Dalam keremangan malam, Ducati berhenti di sebuah pelataran sunyi, dan Nadine bergegas melompat turun. Dengan cepat gadis itu mengamati keadaan di sekitarnya. Lapangan kecil itu dipenuhi oleh angkot yang diparkir berderet, sementara di pinggirnya berdiri kios-kios sederhana yang tiap jendelanya tertutup oleh kayu, bambu, atau spanduk tipis. Tak ada makhluk hidup lain yang tampak, kecuali dirinya dan Reinald. Apa orang-orang yang menyerang kaum urnduit telah pergi? Apa ia dan Rei terlambat?
Gadis itu menggeram. Tidak, mungkin masih ada waktu untuk menyelamatkan kaum Gakka. Yang penting sekarang ia dan Reinald cepat menuju ke Alleterre.
Nadine berpaling dan melihat pemuda itu telah menghampiri sebuah bangunan kecil di ujung tempat parkir. Dalam kegelapan, warna bangunan itu tak terlihat, tapi papan nama yang terpasang di atasnya dapat terbaca jelas.
”Curug Cimahi,” Rei membaca papan tersebut. ”Curug? Air terjun? Urnduit-urnduit itu ada di sini?”
”Tidak tepat di sini,” sahut Nadine. ”Ayo. Kita harus cepat-cepat. Kujelaskan sambil jalan.”
Sejenak pemuda itu masih mengamati papan tersebut, seolah berusaha mengira-ngira, bagaimana caranya sekelompok makhluk asing seperti Gakka bisa bermukim di sebuah tempat wisata, yang pastinya selalu ramai oleh pengunjung? Namun kemudian Reinald mengangkat bahu, lalu mengikuti langkah Nadine menuju jalan setapak di pinggir pelataran.
Jalan kecil itu dengan segera menjelma menjadi undak-undakan yang berkelok-kelok menurun. Sisi kirinya berupa dinding tebing sementara sisi kanannya berupa ngarai yang ditutupi pepohonan. Setengah berlari Nadine menuruni tangga alam yang tersusun dari batu kali itu. Permukaannya amat licin, apalagi ditambah kondisi yang sering hujan belakangan ini, membuat tiap-tiap pijakannya mulai diselimuti lumut.
Mendadak ia terpeleset! Nadine tak sempat menjerit. Tubuhnya meluncur tak terkendali ke arah pegangan kayu yang membatasi jalan dari jurang. Pucuk-pucuk pepohonan berkelebat di depan mata sementara ia mati-matian mencari sesuatu yang bisa diraih untuk memperlambat jatuhnya. Percuma, tak ada yang bisa dipegang! Ia akan jatuh!
Tiba-tiba seseorang memeluknya dari belakang, menahan tubuhnya. Wajah Nadine berhenti hanya beberapa senti dari pagar kayu.
”Kamu tidak apa-apa?” ternyata Rei yang menyelamatkannya.
”Tidak apa-apa,” Nadine tersengal-sengal. Jantungnya berpacu hebat, sementara kakinya terasa lemas. Ia masih bisa membayangkan bagaimana seandainya tadi ia menabrak pegangan kayu itu dan terpelanting jatuh ke dalam ngarai. ”A – aku hanya terpeleset.”
”Hati-hati, dong” Reinald membantunya sampai ia bisa kembali berdiri tegak. ”Sebegitu inginnya aku peluk, ya, sampai sengaja jatuh segala?”
Nadine menatapnya terperangah. “Kamu ini, bisa-bisanya bercanda dalam keadaan seperti ini?!”
“Kamu sih, buru-buru amat. Aku mengerti kalau kita harus cepat-cepat menyelamatkan kaum Gakka, tapi apa gunanya buru-buru kalau malah membuat kita celaka, dan tak bisa menyelamatkan mereka?”
Selama beberapa saat Nadine masih merasa kesal, tapi apa yang Rei katakan memang benar. Akhirnya tanpa berkata apa-apa lagi gadis itu berbalik dan kembali menuruni undak-undakan, lebih hati-hati sekarang.
Untuk sesaat tak ada yang bersuara, masing-masing berkonsentrasi pada pijakannya. Angin yang menusuk tulang berhembus, membawa aroma basah tumbuh-tumbuhan.
”Suara apa itu?” tanya Rei tiba-tiba.
Sejenak tubuh Nadine membeku. Suara apa yang pemuda itu dengar? Suara pertarungan? Jeritan kematian para urnduit? Namun sesaat kemudian gadis itu menarik napas lega, ketika menyadari suara apa yang ditanyakan Reinald.
”Itu bunyi air terjun.”
”Kedengaran dari sini? Sebesar apa air terjunnya?”
”Lihat saja nanti.”
Perjalanan pun berlanjut dalam keheningan. Hanya terdengar bunyi-bunyian serangga malam. Dari kejauhan, deru air terjun masih terus terdengar, perlahan-lahan mengeras seiring semakin mendekatnya mereka ke bawah. Nadine mengepal, perasaan khawatirnya terus bertambah seiring setiap langkah yang ia ayunkan. Semoga ia dan Rei belum terlambat. Semoga kaum urnduit masih dapat bertahan!
Akhirnya, jalan menurun yang seolah tak berujung tersebut berakhir di sebuah tempat terbuka. Batu-batuan – besar, kecil, mulus, pecah-pecah – berserakan memenuhi tempat itu. Kanan dan kiri dasar ngarai dipenuhi oleh pepohonan yang bergoyang diterpa angin malam. Di depan, Curug Cimahi menderu jatuh dari ketinggian hampir seratus meter, percikan airnya membasahi mereka.
Reinald mengamati air terjun itu, mengikuti alirannya dengan mata sampai ke puncaknya di atas ngarai. ”Wow,” cetus pemuda itu. ”Aku tidak tahu ada tempat seperti ini di Bandung.”
”Sekarang bukan saatnya bengong,” Nadine meraih lengan Reinald, menariknya. ”Ayo!”
”Mau ke mana?”
”Ikut saja!”
Berdua mereka menghampiri kolam yang terbentuk di kaki Curug Cimahi. Sesampainya di tepi air, Nadine langsung memeriksa lapisan pelindung magis yang melingkupi pintu masuk ke Alleterre. Dan langsung terpaku.
Mantra pelindung tersebut sudah musnah. Berarti ada seseorang yang telah menembusnya dan masuk ke dalam kawasan Alleterre. Siapa? Bagaimana caranya? Mantra itu adalah sihir kuat yang gadis itu buat sendiri. Seharusnya tak ada seorang pun yang bisa mematahkannya. Tapi, kenapa sekarang…?
Tidak, ia tak boleh berlarut-larut memikirkannya. Para penyerang itu mungkin masih ada di dalam sana. Ia harus bergegas!
Nadine mengucapkan sebuah mantra yang sudah ia hafal baik, dan sedetik kemudian air terjun di hadapan mereka terbelah, seolah-olah ada tangan raksasa yang menyibaknya. Sebuah lubang menganga di tengah Curug Cimahi; air terjunnya masih terus menderu jatuh di sisi-sisi bukaan tersebut, seakan terhalang oleh sesuatu. Sebuah jalan berbatu muncul di atas kolam, mengarah lurus ke lubang yang tercipta.
Rei terperangah melihatnya, namun Nadine tak memberinya kesempatan terpaku lebih lama lagi. Setengah diseretnya pemuda itu menapaki jalur batu tersebut. Tak lama kemudian mereka telah melewati lubang magis yang tercipta di antara deru Curug Cimahi.
Dalam sekejap mereka seperti dipindahkan ke dunia lain. Kerimbunan hutan menyambut mereka. Pohon-pohon berbentuk aneh memenuhi tempat tersebut. Ada yang memiliki tiga cabang yang menjulang lurus ke langit, sehingga tampak seperti garpu. Ada yang berambut alih-alih berdaun, dan ada yang berbatang sangat tipis sampai-sampai mirip jarum.
“Di mana ini?” suara Reinald terdengar takjub sekaligus kagum.
“Kawasan Alleterre,” jawab Nadine setelah menggumamkan mantra penutup pintu ke daerah tersebut. Kemudian gadis itu segera melesat memasuki kerimbunan hutan. “Ayo!”
Terdengar seruan kaget pemuda itu, sebelum Rei menjejeri larinya. “Alleterre? Kenapa ada banyak pohon aneh di sini? Tempat apa ini?”
“Karena grae yang mengalir di tempat ini lebih banyak dari di tempat lain di bumi. Sudah, jangan banyak tanya lagi. Para penyerang itu mungkin masih di sini!”
Pemuda itu menutup mulut, dan Nadine berkonsentrasi untuk melaju di antara pepohonan. Semakin jauh masuk ke dalam rimba, hati gadis itu semakin tak tenang. Sampai sini, tak ada tanda-tanda sedikit pun dari para penyerang kaum urnduit. Apa orang-orang jahat itu masih ada di sini? Apa mereka sudah lama keluar? Atau lebih buruk lagi, sedang mengintai di balik pepohonan, siap menerkamnya dan Reinald?
Sambil berlari gadis itu menebar jaring grae, menyisir daerah di sekitarnya dalam radius lima ratus meter. Tak ada energi sihir lain yang tertangkap oleh jaringnya. Itu berarti, tidak ada grasth lain di tempat ini yang bisa membahayakan mereka. Seharusnya fakta itu melegakannya, namun entah kenapa Nadine malah merasa semakin tegang. Mudah-mudahan saja mereka belum terlambat. Mudah-mudahan saja para urnduit di tempat ini masih baik-baik saja.
Tapi, di mana mereka? Tak ada pergerakan apa pun di sela-sela pepohonan, selain dirinya dan Rei. Biasanya pasti ada satu dua urnduit yang berjalan di tengah rimba. Kenapa tak ada makhluk hidup seorang pun di sini? Ke mana para urnduit tersebut?
Mendadak Nadine sampai di hadapan Alleterre. Tumbuhan magis itu menjulang tinggi ke langit malam, tampak tak berubah sejak terakhir kali gadis itu melihatnya. Tapi, tunggu dulu. Rasanya ada sesuatu yang salah dengan tanaman pengatur grae tersebut. Warnanya tak lagi berganti-ganti, melainkan hanya putih pucat yang tetap. Apa yang terjadi? Ada apa dengan tumbuhan tersebut?
Langkah Nadine tiba-tiba terhenti. Ada sesuatu yang mengelilingi Alleterre. Bongkahan batu tak beraturan yang rapat berdiri, menciptakan pagar yang mengitari tumbuhan tersebut.
Jantung gadis itu seolah berhenti berdetak ketika menyadari apa yang sebenarnya ada di hadapannya. Benda-benda itu bukan batu, melainkan sosok-sosok makhluk. Tubuh-tubuh yang telah terpotong di sana-sini. Ada yang masih tegak berdiri dengan kedua tangan sabit terentang ke atas seakan sedang berdoa, namun tak lagi berkepala. Ada yang kehilangan sebelah kaki dan sebelah tangan. Ada yang sudah termutilasi parah sampai-sampai bagian-bagian tubuhnya tak lagi bisa dikenali. Potongan kaki, tangan sabit, dan kepala dengan kelopak mata putih yang menatap kosong berserakan di tempat itu. Semuanya membatu, menciptakan monumen kengerian yang abadi.
Kaki Nadine goyah dan gadis itu jatuh berlutut. Rasa perih menyebar dari dada sampai ke kepalanya, membuat tubuhnya seperti dicabik dari dalam. Bau aneh yang memuakkan memenuhi udara, aroma yang ia kenali sebagai bau darah urnduit. Aroma itu mencekik napas, membuatnya mual. Dalam mimpi terburuknya sekalipun ia tak pernah membayangkan akan ada yang tega membantai para urnduit seperti ini. Kaum cinta damai yang hanya ingin menghabiskan sisa hidup mereka dengan merawat semua tumbuhan di dunia ini. Makhluk yang tidak akan melawan bahkan ketika pedang atau pisau menebas anggota tubuh mereka tanpa ampun.
”Astaga, apa ini?”
Reinald sudah sampai di sana, namun Nadine masih tak sanggup menoleh ke arah pemuda itu. Tak mampu mengalihkan pandangan dari pembantaian yang ada di hadapannya.
”Urnduit…” suaranya terdengar serak dan tercekik, tidak seperti suaranya sendiri.
Gadis itu mendengar tarikan napas tercekat dari pemuda itu, tapi Nadine masih tak sanggup melihat Rei. Pikirannya mendadak buntu, padahal beribu pertanyaan berputar di sana, tak menemukan jawaban. Siapa yang melakukan ini? Kenapa semua urnduit dibunuh dengan mengenaskan seperti ini? Apa tujuannya? Apa ada hubungannya dengan kondisi Alleterre yang aneh?
Tiba-tiba tubuh Nadine seperti tersambar petir. Jangan-jangan… Entah dengan kekuatan dari mana gadis itu melompat berdiri dan menghambur ke arah rumpun Alleterre. Mayat-mayat urnduit menghalanginya, namun gadis itu berhasil mencapai tumbuhan agung tersebut tanpa menginjak satu pun dari mereka. Jangan-jangan…
Ketakutannya jadi kenyataan. Tepat di tengah-tengah salah satu batang pohon tersebut, terdapat sebuah lubang berdiameter satu setengah kali telapak tangannya. Bekas-bekas sayatan terlihat di sekelilingnya, pertanda sesuatu telah dicungkil keluar.
Bola Varre yang ia simpan di sana telah hilang. Lenyap.
Nadine merasa seakan-akan bumi berputar di sekelilingnya. Seseorang telah mencuri artefak itu. Benda yang susah payah ia larikan dari Galazentria. Yang telah banyak mengorbankan nyawa teman-temannya. Yang telah ia lindungi mati-matian, sampai mengakibatkan berpuluh-puluh luka di tubuhnya. Sekarang barang itu hilang. Hilang. Hilang…
Seseorang mengguncang tubuhnya. Gadis itu membuka mata dan menatap Reinald. ”Nadine!” pemuda itu menatapnya khawatir. ”Kamu tidak apa-apa?”
”Rei?” sejak kapan pemuda itu berpindah ke sisinya? Dan sejak kapan ia berbaring di tanah? Sesaat kemudian gadis itu baru sadar kalau sepertinya tadi ia sempat pingsan. Bersamaan dengan kesadaran itu rasa tak berdaya kembali menghantamnya. Ia tak mampu bernapas, seolah-olah tanah menghimpitnya dari segala arah. Ia bisa mendengar Rei kembali memanggilnya, suara pemuda itu semakin lama semakin meninggi oleh kekhawatiran, namun ia tak bisa menjawab. Ia takut, begitu membuka mulut, yang keluar hanyalah lolongan putus asa.
-Nadine Felledia.-
Suara di dalam kepala itu berhasil menjernihkan kekalutannya. Nadine bangkit dan menatap Gakka yang telah berdiri di luar lingkaran mayat membatu.
Sial, ia lupa kalau urnduit bisa berlari secepat mobil kalau mereka mau. Gakka pasti langsung melesat kemari setelah menghubunginya!
”Jangan ke sini!” alih-alih terdengar seperti perintah yang tegas, suaranya yang serak terdengar seperti memohon.
Tanpa menghiraukan kata-katanya sang urnduit melangkah maju, berhati-hati agar tidak menginjak sisa-sisa tubuh saudara-saudaranya. Raut wajahnya tampak mulus tanpa ekspresi apa pun. Makhluk itu berhenti di sisi patung seorang urnduit tak berkepala yang tampak sedang memanjatkan doa pada langit. Mata putih tak berkelopak Gakka menyapu sosok itu dari atas ke bawah.
Kesedihan luar biasa timbul dalam hati Nadine ketika melihat sang urnduit. ”Gakka, jangan ke sini. Jangan ke sini!” ucapnya, berusaha berdiri sambil bertumpu pada Reinald.
-Kaumku bukanlah makhluk yang mudah dibunuh,- suara Gakka terdengar biasa saja, tak ada setitik pun duka di sana. -Kulit kami sangat keras, dan saat tidur, kami akan memadat seperti batu. Titik terlemah kami hanya ada ketika kami dalam keadaan setengah tidur, setengah terjaga. Jadi pasti ada sesuatu yang mengagetkan mereka ketika sedang tidur, membangunkan mereka. Pada saat itulah mereka diserang.-
“Gakka, pulanglah,” ucap Nadine lagi. “Biar aku yang…”
-Benda titipanmu, Nadine Felledia,- sang urnduit menatapnya. -Mereka mencurinya?-
Lidah Nadine mendadak kelu. Bola Varre. Karena ia menitipkan benda itu kepada para urnduit, mereka jadi habis terbantai. Semua ini karena dirinya. Dia lah yang sebenarnya membunuh keluarga Gakka…
-Pantas,- tatapan Gakka terarah pada Alleterre. -Kaumku sedang tidur di sini, dan orang-orang itu menyerang Alleterre, membuat mereka terbangun. Dalam keadaan paling lemah seperti itu, mereka kemudian dibunuh. Tapi dalam keadaan seperti itu pun, mereka masih berhasil melindungi Alleterre. Dengan darah mereka sendiri, mereka membekukan Alleterre. Membuatnya jadi batu, tidur abadi alih-alih mati.-
Hentikan! Tubuh Nadine mulai bergetar hebat. Analisa Gakka atas kematian saudara-saudaranya terasa seperti hunjaman pedang ke dalam hatinya. Gadis itu ingin lari sejauh-jauhnya dari suara sang urnduit, dari tatapannya, tapi tak sanggup bergerak sedikit pun. “Gakka, aku…”
Sang urnduit mengabaikannya dan menunduk, memungut sebuah potongan sabit dari tanah. Ujungnya membentuk patahan yang tajam. Gakka menempelkan patahan tersebut ke lengannya dan mendorongnya sekuat tenaga. Dalam sekejap tangan sabitnya mengalirkan darah kehitaman.
”Apa yang kamu lakukan?” Nadine mendengar dirinya sendiri berteriak.
Gakka menatap lurus ke arahnya. -Nadine Felledia, bawa aku bersamamu saat kau menyerang orang-orang yang telah membantai kaumku. Akan kutajamkan lenganku sampai aku bisa bertarung di sisimu.-
Rasa perih menghunjam tubuh gadis itu. Hentikan! Ia ingin menjerit. Jangan sakiti dirimu sendiri! Akulah yang membunuh saudara-saudaramu. Aku! Tubuhnya bergetar tak terkendali sekarang. Karena aku menitipkan Bola Varre pada mereka, mereka dibantai seperti ini. Kamu seharusnya menyakitiku. Kamu seharusnya membunuhku!
Seseorang menahan lengan sabit Gakka, menghentikannya. Terpana, Nadine melihat Reinald telah berdiri di samping sang urnduit. Pemuda itu tersenyum, namun kesedihan tampak nyata pada senyum tersebut. “Sudah. Jangan diteruskan lagi.”
-Jangan hentikan aku.-
“Aku tidak akan menghentikanmu membalas dendam,” sahut Rei. “Aku hanya minta kamu berhenti menyakiti dirimu sendiri. Karena bagaimanapun juga, itu tidak akan membuat keluargamu hidup lagi.”
Satu sisi dalam diri Nadine bertanya-tanya, kenapa perkataan pemuda itu terdengar amat sarat emosi, seolah-olah ia berucap dari pengalamannya sendiri? Namun dalam sekejap pemikiran itu tertelan oleh rasa bersalah yang menguasai tubuhnya, juga oleh kemarahan yang bergelora hebat. Marah kepada siapa pun yang telah membunuh para urnduit tersebut. Marah kepada mereka yang telah membuat Gakka melukai dirinya sendiri, mengasah tangannya dengan potongan tubuh kaumnya sendiri. Dan terutama, marah kepada dirinya sendiri, yang menyebabkan semua tragedi ini sampai terjadi.
Amarah tersebut terus meninggi, memuncak, sampai akhirnya meledak. Menghancurkan segalanya. Dan gadis itu tak lagi merasakan apa-apa. Yang ada hanyalah ketiadaan emosi. Dan rasa dingin kematian yang membeku.
”Gakka.”
Ada sesuatu pada suaranya. Sesuatu yang membuat sang urnduit dan Reinald menatapnya. ”Kembali ke Farsei Foruna. Sekarang. Aku ingin kamu menjaga benteng kita dari kemungkinan serangan musuh.”
-Tapi, Nadine Felledia…-
”Gakkakon Jurono Vesbel,” satu sisi kecil di sudut hatinya menyadari betapa mengerikan suaranya saat itu, namun sisi itu segera tertelan oleh hawa beku yang membuat sisa tubuhnya kebas. ”Kau mau melawan perintahku?”
Sang urnduit terdiam sejenak, mengamatinya lekat-lekat. Kemudian makhluk itu menyilangkan kedua lengan sabit di dada dan membungkuk. Salam kuno prajurit urnduit ketika mereka masih menjadi penjajah bangsa lain. -Siap, Nadine raghen. Aku tunduk pada perintahmu.-
Raghen. Sebutan itu lagi. Sebenarnya ia benci sekali jika Gakka memanggilnya dengan pangkat itu, namun lagi-lagi rasa itu hanya muncul sesaat, sebelum akhirnya hilang diterpa gelombang dingin kehampaan yang menguasai tubuh. Nadine mengangguk, ”Pergi.”
Sang urnduit membungkuk lagi, lalu melangkah pergi, dengan cepat berlari dan menghilang di balik kerimbunan pohon. Reinald menatapi kepergian makhluk itu, lalu berpaling memandangnya. Apa yang sedang terlintas dalam kepala pemuda itu? Kebingungan? Keheranan? Ketakutan?
Nadine mengenyahkan pemikiran itu dan berkonsentrasi. Dulu, sewaktu melarikan diri dari Galazentria, ia memasang enam buah belenggu grae dalam tubuhnya sendiri. Penghalang magis itu membuatnya tidak bisa dideteksi oleh grasth mana pun. Namun belenggu itu juga memiliki efek samping, yaitu membuatnya hanya bisa menggunakan sebagian kecil dari kekuatannya.
Gadis itu meraih ke dalam dirinya sendiri, dan menarik lepas kedua belenggu yang ada di kakinya.
Dalam sekejap grae mengaliri tubuhnya, mengisi setiap pembuluh darah dengan denyutan bergelora. Tanpa perlu menarik energi sihir dari bumi, Nadine bisa merasakan grae memenuhi badannya, jauh lebih banyak dari yang tadi ia miliki. Lengan bajunya kini berwarna putih kebiruan sampai ke bahu, menandakan pertambahan kekuatannya.
Gadis itu menatap ke arah langit malam. Tanpa perlu menganyam jaring-jaring magis untuk mendeteksi, ia sudah bisa melihat dengan jelas. Sisa-sisa kabut grae, jejak-jejak energi dari para pembantai kaum urnduit. Warnanya masih terlihat sangat jelas dan nyata, mengambang ke arah selatan. Kembali ke arah Bandung.
Para pembunuh itu harus membayar semua perbuatan mereka. Merasakan setiap sakit yang para urnduit rasakan. Dan ia sendiri yang akan memastikan kalau hal terakhir yang akan mereka ingat sewaktu mereka terlempar ke neraka adalah rasa sakit yang amat sangat.
Dan kengerian yang amat nyata.
”Nadine?” terdengar suara Rei.
Gadis itu menatap pemuda tersebut. ”Ayo pergi.”
***