Nadine mengenakan baju dengan lambat dan formal, seolah-olah sedang berada dalam sebuah upacara. Memasukkan tangan satu persatu ke dalam lengan pakaian yang menjuntai sampai ke pergelangan. Memasang setiap kancing keemasan perlahan-lahan. Merapikan kerah yang menempel tinggi pada leher. Mengenakan celana panjang hitam yang sewarna dengan bajunya. Terakhir mengenakan sepatu bot yang menutup sampai ke mata kaki.
Baju itu merupakan peninggalan masa lalu, masa ketika para grasth masih menguasai bumi ini. Pakaian tersebut terbuat dari bahan yang kini sudah tidak ada lagi di dunia ini. Tebal dan liat seperti kulit, tak mudah robek atau tembus seperti zirah, namun seringan katun. Setiap helai benangnya diperkuat oleh grae, membuatnya hampir-hampir tak bisa rusak. Bahkan setelah bertahun-tahun tersimpan, baju itu tak sedikit pun menampakkan tanda-tanda aus.
Nadine memandangi bayangannya di cermin. Akhirnya ia kembali mengenakan seragam ini. Seragam tempur Ildarrald Daevar. Didesain untuk mampu menahan serangan senjata apa pun. Hanya sihir yang mampu merobeknya, itu pun harus sihir yang cukup kuat.
Sudah lama sekali ia tidak mengenakan baju itu. Semenjak kepergiannya bersama Aryo dan yang lainnya ke Galazentria. Tadinya ia mengira pakaian itu sudah hilang, namun ternyata Gakka masih menyimpannya dengan baik.
Mungkin karena dalam balutan seragam inilah dulu ia menyelamatkan sang urnduit.
Nadine mengangkat kedua tangan. Dengan segera kedua ujung lengan baju itu berubah warna, bergradasi menjadi putih kebiruan, seolah-olah bagian pakaian itu membeku dan diselubungi kristal es. Sebenarnya gadis itu bisa mengubah warna baju itu lebih banyak lagi, namun hari ini ia cukup menampilkan warna biru pucat tersebut sampai seperempat lengan bawah saja.
Setelah mengikat rambut menjadi ekor kuda tinggi di belakang kepala, gadis itu melangkah keluar kamar. Di ruang tengah seseorang telah menunggunya. Reinald, yang juga telah mengenakan seragam tempur Ildarrald Daevar. Tadi pagi gadis itu telah membuatkan baju tersebut untuk pemuda itu, menggunakan sebuah mantra khusus yang masih tercatat di buku ish Ildarrald Daevar. Melihat kedatangan gadis itu, pemuda tersebut bangkit dari duduknya dan berjalan menghampiri.
Mendadak Nadine terpaku. Di hadapannya, Rei terlihat amat gagah dalam pakaian itu. Bagian bawah baju yang jatuh di tengah pahanya membuat pemuda itu terlihat lebih tinggi dari biasanya. Kerah yang tegak menonjolkan bahunya yang lebar. Dan dalam balutan pakaian itu, Reinald terlihat lebih percaya diri, lebih kuat. Baju itu begitu pas dengannya, seolah-olah pemuda itu memang ditakdirkan untuk bergabung dengan Ildarrald Daevar dan mengenakan pakaian tersebut.
Pikiran itu membawa rasa senang, sekaligus rasa sedih yang teramat dalam.
Rei tersenyum melihatnya. ”Sudah siap? Ayo, berangkat.”
”Sebentar, ada yang harus kulakukan dulu.”
”Apa? Mau minta dipeluk dulu?” Reinald tersenyum jahil.
”Bukan!” Nadine menggertakkan gigi. Baru juga kuanggap dia keren, eh, dia sendiri yang menghancurkan image-nya! ”Ada yang perlu kujelaskan terlebih dulu.”
“Apa?”
”Ada beberapa hal yang harus kamu ketahui mengenai seragam tarung Ildarrald Daevar ini,” jawab gadis itu. “Baju ini memiliki efek-efek magis. Pertama, pakaian ini tahan senjata tajam ataupun senjata api, kecuali jika senjata itu diberi efek grae, karena yang bisa merobek baju ini hanya grae. Kedua, seperti yang sudah kamu ketahui, selama memakai baju ini, aku atau anggota Ildarrald Daevar lain bisa melacak keberadaanmu. Dan ketiga, kalau diaktifkan, baju ini akan menunjukkan kekuatan dan kemampuan pemakainya. Sekarang aku akan mengaktifkannya. Diam sebentar, jangan bergerak.”
Rei menurut, dan Nadine menaruh tangan kanan di dada pemuda itu. Gadis itu berkonsentrasi, menarik napas dalam, dan mengucapkan mantra pengaktifan tersebut.
Selama beberapa saat, pakaian yang dikenakan Reinald tidak menunjukkan perbedaan apa pun dari sebelumnya.
Lalu mendadak tubuh pemuda itu diselubungi sinar menyilaukan.
Sinar itu menggariskan alur di kain hitam tersebut, seperti laser yang meninggalkan jejak cahaya di atas suatu bidang. Kadang lurus, kadang miring. Ada yang saling bersinggungan, ada yang bersilangan. Jalur cahaya itu muncul di setiap permukaan kain, memenuhi semua bagian dari seragam tersebut dengan alur abstrak yang rumit. Lalu sinar itu pun padam dan menghilang.
Untuk sesaat tak ada yang berkata-kata. Kemudian suara Reinald memecahkan kesunyian. ”Apa ini?”
Pemuda itu mengangkat lengan, mempelajari jalur-jalur tak beraturan tersebut. Garis-garis itu kini berwarna coklat terang, kontras di atas bahan berwarna hitam. Nadine turut mengamati jejak itu. Ada sesuatu pada pola itu yang terasa familiar, seolah ia pernah melihat bentuk abstrak itu di suatu tempat. Apa, ya? Rasanya seperti…
”Urat tembaga,” ucap gadis itu.
”Ha?”
Dengan takjub gadis itu mengikuti alur tersebut dengan tangannya. Ya, tak salah lagi. ”Ini bukti kemampuanmu, Rei. Kamu adalah seorang Artefaktor. Kamu membuat dan mengaktifkan barang. Di dalam tubuhmu mengalir darah besi, dan terjalin urat tembaga. Sudah kukatakan bukan, kalau baju ini akan menunjukkan kemampuan pemiliknya.”
Alih-alih menjijikkan, alur itu menghiasi seragam Reinald dengan indah, menggarisinya dengan pola kuat dan tegas. Nadine menelusuri jejak berwarna logam tersebut dengan jarinya sampai ke dada pemuda itu, terpukau dengan keunikannya. ”Bagus sekali,” gumam gadis itu.
Seseorang menangkap tangannya. Terkejut, Nadine mengangkat wajah, dan mendapati Rei sedang mengamatinya. Tanpa ia sadari, ternyata mereka telah berdiri dekat sekali satu sama lain, tubuhnya hampir menempel pada tubuh pemuda itu. Tatapan Rei tampak lain dari biasanya, begitu dalam dan sarat makna.
Sedekat ini, Nadine bisa menghirup aroma tubuh pemuda itu, harum hangat yang menyesakkan. Tangannya yang digenggam Rei masih melekat di dada pemuda itu, dan gadis itu bisa merasakan detak jantung Reinald, irama kuat yang membuat waktu terasa melambat dan berhenti.
Sesaat semua hal hilang dari kepala Nadine. Yang tersisa hanyalah pemikiran bahwa dengan sedikit memajukan badan, tubuhnya akan menyentuh tubuh pemuda itu. Hanya dengan sedikit berjinjit, bibir mereka akan saling bertemu…
Mendadak Rei tersenyum. ”Jangan berwajah seperti itu, dong. Kalau kamu begitu, aku jadi ingin menciummu.”
Sontak Nadine menjauh, menarik lepas tangan yang masih digenggam pemuda itu. Ia bisa merasakan wajahnya memerah. Sial, kenapa sih dia harus merusak suasana seperti ini? Tapi, kenapa juga aku marah? Apa gara-gara dia seolah-olah menyuarakan pikiranku?
”Hei, hei, jangan marah,” senyum pemuda itu menghilang dan ia kembali meraih tangan gadis itu. ”Kalau semua ini sudah selesai, aku akan dengan senang hati melayani apa pun maumu.”
Wajah Nadine memanas lagi. Melayani? Apa pun maunya? Kenapa kata-kata sesederhana itu harus Rei ucapkan seambigu itu? Gadis itu jadi ingin berteriak-teriak kesal, namun senyum lembut Reinald membuatnya terdiam. Apa Rei serius dengan omongannya?
Ah, tidak mungkin! Cowok itu pasti mengerjainya lagi!
”Begitu?” jawab gadis itu dingin, menyentakkan tangan dari genggaman pemuda itu. ”Boleh. Kalau semua ini selesai, aku akan memberitahumu apa mauku, dan kamu harus menurutinya, apa pun itu.”
”Aku siap jadi hambamu, Tuan Putri,” Reinald terkekeh.
Nadine mendengus kesal dan pergi keluar rumah, meninggalkan pemuda itu. Ia masih bisa mendengar tawa tertahan Rei saat pemuda itu mengikutinya. Sialan!
Di luar, malam telah melingkupi Bandung. Awan mendung menutupi langit; membuat segala sesuatunya terlihat lebih gelap dari biasanya. Pemuda itu mengeluarkan Ducatinya ketika Nadine mengenakan helm. Gakka berdiri di teras rumah, memperhatikan mereka berdua dengan mata putihnya. Sesaat sang urnduit terlihat ragu-ragu, namun kemudian suaranya terdengar di dalam kepala Nadine.
–Lurna ha ladare, sorei ha janare, axfe ha yitere, un te kiufe ak sere en umane more. Nin ye kiufe grei desenti, Nadine Felledia, Rei vathek.–
Nadine terpaku. Kata-kata itu lagi. Bisikan-bisikan mulai terdengar entah dari mana, mengelilinginya, mengurungnya.
Gadis itu menutup mata, menggertakkan gigi. Sekuat tenaga ia mencoba tidak menghiraukan bisikan-bisikan itu, namun suara-suara itu malah terdengar semakin keras, menyeretnya semakin jauh ke dalam kegelapan.
Seseorang meraih tangannya, dan gadis itu terperanjat. Sesaat ia mengira suara-suara tak bertubuh itu berhasil menangkapnya, namun kemudian ia menyadari bahwa Reinald lah yang meraih tangannya. Pemuda itu tersenyum dan mengeratkan genggamannya.
Bisikan-bisikan yang tadi mengelilingi Nadine perlahan-lahan menyurut pergi dan menghilang, meninggalkannya sendirian. Gadis itu mengerjap, merasa baru menjejak bumi setelah ditarik dari dalam lubang yang amat dalam. Tubuhnya masih sedikit gemetar.
”Nin…” suaranya terdengar serak. Nadine menelan ludah, baru mulai berbicara kembali. ”Nin ye kiufe grei desenti, Gakka.” Sang urnduit terlihat amat lega mendengarnya.
”Nin ye kiufe grei desenti, Gakka,” timpal Reinald. “Jangan lupa pesananku, ya.”
-Baik, Rei vathek. Akan kusiapkan segera.-
Nadine menatap pemuda itu, ”Pesanan apa?”
”Persiapan untuk perayaan pulang nanti,” Reinald mengedip.
Gadis itu masih ingin bertanya, namun pemuda itu sudah menariknya ke arah Ducati. Setelah Nadine duduk di kursi belakang, Rei menghidupkan motor dan meluncurkannya ke jalan raya.
Di perjalanan, gadis itu mengusir semua pikiran yang berseliweran di kepalanya. Tak ada waktu untuk hal lain. Ia harus berkonsentrasi, mempersiapkan diri untuk pertarungan yang akan segera ia hadapi.
Nadine menutup mata. Untuk sesaat semuanya menghilang. Motor, jalan, orang, rumah. Suara-suara turut lenyap, meninggalkannya dalam kesunyian. Gadis itu mengambang di tengah kegelapan dan ketiadaan.
Kemudian ia mulai melihat sesuatu. Sebuah cahaya muncul di sebelah kanannya. Kemudian cahaya lain timbul di sebelah kirinya. Berturut-turut cahaya-cahaya putih kebiruan bermunculan, menerangi ketiadaan itu dengan sinar mereka yang jernih, bagaikan bintang di langit malam.
Nadine menjulurkan tangan ke arah cahaya-cahaya tersebut. Tiga titik sinar mendatanginya dan menyelubungi tangannya. Gadis itu membentuk cahaya tersebut menjadi gelang sinar di pergelangan. Kemudian ia menarik lima cahaya lain, membentuknya menjadi kalung. Ia terus melakukan hal tersebut, membentuk cincin, ikat pinggang, gelang kaki, sampai seluruh tubuhnya diselubungi oleh sinar. Terakhir, ia menarik sepuluh titik cahaya dan membentuk tiara berkilauan di kepala.
Nadine membuka mata, dan grae mengalir deras di sekujur tubuhnya, bergelora bagai lautan. Energi sihir dari berbagai tempat di bumi ini telah tehubung dengannya, mengisi tubuhnya dengan denyut tenaga bergemuruh. Lengan bajunya kini telah berwarna putih-kebiruan sampai ke siku, menandakan pertambahan kekuatannya.
Gadis itu baru sadar bahwa Reinald sempat menoleh ke belakang, mengamatinya. Namun pemuda itu tak mengucapkan apa-apa, dan motor mereka terus melaju dalam kegelapan malam tak berbintang.
Sekitar tengah malam, mereka sampai di daerah Cihapit. Reinald memarkir motor agak jauh dari sana. Pemuda itu lalu meraih ke dalam kantung baju dan mengeluarkan dua utas kain hitam. Diserahkannya sehelai pada Nadine, dan yang sehelai lagi diikatkannya melingkari mata.
Gadis itu mencontoh pemuda tersebut, dan matahari seolah terbit dalam pandangannya, mengubah malam yang temaram menjadi terang benderang. Nadine dapat melihat sekelilingnya lebih jelas. Setiap detil bangunan, setiap helai daun, setiap rangka pagar terlihat sejernih siang hari.
”Jadi ini yang namanya Mata Malam?” bisik gadis itu.
Rei menyeringai. ”Keren, kan?”
Nadine tidak mengacuhkannya dan mengamati sekitarnya. Daerah perumahan tua itu terlihat lengang. Tak satu pun orang lain terlihat di sana. Bersama Reinald, ia mulai bergerak hati-hati, menyelinap dari satu bayangan ke bayangan lain. Tak lama kemudian pemuda itu menariknya berhenti dan menunjuk siluet sebuah rumah berlatar pekatnya malam.
Gadis itu mengangguk mengerti, dan segera membuat jaring-jaring grae, membentangkannya amat hati-hati melingkupi bangunan tersebut. Jaring miliknya segera mendeteksi adanya suatu lapisan grae di rumah tersebut. Sebuah jalinan magis yang berfungsi mendeteksi keberadaan penyihir di sekitar tempat tersebut. Nadine menyusupkan energinya sendiri ke dalam lapisan tersebut, menjalinkannya secara perlahan-lahan, dan mengambil alih alarm grasth itu. Dengan lapisan sihir tersebut kini sepenuhnya berada dalam kendalinya, ia memeriksa rumah itu. Hanya ada satu reaksi grae lemah dari dalam sana, yang Nadine hapal benar adalah energi milik Lex.
Gadis itu kembali menganyam jaring lain yang akan mencegah suara sekecil apa pun terdengar oleh orang-orang di sekitar bangunan tersebut, lalu berpaling pada Reinald. ”Rumah itu sudah kubersihkan dari pelindung sihir, dan kupasangi lapisan kedap suara. Lex masih ada di sana, tapi grae-nya sudah kecil sekali. Mudah-mudahan dia tidak apa-apa. Selain dia, tidak ada grasth lain di rumah itu.”
Pemuda itu mengangguk. ”Kalau begitu, ayo kita selamatkan dia.”
Berdua mereka mendekati rumah tersebut, bagai hantu yang timbul tenggelam dalam keremangan malam. Bulan telah lama tersembunyi di balik awan mendung, membuat keadaan menjadi lebih gelap dari biasanya. Sesampainya di depan gerbang besi yang tertutup rapat, Nadine menghancurkan gembok yang terpasang di sana dengan sihir, dan tanpa suara mereka menyelinap ke dalam halaman.
Pekarangan bangunan tersebut tampak kosong, hanya ada sekelompok pepohonan yang bergoyang diterpa angin malam. Rumah itu sendiri berjarak sekitar sepuluh meter dari sana, sebuah gedung bertingkat dua yang cukup besar. Lampu-lampu menyala terang di setiap jendela yang ada di lantai bawah maupun lantai atas, kecuali jendela kedua dari sebelah kiri di lantai dua, yang merupakan ruangan tempat disekapnya Lex. Tak terlihat adanya pergerakan orang. Sepertinya para penjaga di sana belum menyadari kedatangan mereka.
Nadine mengamati jendela yang gelap tersebut. Bagaimana caranya masuk ke sana? Di sekitar jendela itu tidak ada pohon atau tanaman lain yang bisa digunakan untuk memanjat. Satu-satunya jalan ke lantai dua hanyalah lewat dalam rumah, yang berarti melalui para penjaga di sana. Atau bagaimana kalau ia membuka jendela itu perlahan-lahan dengan grae, meraih Lex dengan sihir, dan mengangkat pemuda itu keluar?
DOR! Tiba-tiba suara tembakan nyaring memecahkan udara. Belum sempat Nadine menerka apa yang terjadi, sesuatu yang berat menimpanya, memaksanya jatuh. Punggungnya membentur tanah dan gadis itu tersedak. Seluruh udara terdorong keluar dari paru-parunya.
”Kita ketahuan!” suara Reinald terdengar di dekat telinganya. Butuh beberapa detik sebelum gadis itu menyadari bahwa pemuda itulah yang telah mendorongnya. Tubuh Rei menindihnya rapat ke tanah, sesaat membuat Nadine tercekat.
Kemudian Reinald bangkit ke posisi berlutut, menjulang di atasnya dalam kegelapan malam. Pemuda itu menoleh ke belakang punggung, ke arah sudut halaman tempat tumbuhnya pepohonan. Beberapa saat kemudian terdengar teriakan kesakitan dari sana, dan seseorang terjungkal ke tanah dari balik sebatang pohon.
”Ayo!” Reinald menarik tangan Nadine, memaksanya berdiri. ”Kalau di sini terus kita bisa jadi saringan! Maju!”
Adrenalin serta insting bertahun-tahun mengambil alih, dan gadis itu melompat bangkit. Suara tembakan mulai terdengar bersahut-sahutan, menghancurkan keheningan malam. Para penjaga berhamburan keluar dari pintu rumah; dua orang, enam, delapan, dan masih banyak lagi. Jumlahnya jelas lebih dari sebelas orang.
Tanpa berpikir Nadine bereaksi, menarik grae dari bumi melalui gelang energi tak kasat mata di tangan kanannya. Angin es muncul tiba-tiba dan berputar, menerpa para penjaga tanpa ampun. Untuk sesaat mereka tak mampu menembak, terbutakan angin kencang. Teriakan kaget dan sumpah serapah terdengar dari segala arah.
Nadine membekukan pistol seorang penjaga terdekat, kemudian memuntir kakinya tanpa ampun, mematahkannya. Laki-laki itu roboh, namun dari baliknya dua orang lain merangsek maju. Gadis itu segera menciptakan bola-bola es, dan melemparkan dua di antaranya ke arah kedua penjaga tersebut. Bulatan-bulatan beku itu menghantam tangan mereka yang menggenggam pistol, membuat senjata api tersebut jatuh ke tanah. Bola-bola es lain menghajar tulang kering mereka dengan bunyi berderak yang nyaring, dan kedua penjaga itu pun jatuh tersungkur.
Dari sudut matanya Nadine bisa melihat Reinald sedang menghadapi dua orang. Pemuda itu menangkis pisau yang diayunkan seorang penjaga dengan Seise Felliri, berkelit, dan terdorong jatuh ketika senjata penjaga yang lain menebas lengannya. Gadis itu baru saja akan berteriak memperingatkan ketika tiba-tiba seseorang telah berdiri di sampingnya. Sebilah pisau panjang terayun cepat mengiris dadanya.
Nadine mengernyit kesakitan. Baju tarung Ildarrald Daevar mencegah mata pisau tersebut melukai tubuhnya, namun hentakan tenaga si penjaga tetap menghantamnya, membuat tulang belulangnya sakit bukan main. Seorang penjaga lain juga telah menghadangnya, meluncurkan tinju tepat ke wajahnya. Gadis itu menciptakan lapisan es berduri di depan mukanya, dan kepalan itu menghantam tabir tersebut, duri-durinya menusuk jemari si penjaga tanpa ampun.
Namun tanpa mengaduh kesakitan sedikit pun laki-laki itu kembali meninju lapisan duri beku tersebut, seolah bertekad untuk menghancurkannya walaupun tinjunya remuk sekalipun. Dan Nadine mendapati bahwa di punggung tangan penjaga tersebut ada sebuah cekungan dalam, seakan ada benda bulat yang menghantamnya di sana. Penjaga yang tadi tangannya sudah ia lumpuhkan dengan bola esnya! Tapi, bagaimana mungkin?
Sebuah sabetan pisau kembali terarah padanya, dan Nadine melompat. Ternyata benar, kedua laki-laki di hadapannya berdiri dalam keadaan tak seimbang karena kaki yang menopang mereka sebenarnya sudah patah. Seharusnya mereka sudah tidak bisa bergerak dengan cedera seperti itu! Apa mereka tidak bisa merasakan sakit?
Sebuah teriakan menyentakkanya, dan Nadine sontak menoleh. Tidak jauh dari sana Reinald tergeletak di rerumputan. Tangan pemuda itu mendekap perut, tempat di mana baju tempur Ildarrald Daevarnya robek besar; darah mengalir keluar dari sela-sela jemarinya. Seorang penjaga berdiri di atasnya, menghunjamkan sebilah pisau besar ke arah leher pemuda itu.
Tidak! Sebelum sempat berpikir, Nadine sudah bereaksi. Sebuah tombak es meluncur deras dari tangannya, dan menghantam leher si penjaga. Tubuh laki-laki itu mengejang sesaat, pisau terjatuh dari tangannya, dan pria itu terkulai ke samping.
Apa yang kamu lakukan?! Sebuah suara menjerit dalam hati Nadine. Kamu sudah membunuh lagi! Padahal kamu sudah berjanji tidak akan membunuh lagi! Namun kemudian suara itu pun tak terdengar lagi, karena rasa sakit yang perih dan panas menyayat punggung gadis itu. Nadine berbalik, dan tubuhnya bergerak sendiri. Tangannya melontarkan tombak-tombak es yang menghantam kepala dan jantung kedua penjaga di hadapannya. Orang-orang itu pun jatuh tersungkur dan tak bergerak lagi.
Satu lirikan cepat memperlihatkan Reinald yang masih setengah terbaring, mati-matian menahan pisau seorang penjaga dengan Seise Felliri. Tangan penjaga itu tertekuk ke arah yang tidak normal, namun hal itu tampaknya tidak sedikit pun mengurangi kekuatannya. Seorang penjaga lain memanfaatkan kesempatan tersebut untuk mengarahkan pistol ke kepala pemuda itu, siap menarik pelatuknya.
Rei! Nadine melemparkan tombak-tombak esnya sekuat tenaga. Tombak yang pertama menghantam sisi kepala penjaga yang siap menembak Rei, menghempaskannya jauh-jauh. Sementara yang kedua menghunjam leher penjaga yang beradu senjata tajam dengan Reinald, membuatnya terjatuh miring ke rerumputan.
Hentikan! Jangan teruskan lagi! Nadine mengabaikan seruan itu dan bergegas hendak menolong Reinald ketika seseorang mendadak muncul di belakangnya. Gadis itu mengerahkan grae dan menciptakan dinding es tebal, tepat pada waktunya ketika rentetan tembakan merobek udara, menghantam dinding es tersebut. Gadis itu melompat menjauh, lalu berbalik untuk menghadapi orang yang telah memberondongnya.
Di hadapannya berdiri si pemimpin para penjaga, tubuhnya yang besar terbalut pakaian berwarna gelap. Tanpa membuang waktu pria itu mencabut sebuah pistol lain dan mengacungkannya pada Nadine.
Sontak gadis itu membekukan senjata api tersebut, sekaligus lengan si pemimpin. Pria itu hanya menggeram, kemudian menarik paksa pistol beku tersebut dari telapak tangannya. Serpihan kulitnya ikut tertarik lepas, namun pria itu tidak mengaduh sedikit pun. Pistol yang sudah tak berguna itu ia lempar ke arah Nadine. Gadis itu menghindar, kemudian baru menyadari bahwa laki-laki itu sudah mencabut pisau dari ikat pinggang dengan tangannya yang terluka dan merangsek ke arahnya.
Nadine melemparkan tombak es ke arah si pemimpin, dan pria itu mengelak dengan kelincahan yang tak sesuai dengan tubuh besarnya. Sebilah tombak lain meluncur dari tangan Nadine, dan kali ini si pemimpin menangkap senjata tersebut dan menusukkannya ke rusuk gadis itu. Mata tajam tombak es itu tidak melukainya, namun Nadine terhempas ke belakang akibat kekuatan pria itu, terbanting ke tanah tanpa ampun.
Sejenak gadis itu hanya mampu terbaring, megap-megap menarik napas. Namun akhirnya ia berhasil memaksa tubuhnya bangkit berdiri.
”Tidak mempan senjata tajam rupanya?” mendadak si pemimpin telah berdiri di dekatnya. ”Tapi cewek tetap cewek, walaupun penyihir sekalipun.” Kemudian pria itu mengayunkan tinju.
Kepalan itu menghantam rahang Nadine, dan dunia terasa meledak di dalam kepala gadis itu. Rasa sakit yang hebat menabraknya, sesaat membuat segalanya jadi gelap. Ketika sadar kembali, gadis itu telah terbaring di tanah, mengerjap-ngerjap pusing. Pandangannya terasa berputar, dan dalam kekacauan penglihatan itu ia melihat kelebatan sosok si pemimpin, siap menyerangnya lagi. Bangun! Sebuah suara entah dari mana memerintahnya. Bangun, atau kamu akan jadi bulan-bulanannya!
Ketika pandangan Nadine akhirnya berhenti berputar, sebuah tinju telah kembali meluncur deras ke arahnya. Selama sepersekian detik gadis itu menarik napas cepat, menciptakan tombak beku di tangan, dan menghantamkannya ke arah si pemimpin.
Tombak es itu menghunjam leher pria tersebut, dan kepalan tangannya terhenti beberapa senti dari hidung Nadine. Laki-laki itu melotot, darah menggelegak keluar dari sudut bibirnya. Sejenak lengannya terkulai lemas, namun kemudian terangkat lagi, siap menghajar. Nadine cepat menghantamkan tombak es lain ke kepala si pemimpin, dan akhirnya pria itu pun berhenti bergerak.
Hentikan! Jangan membunuh lagi! Suara itu terus menjerit dalam hatinya, tapi Nadine tahu ia harus melakukannya. Penjaga-penjaga tersebut bukan orang biasa. Mereka tidak bisa merasakan sakit, jadi mereka tidak bisa dilumpuhkan dengan cara biasa. Satu-satunya jalan adalah membuat mereka tak bisa bergerak lagi selamanya. Jadi gadis itu mengabaikan rasa sakit yang memenuhi dadanya, dan bangkit untuk menghadapi para penjaga yang lain.
Pertarungan itu terus berlanjut, dan Nadine sudah tak bisa menghitung berapa banyak penjaga yang telah ia jatuhkan. Rasanya tak ada habisnya. Sebanyak apa pun ia membekukan orang, meluncurkan tombak es, atau menghancurkan leher dengan angin bekunya, orang-orang itu terus bermunculan, menyerangnya, mengepungnya dari segala arah. Keringat mengalir deras di sekujur tubuhnya, walaupun angin grae yang ia ciptakan masih terus bertiup di halaman rumah itu. Suara di dalam hatinya terus menjerit-jerit, memohonnya untuk berhenti, tapi gadis itu tahu ia sudah tak bisa berhenti lagi.
Mendadak Nadine menyadari suasana telah menjadi hening kembali. Yang terdengar hanyalah suara napasnya yang memburu. Selain dirinya, tak ada satu pun orang yang berdiri lagi. Pekarangan rumah dipenuhi oleh tubuh-tubuh yang bergelimpangan. Angin kencang meniupkan bau darah ke mana-mana.
“Kamu tidak apa-apa?”
Nadine menoleh dan menatap Reinald. Luka di perut pemuda itu masih terus mengucurkan darah, dan di tangan kirinya juga terdapat luka sabetan panjang. Lebam mulai muncul di pipi kanan Rei, dan ujung mulut pemuda itu tampak berdarah.
“Rei!” gadis itu bergegas mendatangi Reinald. “Tunggu sebentar, akan kubekukan lukamu.”
“Aku tidak apa-apa,” pemuda itu jatuh berlutut, tangannya masih mendekap perut. Dengan hati-hati Nadine melepaskan tangan Rei, dan ganti meletakkan tangannya sendiri di atas luka tersebut, membekukannya secepat mungkin.
”Kamu sendiri?” pemuda itu mengulurkan tangannya yang tidak terluka dan menyentuh rahang gadis itu lembut. ”Sakit?”
Nadine berjengit. Memar akibat dihajar si pemimpin tadi mulai terasa berdenyut-denyut, dan luka di punggungnya terasa amat perih, tapi diabaikannya sakit tersebut. ”Tidak apa-apa.”
Kecuali kenyataan bahwa aku telah membunuh lagi, seru suara di hatinya. Berapa yang sudah kubunuh sekarang? Berapa lagi yang harus kubunuh?
Nadine membungkam suara tersebut. “Kita masih harus menyelamatkan Lex.”
”Ayo.”
Setelah membekukan luka-lukanya sendiri, Nadine menghilangkan angin grae-nya. Kemudian ia dan pemuda itu melangkah ke arah pintu masuk, berhati-hati agar tidak menginjak mayat yang bertebaran di sekeliling mereka. Pintu itu terbuka lebar, menampakkan ruang tamu dan ruang duduk. Lampu-lampunya yang tadinya menyala telah padam seluruhnya
Nadine bersandar di sisi kiri pintu sementara Reinald mengambil posisi di sebelah kanan. Dengan hati-hati ia dan pemuda itu mengintip ke dalam. Tak ada siapa-siapa di sana. Rumah itu kosong melompong.
Setelah memastikan tidak ada penjaga yang tersisa, mereka bergegas ke lantai dua, menghampiri pintu nomor dua dari kiri. Nadine memeriksa pintu tersebut dengan grae. Tak ada perangkap sihir di sana. Gadis itu merusak kuncinya dan membuka pintu.
Ruangan di dalam sebenarnya gelap gulita, namun dengan Mata Malam Nadine dapat melihat ada seseorang yang terbaring miring di sudut ruangan. Kedua tangannya terikat erat ke belakang. Pakaiannya kusut dan robek di sana sini, rambutnya berantakan, kacamatanya pecah di bagian kanan. Namun tak salah lagi, orang itu adalah Lex.
”Alex!” Nadine menghambur ke arah pemuda yang terbaring tak bergerak itu. ”Lex! Ini Nadine! Kamu tidak apa-apa? Tunggu sebentar, aku akan membebaskanmu.”
Gadis itu berlutut dan meraih tali yang mengikat pergelangan Lex, bermaksud memotongnya dengan grae, namun tangannya tak menyentuh apa-apa. Seolah-olah pemuda itu mendadak jadi tidak solid. Belum habis keheranan gadis itu, tiba-tiba tubuh Lex hilang dari hadapannya.
”Apa…?”
Mendadak sebuah suara bergaung kencang di dalam kepala Nadine, menghantam kesadarannya, membuatnya pusing dan hampir terjatuh.
-NADINE FELLEDIA!-
Antara sadar dan tidak, gadis itu mengenali suara tersebut. ”Gakka?”
-SESEORANG MENYERANG PEMUKIMAN BANGSAKU DI ALLETERRE! MEREKA MEMBANTAI SETIAP URNDUIT DI SANA! TOLONG, NADINE FELLEDIA! SELAMATKAN MEREKA! SELAMATKAN MEREKA!-
Kepala Nadine terasa berputar. Gadis itu menoleh ke arah Reinald. Pemuda itu juga sedang memegangi kepala, tampak jelas didera rasa pening yang sama. Peringatan Gakka pasti juga sampai padanya.
Seharusnya tidak ada yang tahu mengenai urnduit di Alleterre. Siapa yang menyerang mereka? Dan kenapa Lex menghilang? Apa yang sebenarnya terjadi? Kenapa waktunya terlalu berbarengan seperti ini?
Kemudian sebuah kesadaran menabraknya, mengiris jantungnya dengan pisau kengerian yang amat sangat.
”Ini benar-benar jebakan!”
Seolah-olah mengkonfirmasi seruannya, siluet-siluet hitam bangkit dari lautan bayangan di lantai. Sosok-sosok gelap itu menjelma menjadi makhluk bertubuh seperti monyet, dengan mata yang menyala dalam gelap, dan taring tajam yang mencuat dari bibir yang menyeringai. Kuku-kuku tajam menghiasi cakar mereka. Dalam sekejap ruangan itu dipenuhi arothen yang mendesis dan menggeram. Tak ada jalan keluar.
***