriakkan namanya dengan putus asa.
“Kalau pembasmian itu harus dilakukan secara terang-terangan, untuk memberi contoh bagi yang lain, Nadine lah yang pergi. Dan biasanya, ’contoh’ ini… dibuat semengerikan mungkin agar kelompok lain jera.”
”Sialan! Mati kau, IBLIS!” petir kembali menyambar di ruangan itu, kali ini bercabang ke empat arah, mengurung Nadine dari setiap sudut. Diiringi suara yang memekakkan telinga, sihir mematikan itu menghantam gadis tersebut. Kilatannya amat menyilaukan, memaksa Reinald menutup mata.
Ketika pemuda itu membuka mata kembali, di tempat gadis itu tadi berdiri sudah tak ada siapa-siapa. Yang tertinggal hanyalah keramik lantai yang pecah dan tanah gosong di baliknya. Reinald merasakan jantungnya seperti dicengkeram tanpa ampun. Di mana Nadine? Apa gadis itu…?
Sementara itu, si pemuda berambut panjang mulai tersenyum penuh kemenangan, membuat ketakutan Rei semakin membesar. Tidak mungkin. Tak mungkin kalau Nadine sampai…
Sebuah sosok berkelebat, dan dalam sekejap seseorang telah berdiri di hadapan si pemuda berambut panjang. Nadine, tampak baik-baik saja, bahkan tak seujung bajunya pun terlihat terbakar atau gosong.
Senyum kemenangan si pemuda lenyap dari wajahnya dan ia mulai berseru murka. Namun secepat kilat sebuah tombak es mencuat keluar dari telapak tangan Nadine. Gadis itu menghunjamkan senjata tersebut ke leher si pemuda, mendorongnya dengan segenap tenaga sampai pemuda berambut panjang itu terhempas ke lantai, tertancap di sana. Gadis berlumuran darah yang ia dekap terlepas darinya, terguling ke samping. Belum selesai, Nadine mengeluarkan tombak lain dan menghantamkannya ke sekujur tubuh pemuda itu, terus seperti itu, sampai badannya hampir-hampir tak terlihat di antara hutan tombak beku.
”Apa kamu pernah melihat… ’contoh’ itu?”
”Syukurlah tidak secara langsung. Kalau iya, mungkin aku bisa mimpi buruk seumur hidup. Aku sudah cukup hampir terkena serangan jantung ketika melihat Nadine pulang dari salah satu tugas itu. Sekujur tubuhnya masih penuh darah, mukanya dingin tak berekspresi. Kupikir ada malaikat maut yang datang.”
Nadine kemudian mengalihkan pandangan ke orang-orang yang tersisa. Menyaksikan pembunuhan keji terjadi di depan hidung mereka membuat orang-orang itu ketakutan setengah mati. Mereka bahkan tak mampu bergerak ketika Nadine menghabisi mereka semua. Genangan darah segar semakin meluas di lantai putih, bau metaliknya tercium semakin menusuk.
Sejenak hanya terdengar erangan dan lolongan sekarat di sana-sini. Reinald baru menyadari bahwa ia sedang menggenggam Seise Felliri kuat-kuat sampai tangannya sakit. Pemuda itu melonggarkan pegangan, dan melihat bahwa gagang pedang tersebut telah membekas di telapaknya.
Nadine masih berdiri diam di tengah-tengah tubuh yang bergelimpangan. Tatapan tajamnya terarah ke atas, seakan-akan dapat menembus langit-langit dan melihat apa yang ada di baliknya. Sekujur tubuh gadis itu dipenuhi darah korban-korbannya, namun tampaknya Nadine tak punya niat sedikit pun untuk menghapusnya.
Mendadak gadis itu menatapnya, dan Rei merasa jantungnya seperti berhenti berdetak. Di luar kendali, tubuhnya mulai gemetar. Bodoh kamu, Rei, itu hanya Nadine! Masa kamu takut padanya? Namun tetap saja, badannya tidak mau berhenti bergetar. Dan ketika Nadine mulai melangkah ke arahnya, tanpa bisa dicegah Reinald refleks melangkah mundur. Jangan mundur, brengsek! Jangan takut! Itu Nadine!
”Apa-apaan ini?”
Pemuda itu menengadah ke atas tangga tempat suara itu berasal. Seorang gadis bergaun merah marun telah berdiri di sana, ditemani seorang pemuda berambut putih. Gadis itu menatapnya dan Nadine bergantian, dan Rei serta-merta mengenali gadis yang baru datang itu. Wajah yang eksotis, kulit putih, bibir dipoles warna gelap, mata runcing.
”Kolektor,” ucap Rei. Mendadak semuanya jadi jelas, seperti kepingan puzzle yang akhirnya saling terhubung satu sama lain.
“Kata Indra perkumpulan itu seperti fans club sihir yang mengumpulkan semua hal yang mungkin berhubungan dengan grae di satu tempat,” kata Lili. “Hewan paling aneh, artefak paling langka, semuanya ada. Satu-satunya yang tidak ada malah penyihirnya.”
“Aku hobi mengumpulkan bermacam-macam barang,” kata Kolektor. “Baju, perhiasan, rumah, mobil.”
Seharusnya pemuda itu bisa menebaknya. Koleksi terbaru sang Kolektor adalah grae! Perhimpunan sihir yang diselidiki oleh Ildarrald Daevar tak lain tak bukan adalah kelompok yang dibentuk gadis itu untuk mengoleksi semua hal yang berhubungan dengan sihir, termasuk penyihirnya juga!
Tanpa peringatan apa pun tangan Nadine kembali teracung. Tiga buah kepala tombak mencuat keluar dari telapaknya. ”Jangan!” teriak Reinald, namun terlambat. Senjata dari es itu telah melesat keluar dan menerjang dua orang yang berdiri di atas tangga.
Si pemuda berambut putih cepat mengangkat tangan dan menggerakkannya di udara, seperti menulis sesuatu. Dalam sekejap sebuah lingkaran sihir muncul di hadapannya, bercahaya putih kemilau. Tombak es Nadine terhenti di depan lingkaran tersebut, lalu menguap hilang begitu saja. Lingkaran sihir itu meredup, lalu turut lenyap.
”Cewek tidak tahu diri,” maki Kolektor. ”Sudah masuk seenaknya ke rumah orang, membantai sana-sini, sekarang tanpa memberi salam sedikit pun langsung menyerang orang lain! Cewek sepertimu itu pantasnya memang mati merana!”
”Ternyata benar kamu yang ada di balik semua ini?” tanya Rei.
Kolektor menoleh ke arahnya dan tersenyum, ”Ah, Rei, akhirnya kamu datang juga. Tapi sayang sekali, kamu malah berpihak pada cewek biadab ini. Kamu membuatku patah hati.”
”Kamu yang membunuh urnduit-urnduit di Alleterre?” tanya pemuda itu lagi, tak menghiraukan komentar Kolektor.
“Urnduit?” gadis bergaun merah marun itu menatap tak mengerti.
“Makhluk bertangan sabit yang ada di Curug Cimahi.”
Pengertian terlintas di mata Kolektor. “Oh, yang itu? Kuakui, teman-temanku memang agak kelewatan. Tidak seharusnya mereka berbuat begitu. Maaf, ya. Aku juga sangat marah waktu tahu apa yang sudah mereka lakukan. Mereka pasti kuhukum, kok. Jangan khawatir.”
Amarah Reinald mulai mendidih. Agak kelewatan? Yang seperti itu hanya dianggap agak kelewatan?! Sewaktu berbicara tadi, Kolektor tak terlihat marah atau menyesal sedikit pun. Bagaimana mungkin ia baru bisa melihat siapa jati diri gadis itu sesungguhnya? Seorang pembohong yang tega menipu siapa pun demi keuntungannya sendiri?
Belum sempat pemuda itu menyerukan kemarahannya, Nadine telah mendahului. ”Di mana artefak yang kalian curi dari Alleterre?” suara gadis itu terdengar dingin dan berbahaya.
”Masih belum terlambat, lho, kalau kamu mau bergabung denganku, Rei,” Kolektor mulai menuruni tangga, sepenuhnya mengabaikan Nadine.
”Di mana Lex?” Nadine bertanya lagi.
”Ini Adam,” Kolektor melambai ke arah pemuda berambut putih yang mengiringi langkahnya, sama sekali tak memedulikan Nadine. “Adam ini salah satu dari orang-orang yang paling awal bergabung. Kalian pasti bisa jadi sahabat baik.”
Lima buah bilah es tipis muncul di sekeliling Nadine, seperti piringan mata pisau yang berputar kencang pada porosnya. Pisau itu melesat ke arah Kolektor. Namun seperti sebelumnya, Adam yang berdiri di sampingnya cepat menggambar lingkaran magis di udara. Ketika mengenai lingkaran tersebut, pisau-pisau es itu mendadak berbalik kembali ke arah gadis tersebut, memaksanya untuk menghindar. Pisau-pisau itu menerjang lewat dan menancap di tembok.
Tanpa menatap Nadine Kolektor berkata pada Adam, ”Urus dia. Aku punya urusan lain yang lebih penting.”
Adam mengangguk, lalu berlutut. Tangannya cepat bergerak, menggambar sesuatu di lantai. Sesaat kemudian sebuah lingkaran sihir raksasa muncul di bawah kakinya, berwarna hitam, berdenyut laksana hidup. Lampu-lampu di ruangan itu mendadak meredup, seolah tenaga listrik di rumah itu melemah. Bersamaan dengan itu, sosok-sosok gelap berlompatan keluar dari dalam lingkaran magis di kaki Adam. Sosok mirip monyet dengan gigi setajam gergaji dan mata yang menyala dalam gelap.
Reinald terbelalak. Arothen! Jadi yang mengirimkan makhluk tersebut adalah pemuda berambut putih itu? Jadi dalang yang berada di balik penyerangan dirinya dan Nadine adalah Kolektor juga?
Jari telunjuk Adam menunjuk Nadine, dan serta-merta para arothen menyerbu gadis itu. Nadine cepat membekukan monster yang paling dekat dengannya, namun jumlah makhluk itu terlalu banyak, mengalir keluar bagaikan air bah dari lingkaran sihir Adam. Dalam sekejap belasan arothen menerkam Nadine. Seekor arothen berhasil menggigit lengannya, dan Nadine cepat memusnahkan monster itu. Tetapi seekor yang lain berhasil menggigit kakinya, seekor yang lain menubruknya, dan gadis itu terjatuh. Melihat lawan mereka tak berdaya, arothen-arothen itu pun segera mengerubunginya.
”Nadine!” Reinald berlari maju untuk membantu gadis itu, namun Kolektor telah berdiri di hadapannya, menghalangi jalan.
”Biarkan saja cewek itu, Rei,” kata gadis itu. ”Kita punya urusan yang lebih penting.”
”Minggir,” geram Rei. Pemuda itu sudah hendak melangkah melewati gadis itu, namun Kolektor malah mendatanginya dan melingkarkan lengan di leher pemuda itu. Harum mawar yang menusuk tercium dari arah gadis itu.
Mawar? Sesuatu menggelitik pikirannya. Rasanya ada sesuatu yang penting yang berhubungan dengan bunga tersebut, tapi apa?
”Aku ingin kamu menjawab pertanyaanku,” kata-kata Kolektor seketika membuyarkan pikiran pemuda itu.
”Minggir!” Reinald menempelkan Seise Felliri di leher gadis itu, namun Kolektor malah tersenyum.
”Kalau kamu sampai melukaiku, cewek itu yang akan menerima akibatnya.”
”Kamu tak bisa mengancamku!”
Kolektor menaikkan sebelah alisnya. Mendadak terdengar jeritan kesakitan. Rei sontak menoleh dan melihat Nadine mati-matian menghalau banjir arothen yang semakin lama semakin bertambah jumlahnya. Setiap satu ekor yang berhasil gadis itu bunuh, dua yang lainnya berhasil mengigit atau mencakarnya. Baju tempur Ildarrald Daevar Nadine mulai koyak di sana-sini, dan luka-luka menganga mulai menghiasi wajahnya.
“Nadine!”
“Jadi bagaimana?” tanya Kolektor santai. “Kamu sudah mau menjawab pertanyaanku?”
”Baiklah,” geram pemuda itu. ”Satu pertanyaan. Setelah itu, minggir!”
”Aku memang hanya mau menanyakan satu hal saja, kok. Siapa pemilik pedang itu?”
Mata Rei membelalak. ”Pertanyaan itu lagi?”
”Aku takkan bertanya kalau aku sudah tahu jawabannya. Salahmu sendiri tak mau menjawab dari pertama kali aku bertanya.”
”Kan sudah kukatakan dari awal, pedang ini milikku!”
Gadis itu berdecak. ”Kamu pikir aku percaya? Jelas-jelas kamu berbohong.”
”Sudah kukatakan, sekarang pedang ini punyaku!”
”Aku menanyakan pemiliknya sebenarnya,” sahut Kolektor. ”Pemilik pedang itu sebelum kamu. Kalau kamu tak mau menjawab, terserah. Tapi aku tidak tanggung akibatnya pada cewek itu.”
Tiba-tiba terjadi sebuah ledakan di belakang mereka, suaranya membahana ke seluruh ruangan. Detik berikutnya angin mendidih bertiup kencang, menabrak Reinald. Pelukan Kolektor terlepas dan pemuda itu terhempas ke lantai, menimpa tubuh-tubuh yang berserakan di sana. Sesaat Rei mengerjap pusing. Apa yang terjadi?
Ketika ia bisa melihat lagi, setiap lampu di ruangan itu kembali menyala normal. Nadine berdiri tegak, luka cakaran dan gigitan di wajahnya masih mengalirkan darah, namun gadis itu masih menatap tajam. Arothen-arothen yang tadi mengerubunginya telah lenyap tak bersisa.
Di hadapannya, Adam menatapnya tercengang. Tetapi pemuda berambut putih itu cepat tersadar. Ketika tombak es Nadine kembali terlontar, Adam telah menciptakan lingkaran sihir pelindung di depannya.
Tiba-tiba sebuah pasak beku mencuat dari lantai, meretakkan ubin. Stalaktit raksasa itu menusuk Adam tanpa ampun, menembusnya dari bawah perut sampai ke ujung kepala. Pemuda berambut putih itu menggelepar-gelepar, tangannya mulai terangkat untuk menggambar lingkaran sihir. Tetapi dengan cepat pisau es Nadine berkelebat, dan kedua pergelangan pemuda berambut putih itu pun terputus. Tubuh Adam masih terus mengejang kesakitan, sebelum akhirnya terdiam selamanya.
Rei melihat tatapan beku gadis itu terarah padanya, sebelum beralih pada Kolektor yang baru saja bangkit berdiri. Gaun merah marun yang Kolektor kenakan ternoda darah dan daging manusia, namun gadis itu membersihkannya dengan tenang seolah sedang menepis debu saja.
”Aku pemilik Seise Felliri sebenarnya,” suara Nadine terdengar senada dengan raut wajahnya, dingin tak berekspresi.
”Kamu?” akhirnya Kolektor mengarahkan pandangan pada gadis itu. ”Si Mata Biru?”
”Itu namaku dulu. Dari mana kamu tahu tentang Seise Felliri?”
Mendadak Kolektor tertawa, tawa geli yang mengguncang tubuhnya. ”Kamu si Mata Biru? Cewek sepertimu? Kupikir Adam hanya mengada-ada saja sewaktu dia menebak kalau pemilik pedang itu sebenarnya adalah kamu. Oh, betapa ironisnya hidup!
“Kamu tanya kenapa aku tahu tentang pedang terkutuk itu? Mudah saja. Karena pedang itulah yang dulu mencabut nyawa tunanganku. Orang pertama yang pernah kucintai seumur hidupku. Dan kamu yang telah membunuhnya!”
Mata Kolektor kini berkilat-kilat oleh suatu ekspresi yang mirip kegilaan. “Bertahun-tahun lamanya aku mencari pedang terkutuk itu, dan iblis yang memilikinya. Mengumpulkan semua hal yang berhubungan dengan sihir dari seluruh penjuru Indonesia, hanya demi mencari setan yang sudah menghancurkan hidupku. Tapi untungnya, semua yang sudah kulakukan ternyata tidak sia-sia. Sekarang, akhirnya aku bisa balas dendam!”
Seketika semua lampu di ruangan tersebut padam. Bersamaan dengan itu, tubuh Kolektor diselubungi api berwarna ungu. Api sihir itu semakin membesar, berkobar-kobar menerangi seisi ruangan, namun tak setitik pun hawa panas terpancar darinya.
Kemudian terdengar suara-suara di sekeliling mereka. Bunyi berderak dan berdesir. Sesuatu yang diseret di lantai. Berikutnya Rei melihat sesuatu yang membuat jantungnya seperti dicengkeram oleh tangan yang teramat dingin.
Tubuh-tubuh yang tadinya tergeletak di lantai mendadak berkedut, bergerak, dan mulai bangkit berdiri. Sosok-sosok dengan tubuh tercabik-cabik jarum es tipis. Seorang pemuda dengan tombak yang masih tertancap di dahi. Gadis dengan luka menganga di sekujur tubuh. Pemuda berambut panjang yang tadinya terbaring di lantai mulai mencabuti tombak yang menusuki tubuhnya satu persatu. Bahkan potongan-potongan tubuh yang tak lagi utuh mulai bergetar, bergeser, dan bergerak.
Untuk kedua kalinya hari itu Reinald merasakan mual mengocok perutnya. Kengerian menguasai tubuhnya, ketika mayat-mayat hancur dan bersimbah darah tersebut mulai mengepungnya dan Nadine dari segala arah. Hawa kematian berputar di udara, mencekik tenggorokan, sementara kegelapan di tempat itu seperti semakin menghimpit mereka.
Mendadak suatu pikiran terlintas di kepalanya. Mayat? Darah? Kegelapan?
Tiba-tiba saja pemuda itu teringat apa makna penting mawar yang tadi sempat mengganggu pikirannya.
“Aku lihat sesuatu. Bunga mawar. Warnanya sangat merah, seperti darah. Di sekitarnya ada banyak mayat mengerikan. Lalu di belakangnya ada kegelapan… asap… tapi mungkin juga kegelapan malam…”
Ramalan Melinda beberapa hari yang lalu. Apa penglihatan masa depan itu menunjukkan hari ini? Pada Kolektor, sang mawar berduri, yang membangkitkan mayat teman-temannya? Atau pada Nadine, si mawar es, dan pembantaiannya hari ini? Yang mana yang benar? Apa mungkin ramalan bisa mengacu pada dua hal sekaligus?
”Yaugrasth,” untuk pertama kalinya, suara Nadine memancarkan emosi. Kebencian yang amat sangat, berpadu dengan kejijikan luar biasa. ”Sihir hitammu tidak akan mempan padaku.”
”Oh, ya?” sahut Kolektor. ”Kita lihat saja, apa kamu bisa bertahan dari ilmu warisan orang yang dulu kamu bunuh atau tidak!”
Pemuda berambut panjang tadi telah bangkit berdiri. Dari kedua tangannya menyambar keluar petir yang menyilaukan mata, mengarah langsung pada Nadine. Gadis itu berkelit sambil melemparkan sebilah tombak es ke arah pemuda itu. Senjata itu meluncur dan menghantam mata mayat hidup itu dengan telak, tapi pemuda berambut panjang itu tak berhenti. Petir kembali menggelegar keluar dari tubuhnya, nyaris mengenai Nadine.
Kolektor tertawa. ”Sihir yang luar biasa, kan? Kamu bisa memiliki prajurit yang tidak akan pernah merasa sakit, tidak akan mengenal takut, tidak akan bisa mati!”
”Nadine!” Reinald berlari ke arah gadis itu, bermaksud membantunya, namun sesuatu mendadak menimpanya, memaksanya jatuh. Pemuda itu terjerembab, tertelungkup di lantai. Ketika mendongak, ia melihat tangan kirinya telah ditahan oleh gadis belia yang tadi tubuhnya dicabik-cabik kristal es dari dalam. Sedangkan tangan kanannya itu dipiting ke belakang oleh pemuda yang tadi sisi kiri kepalanya hancur diterjang tombak Nadine.
”Kalian tahan dia di sana, ya,” kata Kolektor. ”Aku tidak ingin ada sesuatu terjadi padanya.”
”Lepaskan!” teriak Rei. Sekuat tenaga pemuda itu berusaha melepaskan diri, tetapi kedua mayat hidup itu menahannya kuat-kuat. ”Lepaskan!”
”Sabar ya, Rei,” hibur Kolektor. ”Sebentar lagi selesai, kok.”
Berikutnya, gadis berbaju hitam yang tadi dipanggil Rani itu pun ikut turun tangan. Mantra mengalir dari mulutnya yang sobek, dan bola api besar terlontar dari tangannya, bersamaan dengan petir si pemuda berambut panjang. Nadine yang terdesak akhirnya menciptakan tabir pelindung dari es. Api dan petir menghantam pelindungnya, dan gadis itu menggertakkan gigi. Belum sempat Nadine membalas, serangan datang lagi dalam bentuk terjangan arothen. Adam ternyata telah berhasil melepaskan diri dari pasak yang menusuknya. Lingkaran sihir hitam berpendar di bawah kakinya, walaupun lubang besar di perutnya masih terus mengucurkan darah.
”LEPASKAN!” Reinald mengubah wujud solid Seise Felliri di genggamannya menjadi asap yang bergelung, lalu membentuknya lagi di depan si Kolektor. Secepat kilat pemuda itu menghunjamkan pedang tersebut ke arah gadis tersebut. Namun mendadak sesosok tubuh melompat ke depan Kolektor. Mayat hidup itu menerima terjangan Seise Felliri, terlontar ke belakang dan terhempas ke lantai.
Walaupun serangan itu tak mengenai Kolektor, namun sudah cukup untuk merusak konsentrasinya. Rei merasakan cengkeraman di tangannya melonggar. Sekuat tenaga pemuda itu menyentakkan genggaman kedua mayat hidup tersebut sampai terlepas, lalu melompat berdiri. Mencabut pisau kecil dari pinggang, dan menyabetkannya dalam satu tebasan panjang. Bilah tajam senjata itu mengoyak dada si gadis lalu leher si pemuda, dan seketika daging di daerah tersebut melepuh dan meleleh, seolah terkena cairan asam. Kerusakan itu menyebar cepat, merontokkan daging dan tulang sekaligus. Dalam sekejap yang tersisa dari kedua mayat hidup itu hanyalah lelehan daging berbau memualkan. Ternyata racun yang ada di pisau itu benar-benar mematikan, sampai bisa menghancurkan tubuh manusia.
Sosok pemuda yang tadi melindungi Kolektor datang menyerbu Reinald, mengayunkan Seise Felliri ke arahnya, dan pemuda itu mengubah wujud pedang itu jadi asap, menghilangkannya dari pegangan si mayat hidup. Kemudian Rei menusukkan pisau kecilnya ke dada si pemuda, dan tak lama kemudian makhluk mengerikan itu turut hancur menjadi genangan menjijikkan.
Seise Felliri muncul kembali di tangan kirinya, dan Reinald merangsek ke arah Kolektor. “Kamu takkan bisa menyakitiku,” ucap gadis itu seraya tertawa, namun matanya mulai menunjukkan ketakutan.
”Kita lihat saja,” sahut pemuda itu, dan mengayunkan pisau ke arah Kolektor. Gadis berambut panjang yang tadi terkoyak-koyak senjatanya sendiri mendadak muncul di antara pemuda itu dan Kolektor, menyambut serangannya. Katana di genggamannya menahan serangan Reinald, tapi pemuda itu cepat memutar pergelangan tangan dan menyabetkan pisau itu lurus ke atas.
Irisan panjang muncul di wajah si gadis berambut panjang, luka yang dengan cepat membusuk dan meluruh. Mayat hidup itu pun hancur berantakan, dan Rei kembali melangkah mendekati Kolektor. ”Berapa banyak pun tameng yang kamu gunakan, cepat atau lambat pasti habis,” kata pemuda itu.
Kolektor mengerahkan tiga sosok bertubuh rusak sekaligus, namun Reinald cepat memusnahkan semuanya. Gadis bergaun merah marun itu mulai melangkah mundur ke arah tangga, dan pemuda itu terus memburunya. Bagus, semakin banyak mayat hidup yang Kolektor kerahkan untuk menghadapinya, semakin sedikit dari mereka yang akan menyerang Nadine.
Akhirnya Kolektor sepertinya kehabisan makhluk yang dapat ia korbankan. Gadis itu berbalik, berlari ke atas tangga, dan Rei cepat mengejar. Di lantai atas, pemuda itu berhasil menyudutkan Kolektor ke tembok. Pisau kecilnya melayang di bawah dagu gadis itu.
Kolektor tertawa. ”Dejavu,” katanya ringan, seolah-olah situasi saat itu tak mengkhawatirkannya sama sekali.
”Tarik semua mayat hidupmu dari Nadine.”
”Atau apa?” Kolektor tersenyum menggoda. ”Atau kamu akan mengiris leherku? Ayolah, kita sama-sama tahu kamu takkan bisa melakukannya.”
Rei menempelkan senjata tajam tersebut di leher gadis itu. ”Aku tidak akan membiarkan Nadine menderita lebih dari ini. Tarik mayat hidupmu, atau…”
Perkataannya tak pernah terselesaikan, karena saat itu Kolektor mendadak menjerit, nyaring menusuk telinga. Reinald terlompat ke belakang, terkejut. Baru kemudian pemuda itu menyadari dua kristal es telah mencuat dari dinding di belakang Kolektor, menembus pergelangan tangan gadis itu. Kolektor kembali menjerit ketika dua pasak beku lain menembus telapak kakinya.
Nadine muncul di samping Rei. Napas gadis itu tersengal-sengal, tangan kanannya memegangi luka di perut yang masih mengalirkan darah. Kaki kirinya agak diseret, dan rambutnya yang kini tergerai lengket oleh darah. Namun matanya masih menatap tajam tak berekspresi.
”Di mana artefak yang kalian curi?” tanya gadis itu. Suaranya mulai serak akibat kelelahan.
”Kamu kira aku mau memberi tahu?” sahut Kolektor, lalu tertawa menantang. Mendadak tawanya berganti menjadi lolongan ketika dua kristal es kembali menghunjam lututnya dengan suara berderak yang mengerikan.
”Di mana Lex?” tanya Nadine lagi.
”Cari saja sendiri!” seru Kolektor.
”Jadi itu jawabanmu?” sahut Nadine, dan detik berikutnya pasak-pasak beku bermunculan di sekujur tubuh Kolektor. Gadis itu menjerit-jerit kesakitan, darah hitam mengucur deras dari sekujur tubuhnya.
”Hentikan!” seru Reinald, tapi Nadine tidak menghiraukannya. Pasak-pasak runcing terus mencabik tubuh Kolektor. Gadis itu menggeliat-geliat berusaha membebaskan diri, namun kristal es Nadine memakunya ke tembok. Mata Kolektor mulai membalik; darah mengalir dari sudut bibirnya.
”Nadine!” Rei mengguncang tubuh gadis itu, tapi Nadine tetap bergeming. Tatapan tanpa belas kasihannya terus terarah pada sosok yang melolong di hadapannya. ”Sudah, hentikan!” pemuda itu menariknya menjauh, namun gadis itu menepisnya dan mengarahkan tangannya pada Kolektor, menunjuknya seperti hakim yang menjatuhkan vonis pada terdakwa.
Kedua telinga Kolektor mendadak tertebas putus. Dengan penuh kengerian Reinald melihat lidah gadis itu tertarik keluar, lalu ikut terpotong seolah ada pisau tak kasat mata yang menerjangnya. Kemudian kedua bola mata Kolektor tercungkil keluar. Gadis itu menjerit sekuat tenaga, lolongan kesakitan yang terus meninggi, sampai suara yang terdengar hanyalah teriakan sekarat tersebut.
”NADINE!” Rei memeluk gadis itu dari belakang dan menyeretnya menjauh. Menjauh dari lolongan mengerikan yang menusuk telinga, menumpulkan segenap indera. Menjauh dari sosok dengan tubuh tercabik-cabik yang masih terus menggelepar di tembok. Menjauh agar Nadine menghentikan perbuatannya yang menyeramkan.
Akhirnya gadis itu membiarkan dirinya dibawa pergi, walaupun tatapannya masih terpaku ke arah Kolektor, bahkan ketika Reinald membawanya menuruni tangga. Jeritan kesakitan terus menghantui, mengejar mereka, seolah takkan pernah berhenti. Akhirnya, setelah waktu yang terasa seperti berabad-abad lamanya, lolongan mengerikan itu melemah dan terhenti sama sekali.
Lampu-lampu kembali menyala, membanjiri ruangan tersebut dengan cahaya terang. Reinald terus memeluk Nadine erat-erat. Seluruh tubuhnya gemetar oleh ketakutan, kengerian, dan kelelahan. Untuk sesaat tak ada yang berkata-kata. Keheningan menyelimuti mereka berdua, terasa ganjil setelah semua keributan yang telah terjadi.
”Rei.”
Pemuda itu menatap Nadine. Gadis itu tak memandangnya balik, matanya terarah ke tembok rusak yang terciprat darah di sana-sini. ”Cari Lex di lantai dua. Kalau tidak ada, cari dia di lantai tiga. Dia pasti ada di sini.”
”Tapi…”
Gadis itu melepaskan diri dari pelukannya. ”Aku akan mencari di lantai satu ini. Ayo. Kita harus buru-buru, sebelum ada yang datang.”
Reinald masih ingin membantah, tapi ia tahu Nadine benar. Mereka harus cepat-cepat pergi dari sana.
Pemuda itu bergegas ke lantai dua, sengaja tidak melihat ke arah mayat Kolektor yang masih tertancap di tembok. Dengan cepat diperiksanya semua kamar di sana. Ketika tak menemukan apa pun, pemuda itu berlari ke lantai tiga, tak menghiraukan kakinya yang hampir tertekuk kelelahan.
Di salah satu kamar di lantai tiga ia menemukan Lex. Pemuda berkacamata itu terbaring di lantai. Tangannya terikat erat ke belakang punggung. Memar dan luka akibat pukulan dan sayatan terlihat di sekujur tubuhnya. Reinald meraba lehernya dan menemukan nadinya. Lex masih hidup, walaupun tak sadarkan diri.
Rei memotong tali yang mengikat Lex, lalu dengan segenap tenaga menggendong pemuda itu di punggung. Tanpa membuang waktu ia segera kembali ke lantai dasar.
Nadine telah menantinya. Gadis itu membawa sesuatu dalam pelukannya, sebuah benda bulat seukuran bola basket. Pemuda itu memandangnya dengan tatapan bertanya, namun Nadine tak berkata apa-apa. Setelah melihat Lex, gadis itu berbalik dan melangkah pergi. Tak punya pilihan lain, Reinald mengikutinya.
Di halaman, Nadine berhenti sejenak dan berbalik. Sesaat gadis itu seperti merenungi rumah yang baru saja mereka tinggalkan. Namun beberapa detik kemudian terdengar bunyi ledakan teredam, dan bangunan bertingkat tiga di hadapan mereka itu mendadak diselubungi api membara yang berkobar-kobar. Reinald terbelalak melihatnya.
”Kamu bakar?”
Nadine tak menjawab. Gadis itu masih terus memandangi kobaran api yang bergelora semakin dahsyat, menambah merah langit yang mulai terang oleh fajar. Panasnya terasa bahkan dari tempat mereka berdiri. Apa pun yang ada di dalam rumah tersebut pastilah akan hancur tak bersisa.
”Kenapa?” tanya pemuda itu lagi.
”Sudah selesai,” akhirnya Nadine menjawab. Gadis itu menoleh ke arahnya. ”Sudah selesai.”
Ketika menatap Nadine, tanpa bisa dicegah kaki Rei membawanya mundur selangkah. Mata kiri gadis itu kini berwarna biru muda cerah, sementara mata kanannya tetap berwarna hitam. Warna kebiruan yang sama mulai menghiasi beberapa bagian rambutnya, membuat gadis itu tampak ganjil dan menakutkan.
”Kenapa?” tanya Nadine.
Reinald tak tahu harus menjawab apa. ”Matamu,” akhirnya pemuda itu bersuara.
Gadis itu memandanginya sesaat, seolah tak mengerti apa yang ia bicarakan. Kemudian Nadine mengangkat tangan, menciptakan selarik es beku di telapaknya, dan mengamati bayangannya di sana.
Pengertian terlintas di wajah gadis itu, dan tangan Nadine terangkat, menutupi mata kirinya. Gadis itu berpaling, sengaja menoleh ke arah rumah yang masih terbakar, menyembunyikan mukanya. ”Ayo pulang,” hanya itu yang ia katakan.
Rei ingin mengucapkan sesuatu, tapi tak ada satu pun kata-kata muncul dalam kepalanya. Akhirnya pemuda itu mengikuti langkah-langkah Nadine meninggalkan pekarangan. Di belakang mereka, rumah besar itu terus terbakar, berlatar langit gelap yang mulai cerah oleh fajar yang merekah.
***