Bab 17 – Ildarrald Daevar

“Tiga hari lalu Lex pergi,” Lili menangkupkan kedua tangan di atas meja dengan gelisah. ”Dia… kami… ah, mungkin lebih baik kalau kuceritakan semuanya dari awal.”

Kemudian gadis itu mulai berkisah. Menerangkan semua yang terjadi semenjak tiga tahun lalu. Selama beberapa saat hanya suaranya yang terdengar di ruangan tersebut.

Nadine mendengarkan dengan kening berkerut. Ternyata benar dugaannya, bahwa memang ada perkumpulan grasth yang baru muncul di Bandung ini. Lex, Lili, Melinda, dan Indra berhasil mendeteksi keberadaan mereka. Namun penjelasan Lili selanjutnya membuat rasa kesal mulai timbul dalam hati Nadine. Mereka baru berhasil mengidentifikasi kehadiran kelompok penyihir tersebut berbulan-bulan setelah fenomena aneh pertama terjadi? Kenapa bisa begitu? Apa saja yang Lex, Lili, Indra, dan Melinda lakukan? Apa seperti ini keadaan di Bandung sepeninggalnya? Grasth liar mulai muncul lagi di mana-mana, berpotensi untuk mengacaukan kota, membahayakan manusia?

Tadinya Nadine berharap Lex dan yang lainnya sudah berhasil menyelidiki kelompok grasth baru itu sedetil-detilnya. Tapi ternyata, memastikan bahwa perkumpulan itu memang benar penyihir atau bukan pun, Lex dan yang lainnya masih belum mampu.

Kemarahan Nadine terus memuncak, membuat rasa dingin mencengkeram tubuhnya, namun gadis itu menahannya sekuat tenaga. Ia ingin mendengar penjelasan Lili sampai selesai. Ingin tahu kesalahan apa lagi yang sudah gadis itu, beserta Lex, Melinda, dan Indra, lakukan.

“Sebelum pergi, Lex berpesan kalau setelah tiga hari tak ada kabar darinya, kami harus menggunakan Pasir Reh untuk menghubungi siapa pun di antara kalian,” kata Lili. “Walau sebenarnya sangat tipis kemungkinannya kalian bisa datang menolong, karena kalian semua ada di Galazentria. Kemarin hari ketiga setelah Lex pergi. Jadi…,” Lili menghela napas, matanya berkaca-kaca. “Makanya aku benar-benar bersyukur kamu ada di sini, Na. Kalau kamu tidak datang, aku tak tahu lagi harus bagaimana.”

Nadine menutup mata, membiarkan kesunyian sejenak menyelimuti ruangan tersebut. Kemudian ia membukanya lagi dan menatap ketiga orang di hadapannya tajam. “Bagaimana mungkin hal seperti ini bisa terjadi? Perkumpulan grasth baru? Dan kalian baru menyadarinya setelah berbulan-bulan lamanya? Apa saja yang kalian lakukan sebenarnya? Bukankah Aryo telah menyuruh kalian untuk menjaga Bandung untuk mencegah hal-hal seperti ini? Apa kalian tidak belajar dari pengalaman kita? Apa kalian tidak ingat, bagaimana sulitnya menumpas gerombolan penyihir yang sudah jadi besar? Apa kalian tidak ingat, siapa saja yang sudah jadi korban dalam penumpasan itu? Apa kalian tidak ingat apa pun?”

Keheningan mendera tempat itu. Wajah Lili pucat pasi. Di sebelahnya, Indra juga tampak ketakutan. Melinda berusaha berwajah tak acuh, namun kengerian tergambar murni di parasnya.

Nadine baru saja akan melemparkan kata-kata penuh kemurkaan lainnya, ketika tiba-tiba seseorang menggenggam tangannya. Gadis itu menoleh kaget, dan menatap Reinald yang tersenyum lembut. “Sabar, Sayang. Kita ke sini untuk membantu Lili, kan? Bukan untuk menyalahkan dia, Indra, atau Melinda, kan? Marah-marah bisa nanti, yang penting bagaimana caranya kita menyelamatkan Lex dulu.”

Nadine ternganga. Sejenak segenap kemarahannya mendidih, dan gadis itu menarik lepas tangannya dengan kasar. “Kamu tidak tahu duduk permasalahannya. Jangan ikut campur!”

“Iya, aku memang tidak mengerti mengenai kelompok grasth baru dan sebagainya itu,” sahut pemuda itu tenang. “Tapi setahuku, kita bukan sedang membahas masalah itu. Kita sedang membahas keadaan Lex. Apa aku salah?”

Nadine masih ingin meneriaki pemuda itu, namun logika menyadarkannya. Rei benar. Yang penting sekarang adalah menyelamatkan Lex secepatnya. Marah itu urusan nanti. Kalau semua ini sudah selesai, ia bisa marah-marah sepuasnya kepada ketiga orang tak berguna itu. Tapi tidak sekarang.

Gadis itu menghela napas. “Baiklah,” sahutnya, kemudian mengalihkan pandangannya pada Lili, yang masih menatapnya ketakutan, sama seperti Indra dan Melinda. “Kita bahas itu nanti. Sekarang, yang penting Lex dulu. Informasi apalagi yang kamu punya, Li?”

Sejenak tak ada jawaban. Lili menelan ludah beberapa kali, seakan tenggorokannya mendadak tersumbat. Ketika akhirnya berkata, suara gadis itu amat perlahan, sampai hampir tak terdengar. “Ka – kami bukannya tidak mengambil tindakan. Kami hanya sedang menyelidiki mereka, mengumpulkan informasi sebanyak-banyaknya. Soalnya belum tentu mereka jahat, kan? Setelah kami punya bukti kuat, barulah kami mau memutuskan tindakan apa yang akan kami ambil.”

Tanpa Nadine duga, kata-kata Lili menyambarnya tanpa ampun. Soalnya belum tentu mereka jahat, kan? Dulu, di masa pemerintahan Aryo, Ildarrald Daevar akan langsung bertindak jika mendeteksi keberadaan suatu kelompok grasth. Tidak peduli jahat atau baik, besar atau kecil, kelompok penyihir itu akan segera didekati dan ditawari dua pilihan, menjaga agar aktivitas mereka tidak sampai muncul ke permukaan, atau dibasmi seketika.

Beberapa memilih alternatif pertama, menundukkan kepala mereka dan bersembunyi di dunia bawah tanah Bandung, kemudian perlahan tapi pasti menghilang dari dunia sihir. Namun sebagian besar menantang alternatif kedua, mengklaim bahwa Ildarrald Daevar tak punya hak untuk menghalangi kegiatan mereka. Dan semua yang memilih pilihan kedua akhirnya tersapu bersih dari Bandung. Nadine sendiri turut memastikan hal tersebut.

Sekarang perkataan Lili berputar di kepalanya Belum tentu mereka jahat, kan? Dulu ia tak pernah mempertanyakan hal itu. Keberadaan pengguna grae di luar Ildarrald Daevar adalah sesuatu yang tak termaafkan. Aryo selalu menekankan bahayanya grae yang digunakan tidak seperti yang ia ajarkan di Ildarrald Daevar. Penggunaan di luar metode itu adalah salah dan berbahaya, dan oleh karena itu harus dicegah sebisa mungkin.

Sekarang, Nadine jadi bertanya-tanya sendiri, apa itu benar? Memang, sebagian besar grasth yang mereka tumpas menggunakan energi magis untuk hal-hal merugikan, seperti mengacaukan cuaca, mencuri uang, menyantet orang, bahkan mencabut nyawa. Tapi, apakah memanipulasi grae dengan cara yang berbeda dengan dirinya, dan anggota Ildarrald Daevar lainnya, adalah suatu kejahatan?

Lalu, bagaimana dengan orang seperti Reinald? Orang yang memiliki kemampuan sangat berbeda dengan penggunaan grae yang diajarkan Aryo? Apakah bakat Artefaktornya adalah dosa tak termaafkan? Kalau Aryo masih ada di sini, apa pemuda itu akan memerintahkannya untuk membunuh Rei? Mengeksekusi Reinald, seperti yang dulu pernah ia perintahkan padanya?

“Nadine?”

Gadis itu tersentak. Ia mengangkat wajah, dan bertatapan dengan Rei.

“Kamu tidak apa-apa?” tanya pemuda itu lagi.

“Tidak apa-apa,” sahut gadis itu, kemudian kembali menatap Lili. “Apalagi yang berhasil kalian dapatkan?”

“Semuanya sudah kuceritakan padamu, Na,” jawab Lili. “Sampai akhir pun kami tidak yakin apakah perkumpulan itu memang benar kelompok grasth atau bukan. Kata Indra perkumpulan itu seperti fans club sihir yang mengumpulkan semua hal yang mungkin berhubungan dengan grae di satu tempat. Hewan paling aneh, artefak paling langka, semuanya ada. Satu-satunya yang tidak ada malah penyihirnya. Makanya Lex menyusup ke sana. Dan sekarang dia belum pulang juga…”

Gadis itu mulai terisak-isak lagi. Mau tak mau Nadine merasa kasihan juga melihatnya. Pasti berat sekali bagi Lili untuk melepas kepergian Lex. Pemuda dan gadis itu sudah menjalin hubungan bahkan sebelum mereka bergabung ke dalam Ildarrald Daevar. Sekarang Lex menghilang setelah menyusup ke dalam wilayah musuh. Lili pasti khawatir setengah mati memikirkannya.

“Jangan khawatir, Li. Aku pasti akan membantu,” Nadine mencoba tersenyum pada gadis itu, walaupun kekesalan masih memenuhi dadanya. “Tidak ada lagi yang bisa kalian beri tahu padaku?” ia berpaling pada Melinda dan Indra. “Mel? Ndra?”

Pemuda berambut ikal itu menggeleng. “Seperti yang Teh Lili katakan, semua yang kami tahu sudah kami beritahukan pada Teteh.”

Otak Nadine mulai berputar cepat. Kalau seperti itu, ada kemungkinan organisasi itu lebih berbahaya dari yang terlihat. Kerahasiaannya yang terjaga begitu rapi cukup memberi bukti bahwa anggotanya – atau petinggi-petingginya – bukan orang sembarangan. Walaupun bukan anggota inti intelejen Ildarrald Daevar, Lex, Lili, Indra, dan Melinda seharusnya sudah tak asing lagi dengan metoda penyelidikan atas hal-hal seperti ini. Kalau investigasi mereka pun hanya menghasilkan sedikit informasi, berarti ia harus waspada. Mungkin itu sebabnya Lex pergi sendirian. Jadi jika ada apa-apa, yang lainnya tak akan ikut terlibat.

Gadis itu jadi ingin mengacak rambutnya. Kalau saja anggota Ildarrald Daevar yang lain ada di sini! Ferdi atau Marina pasti bisa mendapatkan informasi yang lebih banyak dari Lili atau Melinda atau Indra. Apalagi Aryo. Pemuda itu selalu berhasil mendapatkan hasil penyelidikan yang lebih lengkap dari siapa pun, entah bagaimana caranya.

Lalu kamu berharap Aryo ada di sini? Yang benar saja! Kalau Aryo melihatmu, bisa dipastikan hal terakhir yang pernah kamu lihat di muka bumi ini adalah pemuda itu.

Suatu sentuhan di punggungnya membuat Nadine tersadar. Ia menoleh ke arah Reinald, yang sedang tersenyum menatapnya. Pemuda itu tidak mengatakan apa-apa, namun tangannya terus mengusap punggung gadis itu, memberikan ketenangan.

“Oh, iya. Kang Lex pergi dengan mengenakan baju tempur Ildarrald Daevar, lho,” terdengar suara Indra.

Nadine menatapnya. “Kamu yakin?”

Kepala Lili terangkat cepat. “Iya,” timpal gadis berambut coklat itu. Harapan baru tampak terbit dalam matanya. “Iya, aku baru ingat. Lex pergi dengan memakai baju itu. Kamu bisa melacaknya, Na? Bisa, kan?”

Baju tempur Ildarrald Daevar adalah pakaian spesial yang dibuat dengan grae. Setiap anggota Ildarrald Daevar memiliki satu buah yang dibuat khusus untuk diri mereka masing-masing. Baju tempur tersebut memiliki beberapa kelebihan yang tidak dimiliki pakaian biasa. Salah satunya adalah memungkinkan pemiliknya dilacak keberadaannya di mana pun ia berada.

“Mungkin,” jawab Nadine. “Kucoba dulu.”

Gadis itu menutup mata, lalu menyelaraskan frekuensi grae dengan frekuensi energi Lex yang sudah amat ia hafal. Ketika membuka mata lagi, ia sudah berada dalam kegelapan. Sebuah ruang hampa yang hadir setiap kali ia menyerasikan tenaga sihir dengan energi magis mana pun, baik itu dari grasth lain maupun dari bumi. Entah tempat apa ini sebenarnya. Sampai sekarang pun Nadine masih belum mengerti apa arti kegelapan itu sesungguhnya. Yang ia tahu, grae muncul dalam wujud nyata di tempat ini, kadang terlihat seperti sungai, kadang seperti laut, kadang seperti aliran air, kadang sesuatu yang lain sama sekali.

Gadis itu menarik napas dalam dan menajamkan seluruh indera. Membuat tubuhnya sedemikian peka, sehingga bisa melihat penampakan grae sekecil apa pun. Di mana pun Lex berada, energi sihirnya akan tampak di dalam dimensi hitam tersebut.

Waktu terus berlalu, namun tak ada sesuatu pun yang muncul. Nadine mulai mengerutkan kening. Ada apa ini? Ia sama sekali tidak bisa mendeteksi keberadaan Lex. Apa pemuda itu sudah menanggalkan baju tempurnya? Atau sesuatu telah menghancurkan pakaian tersebut sampai tak bersisa? Atau, jangan-jangan Lex sudah…

Nadine menggeleng. Tidak, ia takkan memikirkan kemungkinan terburuk itu. Lex pasti baik-baik saja. Mungkin ia hanya kurang berkonsentrasi, jadi tidak bisa merasakan grae pemuda itu.

Gadis itu membuka mata dan menatap Lili. Gadis berambut coklat itu memandanginya dengan gelisah. “Bagaimana, Na?”

Nadine membuat dirinya tersenyum. “Aku sudah tahu Lex ada di mana. Ia baik-baik saja. Nanti malam aku pastikan lagi lokasinya.”

Lili mulai berurai air mata. “Aduh, Na, aku tidak tahu bagaimana harus berterima kasih  padamu. Kalau kamu tidak ada, aku tak tahu apa yang harus kulakukan.”

“Aku hanya melakukan tugasku, Li,” Nadine berpaling pada Melinda. “Kamu bisa melihat sesuatu, Mel? Apa pun?”

Melinda menggeleng perlahan. Gadis itu terlihat enggan ketika menjawab, “Aku tidak bisa melihat apa-apa.”

“Apa? Bagaimana mungkin?”

Gadis pendek itu mengangkat bahu. “Aku juga tidak tahu kenapa. Pokoknya aku jadi tidak bisa melihat masa depan. Seperti ada lapisan abu-abu yang menutupi pandanganku.”

Nadine mengerutkan kening. Lapisan abu-abu? Seingatnya, kemampuan Melinda meramal sangatlah kuat. Tak ada yang bisa menghalangi penglihatannya, bahkan ketika masa depan tersebut masih belum pasti. Ada apa dengan gadis itu?

Nadine memusatkan pikiran dan menyamakan grae dengan milik Melinda. Kemudian Nadine mengerahkan tenaganya sendiri dan memeriksa aliran sihir gadis peramal itu. Sejauh yang bisa ia amati, tidak ada yang aneh dengan Melinda. Semuanya tampak baik-baik saja.

Kemudian Nadine melihatnya. Lingkaran sihir berwarna merah tampak di kedua mata Melinda, mengubah mata gadis itu menjadi bentuk abstrak yang mengerikan. Apa kedua lingkaran sihir itulah penyebab dari lapisan abu-abu yang menghalangi pandangan Melinda?

Gadis bertubuh pendek itu mulai beringsut gelisah di tempat duduknya. “Kenapa kamu mengamatiku aku sampai sebegitunya?”

“Ada yang menaruh penghalang di matamu,” jawab Nadine. “Mencegahmu melihat masa depan.”

Melinda terbelalak mendengarnya, begitu juga Indra dan Lili. “Siapa?” Melinda bertanya dengan suara tercekik, seakan pemikiran bahwa ada yang menyihirnya membuat gadis itu jijik bukan kepalang.

“Tidak tahu. Tapi kalau aku bergerak sekarang, mungkin aku bisa tahu siapa.” Nadine memejamkan mata. “Diam sebentar, Mel. Jangan bergerak sedikit pun.”

Dalam ruang gelap di kepalanya, Nadine dapat melihat kedua lingkaran sihir tersebut sekarang. Berpendar dengan cahaya merah mengerikan, kedua lingkaran sihir itu berputar perlahan dalam arah berlawanan, seperti roda gigi yang saling menggerakkan satu sama lain.

Gadis itu mulai bersiap-siap. Seperti yang ia katakan pada Melinda, ia harus bergerak cepat. Begitu lingkaran sihir itu hancur, si penyihir akan menyadari hal tersebut. Grasth yang kurang ahli tidak akan mampu bertindak apa-apa, namun penyihir yang tangguh akan segera menghapus jejak energinya. Karena itulah Nadine harus bergerak cepat. Ia harus bisa menemukan pelakunya sebelum jejaknya menghilang.

Gadis itu menarik napas dalam. Kemudian dengan satu gerakan cepat ia melemparkan pasak-pasak es ke kedua lingkaran sihir tersebut.

Penghalang magis itu hancur berkeping-keping, dan sejenak dua jalur merah kembar muncul di udara, seperti komet yang menggarisi langit. Serta-merta Nadine melesat mengikutinya.

Lintasan grae tersebut terus membentang membelah kegelapan, kadang lurus, kadang berkelok-kelok. Gadis itu berlari sekuat tenaga, pandangannya terpaku pada jejak tersebut. Cepat, cepat! Ia harus lekas menemukan grasth yang berani memantrai Melinda, sebelum sisa-sisa tenaga itu menghilang!

Mendadak residu grae tersebut mulai memudar. Nadine tercekat, namun memaksa tubuhnya terus berpacu. Jangan, jangan hilang dulu! Warna merah lintasan energi tersebut terus berubah, dari merah pekat menjadi merah muda, kemudian menjadi putih. Jangan hilang dulu. Jangan hilang dulu!

Terlambat. Jejak-jejak tenaga magis tersebut pun lenyap seluruhnya.

Nadine masih terus berlari, berusaha mencari residu energi yang mungkin tertinggal, namun ia tahu upayanya sia-sia saja. Grasth yang menyihir Melinda telah menyadari bahwa mantranya sudah dipatahkan, dan dengan cerdik menghapus jejaknya secepat mungkin. Dugaan gadis itu benar. Kelompok penyihir yang mereka selidiki bukanlah perkumpulan biasa. Sial!

Mendadak sesuatu terbersit di pikirannya. Lingkaran sihir. Makhluk suruhan yang mencari-cari Farsei Foruna sekitar seminggu yang lalu juga berhubungan dengan lingkaran sihir. Apa orang yang mengirimkan makhluk itu sama dengan yang memblokir penglihatan Melinda? Apa perkumpulan sihir yang Lex selidiki sama dengan yang mengirimkan arothen untuk menyerang Rei? Lalu bagaimana dengan Kolektor yang menginginkan Seise Felliri? Apa kaitan gadis itu dengan semua ini?

Nadine membuka mata dan kembali ke ruang tengah di rumah Lili. Gadis itu sendiri sedang menatapnya tegang. Melinda mengamatinya dengan raut jijik sekaligus takut, sementara pandangan Indra justru penuh rasa ingin tahu. Nadine tidak bisa melihat mata Reinald, namun tangan pemuda itu tak pernah lepas dari tangannya, menggenggamnya, memberinya ketenangan sekaligus dukungan.

“Kalian pernah dengar ada gadis yang dipanggil Kolektor di perkumpulan grasth yang Lex datangi?” tanya Nadine kepada ketiga orang di hadapannya.

Lili, Indra, dan Melinda  sama-sama mengerutkan kening dan saling bertatapan. “Berkulit putih, tinggi, berwajah eksotis?” tanya Nadine lagi. “Terbiasa memerintah, jadi mungkin salah satu petinggi kelompok tersebut?”

Lili menggeleng. “Sejauh yang kami tahu, sepertinya tidak ada cewek seperti itu.”

“Lex juga tidak pernah menyebutkannya?” lanjut Nadine.

“Tidak,” jawab Lili. “Tapi, yah, informasi yang kami dapatkan kan juga tidak banyak. Memangnya kenapa, Na?”

“Tidak apa-apa,” apa artinya ini? Apa ada dua pihak berbeda yang terlibat dalam semua ini? Pihak yang mengirimkan arothen ke rumah Rei dan menghalangi pandangan Melinda di satu sisi, dan Kolektor di sisi lain? Mungkinkah keduanya berhubungan? Atau Kolektor dan kelompok penyihir itu sama sekali tidak ada kaitannya?

Terlalu banyak pertanyaan. Terlalu banyak kemungkinan. Ia harus amat berhati-hati. Tampaknya perkumpulan grasth baru ini memang bukan organisasi biasa.

“Coba sekarang, Mel,” kata Nadine. “Seharusnya sih sudah bisa.”

Keraguan membayang sejenak di mata gadis peramal itu. Namun akhirnya ia menarik napas panjang dan menutup mata.

Perlahan-lahan rambutnya mulai berubah warna menjadi putih, seakan Melinda mendadak menua dengan cepat. Warna tersebut semakin memenuhi kepalanya, sampai rambutnya berubah menjadi putih seluruhnya.

Sedikit banyak Nadine bersyukur atas efek tersebut. Hal itu memastikan Melinda tidak bisa meramal masa depan siapa pun secara diam-diam. Seberguna apa pun kemampuan gadis itu, Nadine tetap merasa tak nyaman jika masa depannya dilihat tanpa sepengetahuannya. Rasanya seperti diintip saja.

“Bisa,” terdengar gumam terkejut Melinda. “Lapisan abu-abu itu sudah tidak ada!”

Nadine mengangguk mendengarnya. “Bagus. Sekarang, coba lihat masa depanku dan Lex.”

Kesunyian mengikuti kata-katanya. Semua orang menahan napas, menunggu kalimat apa yang akan terlontar dari bibir Melinda. Seiring detik berlalu, udara di tempat itu seolah memadat, menjadi berat.

“Aku lihat sesuatu,” Melinda memulai. “Bunga… mawar. Warnanya sangat merah, seperti darah. Di sekitarnya tergeletak banyak mayat. Lalu di belakangnya ada kegelapan… asap… tapi mungkin juga kegelapan malam…”

Gadis itu terdiam beberapa saat. Nadine menunggu kata-kata selanjutnya, namun Melinda membuka mata dan menghela napas. “Hanya itu yang bisa kulihat.”

“Tidak ada Lex?” tanya Lili. Nadanya amat tertekan.

“Sejauh yang bisa kulihat, tidak ada,” Melinda mengangkat bahu. “Bukan salahku kalau yang terlihat hanya itu.”

“Tidak apa-apa, Mel,” sahut Lili. “Aku tak menyalahkanmu. Kamu malah sudah sangat membantu. Yah, mudah-mudahan Lex tidak apa-apa. Lagipula, dia orang yang bisa menjaga dirinya sendiri, kok,” gadis itu mencoba tersenyum, walaupun air mata kembali menggenangi matanya.

Nadine merenungkan ucapan Melinda. Mawar darah yang dikelilingi mayat dan kegelapan? Apa artinya akan ada pertempuran besar-besaran? Lalu apa arti mawar itu sendiri? Terlalu banyak makna yang bisa ditafsir dari ramalan tersebut. Sejak dulu memang seperti itu hasil penglihatan Melinda. Mereka harus selalu berhati-hati mengartikannya. Salah-salah, ramalan itu malah bisa menghancurkan mereka sendiri.

Ia harus memikirkan ramalan tersebut dalam-dalam. Dan mulai mengumpulkan informasi sendiri mengenai perkumpulan grasth tersebut. Fakta yang ada masih terlalu sedikit untuk ditindaklanjuti.

Gadis itu menoleh ke arah Lili. “Li, aku pasti akan menyelamatkan Lex. Kamu tidak usah khawatir. Untuk sementara waktu, jangan lakukan tindakan mencolok apa pun. Kalian juga, Ndra, Mel. Karena ada yang sudah memantrai Melinda, kita harus berasumsi bahwa keberadaan Indra pun sudah ketahuan. Aku akan menyelidiki mereka sedikit lagi. Sementara itu, aku juga akan menaruh lapisan pelindung di rumah ini, jadi kalian tidak perlu khawatir. Bagusnya kalian menginap saja di sini, jadi ada yang akan menemani Lili, dan aku bisa menghubungi kalian secepatnya kalau ada apa-apa.”

Indra dan Melinda mengangguk, sementara mata Lili mulai berkaca-kaca lagi. “Terima kasih, Na. Aku tidak tahu bagaimana caranya aku bisa membalas kebaikanmu.”

“Tingkatkan saja penjagaan kalian, dengan begitu kejadian seperti ini tidak perlu terjadi,” Nadine bangkit dari duduknya. “Yuk, Rei. Masih banyak yang harus kita lakukan.”

“Sebentar, Na.”

“Apa lagi, Li?”

Lili ragu sejenak. “Mungkin apa yang akan kulakukan ini tidak sebanding dengan pertolonganmu, tapi… sepertinya kamu sedang terluka. Aku bisa membantumu menyembuhkannya.”

Seolah-olah terpanggil, cedera di bahu Nadine mulai berdenyut-denyut kembali. Gadis itu tak menghiraukannya. “Bukan luka besar, kok. Tenang saja.”

“Tak ada salahnya kan? Lagipula, hanya ini yang bisa kulakukan. Kalau kamu takut efek sampingnya terlalu kuat, kamu bisa menggunakan kamarku dulu.”

Reinald meraih tangan Nadine dan menepuknya. “Kupikir tidak ada salahnya kamu terima tawaran Lili. Kalau kamu mau menyelamatkan Lex, kamu pasti butuh badan yang sehat, kan?”

“Akan lama, lho.”

“Tenang saja,” pemuda itu tersenyum. “Yang penting kamu sembuh.”

“Ya, sudah. Tapi, Li, pastikan kamu sembuhkan Rei juga, ya. Dia juga terluka.”

“Tenang saja, Na. Yuk, ke kamarku.”

Nadine mengikuti gadis itu melangkah ke bagian belakang rumah. Kamar Lili tampak rapi dan tertata baik. Dindingnya yang berwarna krem membuat ruangan itu terlihat luas walaupun ukurannya tak terlalu besar. Nadine duduk di tepi tempat tidur lalu memejamkan mata. Dengan grae-nya ia melepas lapisan kedap suara yang tadi ia pasang di rumah tersebut, kemudian menggantinya dengan sebuah lapisan sihir baru. Lapisan itu akan melindungi Lili, Indra, dan Melinda, selama mereka ada di dalam bangunan tersebut, sekaligus akan memberitahunya jika ada yang mencoba menembus perisai tersebut. Setelah memastikan lapisan pelindung itu telah terpasang sempurna, barulah gadis itu membaringkan tubuh di atas tempat tidur dan membiarkan Lili memegang tangannya.

“Terima kasih, Na,” ucap gadis itu.

Nadine melambaikan tangan yang satu lagi. “Sudah deh, Li. Sekali lagi kamu berkata terima kasih, aku akan langsung keluar dari sini tanpa menunggu kamu sembuhkan.”

Lili tersenyum mendengarnya. Kemudian Nadine bisa merasakan grae gadis itu memasuki tubuhnya. Sensasi melemaskan yang mirip anestesi menyelubungi seluruh tubuhnya. Tak lama kemudian ia pun hanyut ke dalam kegelapan.

***

Category(s): Artefaktor

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

 

You may use these HTML tags and attributes: <a href="" title=""> <abbr title=""> <acronym title=""> <b> <blockquote cite=""> <cite> <code> <del datetime=""> <em> <i> <q cite=""> <s> <strike> <strong>