Bab 15 – Pesan

Pasak es itu meluncur kencang tanpa bisa dihentikan.

Reinald mengangkat Seise Felliri ke depan wajah. Kristal tajam tersebut menabrak bilah pedang dan hancur berkeping-keping; getarannya memenuhi lengan pemuda itu. Stalaktit beku lainnya melaju deras dari arah kiri, dan Rei mengayunkan pedang, menepis pasak runcing tersebut. Kemudian tanpa menghentikan gerakannya pemuda itu mengayunkan Seise Felliri dalam satu tebasan lebar, menangkis tiga kristal tajam lain.

Belum sempat ia menarik napas, stalaktit-stalaktit es lain telah menerjang. Pemuda itu cepat menunduk; satu kristal runcing melesat di atasnya, nyaris mengenai kepala. Pasak beku lain telah mengarah ke perutnya, dan Reinald mengayunkan Seise Felliri dalam satu tebasan ke atas, menghentikan laju benda runcing tersebut. Lalu pemuda itu menggunakan momentum ayunan pedang tersebut untuk memotong dua kerucut es lainnya.

Mendadak daerah di sekitarnya kosong. Selama beberapa detik tak ada lagi kristal beku yang meluncur di udara.

Ini dia!

Rei berkonsentrasi penuh. Memusatkan pikiran pada Seise Felliri dan memerintahkan pedang itu menghilang.

Berhasil! Senjata tajam tersebut memudar menjadi gumpalan asap sebelum akhirnya lenyap sama sekali.

Nadine terpana melihatnya. Selama sedetik gadis itu berhenti melemparkan pasak-pasak bekunya, dan Reinald serta-merta memanfaatkan kesempatan tersebut. Pemuda itu langsung berkonsentrasi, mengirimkan komando pada Seise Felliri.

Pedang itu tiba-tiba muncul kembali di hadapan Nadine. Sebelum gadis itu sempat berbuat apa-apa, senjata itu telah menebasnya tanpa ampun.

Atau begitu seharusnya. Selama sepersekian detik Nadine terlihat tak mampu bergerak. Seise Felliri seperti meluncur di udara dalam gerakan lambat, siap menghantamnya.

Kemudian pedang itu menghilang dalam jejak-jejak kelabu.

Sial, aku tak sanggup mempertahankan kendalinya! Reinald hanya punya waktu sejenak untuk mengerang kesal, untuk menyadari bahwa upayanya tak berhasil, ketika sesuatu yang keras menghantam perutnya, melemparkan tubuhnya ke belakang.

Pemuda itu tersedak. Seluruh udara seperti terdorong keluar dari paru-parunya. Ia terbanting ke lantai dan tergeletak di sana, tersengal-sengal menarik napas. Rasa sakit menjalar dari perut ke sekujur tubuhnya, membekukannya. Bahkan untuk bergelung memegangi perut pun ia tak sanggup.

“Apa-apaan itu tadi?”

Nadine telah berdiri di sampingnya. Rei ingin menjawab, namun paru-parunya masih belum mendapatkan udara. Ia terbatuk-batuk, berusaha menjawab lagi, dan kembali terbatuk-batuk.

“Aku tidak ingat pernah mengajarimu seperti itu.”

“Memang tidak,” Reinald berhasil menyahut. Suaranya terdengar amat serak. “Itu… improvisasiku sendiri.”

Nadine berlutut di sebelahnya. Wajah gadis itu terlihat kaku, matanya menyorot tajam. “Improvisasi apanya? Kamu malah jadi mudah diserang.”

“Tapi kamu sendiri tidak menyangka aku akan melakukan hal itu, kan?”

“Percuma improvisasi kalau kamu tidak bisa mengendalikannya.”

“Kalau bukan sekarang, kapan lagi aku belajar melakukannya?” sahut Rei keras kepala. “Lagipula, tadi aku hanya kurang konsentrasi saja. Kalau kucoba terus, pasti bisa.”

“Iya, itu kalau kamu tidak mati duluan. Kalau aku benar-benar musuhmu, kamu sudah mati sekarang.”

“Tapi kamu harus mengaku, kalau kamu sendiri tidak menyangka aku akan menyerangmu seperti tadi, kan?”

Nadine terdiam sejenak. “Tapi tetap saja tidak kena,” tukas gadis itu. “Percuma memberi serangan sekeren apa pun kalau tidak kena. Apalagi yang berpotensi membuat kamu mati duluan sebelum musuh kena seranganmu.”

“Iya, deh, iya. Kamu ini, cantik-cantik tega juga, ya.”

Wajah Nadine mulai memerah. “Masih untung hanya perutmu yang kuhajar.”

“Jangan kejam begitu, dong!”

“Biar. Biar kamu ingat sakitnya, sebelum kamu mencoba melakukan hal aneh-aneh lainnya.”

Mau tak mau Reinald tertawa, walaupun hal itu membuat perutnya bertambah sakit. Lucu juga rasanya bisa saling mengejek dengan Nadine seperti ini. Tadinya ia sempat mengira ia takkan pernah bisa melakukan hal tersebut dengan sang gadis es.

“Apa yang lucu?”

”Tidak, bukan apa-apa, kok.”

Bibir Nadine mengatup kesal. “Terserah. Ayo bangun, latihan lagi.”

“Sekarang? Beri aku waktu bernapas sedikit, kek.”

Gadis itu hanya memandanginya dengan tatapan menusuk. “Terserah,” katanya seraya berbalik. Kubah sihir yang mengelilingi mereka menghilang, dan Nadine menghempaskan diri ke atas sofa yang sudah disingkirkan rapat ke dinding.

Rei menarik napas dalam dan meluruskan tubuh di atas lantai. Suhu ubin yang dingin menyejukkan punggungnya. Pemuda itu memejamkan mata dan beristirahat.

Sudah berapa lama ia berlatih menggunakan Seise Felliri seperti ini? Rasanya sudah berbulan-bulan lamanya, walaupun sebenarnya baru satu minggu berlalu. Ia memang belum bisa memakai Seise Felliri sampai setengah menari seperti yang Nadine lakukan, tapi ia mulai terbiasa menggunakan pedang tersebut. Dan kendalinya atas Seise Felliri semakin hari semakin menguat. Sekarang ia sudah bisa memanggil senjata tersebut dengan bebas, walaupun dalam keadaan sedang diserang sekalipun.

Tapi itu semua belum cukup. Ia ingin benar-benar mampu menggunakan pedang tersebut, sampai ke titik ia merasa sanggup melindungi Nadine. Agar gadis itu tak perlu lagi membunuh untuk alasan apa pun.

Namun tampaknya hal tersebut masih akan lama ia capai.

Reinald memiringkan kepala dan menatap Nadine. Gadis itu sedang bersandar di sofa. Matanya menatap tajam ke arah kejauhan, seolah bisa melihat apa yang terjadi di luar sana. “Makhluk-makhluk itu tidak menyerang lagi?” tanya pemuda itu padanya.

Sesaat gadis itu tampak terkejut, seolah heran mengapa Rei bisa membaca apa yang berkecamuk dalam kepalanya. Namun kemudian Nadine menghela napas. “Sejak tiga hari lalu tak ada pergerakan sama sekali. Padahal sebelumnya mereka selalu datang minimal dua hari sekali.”

Rei kembali menyandarkan kepala ke lantai, memandangi langit-langit. Menurut penuturan Nadine, selama seminggu terakhir ini berbagai macam makhluk jadi-jadian terus berkeliaran di sekitar Farsei Foruna. Mereka memang belum sampai menemukan benteng tersebut, berkat pelindung sihir yang melingkupi rumah itu, namun pencarian mereka semakin lama semakin mendekati sasaran. Sedikit lagi makhluk-makhluk tersebut pasti bisa menemukan Farsei Foruna, namun mendadak monster-monster itu tidak datang lagi.

Yang membuat Reinald tidak habis pikir adalah kenyataan bahwa gadis itu tidak mengambil tindakan sedikit pun atas hal tersebut. Yah, sebenarnya tidak bisa dikatakan tidak mengambil tindakan apa pun. Nadine memperkuat lapisan grae Farsei Foruna. Mempertebal sihir perlindungan di tubuhnya dan tubuh pemuda itu. Namun tetap saja semua itu merupakan langkah pertahanan, hanya reaksi atas tindakan musuh-musuh mereka. Bukan tindakan aktif yang akan mendahului langkah apa pun yang lawan mereka ambil.

Rei sudah pernah bertanya pada Nadine, kenapa mereka tidak langsung menyelidiki siapa pengirim arothen tersebut? Atau menyelidiki siapa Kolektor sebenarnya? Tapi jawaban gadis itu hanyalah “Kita tidak boleh bertindak gegabah,” atau “Lebih baik menunggu musuh melangkah duluan,” atau “Hal itu sudah kuurus. Tenang saja.”

Pemuda itu juga sudah menawarkan diri untuk melakukan penyelidikan, namun Nadine melarangnya keras. “Berbahaya,” komentar gadis itu. “Biar aku yang melakukannya. Aku sudah terbiasa mengerjakan hal-hal seperti itu.”

Namun tetap saja Nadine tidak melakukan apa-apa. Kalau pun ada yang ia lakukan, itu adalah menggembleng Reinald lebih keras lagi, seolah-olah seperti sedang dikejar sesuatu. Dan gadis itu jadi semakin sering termenung, seakan memikirkan sesuatu yang amat berat. Tapi jika ditanya apa yang memenuhi kepalanya, Nadine menolak untuk menjelaskan apa pun, membuat pemuda itu semakin hari semakin bertambah frustrasi menghadapinya.

“Kamu… tidak apa-apa seperti ini?” mendadak terdengar suara gadis itu.

Reinald menggerakkan kepala sampai ia bisa melihat Nadine yang masih duduk di sofa. “Maksudnya? Kalo tentang latihan dari nerakamu, sih, aku tidak pernah keberatan.”

Wajah gadis itu merona. “Maksudku, tidak apa-apa kamu terus-terusan menghabiskan waktu di sini? Sudah berhari-hari kamu tidak pulang ke rumah. Apa keluargamu tidak khawatir?”

Pemuda itu meletakkan kedua lengan di belakang kepala. “Tenang saja. Orang-orang rumah sudah tahu aku menginap di sini. Lagipula, aku tidak punya keluarga yang akan mengkhawatirkanku.”

“Maksudnya?”

Rei menghela napas. Haruskah ia membuka sejarah masa lalunya bagi gadis itu? “Aku sudah tidak punya keluarga.”

Hening sejenak. “Kenapa?” tanya gadis itu.

“Mereka sudah meninggal.”

Semuanya terbayang lagi di depan mata pemuda itu. Ibunya yang memohon-mohon supaya ia ikut bersama mereka. Ayahnya yang hanya diam, namun memandanginya dengan tatapan kecewa. Pandangan sedih adik-adiknya. Dan kekeraskepalaannya sendiri yang menolak untuk ikut.

Lalu mobil yang keluarganya tumpangi. Yang hancur dengan sangat mengerikan sampai hampir tak berbentuk lagi.

Apa seharusnya waktu itu ia ikut saja dalam liburan keluarga itu, ya? Ikut di dalam kendaraan tersebut, dan turut remuk bersama keluarganya?

“Maaf…”

Reinald mengangkat kepala dan menatap Nadine. Gadis itu sedang memandanginya dengan mata yang sarat emosi. “Aku – aku tidak tahu kalau kamu…”

Pemuda itu tersenyum. Aneh cewek yang satu ini. Dingin setengah mati seperti es batu, tapi perhatiannya sehangat matahari. Lucu amat. “Untuk apa minta maaf? Bagaimana caranya kamu bisa tahu kalau aku tidak pernah memberitahumu?” sahutnya seraya bangkit ke posisi duduk. “Begini saja. Kalau kamu memang benar-benar ingin minta maaf, sini peluk aku,” ia membentangkan tangan lebar-lebar.

Nadine memelototinya, namun kemudian rasa bersalah kembali memenuhi sorot mata gadis itu. “Aku…”

“Jangan khawatir. Kejadian itu sudah lama berlalu. Aku sendiri sudah tidak memikirkannya lagi, kok.” Empat tubuh terbungkus kain kafan di rumah sakit. Mobil ringsek yang kaca-kacanya masih dibayangi warna merah samar. Rei berkedip, menepis bayang-bayang tersebut dari kepalanya. Pemuda itu bangkit berdiri, meraih Seise Felliri, dan mulai mengayunkannya membelah udara. “Oh, iya, aku harus berterima kasih padamu, lho.”

Kebingungan memenuhi wajah gadis itu. “Untuk apa?”

“Karena sudah menyelamatkanku dulu. Dan karena sudah mengembalikanku ke kehidupan seperti ini.”

”Maksudmu kehidupan di mana ada monster mencabik tanganmu, lalu ada pisau yang meracunimu, ditambah lagi ada penyihir yang memantraimu sampai kamu tidak bisa tidur, dan sekarang penyihir itu memaksamu berlatih siang malam?”

”Kok kamu jadi mengejek dirimu sendiri?” Reinald mencoba mengendalikan Seise Felliri tanpa menyentuhnya, namun gagal, dan pedang itu pun terjatuh ke lantai lalu menghilang dalam jejak-jejak asap. Apa aku kurang konsentrasi, ya? “Memang sih, bagian itu tidak enak. Tapi yang kumaksud adalah, kamu membuatku seperti kembali ke kehidupanku dulu.”

Kali ini raut tak mengerti menghiasi wajah Nadine, sehingga pemuda itu melanjutkan, ”Aku sudah pernah cerita kan, kalau waktu kecil aku senang mengutak-atik benda? Tapi begitu mulai besar, aku tak melakukannya lagi.”

“Kenapa?” tanya gadis itu.

“Waktu itu aku lupa begitu saja dengan hobiku itu.”

Lebih tepatnya, ia melupakan kesenangannya itu karena sibuk melakukan hal lain. Saat itu, bagai kesetanan ia menghabiskan semua waktu, energi, dan uangnya hanya untuk melacak keberadaan seseorang. Supir truk yang telah menewaskan keluarganya. Dan ketika pemuda itu berhasil menemukannya, ia memusatkan semua energi yang tersisa di tubuhnya untuk menghukum orang tersebut. Melampiaskan semua kemurkaan dan dendam pada jahanam itu.

Sayangnya, setelah semua kemarahan terperas habis dari dadanya, kekosongan dalam hatinya tidak juga menghilang, bahkan bertambah besar. Jadi pemuda itu kembali menghabiskan semua waktu, energi, dan uangnya untuk mencoba menyusul keluarganya. Mengkonsumsi obat-obatan terlarang, menenggak berliter-liter minuman beralkohol, memacu mobilnya secepat kilat, dan masih banyak lagi. Namun entah kenapa nasib tidak membiarkannya mencabut nyawanya sendiri.

Bertahun-tahun kemudian, setelah keinginan bunuh diri lenyap dari dirinya, kekosongan itu tetap tidak menghilang. Hari demi hari ia lalui dengan pemikiran bahwa seumur hidup kekosongan itu akan terus menggerogotinya dari dalam. Namun tanpa ia duga sama sekali, sekarang kehampaan itu mulai terisi perlahan-lahan. Setelah ia mengetahui kemampuan Artefaktornya. Setelah ia menghabiskan waktunya mengaktifkan benda demi benda. Dan terutama, setelah bertemu gadis di hadapannya tersebut.

“Pokoknya, aku benar-benar berterima kasih padamu, Nadine,” Reinald menatap gadis itu dalam-dalam.

Wajah Nadine tampak merona. ”Tumben kamu bercerita seperti ini.”

”Tidak apa-apa, kan? Anggap saja tanda terima kasih karena sudah mengajariku siang malam. Ah, bukan mengajari. Memecutku dengan penuh cinta, tepatnya.”

Rona merah di muka gadis itu bertambah parah. ”Terserah.”

Reinald terkekeh. “Ngomong-ngomong, keluargamu sendiri bagaimana?”

Dalam sekejap aura di ruangan tersebut berubah, seolah ada yang menekan tombol untuk memekatkan udara. Raut wajah Nadine mendadak kaku, seakan topik tersebut adalah hal yang menakutkan baginya.

“Yah, kalau kamu tidak mau membicarakannya…”

“Aku tidak tahu.”

Rei mengamati gadis itu. “Maksudnya?”

“Aku tidak tahu,” ulang Nadine seraya mengalihkan pandangan. “Aku sudah lama tidak bertemu mereka.”

“Kenapa?”

Sunyi sesaat, sebelum akhirnya gadis itu menjawab, “Karena… aku tidak tahu di mana mereka sekarang.”

“Kok, bisa?”

“Dulu aku… meninggalkan mereka.”

Pemuda itu terpaku. Nadine meninggalkan keluarganya? Jadi keluarga gadis itu masih hidup, masih sehat tanpa kekurangan sesuatu apa pun? Tapi gadis itu meninggalkan mereka?

Mendadak sesuatu muncul di dalam hati Reinald. Rasa marah yang berkobar cepat, seperti api yang melahap ranting kering. “Kenapa?” pemuda itu mendengar dirinya sendiri bertanya, kegeraman mulai merayapi suaranya.

“Karena aku pergi ke… suatu tempat,” sahut Nadine. Gadis itu masih belum menyadari perubahan nada suaranya. “Dan sejak itu aku tidak pernah menghubungi mereka lagi, jadi aku tidak tahu di mana mereka sekarang.”

“Pergi ke suatu tempat? Ke mana? Tapi ke mana pun itu, seharusnya kamu masih bisa menghubungi keluargamu, kan?” Amarah itu terus menggelegak, membara tanpa tertahankan lagi. “Kenapa kamu tidak menghubungi keluargamu? Apa karena tempat yang kamu datangi itu tidak boleh keluargamu ketahui? Atau karena di tempat itu kamu melakukan sesuatu yang terlarang?”

Nadine menatapnya heran, sepertinya baru menyadari perubahan nada suaranya. “Kamu kenapa? Kok, mendadak…?”

“Tahu tidak, ada banyak orang di dunia ini yang rela melakukan apa saja demi bisa bertemu lagi dengan keluarga mereka. Yang rela menjual semua harta demi sekedar menelepon keluarga mereka. Yang rela kelaparan, kedinginan, disiksa, asalkan bisa bertemu keluarga mereka kembali. Sementara kamu, yang keluarganya masih ada, masih sehat, masih bisa ditemui, malah seenaknya membuang itu semua. Kamu pikir bagaimana perasaan orang-orang itu melihatmu? Kamu pikir bagaimana perasaan mereka melihatmu menginjak-injak sesuatu yang sangat berharga bagi mereka?”

Wajah Nadine memucat, dan mendadak Reinald tersadar. Apa haknya berkata seperti itu? Mungkin saja gadis itu memang memiliki alasan yang benar-benar kuat untuk meninggalkan keluarganya. Tapi kemarahannya terus menggeliat buas seperti pemangsa yang terusik.

“Aku – “ Nadine mencoba berkata-kata. “Aku tidak…”

“Maaf,” Rei menghela napas berat, sekuat tenaga berusaha menahan amarahnya. “Tidak seharusnya aku berkata begitu. Aku hanya tidak suka kalau ada orang yang tidak menghargai keluarganya. Maaf.”

Gadis itu menggeleng, seolah mengatakan tak usah meminta maaf. Reinald menarik napas panjang, berupaya meredakan emosinya. Penyesalan mulai muncul di hatinya ketika melihat Nadine memandangi lantai, tapi satu sisi di hati pemuda itu tetap merasa puas ketika menatap ekspresi bersalah di wajah gadis itu.

“Sudahlah,” sahut pemuda itu, mengusir keheningan canggung yang tercipta di antara mereka. “Lebih baik kita bicarakan masalah lain yang lebih penting. Sudah kukatakan belum, kalau aku sudah bisa menjawab pertanyaanmu waktu itu?”

Kata-kata itu berhasil membuat Nadine menatapnya lagi. ”Pertanyaan yang mana?”

”Apa orang yang menciptakan Seise Felliri adalah seorang Artefaktor juga atau bukan.”

Hening. Sekali lagi udara berubah menjadi berat, seolah-olah menggumpal dan bergelung menjadi padat. Nadine menghela napas sebelum akhirnya bertanya, “Lalu, apa jawabanmu?”

”Selama lebih dari seminggu ini aku sudah memeriksa semua artefak yang tersimpan di sini. Dari semua artefak itu, hanya empat belas di antaranya yang punya Inti di dalamnya, termasuk Racunvora dan Seise Felliri.”

Tanda tanya membayang di wajah gadis itu. “Racunvora?”

“Ah, aku lupa memberitahumu. Itu nama yang kuberikan untuk ngengat dari kalung penghisap racunmu itu.”

Nadine masih mengerutkan kening, jadi Reinald meneruskan kata-katanya. “Racunvora? Pemakan racun? Seperti karnivora atau herbivora? Mengerti, kan?”

Gadis itu menyipitkan mata. “Tidak ada nama lain, apa?”

“Menurutku itu nama yang keren,” pemuda itu menyeringai.

”Kamu mau memberi tahuku jawabannya, atau mau main-main soal nama?” tukas Nadine.

”Kan kamu sendiri yang bertanya mengenai Racunvora? Eits, sabar, sabar,” tukas Reinald cepat, ketika dilihatnya tatapan gadis itu berkilat marah. “Aku pasti jawab, kok. Aku hanya ingin menyampaikan semua fakta yang ada. Sekarang aku tanya. Dari semua artefak yang ada di sini, berapa banyak yang orang itu buat?”

Pandangan Nadine terarah ke atas, seolah bisa menembus langit-langit sampai ke lemari kayu besar yang ada di lantai dua. Gadis itu tampak sedang menghitung-hitung. ”Mmm, hampir semuanya. Mungkin sekitar sembilan puluh persennya.”

”Dari sebegitu banyak artefak, hanya empat belas yang punya Inti di dalamnya.”

Pengertian mulai muncul di mata gadis itu. ”Jadi kalau begitu…”

”Kalau begitu, orang itu bukan Artefaktor,” lanjut Rei. ”Mungkin dia pernah membaca mengenai Artefaktor, atau sempat mempelajarinya. Tapi karena dari awal dia memang tidak memiliki kemampuan itu, barang-barang yang ia buat bukan barang bertuah yang sebenarnya. Yah, bisa dikatakan hasilnya adalah artefak palsu. Kalau menurut dugaanku, dia menciptakan artefak dengan grae sebagai dasarnya, bukan Inti. Makanya barang yang dia buat tidak bertahan lama, karena kalau grae yang ada di dalam benda itu habis, artefak itu akan kembali menjadi barang biasa. Contohnya itu Seise Felliri.”

Pemuda itu memanggil senjata tersebut dalam kepalanya, dan sedetik kemudian pedang tersebut muncul di tangannya. Bilahnya masih menebarkan asap keruh bergulung-gulung.

“Sepertinya dulu orang itu memasukkan grae es ke dalam Seise Felliri, makanya pedang ini bisa punya elemen es di dalamnya. Tapi Inti aslinya itu asap, makanya setelah kuaktifkan, dia jadi mengeluarkan asap, bukannya es.”

Nadine belum menjawab. Gadis itu mengamati Seise Felliri seraya mencerna berita tersebut. Kemudian perlahan-lahan ia mengangguk. “Ya, kurasa kamu benar. Sepertinya – sepertinya orang itu memang bukan Artefaktor.”

Kemudian Nadine menelungkupkan wajah ke kedua tangan. “Oh, syukurlah,” gumam gadis itu. “Dia bukan Artefaktor. Dia tidak punya kemampuan tambahan lain selain yang aku tahu. Syukurlah…”

“Nadine…”

“Terima kasih, Rei,” gadis itu mengangkat muka dan kembali menatapnya. “Itu mungkin kabar baik pertama yang kudengar setelah sekian lama.”

Reinald memandangi gadis itu lekat-lekat. ”Mungkin itu memang kabar baik, tapi tetap ada kabar buruknya, lho. Orang itu mungkin memang bukan Artefaktor, tapi dia pasti lurnagrasth yang sangat kuat, sampai-sampai bisa membuat banyak artefak seperti ini.”

“Dia itu toregrasth, bukan lurnagrasth.”

Toregrasth? Pemuda itu mencoba mengingat-ingat penjelasan Nadine dulu. Seorang grasth yang memanipulasi grae dengan cara mempelajarinya. Kalau begitu, memang cocok. Sepertinya si pembuat artefak Ildarrald Daevar itu memang pernah mempelajari tentang Artefaktor, dan menggunakan pengetahuan tersebut untuk memasukkan grae ke dalam benda-benda. Menciptakan artefak palsu.

”Kalau mengenai kekuatannya, aku sudah tahu dari dulu,” sahut Nadine dengan nada kering. “Mungkin aku satu-satunya orang yang tahu seberapa kuatnya dia.”

Kata-kata itu menggantung udara. Rei tidak tahu harus berkata apa. Di saat-saat langka seperti ini, kepahitan dan kegetiran begitu kental pada wajah gadis itu, membuat rasa tercekat yang mencekik leher pemuda itu.

”Yah, aku benar-benar berterima kasih padamu, Rei,” gadis itu mulai bangkit berdiri. ”Setelah tahu, aku jadi bisa menyiapkan diri.”

”Menyiapkan diri untuk apa?” pertanyaan itu membuat gadis itu terhenti di tempat. ”Siapa orang itu sebenarnya? Kenapa kamu harus tahu kemampuannya yang sesungguhnya?”

Nadine terdiam di tempat, tak menjawab namun juga tak bergerak. Tatapan gadis itu menyapu lantai di bawahnya.

“Dulu, setelah aku janji mencari tahu apa orang itu Artefaktor juga atau bukan, kamu janji akan memberitahuku alasannya,” kata Reinald. “Nah, karena aku sudah menjawab pertanyaanmu, sekarang giliranmu memenuhi bagianmu dari perjanjian kita.”

Masih sambil menunduk Nadine menghela napas, seolah menyesal karena dulu sudah pernah berjanji seperti itu. Namun kemudian gadis itu mengangkat wajah, dan mata hitamnya yang jernih menyapu tatapan pemuda itu.

”Kamu mau tahu? Baiklah. Kenapa aku harus tahu apa orang itu Artefaktor atau bukan? Karena aku harus tahu semua kemampuannya, kekuatannya juga kelemahannya. Dan kenapa aku harus tahu semua itu? Sederhana saja. Karena aku harus membunuh orang itu.”

Selama beberapa saat tak ada yang berkata-kata. Tatapan dingin Nadine seakan-akan mampu membelah atmosfir pekat yang mengelilingi mereka. Tanpa alasan yang jelas hawa di ruangan itu mulai membeku, seolah-olah ada yang menurunkan temperatur di sana.

”Kenapa kamu harus membunuh orang itu? Kamu punya masalah dengannya? Siapa dia sebenarnya?”

Sorot mata Nadine masih menghunjam matanya. ”Namanya Aryo. Aku dan teman-temanku hanya tahu kalau nama lengkapnya Aryo Wijaya. Dia itu grasth pertama yang kukenal di dunia ini. Awalnya aku tidak tahu kalau dia itu seorang toregrasth. Aryo memiliki sebuah toko barang antik bersama dengan istrinya, Niken, dan di sanalah aku pertama kali mengenal mereka.”

Gadis itu kembali duduk di sofa dan tatapan tajamnya beralih ke kejauhan, seolah sedang melihat sesuatu. ”Dulu aku dan teman-temanku sama sekali tidak saling kenal. Kami semua bertemu di toko itu. Entah apa yang menarik kami semua ke sana. Mungkin takdir, mungkin kebetulan, atau mungkin juga kekuatan grae Aryo dan Niken menarik kekuatan kami semua, seperti magnet yang saling menarik satu sama lain. Dalam waktu singkat kami semua sudah menjadi sahabat baik, membentuk satu kelompok kecil yang sama-sama menggemari barang-barang antik dan misterius.

”Suatu hari, secara tidak sengaja aku membantu Aryo dan Niken yang terkena masalah. Saat itulah aku tahu kalau mereka berdua sebenarnya grasth. Satu kejadian memicu yang lain, dan tiba-tiba saja aku dan teman-temanku menyadari bahwa kami juga dapat menggunakan grae. Aryo dan Niken mengajari kami cara menggunakan energi tersebut sampai tiap-tiap dari kami berhasil menjadi grasth yang cukup kuat. Setelah itu barulah Aryo mengajak kami membentuk Ildarrald Daevar. Dia berkata bahwa dengan kekuatan kami, kami harus bertindak sebagai Penjaga Bumi, seperti arti harfiah dari nama kelompok kami.”

Nadine terdiam, matanya masih menerawang jauh, seolah dapat melihat masa lalu terulang kembali di hadapannya. Reinald menunggu gadis itu melanjutkan lagi penjelasannya, namun Nadine tetap membisu. Akhirnya pemuda itu bertanya, ”Jadi Aryo itu guru sekaligus pemimpin kelompokmu?”

”Iya.”

”Lalu, kenapa kamu mau membunuhnya? Apa dia pernah melakukan sesuatu padamu?”

Gadis itu tertawa pendek. ”Kalau kami berdua bertemu, salah satu dari kami pasti mati. Jadi lebih baik aku yang lebih dulu membunuhnya daripada dia yang lebih dulu membunuhku, kan?”

”Kenapa? Apa kalian sebegitu bencinya satu sama lain?”

”Benci? Ini bukan masalah perasaan. Ini masalah pengkhianatan. Dalam Ildarrald Daevar, harga untuk pengkhianatan adalah kematian.”

”Apa? Jadi Aryo pernah mengkhianatimu?”

Nadine menatapnya, bola mata gadis itu berkilau oleh perasaan tak terucapkan. ”Bukan. Akulah yang berkhianat.”

Rei ternganga, kata-kata lenyap dari lidahnya. Nadine berkhianat? Apa yang pernah gadis itu lakukan? Rasanya ia tak bisa membayangkan gadis sebaik dan semanis itu melakukan hal-hal mengerikan semacam pengkhianatan.

”Kamu pasti sedang bertanya-tanya apa yang sudah kulakukan sampai ada harga kematian di atas kepalaku, kan?” sahut Nadine. “Yah, ceritanya panjang, dan aku sendiri tidak tahu apa aku ingin memberitahumu atau tidak.”

Kata-kata gadis itu menyentakkan Reinald, dan pemuda itu merasakan amarahnya kembali merembet naik. ”Kamu mau main rahasia-rahasiaan lagi? Apa tidak cukup semua yang sudah kulakukan untukmu? Kamu butuh bukti apa lagi untuk percaya padaku?”

Nadine membuka mulut hendak menyahut, namun gadis itu tak sempat berkata apa-apa karena detik itu sebuah suara nyaring berkumandang di udara. Sebuah tulisan berwarna merah muncul di dinding di hadapan mereka berdua:

 Tolong. Lex hilang. Lili

 Kemudian semendadak kemunculannya, tulisan tersebut luruh menjadi butiran pasir halus yang menghilang bahkan sebelum menyentuh lantai.

Reinald mengerjap terpaku. Apa itu tadi? Semacam pesan minta tolong? Dari siapa? Pemuda sudah akan bertanya pada Nadine ketika mendadak mengurungkan niat tersebut. Karena saat itu kengerian murni tergambar jelas di wajah gadis itu.

”Nadine, ada apa? Apa itu tadi?”

”Pasir Reh,” jawab gadis itu, matanya masih terpatri pada dinding di hadapan mereka. ”Sarana komunikasi yang mampu menghubungi semua anggota Ildarrald Daevar di mana pun mereka berada. Ada tiga macam warna pasir yang digunakan. Hijau berarti pesan ke banyak orang. Biru berarti pesan rahasia. Kalau merah…” suara gadis itu mulai menghilang. “Merah artinya pesan darurat. Artinya salah seorang temanku sedang berada dalam bahaya. Bahaya yang sangat besar…”

***

Category(s): Artefaktor

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

 

You may use these HTML tags and attributes: <a href="" title=""> <abbr title=""> <acronym title=""> <b> <blockquote cite=""> <cite> <code> <del datetime=""> <em> <i> <q cite=""> <s> <strike> <strong>