Bab 21 – Arothen

Reinald merasakan jantungnya berdentam keras. Rasa dingin mengaliri punggungnya, dan kelelahan menerpanya tanpa ampun.

Di sekelilingnya, arothen menggeram dan mendesis, menyeringai dan mencakar. Mata mereka yang bercahaya dalam gelap menatapnya dan Nadine dengan pandangan lapar, seolah tak sabar untuk mencabik-cabik mereka berdua. Pintu kamar, yang merupakan satu-satunya jalan keluar dari ruangan tersebut, sudah tertutup oleh makhluk-makhluk itu. Untuk bisa kabur dari sini, ia dan Nadine harus menerjang kerumunan arothen itu. Tapi bisakah mereka? Masih kental dalam ingatan pemuda itu, bagaimana susah payahnya ia dan gadis itu mengalahkan seekor arothen dulu. Sekarang ada sekampung di hadapan mereka!

Rei menggertakkan gigi. Bisa atau tidak, ia dan Nadine harus bisa keluar dari sini. Kalau perlu, biar ia yang menahan monster-monster tersebut. Dulu, Seise Felliri berhasil membasmi makhluk itu. Berarti sekarang, ia harus mengandalkan pedang itu lagi untuk membuka jalan keluar. Apa pun yang akan terjadi pada dirinya, yang penting Nadine bisa selamat.

Arothen-arothen tersebut seolah membaca keputusannya. Makhluk-makhluk itu menggeram lebih keras, beberapa dari mereka mulai beringsut maju, mendekatinya dan Nadine. Reinald mengepal, bersiap memanggil Seise Felliri.

”Rei.”

Tertegun, pemuda itu menoleh ke asal suara pelan tersebut. Gadis itu masih berdiri beberapa langkah darinya. Anehnya, wajah Nadine terlihat tenang, walaupun tetap waspada. Tidak tersirat ketakutan sama sekali di muka gadis itu. ”Jangan,” lanjut Nadine, masih dengan suara rendah. ”Ke arah jendela. Pelan-pelan.”

Jendela? Apa yang Nadine rencanakan? Tapi mungkin gadis itu memang memiliki rencana yang jauh lebih baik daripada menerjang segerombolan monster haus darah. Reinald menuruti gadis itu dan mulai melangkah seperlahan mungkin, mundur mendekati satu-satunya jendela di ruangan tersebut. Di sampingnya, Nadine juga melakukan hal yang sama. Kawanan arothen itu pun beringsut mengikuti, tampak lebih waspada, namun masih belum menyerang.

Ketika gadis itu sampai di sampingnya, ia kembali berbisik. ”Hitungan ketiga. Lompat keluar. Tak usah takut jatuh. Aku yang urus.”

Rei mengangguk kecil, hampir-hampir tak menggerakkan kepala. Sosok-sosok mirip monyet itu terus mengawasi mereka, sesaat tampak ragu, namun satu dua di antaranya mulai bergerak maju.

”Satu…,” bisik Nadine. Rei menarik napas dalam, mengepal kuat-kuat.

”Dua…” semoga saja cewek itu tahu apa yang dia lakukan.

”TIGA!”

Angin kencang bertiup dalam ruangan tersebut, bersamaan dengan meledaknya jendela di belakang mereka. Tanpa membuang waktu Reinald berbalik dan melompat keluar. Angin malam menderu di sekelilingnya ketika ia terjun bebas dari lantai dua bangunan tersebut. Tanah meluncur deras ke arahnya, namun sebelum tubuhnya menghantam bumi, pemuda itu merasakan sesuatu menahan laju jatuhnya, memperlambatnya, sampai ia bisa menjejakkan kaki di rumput, seolah-olah ia hanya melompat dari atas tangga saja.

Di sampingnya, Nadine juga mendarat, menekuk kedua kakinya untuk menahan hentakan. Melihat gadis itu juga berhasil keluar dengan selamat, Reinald mendongak ke arah jendela yang tadi mereka lewati. Sebuah lubang besar menganga di sana, membuat rumah tersebut seolah-olah mendadak memiliki mulut. Bayangan-bayangan hitam mulai membanjir keluar dari lubang tersebut, seperti semut yang tumpah ruah dari sarangnya. Lengkingan geram arothen memenuhi langit malam.

”Kenapa bengong?” seseorang menarik tangannya. Nadine. ”Lari! Ke motor!”

Pemuda itu berbalik dan langsung berlari. Nadine sudah lebih dulu melesat, meninggalkannya. Di belakang, raungan dan geraman arothen membahana, susul-menyusul dengan bunyi tubuh mereka yang mendarat di rerumputan.

Reinald memaksa diri terus berlari tanpa menoleh ke belakang. Dalam sekejap, kakinya yang panjang berhasil membawanya menjejeri Nadine. Berdua mereka menghambur melewati gerbang besi di ujung halaman rumah tersebut dan melesat menyusuri jalan yang sepi. Tak ada seorang pun yang terlihat di sana.

Tiba-tiba terdengar jeritan. Rei sontak menoleh, dan melihat arothen-arothen itu sudah menjejeri larinya, menapaki tanah dengan keempat kaki mereka. Belum habis keterkejutan pemuda itu, seekor monster yang terdekat dengannya telah melompat dan menerjang ke arahnya.

Angin yang sangat kencang menerpa, membuat makhluk-makhluk itu luput menyambarnya. Reinald berpaling ke belakang dan melihat Nadine telah berhenti berlari. Gadis itu berdiri membelakanginya, menghadapi kawanan arothen. Angin es berputar di sekeliling tubuhnya.

”Nadine!”

”Pergi!” seru gadis itu. ”Ambil motormu. Cepat!”

”Tapi…”

”Cepat!”

Sejenak Rei berkutat antara dua pilihan, namun sedetik kemudian pemuda itu kembali melesat. Nadine benar. Kalau ia membantu gadis itu, mereka hanya akan jadi bulan-bulanan arothen. Tapi kalau ia berhasil mengambil Ducatinya, mereka punya peluang untuk kabur dari sana.

Pemuda itu berlari secepat yang ia bisa. Jalan Cihapit yang sunyi berkelebat di sekelilingnya. Napasnya naik turun, dadanya sesak, namun ia terus memaksa tubuhnya melaju.

Akhirnya kendaraan beroda dua itu tampak di hadapannya, tersembunyi dalam keremangan bayangan pohon. Reinald setengah meloncat ke atasnya, kemudian menghidupkannya. Deru Ducati memecahkan keheningan malam.

Pemuda itu menyeret motornya berputar seratus delapan puluh derajat, lalu memacunya ke arah terakhir kali ia meninggalkan Nadine. Tak berapa lama kemudian ia bisa melihat gadis itu. Nadine sedang berjalan mundur seraya masih meniupkan angin bekunya ke segala arah. Arothen-arothen di hadapannya menggeram dan mendesis murka karena tertahan pusaran tersebut. Namun beberapa ekor berhasil menembus badai grae itu, dan langsung melompat ke arah gadis tersebut.

Reinald memacu motornya secepat mungkin. Ketika hampir mencapai tempat Nadine berada, pemuda itu mengerem tiba-tiba, mengunci ban depan motornya, membuat Ducati tersebut terseret berputar ke samping oleh momentum percepatan sebelumnya. Badan motor tersebut pun menabrak arothen-arothen yang sedang melompat, membuat makhluk-makhluk itu terpental jauh.

”Nadine! Sini!”

Tanpa membuang waktu gadis itu segera melompat ke kursi penumpang. Angin dingin yang lebih kuat dan kencang berhembus, menerpa gerombolan monster di sekitar mereka.

”Pegangan!” Rei serta-merta memacu motornya. Ia bisa mendengar jeritan terkejut Nadine, sebelum merasakan tangan gadis itu melingkari pinggangnya. Satu bagian kecil di hatinya sesaat merasa senang, sebelum pikiran lain membungkamnya, memenuhinya dengan konsentrasi pada jalanan.

Trotoar, pepohonan, dan bangunan berkelebat di kiri dan kanan mereka. Angin menderu kencang, menampar kepala mereka yang tidak terlindungi helm. Masih ada beberapa kendaraan di jalan, walaupun saat ini pastinya sudah lewat tengah malam. Pemuda itu mendahului semuanya, tak sekali pun mengurangi laju motor.

”Ke mana?” seru Reinald.

”Lembang!” sahut Nadine. ”Lurus dulu, nanti aku… AWAS!”

Secepat kilat Rei menunduk, tepat pada waktunya ketika sesosok bayangan hitam menerjang lewat. Arothen! Dengan kengerian luar biasa dilihatnya tiga ekor makhluk itu berlari di samping mereka. Gila, monster macam apa yang bisa menyamai kecepatan motor?!

Pemuda itu menambah kecepatan, tapi sosok-sosok itu dengan mudah mengimbangi mereka. Seekor lagi menerjang ke arah mereka, tapi sebilah kristal es runcing menghantam tubuh makhluk itu, melemparkannya ke belakang.

”Konsentrasi ke jalan!” seru Nadine. ”Arothen ini aku yang urus!”

Tidak punya pilihan lain, Reinald menggertakkan gigi dan kembali menambah kecepatan. Ducati itu setengah terbang sekarang, melesat menyusuri jalan. Tapi gerombolan arothen itu masih terus mengejar, menempel ketat.

Dengan terpana pemuda itu menyadari bahwa lampu-lampu jalan di sekitar mereka mendadak meredup sebelum akhirnya padam sama sekali. Begitu juga dengan cahaya dari rumah dan bangunan yang ada di pinggir jalan. Untung saja Mata Malam masih terikat di kepalanya, membuatnya tetap mampu melihat dalam kegelapan yang tercipta. Sial, apa yang sebenarnya sedang terjadi?!

Rei bisa merasakan Nadine menggunakan punggungnya sebagai tumpuan untuk duduk tegak. Kristal-kristal beku menari di udara, menghantam arothen mana saja yang melompat ke arah motor. Desingannya membelah udara, berbaur dengan jeritan hewani, kelebatan angin, dan deru Ducati. Pemuda itu sendiri berkonsentrasi penuh untuk mengendalikan motor. Menggunakan perpindahan berat tubuhnya untuk melaju di antara satu-dua kendaraan yang masih ada di jalanan.

Mendadak Reinald menyadari kalau jumlah arothen yang mengejar sudah jauh berkurang. Yes! Makhluk-makhluk itu akhirnya habis oleh grae Nadine, atau tak mampu lagi mengejar laju motor.

Sedetik kemudian rasa leganya berubah menjadi kengerian yang mengiris jantung, ketika dilihatnya jauh di depan, di jalanan yang tertutup bayangan pepohonan, puluhan mata yang menyala dalam gelap bermunculan. Dalam sekejap jalan di depan mereka tertutup rapat oleh arothen.

Nadine cepat bereaksi. Badai esnya yang dahsyat kembali bertiup, menerjang lurus ke arah kerumunan itu, memporak-porandakannya. Celah pun tercipta di tengah-tengah kepungan itu, yang dengan segera dilewati oleh motor.

Tapi arothen-arothen itu ada lagi! Kali ini di perempatan yang tidak diterangi lampu jalan. Reinald membanting stang ke kiri dan motor pun berbelok, rodanya terseret sesaat di jalan, menimbulkan bunyi berdecit nyaring, sebelum akhirnya kembali tegak dan melaju kencang.

”Sial!” mendadak terdengar seruan Nadine. ”Arothen ini dibuat dari bayangan. Kalau begini caranya mereka tidak akan habis-habis. Kanan, Rei! Ke jalan besar!”

Pemuda itu menurut, dan Ducati yang mereka naiki kembali menikung miring, memasuki jalan Dago. Sejenak gemerlap lampu jalan menerangi mereka, namun tak lama kemudian cahaya itu pun mendadak padam. Dalam beberapa detik jalan besar tersebut tenggelam sepenuhnya dalam kegelapan malam.

Dari balik setiap warung tenda, pohon rimbun, dan kendaraan yang ada di sana, arothen mulai bermunculan. Tiga sampai empat ekor mewujud dari setiap kubangan bayangan. Dalam sekejap pasukan pengejar mereka bertambah banyak jumlahnya, berkali-kali lipat dari sebelumnya. Brengsek, brengsek, brengsek!

”Kiri!” seru Nadine.

Motor membelok tajam. Di hadapan mereka kini terbentang jembatan Pasupati, ujungnya tak terlihat di balik jalanan yang mendaki. Tanpa mengerem sama sekali Ducati itu menanjak, mendaki lengkungan jalan layang.

Angin menghempas lebih keras di atas jembatan. Tangan Rei mulai mati rasa akibat kedinginan, namun pemuda itu tetap mencengkeram stang. Di hadapannya, jalanan yang lengang terbentang. Tak ada kendaraan lain di sana. Di sebelah kanan terentang kabel-kabel raksasa yang menahan jembatan, membentuk segitiga sama sisi, terkait pada tiang batu yang menjulang ke malam tak berbintang.

Kegelapan melingkupi jalan layang tersebut. Kerumunan arothen mengepung dari segala arah; kiri, kanan, depan, belakang. Lengkingan dan geraman hewani membahana, sementara jarak antara motor dan makhluk-makhluk itu terus menipis.

Bagaimana ini? Rei sudah tak bisa menghentikan laju Ducatinya sekarang. Mau tak mau mereka harus menabrak kerumunan monster tersebut. Tak ada jalan keluar lain, semuanya telah tertutup rapat oleh makhluk-makhluk itu. Sial, bagaimana ini? Bagaimana ini?!

Mendadak terdengar jeritan panjang Nadine, tajam membelah deru angin. Sedetik kemudian sebuah cahaya muncul, terang benderang menyilaukan mata, seolah-olah matahari mendadak terbit di atas jembatan. Ledakan dahsyat menyusul kemudian, menggoncang jalan layang, membuat Reinald hampir kehilangan kendali atas Ducatinya. Angin dan hawa panas menerjang mereka tanpa ampun dari belakang, membutakan pandangan, mencekik tenggorokan. Selama beberapa saat sepertinya mereka tidak akan selamat, tertelan badai bersuhu tinggi itu. Tapi kemudian motor menyeruak keluar, dan angin malam yang dingin kembali menyambut mereka.

Selamat! Reinald mengintip melalui kaca spion, jantungnya masih berdegup kencang. Jalanan yang mereka tinggalkan tampak kosong. Tak terlihat satu pun arothen yang sampai tadi masih mengejar-ngejar. Lampu-lampu jalan mulai menyala kembali, menyirami mereka dengan cahaya yang menenangkan. Selamat! Selamat!

Sesuatu menimpa punggung pemuda itu. Kaget, Rei menoleh dan melihat Nadine tertelungkup, kedua lengannya terjuntai lemas.

”Nadine!”

”Tidak apa-apa,” sahut gadis itu pelan, nyaris tak terdengar di tengah deru angin. ”Arothen-arothen itu berhasil kuledakkan semuanya. Tapi menggunakan sihir api itu memang melelahkan…”

Reinald menjulurkan tangan kiri ke belakang, menahan tubuh gadis itu, sementara tangan kanannya masih mengenggam stang motor. ”Tahan. Kita balik ke Farsei Foruna.”

”Jangan!” sahut Nadine. ”Ke Lembang. Kita harus menyelamatkan urnduit di sana.”

”Tapi…!”

”Aku tidak apa-apa,” potong gadis itu. ”Sebentar lagi juga akan baik-baik saja. Yang penting kita harus cepat-cepat menyelamatkan keluarga Gakka.”

“Lex bagaimana?”

“Setelah menyelamatkan urnduit, baru kita cari lagi dia. Sekarang yang penting kita harus cepat-cepat ke arah Lembang.”

Reinald menggeram kesal, marah karena gadis itu lagi-lagi memaksakan diri. Tapi Nadine benar. Prioritas nomor satu adalah menyelamatkan para urnduit.

”Oke. Tapi pegangan yang kencang.”

Baru setelah dirasakannya Nadine memeluk erat pinggangnya, Rei mengarahkan motor ke utara, menembus keheningan malam.

**

Category(s): Artefaktor

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

 

You may use these HTML tags and attributes: <a href="" title=""> <abbr title=""> <acronym title=""> <b> <blockquote cite=""> <cite> <code> <del datetime=""> <em> <i> <q cite=""> <s> <strike> <strong>