Bab 12 – Fokus

Nadine berbaring di tempat tidur. Kegelapan melingkupi ruangan tersebut, karena gadis itu tak menghidupkan lampu walaupun hari sudah malam. Mata Nadine menatap langit-langit kamar, namun sesungguhnya pandangannya ada di tempat yang lebih jauh lagi. Di pohon Alleterre, nun jauh di utara Bandung.

Dalam kepalanya, gadis itu masih dapat melihat tumbuhan tersebut, seolah-olah ia sedang berdiri langsung di hadapannya. Kumpulan pohon berbatang langsing yang tumbuh berdekatan, bahkan saling menempel, melilit satu sama lain, sampai membentuk sebuah batang tanaman raksasa. Daun-daunnya terjalin satu sama lain, membentuk mahkota kubah yang rimbun. Orang yang tak tahu-menahu tentang Alleterre pun akan dapat menyadari bahwa rumpun tumbuhan tersebut bukanlah tanaman biasa, karena pohon itu terus berdenyut berubah warna. Kadang merah, kadang hijau, kadang biru, kadang ungu; terus berganti warna seiring detak jantung. Tumbuhan agung itu adalah makhluk hidup yang mengatur dan menjaga aliran grae di dunia ini, dan keberadaannya hanya tinggal sedikit di muka bumi.

Kata-kata Gakka tadi sore membuatnya teringat lagi pada tempat itu, dan pada kaum urnduit yang tinggal di sana. Membuatnya tersadar akan betapa rindunya ia pada tempat itu. Tempat satu-satunya di mana ia bisa menemukan ketenangan yang selama ini ia cari. Tempat yang telah mengajarkan banyak hal padanya.

Nadine menutup mata. Tidak, ia tak boleh tenggelam dalam kerinduan atau pun penyesalan. Tak ada waktu untuk itu semua. Ia harus bisa memfokuskan diri pada saat ini. Pada apa yang harus ia lakukan, dan bahaya yang menghadangnya.

Gakka tadi berkata bahwa kaum urnduit masih menjaga benda itu dengan baik. Berarti benda itu masih aman di tempat persembunyiannya di Alleterre. Laki-laki itu masih belum menemukannya. Kalau sampai laki-laki itu mendapatkan lagi benda tersebut…

Nadine menggeleng kuat-kuat. Tak ada waktu untuk merasa rasa takut. Fokus. Hanya itu yang perlu ia lakukan sekarang.

Kalau dipikir-pikir lagi, saat ini ia masih memiliki banyak keunggulan. Ia ada di Farsei Foruna, benteng terkuat yang ada di Bandung. Ada Gakka bersamanya, seseorang yang amat patuh dan setia padanya. Dan tentu saja ada Rei. Kemampuan Master Artefaknya merupakan penemuan terbesar. Bakat tersembunyi yang masih bisa terus dikembangkan, yang potensinya pun tak bisa ditebak.

Dengan catatan pemuda itu tidak tewas duluan dalam upaya mengembangkan keahlian tersebut.

Tanpa bisa dicegah pemandangan itu kembali terpampang di depan matanya. Reinald yang terbaring di lantai dengan wajah yang telah membiru. Kemudian pemandangan tubuh-tubuh yang terkapar, terpotong-potong. Luka menganga di mana-mana. Darah mengalir tanpa henti, seperti sungai kematian yang mengerikan. Dan sebuah senyuman, senyuman yang amat tulus namun sedih. Senyuman yang mengejarnya ke mana pun ia pergi, saat ia menutup mata atau pun membukanya, saat sadar maupun bermimpi.

Nadine memeluk diri sendiri, tubuhnya bergetar hebat. Hentikan, hentikan! Ia tak bisa membiarkan diri larut dalam kepedihan. Masih banyak yang harus ia kerjakan. Tak ada waktu untuk mengingat bayangan masa lalu. Fokus, fokus!

Suara motor memecahkan keheningan, mengembalikan Nadine ke dunia nyata. Itu bunyi Ducati Rei. Akhirnya pemuda itu datang juga. Ke mana saja dia? Menurut Gakka, biasanya Rei sudah muncul dari pagi. Baru kali ini pemuda itu terlambat.

Nadine memaksa diri bangun dan keluar dari kamar. Menuruni tangga ke lantai satu dan melangkah ke ruang tamu. Gakka muncul dari arah dapur. Sang urnduit tak berkata apa-apa, hanya memandanginya, dan Nadine pun tak mengucapkan sepatah kata pun. Gadis itu membuka pintu dan keluar ke halaman.

Rei telah menunggu di depan gerbang. Melihatnya, Nadine tergoda untuk membiarkan saja pemuda itu di luar. Salah sendiri, kenapa datang setelat ini? Tapi, tidak, tidak. Ia tak punya waktu untuk pikiran aneh-aneh. Ia harus fokus pada saat ini, dan saat ini ia membutuhkan kemampuan Master Artefak pemuda itu. Hal lainnya bisa menyusul belakangan, saat semuanya sudah selesai.

Jadi gadis itu membacakan mantra pembuka lapisan pelindung Farsei Foruna, lalu membukakan kedua gerbang rumah tersebut.

Rei menyadari kehadirannya dan tersenyum. “Halo, Nadine. Terima kasih ya sudah membukakan mantranya. Malam-malam begini aku tidak mau kena serangan jantung gara-gara harus melihat cewek tanpa kepala itu lagi.”

Cewek tanpa kepala? Jadi cerita Gakka benar, kalau pemuda itu sempat mengalami apa yang terjadi pada orang-orang yang masuk tanpa izin ke Farsei Foruna. Sekilas rasa puas menyelinap masuk ke dalam hatinya, namun gadis itu segera menepisnya. Tak ada waktu untuk itu. “Cepat masukkan motormu. Kita sudah kehilangan banyak waktu.”

Reinald menatapnya seolah ia baru saja menyebutkan hal paling absurd di dunia, namun Nadine tak menghiraukannya. Tanpa berkata-kata lagi gadis itu melangkah ke pinggir, menunggu pemuda itu lewat. Selama beberapa saat Rei masih memandanginya. Namun kemudian pemuda itu menghela napas, dan mendorong Ducatinya memasuki halaman Farsei Foruna.

Setelah mengunci gerbang, dan mengaktikan lagi mantra pelindung Farsei Foruna, Nadine kembali melangkah ke arah pintu masuk. Terlalu banyak waktu telah terbuang sia-sia. Reinald harus segera mulai mengasah bakat Master Artefaknya lagi. Apa yang sebaiknya pemuda itu lakukan hari ini? Mencoba kembali mengaktifkan pisau yang hampir membunuhnya kemarin? Tidak, mungkin masih terlalu berbahaya untuk yang satu itu. Mungkin pemuda itu sebaiknya memeriksa barang lain yang tidak terlalu berbahaya? Atau mungkin ia bisa…

“Kamu tidak bertanya kenapa aku telat?”

Nadine berbalik. Reinald masih berdiri di teras, memandanginya. Seperti biasa senyum jahil tersungging di bibir pemuda itu, namun ada sesuatu pada matanya yang tidak ada sebelumnya. Seolah ada sesuatu yang ia pikirkan.

Mendadak Nadine tertegun. Ia baru menyadari kalau pemuda itu datang dengan berpakaian jauh lebih rapi dari biasanya. Rei telah melepaskan jaket kulit coklat yang ia pakai, dan di baliknya pemuda itu mengenakan kemeja putih dengan lengan tergulung sampai siku. Celana corduroy hitam dan sepatu pantofel berwarna sama melengkapi penampilannya. Dengan dandanan seperti itu, pemuda itu tampak seperti orang lain. Bukan lagi Reinald yang sering menggodanya, melainkan seorang pemuda asing yang… tampan.

Nadine mengerjap. Dari mana pikiran terakhir itu datang? Fokus. Ia harus fokus!

“Kenapa?” tanya Rei. Senyum menggoda kembali terkembang di wajahnya, merusak tampilan pemuda elit yang tadi ia tunjukkan. “Kaget ya, melihatku pakai baju begini? Baru sadar kalau aku keren?”

Kenapa pemuda itu datang dengan dandanan seperti itu? Apa pemuda itu tadi menghadiri suatu acara? Apa itu alasannya mengapa ia baru datang semalam ini?

“Kenapa kamu terlambat?” Nadine mendengar dirinya sendiri bertanya.

Reinald menyeringai lebar seolah baru saja menang taruhan. “Maaf, ya. Tadi aku ada acara dulu, sih.”

“Acara apa?”

“Kencan.”

Nadine mengerjap. Butuh waktu beberapa detik untuk mencerna kata-kata pemuda itu. Kencan, katanya? Dengan siapa? Jadi ia berpakaian serapi ini, dan datang setelat ini, karena kencan?

Entah kenapa, perasaan marah tiba-tiba muncul dalam hatinya, dengan cepat menyebar ke sekujur tubuhnya seperti minyak terkena api. Gadis itu mencoba menenangkan diri, namun amarahnya justru semakin membara. Fokus, Nadine, fokus! Tak ada waktu untuk kesal. Pikirkan apa yang harus kamu lakukan saat ini!

“Dengan siapa?” walaupun kemarahan bergelora hebat dalam dirinya, suaranya terdengar sedingin es.

Senyuman itu masih belum hilang dari wajah Rei. “Kenapa aku harus kasih tahu kamu?”

Nadine menahan diri untuk tidak menggertakkan gigi. “De-ngan si-a-pa?”

Hening sejenak, seolah pemuda itu sedang menimbang untuk memberi tahunya atau tidak. “Kolektor,” akhirnya ia menjawab.

Kolektor? Kolektor yang dulu pemuda itu ceritakan? Yang ingin membeli Seise Felliri?

“Kenapa?” tanya Nadine.

Reinald mengangkat bahu. “Kemarin dia meneleponku, mengajakku makan malam. Kupikir, tidak ada salahnya, kan? Lagipula, rugi amat menolak ajakan cewek cantik.”

Nadine terpaku. Jadi itu alasan pemuda itu menerima ajakan kencan tersebut? Hanya karena perempuan itu cantik? Hanya karena itu?

Kemarahan kembali menghempasnya, kali ini lebih dahsyat dari yang tadi, membuat seluruh tubuh gadis itu gemetar. Sebuah suara di kepalanya mengingatkan kalau seharusnya ia tak memedulikan tingkah laku Rei. Bagaimanapun juga, apa urusannya pemuda itu mau pergi dengan siapa? Namun kemurkaan hebat menelan suara itu, dan Nadine mendengar dirinya sendiri berkata, “Oh, jadi begitu? Kamu telat karena habis kencan dengan cewek cantik? Apa kamu lupa, kalau cewek cantik itu hampir memaksamu menjual Seise Felliri? Apa tidak terpikir olehmu kalau cewek itu mungkin masih mengincar pedang itu? Atau kalau cewek itu yang mengirimkan arothen yang hampir membunuhmu? Apa kamu tidak ingat kalau malam ini seharusnya aku menemanimu mencoba kemampuan Master Artefakmu? Oh, pastinya kamu tidak ingat, karena kamu sedang kencan dengan cewek cantik! Ya sudah, pergi saja sana bersama cewek itu. Tidak usah kembali lagi ke sini. Padahal kamu berkata kalau kamu mau membantuku. Padahal kamu katakan aku bisa percaya padamu. Mana buktinya? Mana?!”

Sunyi, tak ada jawaban. Nadine menarik napas. Dadanya terasa amat perih. Gelombang emosi menderanya tanpa ampun, dan gadis itu menutup mata erat-erat. Mencoba memasukkan semua kecamuk perasaan tersebut ke balik pintu dalam hatinya. Namun semakin ia berusaha melakukannya, semakin besar gejolak emosi tersebut.

“Aku pergi ke sana karena Kolektor berkata dia tahu sesuatu tentang Seise Felliri.”

Nadine membuka mata. Rei sedang menatapnya. Tak ada keusilan sedikit pun dalam pandangan pemuda itu. Yang ada hanya keseriusan, dan sesuatu yang lain. Apa itu? Kekhawatiran?

“Aku tahu aku seharusnya ada di sini bersamamu,” lanjut pemuda itu. “Tapi Kolektor berkata dia akan menyebarkan informasi mengenai pedang itu ke orang lain kalau aku tidak datang. Aku tidak ingin cewek itu membahayakanmu. Aku harus memastikan, apa benar dia punya rahasia tentang Seise Felliri atau tidak. Karena itulah aku menemuinya.”

Nadine menatapnya tak percaya. Amarahnya menyurut seperti air terhisap pasir. “Kenapa… kamu tidak mengatakannya sebelumnya?”

“Yah, katakan saja aku memang ingin membuatmu marah.”

“Apa? Kenapa?”

“Soalnya aku tidak ingin kamu jadi patung es, yang tidak punya emosi dan tak berekspresi. Aku lebih memilih kamu marah-marah daripada kamu menyimpan semua emosimu rapat-rapat.”

Nadine masih terperangah. Pemuda itu tadi berkata, tak ingin melihatnya jadi patung es? Bagaimana caranya ia bisa menyampaikan pada Reinald, kalau ia sendiri ingin jadi patung es? Bagaimana caranya membuat pemuda itu mengerti, bahwa dengan jadi tak berperasaan, ia bisa melangkah maju, melakukan hal yang seharusnya ia lakukan?

“Lalu, kamu berhasil mencari tahu apa yang sebenarnya diketahui Kolektor?” tanya gadis itu.

“Kurang lebih.”

“Apa?”

Entah kenapa, Reinald tak langsung menjawab. Pemuda itu tampak ragu sejenak.

“Rei, apa yang perempuan itu tahu mengenai Seise Felliri?”

Pemuda itu menatap matanya langsung. “Kolektor berkata kalau pedang itu dulunya milik pembunuh yang sangat ditakuti di seluruh Bandung.”

Kata-kata itu menyambar Nadine seperti halilintar. Pembunuh. Tanpa bisa ia cegah, bayangan-bayangan kembali datang, mengurungnya. Merahnya darah, warna yang begitu pekat. Putihnya tulang, putihnya mata-mata yang membalik. Birunya wajah-wajah yang kesakitan, birunya bibir yang mengerang sekarat.

Pembunuh.

Apa pun warna yang orang-orang itu kenakan, pada akhirnya hanya selalu ketiga warna itu yang tersisa. Merah darah di sekujur tubuh mereka, wajah yang putih pucat, bibir yang membiru. Warna-warna kematian.

Pembunuh…

Sesaat kemudian Nadine baru menyadari bahwa Reinald telah memeluknya. Pemuda merengkuhnya erat-erat, dan sedang bergumam, “Maaf. Maaf…”

Kenapa dia minta maaf? Kalau ada yang harus minta maaf, akulah orangnya. Akulah yang membunuh orang-orang itu. Seharusnya aku yang minta maaf. Seharusnya aku…

Gejolak emosi menggumpal di leher gadis itu, membuatnya tak mampu bernapas. Nadine menggertakkan gigi. Fokus! Tidak ada waktu untuk yang lain!

Gadis itu mendorong Rei menjauh. “Untuk apa minta maaf? Sudah bagus kamu bisa mengorek informasi dari perempuan itu.”

Pemuda itu menatapnya lekat-lekat. “Nadine, apa benar kamu…?”

“Pembunuh?” gadis itu memalingkan wajah. Ia tak ingin menatap mata Reinald. Tak ingin melihat ekspresi yang tersirat di sana. “Ya, benar. Puas?”

Hening sejenak. “Seseorang tidak akan mendapatkan julukan pembunuh kalau hanya membunuh satu, dua, atau lima orang. Apalagi mendapatkan sebutan ‘yang sangat ditakuti di Bandung’.”

“Lalu kenapa?” emosi Nadine mulai merembet naik. Kenapa pemuda itu terus bersikeras mengorek sesuatu yang ia sendiri tak ingin ingat-ingat lagi? “Kenapa kamu berkata begitu? Apa maumu, hah?”

“Berapa banyak yang sudah kamu bunuh?”

Pertanyaan itu membuat tubuh gadis itu gemetar. Nadine memalingkan muka, namun Rei meraih dagunya, memaksanya kembali menatap ke arahnya. “Nadine,” lanjutnya lembut. “Lihat aku, dan jawab pertanyaanku.”

“Aku…”

“Percaya padaku,” potong pemuda itu. “Lihat mataku, dan percaya padaku. Berapa banyak?”

Badan gadis itu gemetar tanpa henti sekarang. Ia ingin mengalihkan pandangan, melihat ke arah lain selain ke mata pemuda itu, namun Reinald menahannya.

“Banyak…”

Tanpa bisa ia cegah, deretan nama memenuhi kepalanya. Ronny, Sherey, Hured, Keishie, Ainre, Porte, Janan, dan masih banyak lagi. Terus dan terus dan terus, barisan nama tersebut memenuhi kepala, membuatnya sakit. Terlalu banyak nama yang ia tahu. Lebih banyak lagi yang ia tak tahu. Nadine memejamkan mata, berusaha sekuat tenaga mengendalikan diri. Fokus! Kalau ia menyerah sekarang, nama-nama tersebut akan menyeretnya ke dalam kegelapan. Ia belum bisa menyerah sekarang. Masih banyak yang harus ia lakukan. Fokus, fokus!

“Nadine…”

Gadis itu membuka mata. Rei masih memandanginya. Nadine hampir meringis melihat tatapan pemuda itu. Apa yang ada di dalam kepala Reinald? Takut? Ngeri?

Anehnya, tak satu pun hal tersebut tampak di mata pemuda itu. Hanya ada kekhawatiran yang di sana. Dan sesuatu yang lain. Apa itu? Kasih sayang?

Ah, tidak mungkin.

“Kamu tidak apa-apa?” tanya pemuda itu.

Sebenarnya sekujur tubuhnya masih gemetar, namun Nadine memaksa diri mengangguk. “Tidak apa-apa.”

“Aku tahu kamu tidak suka membicarakannya, tapi kamu harus dengar baik-baik kata-kataku berikutnya. Lalu jawab pertanyaanku sejujurnya.”

Gadis itu menghela napas dalam. “Apa?”

“Kolektor berkata kalau dia punya buktinya,” Reinald memandanginya lekat-lekat. “Apa itu mungkin?”

Bukti, katanya? Nadine menggeleng, “Tidak mungkin.”

“Kamu yakin? Kolektor terlihat yakin sekali dengan kata-katanya. Dia juga tidak terlihat berbohong.”

“Tidak mungkin,” ulang gadis itu. “Karena aku selalu memastikan tidak ada bukti yang tertinggal. Dan aku tidak pernah meninggalkan saksi hidup seorang pun. Seorang pun.”

Tak ada komentar. Rei hanya terus menatapnya. Gadis itu menarik napas dalam dan melepaskan tangan pemuda itu dari dagunya. “Yah, terima kasih sudah mau menemui perempuan itu untuk mengorek apa yang dia tahu. Aku pasti mencatat hal itu baik-baik dalam kepalaku. Tapi tenang saja. Tak ada bukti apa pun. Kalau ada, pasti sudah dari dulu aku mati. Sekarang, lebih baik kita mulai melatih kemampuan Master Artefakmu, sebelum terlalu malam.”

“Artefaktor.”

“Apa?”

“Artefaktor,” sahut Reinald. Kekhawatiran telah hilang dari pandangan pemuda itu, berganti dengan keusilan. “Terjemahan bebas dari braevathek, bahasa urnduit untuk pembuat artefak. Lebih keren dari Master Artefak, kan?”

Gadis itu memutuskan untuk tidak menghiraukannya dan berbalik, memasuki rumah.

“Nadine.”

Nadine menghentikan langkah dan menoleh, menatap pemuda itu.

“Aku akan sangat menghargai kalau kamu mau menemaniku mencoba kemampuanku. Tapi… boleh tidak kalau aku juga mengetes kemampuan itu sewaktu kamu tidak ada?”

Nadine membuka mulut untuk memprotes, namun Rei sudah mendahuluinya berbicara. “Aku janji akan sangat berhati-hati. Aku tidak akan lagi meremehkan artefak-artefak itu. Kalau perlu, aku akan minta ditemani Gakka. Tapi tolong izinkan aku mengasah kemampuanku kapan pun, tanpa harus kamu awasi. Aku ingin… cepat jadi kuat.”

Nadine mengamati pemuda itu. Kalau memang itu keinginan pemuda tersebut, ia tidak akan melarang. Kalau Reinald semakin menguasai bakatnya, itu berarti keuntungan yang lebih besar bagi gadis itu.

“Boleh, tapi harus ada Gakka yang mengawasi.”

“Terima kasih. Lalu, tolong ajarkan aku cara menggunakan Seise Felliri.”

Kening Nadine berkerut. “Cara menggunakannya?”

“Ajari aku cara memakai pedang,” sahut Rei.

“Buat apa?”

“Seperti yang kukatakan, aku ingin jadi kuat.”

“Latihannya susah, lho.”

“Tidak apa-apa. Sesusah apa pun, akan kujalani.”

“Ya sudah, terserah. Tapi jangan berkata kalau aku belum memperingatkanmu, ya.”

Wajah pemuda itu menjadi cerah. Senyum menggoda kembali bertengger di sana. “Siap, Tuan Putri.”

Nadine berbalik dan memasuki rumah. Masih banyak yang harus ia lakukan. Namun entah kenapa, ia mulai merasa lelah. Lelah yang amat sangat.

***

Category(s): Artefaktor

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

 

You may use these HTML tags and attributes: <a href="" title=""> <abbr title=""> <acronym title=""> <b> <blockquote cite=""> <cite> <code> <del datetime=""> <em> <i> <q cite=""> <s> <strike> <strong>