Bab 16 – Nin Ye Kiufe Grei Desenti

Nadine serta-merta berlari ke pintu. Dadanya berdegup kencang, berbagai macam pikiran melaju di benaknya. Apa yang sedang terjadi? Bahaya apa yang menimpa Lili? Lex hilang? Apa ada hubungannya dengan pihak yang sempat menyerang Rei?

“Hei!” mendadak seseorang meraih tangannya, menghentikan larinya. Gadis itu menoleh dan melihat Reinald. “Aku ikut,” sahut pemuda itu.

Nadine menatapnya terperangah, “Ini bukan main-main, tahu? Temanku sedang terancam bahaya. Aku harus cepat-cepat ke sana!”

“Kamu pikir aku main-main? Justru karena itu aku harus ikut.”

Gadis itu berusaha menarik lepas tangannya, namun pemuda itu bergeming. Genggamannya tidak menyakitkan, namun juga tak bisa dilepaskan.

”Aku tidak punya waktu untuk berdebat denganmu!” seru Nadine.

”Seminggu ini aku sudah mati-matian berlatih menggunakan Seise Felliri,” sahut Reinald tenang. ”Walau belum mahir, aku pasti bisa membantumu dalam pertempuran.”

Separuh bagian dalam otak Nadine terdiam. Pemuda itu benar. Walau belum bisa dikatakan ahli, pemuda itu sudah semakin mahir menggunakan pedang tersebut. Bantuan Rei, sekecil apa pun, pasti akan berguna dalam pertarungan. Tapi separuh bagian otaknya yang lain bertanya, apa ia sudah percaya diri jika Reinald menemaninya pergi ke rumah Lili? Apa kemampuan pemuda itu sudah siap untuk dites di pertarungan sesungguhnya?

”Lagipula, kalau kamu harus buru-buru, aku bisa mengantarmu dengan Duc. Pastinya jauh lebih cepat daripada naik angkot,” lanjut pemuda itu.

Sekali lagi batin Nadine berperang. Namun sebuah suara menegurnya dalam hati.

Kamu lupa? Kamu juga sama hijaunya dengan pemuda itu sewaktu terjun ke pertempuran pertamamu. Waktu itu kamu bisa selamat, bisa mengatasinya dengan baik. Kenapa pemuda itu tidak bisa? Percayalah padanya! Sekarang cepat pergi ke tempat Lili!

Akhirnya gadis itu menghela napas. ”Kalau terjadi apa-apa, aku mungkin takkan bisa membantumu.”

”Aku bisa menjaga diri sendiri.”

”Bawa semua artefak yang bisa kamu gunakan,” tanpa menunggu reaksi pemuda itu, Nadine sudah berlari ke kamarnya di lantai dua. Dibukanya pintu lemari dan dikeluarkannya sebuah tabung panjang yang sekilas mirip tabung penyimpanan denah, namun dua kali lipat lebih panjang.

Sejenak gadis itu tercenung. Sudah bertahun-tahun lamanya wadah itu tak pernah lagi ia gunakan, sejak ia mengembalikan Seise Felliri ke tangan Aryo. Sekarang tabung itu akan kembali melihat matahari. Apakah ini pertanda baik? Atau buruk?

Gadis itu mengenyahkan pikiran tersebut dan bergegas keluar kamar. Pada saat yang bersamaan Reinald juga mencapai puncak tangga. Di leher pemuda itu terlilit kalung Racunvora, batu hijaunya tak terlihat di balik kaus polo coklatnya. Pisau pemberian Pak Edwin tak nampak di tubuhnya, tapi Rei pasti membawanya.

”Ini,” Nadine menyodorkan tabung panjang yang ia bawa.

Pemuda itu mengerutkan kening. “Untuk apa ini?”

”Masukkan Seise Felliri ke sini.”

“Untuk apa?”

“Kamu tidak mungkin bawa-bawa pedang siang bolong begini, kan?” tukas gadis itu tak sabar.

Pemuda itu menatapnya lekat-lekat, dan mendadak Seise Felliri muncul di atas kepalanya. Pedang itu berputar sejenak, sebelum kembali menghilang dalam lingkaran asap keruh. “Aku tidak perlu yang seperti itu untuk membawa Seise Felliri.”

Nadine memaki diri sendiri dalam hati. Karena terburu-buru, ia lupa kalau kini, di tangan Rei, pedang itu sudah jauh berbeda dari yang dulu. Gadis itu melemparkan tabung yang tak lagi berguna itu ke deretan sofa. “Kalau begitu, ayo pergi.”

Gadis itu bergegas menuruni tangga. Di sampingnya, Reinald menyamai kecepatan geraknya dengan langkah-langkah panjang. Gakka menemui mereka di lantai bawah. Mata putihnya yang tak berkelopak menyapu Nadine, lalu Rei. Wajah makhluk itu tidak mencerminkan apa-apa, namun gadis itu tahu persis apa yang sedang terlintas di kepala sang urnduit. Ini bukan yang pertama kalinya Gakka melihatnya pergi dengan terburu-buru seperti ini.

“Kami pergi dulu, Gakka,” kata Nadine.

Sang urnduit terdiam sejenak sebelum mengangguk. Lalu suaranya menggema di dalam kepala gadis itu.

Lurna ha ladare, sorei ha janare, axfe ha yitere, un te kiufe ak sere en umane more. Nin ye kiufe grei desenti, Nadine Felledia-

Mendadak jantung gadis itu seperti tercabut dari dada dan jatuh berdebam ke dasar perut. Tanpa bisa ia cegah, berbagai pemandangan berkelebat di depan matanya, begitu nyata seolah semua itu sedang terjadi di hadapannya.

Nin ye kiufe grei desenti, ucapan Sherey terdengar jelas, padahal gadis itu hanya berbisik dari tempatnya berbaring di tanah. Napas gadis itu terputus-putus, darah mengalir deras dari sekujur tubuhnya. Nin ye kiufe grei desenti, Nadine, mulut yang berbisik itu pun berubah menjadi seringai tengkorak, kaku dan bisu, seperti tubuhnya yang juga hanya tinggal tulang belulang.

Nin ye kiufe grei desenti! seruan Ainre masih jelas terdengar di tengah-tengah deru kobaran api yang mengelilingi tubuhnya. Kedua kakinya yang hangus hampir tertekuk, namun pemuda itu berhasil memaksa tubuhnya tetap tegak berdiri. Nin ye kiufe grei desenti, Nadine! Desenti! Desenti! seruan pemuda itu terlontar lantang, bahkan ketika lidah api memangsa tubuhnya, menghancurkannya dalam gelora membara yang membumbung sampai ke langit.

Nin ye kiufe grei desenti, Nadine bisa mendengar ucapan itu keluar dari bibirnya sendiri. Di depannya, Ronny balik menatapnya. Tubuh pemuda itu terbungkus es membekukan, tak mampu bergerak sedikit pun. Ekspresi apa itu, yang ada di wajah pemuda tersebut? Marah? Dendam?

Bukan, itu rasa kasihan. Rasa kasihan yang teramat dalam.

“Nin ye kiufe grei desenti, Dialarri,” ucap pemuda itu penuh kesedihan, seolah-olah mereka bertukar tempat, ia yang terpaku di sana dan pemuda itu yang berdiri di sini. ”Aku takkan memintamu berhenti. Aku hanya minta kamu ingat kata-kataku ini. Kamu bukan alat. Kamu manusia yang punya pikiran, perasaan, dan kemauan. Jangan lupakan itu.” Lalu pemuda itu tersenyum, tersenyum dan terus tersenyum, bahkan setelah grae menebas lehernya, memuncratkan darah ke segala arah. Dan mata itu, mata yang penuh rasa kasihan itu, terus mengikuti, mengejar ke mana pun ia pergi, merongrong sampai ke sudut mimpi terdalam…

Nadine tersentak, susah payah menelan ludah melalui tenggorokan yang terasa pahit dan kering. Pandangannya telah kabur oleh air mata. Gadis itu cepat-cepat menyekanya dan menoleh pada Gakka. “Nin ye kiufe grei desenti, Gakka,” sahutnya, lalu mencoba tersenyum. “Sudah lama aku tak mendengar ucapan itu lagi.”

Penyesalan tersirat di pandangan makhluk itu. -Maaf. Aku tidak bermaksud membuatmu…-

“Aku tahu. Tenang saja. Aku pergi dulu, oke?”

-Berhati-hatilah.-

“Jangan khawatir, aku akan kembali. Aku selalu kembali, kan?” Apa benar aku bisa kembali? Apa sekarang giliranku untuk mengucapkan doa itu untuk yang terakhir kalinya?

Gakka mengangguk lalu berpaling pada Reinald. Nin ye kiufe grei desenti, Rei vathek. Selamat jalan.-

“Eh? Ya, terima kasih,” sahut pemuda itu. Tatapan matanya masih belum lepas dari Nadine.

Gadis itu tak menghiraukannya dan melangkah keluar rumah, Reinald mengikuti di sampingnya. Ketika sampai di samping Ducati, tanpa berkata apa-apa pemuda itu menyodorkan helm padanya. Namun ketika ia hendak mengenakannya, suara Rei menghentikannya, “Apa itu tadi yang Gakka katakan? Kok kedengarannya seperti semacam kata-kata perpisahan?”

“Itu memang kata-kata perpisahan. Salam selamat jalan yang biasa kami gunakan.”

“Bahasa Ildaris lagi? Apa artinya?”

Nadine menghela napas. “Tubuh kembali ke tanah, darah kembali ke air, napas bersatu dengan angin, namun jiwa akan menjadi api yang abadi. Semoga jiwa kami terus membara selamanya.”

Kening Reinald berkerut. ”Kok kedengarannya seperti doa kematian?”

“Ya memang,” Nadine menatap pemuda itu dalam-dalam, ”Setiap anggota Ildarrald Daevar yang pergi selalu diiringi doa itu, kalau-kalau nanti kami tak sempat lagi mengucapkannya sebelum…” suaranya menghilang dan gadis itu membuang muka. Tidak, ia tak sanggup mengucapkan kata itu.

Sejenak Rei hanya diam. Kemudian ia berucap, ”Ayo.”

Saat itu sudah tengah hari. Matahari membayang di balik awan kelabu. Angin beku menerpa ketika Ducati yang mereka naiki meluncur melalui jalan Tubagus Ismail, lalu terus ke jalan Sadang Serang. Melaju menyusuri jalan Brigjen Katamso yang dipenuhi angkot Kalapa-Cicaheum, melalui jalan Supratman yang dinaungi pepohonan rindang, lalu berbelok memasuki daerah Cicadas yang ramai.

Akhirnya motor itu memasuki jalan Antapani yang lengang. Hanya sedikit kendaraan yang bergerak di daerah itu, sehingga Rei memacu Ducatinya lebih cepat lagi. Mereka pun melaju lurus ke arah timur.

Atas petunjuk Nadine, mereka memasuki sebuah kompleks perumahan yang berdiri di sebelah kiri jalan, tampak tak terlalu mewah namun tetap bersih dan asri. Rumah-rumah satu tingkat beratap genteng menyambut mereka. Gadis itu menuntun mereka berbelok-belok menyusuri jalanan kompleks, sebelum akhirnya berhenti agak jauh dari sebuah rumah sederhana bercat krem. Gerbangnya yang berwarna coklat tertutup rapat.

Begitu Reinald menghentikan motor, Nadine serta-merta turun dan melepaskan helm. Dengan cepat ia memeriksa keadaan di sekitar mereka. Tak terlihat adanya aktivitas dari rumah tersebut, hanya ada dua mobil terparkir di halaman depannya. Dua kendaraan yang ia kenal baik. Jadi Melinda dan Indra juga ada di rumah Lili? Apa yang sebenarnya terjadi?

Gadis itu menutup mata dan menyelaraskan energi magis dengan kantung grae terdekat. Dengan tenaga yang memenuhi tubuh, ia menjalin jaring-jaring sihir, membentang sejauh radius beberapa ratus meter, menjangkau langit dan bumi. Jika ada energi lain, baik yang berbahaya maupun tidak, jaring grae itu akan bereaksi memberitahunya, seperti pintalan benang laba-laba yang akan bergetar jika ada serangga yang tertangkap di dalamnya.

Secara refleks Nadine juga menganyam pelindung kedap suara, melingkupi seluruh bangunan tersebut. Terakhir kali ia melakukannya adalah beberapa minggu lalu, ketika bersiap menghadapi arothen yang menyerang rumah Rei. Rasanya sudah bertahun-tahun berlalu sejak saat itu.

Gadis itu bisa merasakan energi Lili di dalam jaring grae-nya. Ada dua energi lain yang menemaninya, milik Melinda dan Indra. Tak ada tanda-tanda kehadiran Lex, maupun keberadaan energi lain yang mengancam.

“Tidak ada grae yang berbahaya,” ucap Nadine pada Reinald. “Tapi sebaiknya kita tetap berhati-hati.”

Pemuda itu mengangguk dan mengedarkan pandangan ke sekeliling mereka. Sikapnya terlihat tenang, namun tubuhnya tampak waspada, siap mengantisipasi apa pun yang mungkin terjadi. Untuk sesaat Nadine merasa bisa mempercayai Rei, mengandalkan pemuda itu untuk menjaga punggungnya. Atau siapa tahu, mungkin saja pemuda itu akan bisa melindunginya jika ada bahaya?

Nadine menggeleng. Jangan berharap terlalu banyak. Gadis itu segera melangkah mendekati gerbang. Pekarangannya tampak sepi, dan tidak ada tanda-tanda pergerakan dari dalam rumah. Nadine sedang menimbang-nimbang, apakah akan langsung masuk ke dalam halaman atau membunyikan bel dulu, ketika pintu rumah tersebut membuka dan seseorang melangkah keluar.

”Nana!”

Seorang gadis bergegas menghampiri mereka. Lili masih belum banyak berubah dari terakhir kali Nadine melihatnya, walaupun rambutnya yang berwarna coklat muda kini dipotong bob sebahu, dan matanya tampak semakin berwarna coklat. Orang yang tidak tahu pastilah mengira Lili mengecat rambut dan mengenakan lensa kontak, tapi Nadine tahu pasti bahwa warna tersebut adalah efek penggunaan grae yang terus-menerus pada diri gadis itu.

Sama seperti yang terjadi pada dirinya sendiri, walaupun tak terlihat mata karena ia sembunyikan baik-baik.

Lili buru-buru membuka gerbang, kemudian serta-merta memeluk Nadine, membuat gadis itu amat terkejut. “Na, kamu benar-benar datang,” ucap Lili. “Kamu benar-benar datang. Syukurlah. Syukurlah.”

“Lili, kamu… tidak kaget melihatku?” tanya Nadine.

“Kenapa aku harus kaget?” jawab Lili masih sambil memeluknya. “Yah, aku kaget karena kamu bisa cepat sampai di sini. Kukira kamu masih di sana.”

Hanya karena itu? Berarti Lili masih belum mendengar berita kematiannya. Bagaimana bisa? Apa berita itu tidak sampai ke sini dari Galazentria?

Nadine mengenyahkan pemikiran tersebut dan melepaskan rangkulan Lili. ”Kamu baik-baik saja?” gadis itu mengamati Lili lekat-lekat, berusaha mencari tanda-tanda adanya luka atau cedera sekecil apa pun. “Ada masalah apa? Ada yang menyerangmu? Kenapa Lex hilang?”

Gadis berambut coklat itu menggeleng. “Aku baik-baik saja, kok. Tidak ada yang menyerangku. Tapi, Na, Lex… aku sudah melarangnya pergi, tapi…”

“Sebentar, Li,” Nadine memotong ucapan gadis itu. “Kamu katakan tidak ada yang menyerangmu? Lalu kenapa kamu mengirimkan pesan darurat lewat Pasir Reh?”

“Karena Lex hilang!” seru Lili. “Dan aku sudah tidak tahu lagi harus bagaimana mencarinya!”

Kemarahan Nadine mulai timbul. “Li, kamu tahu aturannya. Pesan darurat melalui Pasir Reh hanya boleh digunakan jika salah satu dari kita diserang. Hanya dalam keadaan sedarurat itulah metode itu baru boleh digunakan. Jangan katakan kalau kamu lupa!”

Wajah Lili memucat. “Tapi…” gadis itu mencoba bersuara. “Tapi Lex hilang, dan kupikir…”

“Kamu tahu aturannya, Li.”

Lili terlihat benar-benar ketakutan sekarang. Gadis itu mulai melangkah mundur. “Tapi, Na…”

Seseorang meletakkan tangan di bahu Nadine. Kaget, gadis itu menoleh dan menatap Reinald yang sedang tersenyum. “Tenang. Aku yakin Lili pasti punya alasan kuat untuk menggunakan pesan darurat itu. Kenapa kamu tidak dengar dulu penjelasannya?”

Kekesalan Nadine memuncak lagi, dan gadis itu menepis tangan Rei. “Jangan ikut campur!” tukasnya geram.

“Nana, ini siapa?”

Nadine berpaling pada Lili, dan baru menyadari kalau ia belum mengenalkan Reinald pada gadis itu. Apa yang sebaiknya ia katakan mengenai Rei?

Sebelum Nadine sempat menjawab, Rei sudah melingkarkan lengan kiri di pinggang gadis itu dan memeluknya. “Aku Reinald, cowoknya Nadine,” tanpa ragu pemuda itu tersenyum dan mengulurkan tangan kanan pada Lili. “Halo.”

Apa katanya?! Pipi Nadine mendadak seperti akan meledak oleh rasa panas. Namun belum ia sempat memprotes kebohongan tersebut, Lili telah ternganga memandanginya. “Benar, Na? Sejak kapan?”

“Belum lama, kok,” jawab Reinald. “Belum ada sebulan, ya kan, Sayang?”

Nadine serasa ingin menjerit. Apanya yang belum sebulan? Dasar pembohong kelas kakap!

“Apa dia tahu soal kita?” tanya Lili waspada.

”Aku sudah tahu semua soal kalian,” sahut Rei ringan. “Yah, baru sebagian besarnya sih, soal grae, Ildarrald Daevar, dan semacamnya itu.”

Lili menatap Nadine tak percaya. Tatapannya seakan mengatakan, kamu cerita tentang kita? Kamu juga tahu aturannya, kan?

“Nadine bilang dia mau merekrutku masuk ke dalam Ildarrald Daevar,” lanjut pemuda itu, seolah bisa membaca arti pandangan tersebut. “Makanya dia menceritakan semuanya padaku. Lagipula, begini-begini aku ini muridnya Nadine, lho.”

Lili terbelalak mendengarnya. “Murid?”

Reinald menyeringai. “Mahasiswa baru, nih. Ospek di sini nggak sadis kan, Teh?”

“Umm,” Lili tampak bingung harus berkomentar apa. “Lebih baik kita ngobrol di dalam saja, deh.”

Rei melepaskan pelukannya, namun sebagai gantinya menggandeng tangan Nadine dan membawanya memasuki rumah. Gadis itu sudah akan memprotes ketika pemuda itu mendekatkan bibir ke telinganya dan berbisik, ”Jangan katakan pada siapa pun kalau aku ini Artefaktor.”

Bagaimana mungkin mukanya bisa bertambah membara? Gadis itu menggertakkan gigi untuk menahan rasa panas yang kini menjalari sekujur tubuhnya, dan berbisik, “Kamu pikir aku bodoh?”

“Tidak. Makanya aku yakin kamu juga tidak akan membantah ceritaku tadi. Kecuali kamu punya penjelasan yang lebih bagus mengenai keberadaanku.”

Kekesalan memenuhi hatinya, namun Nadine tahu pemuda itu benar. Penjelasan Rei tadi cukup memberi celah untuk menutupi identitas pemuda itu. Jadi gadis itu menutup mulut, namun berjanji dalam hati kalau ia akan membalas kelakuan pemuda itu hari ini juga.

“Bagaimana caranya kamu bisa secepat ini sampai di sini, Na?” tiba-tiba Lili menoleh ke arahnya. “Bukannya kamu sedang di Galazentria?”

Nadine merasa jantungnya seperti berhenti berdetak. “Tidak, aku… sedang ada urusan di sini.”

“Oh, begitu?” ucap Lili seraya memasuki rumah. Nadine mencuri pandang ke arah Reinald, tapi raut wajah pemuda itu tidak berubah. Apa Rei tidak memahami arti pembicaraan tadi? Mudah-mudahan saja begitu.

Sebuah ruang tamu kecil yang berhubungan langsung dengan ruang makan menyambut mereka. Sofa berwarna coklat muda dan meja tamu kecil berwarna hitam menghiasi ruangan tersebut. Dua orang sudah duduk di atas sofa tersebut, tampak sedang mengobrol. Melihat kedatangannya, serta-merta kedua orang tersebut berdiri.

”Teh Nadine?” ucap Indra. Pemuda tembam berambut ikal itu tersenyum, namun Nadine menyadari kegugupan yang berusaha Indra sembunyikan. Ketakutan yang berusaha pemuda itu tutupi sekuat tenaga di balik kegembiraan palsu.

Orang kedua, seorang gadis pendek berambut hitam bergelombang, memandanginya dengan tatapan curiga yang sama sekali tidak disembunyikan. Namun Nadine juga dapat melihat bahwa di balik sikap tersebut, kengerian mencengkeram Melinda, membuat gadis itu tanpa sadar melangkah mundur, dan memposisikan dirinya sedikit di belakang Indra.

Sepertinya Indra dan Melinda juga masih belum mendengar kabar kematiannya. Reaksi mereka masih sama seperti dulu, sejak ia menjadi mimpi buruk bagi kedua sahabatnya tersebut.

“Mel, Ndra,” Nadine memaksa diri berbicara, walaupun respon Indra dan Melinda membuat tenggorokannya mendadak seperti tercekik. “Kalian baik-baik saja?”

Keduanya berpandangan sejenak, sebelum Indra mengangguk.

”Nadine, bukannya kamu masih di Galazentria?” tatapan tajam Melinda menghunjamnya.

Nadine ingin mengernyit, namun ia tutupi dengan tersenyum, ”Aku sedang ada urusan di sini.”

Kumaha, Teh, damang? Baik-baik saja?” Indra tampaknya sudah pulih dari ketakutannya. Pemuda itu kini tersenyum padanya seperti teman yang sudah lama tak berjumpa.

”Baik, baik. Kamu, Ndra?”

”Nana, itu…?” tatapan tajam Melinda beralih pada Reinald.

Sebelum pemuda itu sempat membuka mulut, Lili telah mendahului, “Ini cowoknya Nana, lho.”

Melinda mengerutkan kening, sementara Indra tercengang. ”Wah, Teh, selamat ya!” sahut pemuda itu.

“Sejak kapan, Na?” tanya Melinda.

Wajah Nadine memerah lagi. Apa mereka semua harus terus-menerus membicarakan hal itu? Ia tak sanggup berakting seperti Rei! Untungnya pemuda itu memutuskan untuk menggantikannya menjawab, “Baru saja, kok.”

“Reinald ini murid grasth, dan dia juga akan direkrut masuk, jadi Nana sudah memberitahunya tentang kita,” sahut Lili pelan.

Indra membelalakkan mata, sementara Melinda menatap Reinald dengan tatapan tak suka terang-terangan. Pemuda itu hanya tersenyum menanggapi mereka.

”Lili, aku ke sini karena pesan daruratmu,” ucap Nadine. “Ada apa sebenarnya?”

Kata-kata itu menyadarkan semua orang di sana. Seketika atmosfer di ruangan itu berubah. Raut wajah Indra memucat, dan Melinda kembali berwajah ketakutan. Lili memandangi semua orang sebelum akhirnya mendesah. “Ayo, duduk. Akan kuceritakan semuanya.”

***

Category(s): Artefaktor

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

 

You may use these HTML tags and attributes: <a href="" title=""> <abbr title=""> <acronym title=""> <b> <blockquote cite=""> <cite> <code> <del datetime=""> <em> <i> <q cite=""> <s> <strike> <strong>