Bab 11 – Beringin dan Tanaman Rambat

Gakka berdiri tegak, kedua tangan tergantung rileks di samping tubuh. Sang urnduit mengarahkan tatapan ke langit senja ketika mengirimkan pikiran melintasi cakrawala Bandung. Jauh ke arah utara, melewati pepohonan, menyeberangi kota, menerobos pembatas magis. Ketika menemukan tujuannya, sang urnduit menunggu dengan sabar sampai lawan bicaranya menyadari kehadiran pikirannya.

Sebuah sosok muncul dalam kepalanya, menyapa dalam bahasa urnduit. -Gakkakon. Salam.-

-Salam, Derturufo,- Gakka menyilangkan lengan sabit di dada, memberikan penghormatan pada sang urnduit tua. -Apa kabar? Kau baik-baik saja?-

-Seperti itu saja salammu?-

Gakka menegur dirinya sendiri dalam hati. -Semoga Qili selalu menaungkan dahannya padamu, dan pada saudara-saudara kita.-

-Semoga Qili senantiasa menganugrahkan buahnya padamu,- Derturufo tampak senang melihatnya. -Sudah lama sekali kau tak memberi kabar. Bagaimana keadaanmu? Bagaimana keadaan Nadine Felledia?-

-Nadine Felledia baik-baik saja. Aku masih mengabdi padanya,- sahut Gakka. -Bagaimana keadaanmu, Derturufo? Matahari masih menyakitimu?-

Urnduit tua itu meletakkan ujung tangan sabitnya di dada, gerakan yang menandakan ia menganggap pertanyaan Gakka menggelikan. -Aku takkan kalah oleh matahari. Satu buah bintang kecil seperti itu takkan bisa menjatuhkanku.-

Walaupun berkata seperti itu, Gakka tahu bahwa Derturufo tidak sesehat yang ia akui. Sang urnduit memang sudah sangat tua, usianya hampir tiga puluh Qili, atau tiga ratus tahun manusia. Kulitnya yang dulu keras dan bersisik indah kini melunak, warna merahnya memudar dimakan waktu. Dan mata putihnya yang dulu cemerlang kini tersaput hitam akibat sinar matahari. Urnduit memang tak cocok dengan bintang manusia tersebut.

-Rawat Nadine Felledia baik-baik,- kata Derturufo. -Mengabdilah sepenuh jiwa dan raga padanya. Ia adalah penyelamat kita.-

-Aku mengerti, dan tunduk pada petunjukmu.-

-Bagaimana denganmu? Kau masih merawat semua tanaman yang ada di sekitarmu? Meneruskan berkah Qili ke setiap tanah yang kau injak?-

-Ya, Derturufo. Benih Qili yang kautitipkan padaku tumbuh baik, walaupun sepertinya masih lama sebelum ia akan mulai mengeluarkan daun-daunnya. Bunga kuning di taman Farsei Foruna, yang bernama mawar, kemarin telah mekar penuh. Dan pohon yang menaungi tempat ini masih berada dalam keadaan sehat.-

Sang tetua terlihat amat gembira. -Aku senang sekali mendengarnya. Kau ingin kupanggilkan saudara-saudaramu? Sudah lama kalian tak berbincang.-

Gakka baru akan menggeleng ketika disadarinya gerakan itu tidak akan dimengerti oleh Derturufo. Itu adalah gerakan manusia, bukan urnduit. Jadi sang pemuda melanjutkan, -Tak usah. Aku tak mau mengganggu perawatan mereka.-

-Baiklah. Sampai berjumpa lagi, Gakkakon. Semoga Qili menghujanimu dengan buah dan daunnya.-

-Sampai jumpa. Semoga Qili menaungimu dari matahari.-

Gakka sudah akan menarik pikirannya ketika sang urnduit tua memanggil lagi, -Gakkakon?-

-Ya?-

-Tolong sampaikan pada Nadine Felledia bahwa kami masih menjaga benda titipannya dengan baik.-

Sejenak Gakka merasa bingung. -Benda titipan? Aku tidak pernah mendengar mengenai hal tersebut.-

-Sewaktu ia kembali dari Galazentria, Nadine Felledia meminta kami menjaga sebuah barang miliknya. Nadine Felledia tak menyampaikannya padamu?-

-Tidak. Selama beberapa hari di sini, Nadine Felledia tak mengatakan apa pun.-

Derturufo tampak keheranan mendengarnya. -Gakkakon, Nadine Felledia telah kembali dari Galazentria sekitar satu tahun manusia. Setelah tinggal sejenak bersama kami, ia berangkat ke kota manusia. Kau katakan ia baru bersamamu selama beberapa hari?-

Kebingungan Gakka bertambah. Jadi Nadine Felledia sudah lama berada di Bandung? Kenapa baru sekarang ia datang ke Farsei Foruna? Selama ini di mana ia berada?

-Tak masalah,- lanjut Derturufo, tanpa menunggu jawaban Gakka. -Apa pun yang dilakukan Nadine Felledia, bukan bagian kita untuk mempertanyakannya.-

-Akan kusampaikan pesanmu pada Nadine Felledia.-

-Terima kasih, Gakkakon.-

Hubungan pikiran itu terputus, dan Gakka melemaskan tangan sabitnya. Matanya masih terarah pada langit Bandung yang kian memerah. Sore hari telah menjelang, dan sebentar lagi malam akan tiba.

Tetua Derturufo dan saudara-saudara urnduit-nya masih menganggap Nadine Felledia sebagai seseorang yang sangat agung. Ya, memang benar Nadine Felledia telah amat berjasa pada mereka. Dulu Gakka pun sangat memuja gadis itu. Siap mengorbankan apa saja baginya. Namun, semakin lama ia mengenal Nadine Felledia, ia mulai dapat melihat sisi-sisi lain dari gadis itu.

Ia memang masih menaruh hormat pada Nadine Felledia, sampai saat ini sekali pun. Namun, alih-alih menganggap gadis itu seagung Alleterre – pohon istimewa yang dikabarkan tinggal sedikit di bumi ini – kini Gakka lebih melihatnya sebagai beringin, salah satu dari pohon-pohon besar yang menghuni dunia manusia. Sebuah pohon berbatang kokoh dan berdaun lebat, yang siap menjaga dan menaungi siapa pun yang berlindung di bawahnya. Pohon yang merupakan perlambang kekuatan dan ketegaran.

Sayangnya, walaupun beringin mampu bertahan menghadapi angin kencang, suatu saat nanti batangnya akan patah jika terus-menerus diterpa badai. Itulah yang ia khawatirkan akan terjadi pada Nadine Felledia. Gadis itu sebaiknya belajar untuk lebih melenturkan ranting-rantingnya. Meliuk bersama angin, alih-alih menghadangnya. Mungkin seperti yang Rei vathek lakukan.

Gakka tertawa sendiri mengingat pemuda itu. Rei vathek adalah tanaman yang aneh. Seperti tumbuhan rambat yang hidup dengan membelitkan dirinya pada tanaman lain. Terlihat tak berbahaya, namun tanpa disadari telah menjerat sekuat tenaga tanpa bisa dilepaskan. Tampak lemah, namun ternyata sulur-sulurnya menyimpan kekuatan yang tak bisa diremehkan.

Beringin dan tumbuhan rambat. Tak cocok, sebenarnya. Namun, ya, mungkin saja, jika suatu saat nanti beringin sampai patah, tanaman rambatlah yang akan menyokongnya, menahannya agar tak tumbang.

Siapa yang tahu?

Sebuah suara membuat Gakka menoleh. Nadine Felledia memasuki halaman Farsei Foruna. Gadis itu sedang memasang wajah beringinnya. “Aku pulang.”

-Selamat datang, Nadine Felledia.-

“Tumben kamu ada di luar.”

-Aku baru saja menghubungiku saudara-saudaraku.-

Wajah gadis itu melunak sedikit mendengarnya. “Bagaimana kabar mereka? Baik-baik saja? Mereka masih ada di Alleterre?”

-Ya, mereka dalam keadaan baik dan sehat. Mereka masih merawat Alleterre dengan sebaik-baiknya.-

“Syukurlah,” Nadine Felledia melepaskan tas yang ia sandang dan berlalu ke arah beranda. “Kangen juga pada mereka,” gumam gadis itu.

-Tetua Derturufo menyampaikan pesan untukmu.-

“Oh, ya? Apa?”

-Ia berkata bahwa mereka masih menjaga barang titipanmu dengan baik.-

Langkah Nadine Felledia terhenti. Gadis itu terdiam sejenak, seolah berita tersebut mengejutkannya. “Begitu? Aku… senang mendengarnya. Kalau kamu menghubungi mereka lagi, sampaikan terima kasihku pada mereka, ya?”

Gakka menghampiri gadis itu. -Nadine Felledia, benda apa yang kau titipkan pada saudara-saudaraku?-

Sesaat tak ada jawaban. Kemudian gadis itu menoleh padanya dan tersenyum, namun wajah beringinnya membuat senyum itu tampak kaku. “Benda yang sangat penting buatku. Karena itulah kupercayakan pada saudara-saudaramu.”

Gakka sebenarnya masih ingin menanyakan banyak hal. Kenapa Nadine Felledia tidak langsung pergi ke Farsei Foruna begitu kembali ke kota ini? Ke mana saja ia selama ini? Namun sang urnduit memilih untuk diam, dan Nadine Felledia kembali melangkah memasuki Farsei Foruna. Gakka mengamati punggung gadis itu. Untuk pertama kalinya setelah sekian lama, sang urnduit ingat untuk mengajukan pengharapan bagi Qili, supaya memberikan kekuatan pada gadis itu agar dapat bertahan menghadapi terpaan badai.

Dan pengharapan agar tanaman rambat dapat menjadi penyokong bagi beringin.

 ***

 Reinald memarkir Ducatinya di lapangan parkir The Valley. Halaman depan kafe tersebut telah dipenuhi oleh kendaraan lain, besar maupun kecil, dari yang biasa sampai yang bertipe sport. Pemuda itu melirik jam tangannya. Pukul tujuh malam kurang sepuluh menit. Masih banyak waktu untuk bersiap-siap menghadapi Kolektor.

Setelah mengunci motor, pemuda itu melangkah ke arah pintu masuk. Seorang pelayan berseragam kuning gading menyambutnya dari balik meja. “Selamat malam, Pak. Sudah reservasi?”

“Sudah, atas nama Reinald Adiprajasa.”

Gadis pelayan tersebut mengakses komputer yang terpasang di hadapannya. “Atas nama Bapak Reinald Adiprajasa, dua orang untuk jam tujuh malam?”

Rei mengangguk.

“Silakan, Pak, ikuti Mbak ini.”

Seorang gadis pelayan lain mengantarkannya memasuki bangunan tempat makan tersebut, kemudian memandunya ke sebuah meja yang terletak di samping jendela-jendela lebar. Dua buah sofa hitam mengapit meja tersebut.

Si pelayan tadi meletakkan dua buah menu bersampul merah di hadapan Rei. “Mau order sekarang, Pak?”

Tanpa membuka menu tersebut, pemuda itu menjawab, “Minta orange juice saja dulu. Saya masih menunggu teman. Yang fresh, ya.”

Gadis tadi meninggalkannya setelah mencatat pesanan. Rei menanggalkan jaket kulit semi jas yang ia kenakan, dan menyandarkan tubuh, mengamati pemandangan kerlap-kerlip lampu kota Bandung yang terhampar di hadapannya. Sebenarnya panorama itu sangat indah, salah satu daya tarik utama The Valley yang terletak di kawasan Dago Pakar, namun saat itu pemuda tersebut tak bisa terlalu menikmatinya. Kepalanya masih amat penuh oleh Kolektor.

Apa yang gadis itu ketahui mengenai Seise Felliri? Apakah ia hanya menggertak, atau memang ia tahu sesuatu tentang pedang itu? Sesuatu yang bisa membahayakan Nadine?

Menit-menit berlalu, dan jam tangannya telah menunjukkan pukul tujuh lebih, namun Kolektor belum juga muncul. Jus jeruk yang ia pesan tiba, dan Rei menerimanya, lalu meneguknya. Pikirannya kembali pada Kolektor. Apa yang sebenarnya gadis itu rencanakan? Apa Kolektor hanya mengerjainya? Memaksanya makan malam bersama, namun tak datang memenuhi janji?

Kalau sampai pukul setengah delapan Kolektor tidak datang juga, pemuda itu memutuskan untuk pergi dari tempat itu. Persetan apakah gadis itu akan menyebarkan rahasia yang mungkin ia miliki kepada orang lain atau tidak!

Seolah-olah pemikiran tersebut memunculkannya, Kolektor melenggang memasuki ruangan. Mata setiap pengunjung yang ada di sana langsung terarah pada gadis itu. Tak heran, melihat kenyataan bahwa Kolektor datang mengenakan gaun berpotongan oriental berwarna merah marun, berkerah tinggi namun terbuka di bagian dada. Sebuah bros giok raksasa bertengger tepat di belahan dadanya, di atas sulaman abstrak dari benang emas, menarik mata siapa pun yang melihatnya ke bagian tersebut. Gaun tanpa lengan itu menempel ketat pada tubuhnya, dan belahan sampingnya memperlihatkan paha putih tanpa cela. Sebuah selendang transparan berwarna sama tersampir di bahunya, dan rambutnya tersanggul rapi di atas kepala, menampilkan wajah eksotisnya.

“Halo Reinald,” Kolektor tersenyum padanya ketika sampai di meja. “Sudah lama, ya? Maaf, ya, aku telat.”

“Selamat malam, Kolektor,” pemuda itu bangkit berdiri dan meraih tangan gadis itu. Dengan lembut dituntunnya Kolektor duduk di sofa. “Tidak apa-apa, kok. Cantik sekali kamu malam ini.”

“Kamu juga keren sekali,” gadis itu memandanginya dari balik bulu matanya yang lentik. “Cewek-cewek di sini pasti iri deh melihatku duduk di sini.”

“Terima kasih,” setelah memastikan Kolektor telah duduk nyaman, Rei mengambil tempat di hadapan gadis itu. “Maaf ya, kemarin aku ketus waktu menerima teleponmu. Aku lagi capek sekali waktu itu.”

“Tapi sekarang sudah tidak capek, kan? Kemarin kenapa? Ada masalah?”

“Biasa, banyak urusan. Tadi kenapa? Kena macet, ya?”

“Tidak, bukan macet,” Kolektor meletakkan clutch emas yang ia bawa ke atas sofa. “Sebenarnya aku sudah hampir tidak jadi datang ke sini. Soalnya kemarin kamu terdengar kurang antusias, sih.”

“Maaf, ya,” Reinald tersenyum setulus mungkin. “Kemarin aku benar-benar hanya capai saja, kok. Lagipula, laki-laki waras mana yang mau menolak undangan dari gadis secantikmu?”

Kolektor tertawa mendengarnya, tawa sensualnya yang menggoda. “Ah, Rei bisa saja.”

Seorang pelayan mendekati meja, sejenak menghentikan percakapan mereka. “Sudah mau order?”

“Wagyu,” sahut Rei. “Yang impor, well done, pakai black pepper. Minumnya Heineken.”

“Kaleng atau botol, Pak?”

“Botol saja.”

Pelayan tersebut mengangguk, lalu beralih pada Kolektor. “Mau order apa, Mbak? Kalau boleh saya sarankan, menu spesial kami malam ini adalah Bebek Peking ala The Valley.”

Kolektor menanggapi pelayan tersebut dengan senyum sensualnya. “Saya pesan Caesar Salad saja. Minumnya Shirley Temple.”

“Mau sekalian order dessert-nya?”

“Tidak usah, Mas.”

Pelayan tersebut membacakan kembali pesanan itu, kemudian berlalu setelah sebelumnya tersenyum lagi pada Kolektor. Gadis itu membalasnya, dan wajah si pelayan pun bersemu merah. Reinald jadi ingin menggeleng-geleng melihatnya.

Baru saat itu ia menyadari Kolektor sedang memandanginya. “Kenapa?” tanya pemuda itu.

“Jangan cemberut begitu, dong. Kamu cemburu, ya?”

Cemburu? Sebenarnya tidak, tapi pemuda itu ingin membuat Kolektor terus merasa tersanjung. Kalau gadis itu senang, mungkin saja ia akan memberi tahu semua rahasia yang ia miliki tentang Seise Felliri. Jadi dijawabnya pertanyaan itu dengan, “Sedikit,” yang memicu tawa dari Kolektor.

“Jangan khawatir. Menurutku, Rei masih jauh lebih keren dari cowok itu, kok.”

Pemuda itu hanya tersenyum menanggapinya. Kolektor pun tak berkata-kata lagi, sehingga sejenak keheningan menyelimuti mereka. Reinald memanfaatkan kesempatan itu untuk mengamati gadis di hadapannya. Kolektor memang sungguh cantik, tapi entah kenapa, menatap gadis itu hanya menerbitkan rasa was-was dalam diri Rei. Seolah-olah di balik senyumannya, Kolektor senantiasa menyembunyikan sebilah pisau, yang tak akan ragu-ragu ia tancapkan pada punggung orang yang lengah. Benar-benar seperti sekuntum mawar yang akan menusuk siapa pun yang tidak hati-hati menyentuhnya.

Sungguh berbeda dengan Nadine. Jika mau dibandingkan, Kolektor memang lebih cantik daripada gadis itu, namun Reinald tak pernah merasa terancam berada di dekat Nadine. Kedua gadis itu memang sepertinya sama-sama menyembunyikan sesuatu, menutupinya dengan pintu berwujud senyuman atau topeng wajah. Namun dengan Kolektor, pemuda itu merasa akan menemukan sarang ular di balik pintu tersebut Sementara dengan Nadine, walaupun pintunya amat banyak dan sulit dibuka, Rei merasa akan menemukan sesuatu yang berharga di baliknya. Membuatnya ingin membuka pintu hati gadis itu satu-persatu, sampai menemukan diri Nadine yang sesungguhnya.

“Oh iya, Rei. Besok malam ada waktu tidak? Kukenalkan pada teman-temanku, yuk.”

Pemuda itu terkejut. “Besok malam?”

“Iya. Kami ada acara besok. Ikut ya?”

Haruskah ia terus mengikuti permainan Kolektor, menuruti keinginannya? Ya, mungkin tak ada salahnya. Siapa tahu ada hal lain yang dapat ia pelajari tentang gadis misterius itu. Seperti siapa Kolektor sebenarnya. Dan apa yang gadis itu inginkan.

Mendadak Reinald teringat. Nadine sudah mengultimatumnya bahwa setiap malam gadis itu akan menemaninya mengembangkan kemampuan Artefaktornya. Dan sejujurnya, memikirkan bahwa ia akan ditemani gadis itu, mencari-cari Inti di dalam sebuah barang dan mengaktifkannya sampai benda itu memiliki suatu kemampuan unik, jauh lebih menarik daripada berpura-pura tertarik pada Kolektor.

“Kalau besok, sepertinya aku tidak bisa. Memangnya mau ada acara apa?”

Kolektor mencondongkan tubuh ke arah meja, membuat belahan dadanya terlihat dari balik gaunnya. “Ada, deh. Makanya, Rei ikut saja, biar tahu langsung. Pokoknya pasti surprise sekali, deh.”

Reinald baru akan menjawab ketika pelayan yang tadi mencatat pesanan mereka telah kembali dengan sebuah nampan yang penuh berisi makanan. Pemuda itu meletakkan piring demi piring seraya menyebutkan nama hidangan tersebut; wagyu steak di hadapan Rei, caesar salad di depan Kolektor. Menyusul kemudian minuman mereka. Ketika melihat dada Kolektor, pemuda tanggung itu melotot sejadi-jadinya, namun kali ini gadis itu terlalu sibuk mengamati reaksi Reinald untuk menyadarinya. Rei berdehem, dan pelayan itu pun terkesiap, lalu buru-buru pergi setelah mengucapkan selamat makan.

Pemuda itu meraih pisau dan garpu yang tersedia di samping piringnya. ”Tapi kalau besok malam aku benar-benar tidak bisa.”

“Teman-temanku banyak yang menanyakanmu, lho,” Kolektor masih belum menyentuh hidangannya. “Mereka ingin berkenalan.”

“Maaf, ya. Nanti kita atur waktu lagi, deh,” pemuda itu menggesekkan pisaunya, dan daging steak itu terpotong dengan mudah.

Kolektor menatapnya dalam-dalam. “Ah, Rei kok begitu, sih? Aku tidak suka.”

“Aku benar-benar minta maaf. Soalnya besok malam aku sudah ada janji penting.”

“Lebih penting dariku?”

“Bukan begitu. Aku hanya tidak enak. Masa laki-laki mengingkari janjinya?”

“Lain kalinya kapan, dong?” gadis itu merengut manja. “Kamu bisanya hari apa? Teman-temanku sudah benar-benar ingin bertemu denganmu. Aku kan juga tidak mau mengingkari janjiku pada mereka.”

“Telepon saja besok malam. Sekalian ceritakan padaku, acaranya bagaimana. Kalau tidak, sms, deh.”

Kolektor memandanginya, lalu mulai meraih alat makannya. “Ya sudah, tidak apa-apa. Asal kamu bukan janjian dengan cewek itu saja.”

Garpu berisi potongan steak yang siap Reinald masukkan ke mulut terhenti di udara. “Sebentar, cewek yang mana, nih?”

“Itu, tuh, yang jaga toko di Setrasari Mall sana,” sahut Kolektor seraya mulai menyuap makanannya.

Nadine? Bagaimana cewek ini bisa tahu? “Dari mana kamu tahu? Kamu mengikutiku atau bagaimana?”

Gadis di hadapannya itu mengaduk-aduk saladnya. “Temanku ada yang melihatmu masuk ke toko aneh itu. Rei, jangan mau bergaul dengan cewek itu, ya? Kata temanku cewek itu menyeramkan.”

“Dia cuma teman, kok,” sahut pemuda itu ringan. Benarkah yang dikatakan Kolektor barusan? Atau gadis itu memang membuntutinya, dan berbohong untuk menyembunyikannya? “Lagipula, aku ke sana hanya untuk mengembalikan kostum yang kemarin kupakai.”

“Juga pedang itu, kan?”

Garpunya nyaris berhenti lagi di udara, namun kali ini Rei berhasil mengendalikan diri. Jangan sampai Kolektor melihatnya kaget dua kali! Ia harus berpura-pura tak tahu-menahu soal Nadine, ataupun Seise Felliri. “Dari kemarin kamu membicarakan pedang terus. Memangnya ada apa sih dengan pedang itu?”

Hening sejenak, tak ada jawaban. Reinald baru saja akan mengecek kenapa Kolektor tak menjawab, ketika gadis itu menyahut, “Itu pedang terkutuk.”

Jantung pemuda itu seperti akan terlompat keluar mendengarnya. Seise Felliri? Terkutuk? Namun disamarkannya kegelisahan tersebut dengan pura-pura terperangah. “Maksudnya?”

Kolektor menatapnya lekat-lekat. “Pedang itu sudah banyak meminum darah. Pemiliknya itu sebenarnya pembunuh yang dulu sangat ditakuti di seluruh Bandung.”

Pembunuh? Pemilik sebelumnya? Tapi kan, pemilik pedang itu dulu adalah Nadine? Jadi gadis itu dulunya pembunuh? Dan bukan sembarang pembunuh, tapi pembunuh yang sangat ditakuti di seluruh Bandung? Apa ini rahasia yang Kolektor miliki?

Terlalu banyak pertanyaan, namun Rei tak tahu bagaimana menjawabnya. Yang ia tahu, ia tak boleh sampai terlihat terpengaruh oleh berita tersebut. Jadi ia memasang ekspresi bingung seraya mengucap, “Minum darah? Memangnya pedang vampir?”

Kolektor tak menanggapinya. Tatapan gadis itu makin menusuknya, dan pemuda itu melanjutkan dengan tenang, “Pedang itu sudah tumpul, jadi pasti sudah lama tidak digunakan. Lagipula, kalau pedang itu terkutuk, kenapa kamu ingin membelinya? Aneh.”

“Kalau kubeli, mungkin aku bisa tahu asal usul pedang itu,” Kolektor kembali memandangnya dengan tatapan manja semi menggoda miliknya, namun Reinald justru merasa gadis itu semakin mengawasi reaksinya. “Siapa pemiliknya sebenarnya. Aku ingin tahu siapa pelaku pembunuhan-pembunuhan itu sebenarnya.”

“Kalau sudah tahu, terus kamu mau apa? Lapor ke polisi?” pemuda itu terkesiap seperti baru menyadari sesuatu, lalu mencondongkan badannya ke arah gadis itu dan berbisik, “Sebentar. Jangan-jangan kamu polisi, ya?”

“Jadi siapa sebenarnya pemiliknya?” Kolektor tidak mengacuhkannya sama sekali. “Cewek menyeramkan itu?”

“Pedang itu punyaku,” jawab Rei langsung. “Tapi aku bukan pembunuh, lho.”

“Tapi kemarin kamu katakan kamu hanya menyewanya. Bohong!”

“Oh, itu hanya alasanku saja. Waktu itu aku berkata begitu karena aku tidak mau menjual pedangnya. Lagipula aku tidak mau ketahuan kalau punya pedang betulan. Nanti aku disangka mau berbuat apa-apa.”

Gadis itu menyipitkan mata. “Aku tidak percaya.”

Pemuda itu mengangkat bahu. “Terserah. Aku berkata yang sebenarnya kok.”

“Ya sudah. Kalau begitu sampai di sini saja, deh.”

“Lho, jangan mengambek, dong.”

Kolektor memandanginya dingin. Tatapan manja tadi telah hilang sama sekali dari matanya. “Aku benci pembohong. Dah,” gadis itu berdiri dan mulai melangkah pergi.

Reinald bergegas mengikuti gadis itu dan meraih tangannya. “Tunggu dulu.”

“Sudah kukatakan, aku benci pembohong. Apalagi kamu lebih mementingkan cewek menyeramkan itu daripadaku. Ya sudah, sana. Tapi aku tidak tanggung jawab kalau soal pedang itu tersebar ke orang lain.”

“Oke, oke, terserah kamu,” pemuda itu mencoba tersenyum, namun wajah Kolektor tak berubah melihatnya. “Soal pedang itu, tidak usah terlalu dipikirkan, deh. Paling-paling hanya gosip untuk menimbulkan kesan mistis saja.”

“Mistis?” gadis itu menatapnya dengan ekspresi yang tak dapat diartikan. “Itu betulan, kok. Aku punya buktinya.”

Mendadak Rei merasa tangan-tangan dingin mencengkeram jantungnya. Bukti? Apa ini sebenarnya rahasia yang dipegang gadis itu? “Maksudnya?” tanya pemuda itu, namun Kolektor telah melepaskan genggamannya. “Oi!”

Gadis itu tidak mengacuhkannya, terus berlalu keluar dari ruangan tersebut. Reinald mengejarnya, namun terlambat. Sosok Kolektor tak lagi terlihat di mana pun. Pemuda itu mengepalkan tangan geram. Ingin sekali ia menghajar sesuatu sekarang. Apa gunanya ia memenuhi undangan Kolektor, bermanis-manis dengan gadis itu, hanya untuk berakhir seperti ini? Kartu utama Kolektor belum lagi terlihat, sementara ia mungkin sudah tak punya kesempatan lagi untuk mencari tahu apa yang sebenarnya gadis itu ketahui. Sial, semuanya sia-sia saja!

Tapi, tunggu dulu. Mungkin acara malam ini bukannya tak berguna sama sekali. Ia kini tahu Kolektor memang masih memiliki setidaknya satu rahasia lagi mengenai Seise Felliri, dan mengenai Nadine. Itu saja sudah merupakan perkembangan yang cukup bagus. Sekarang, yang perlu ia lakukan adalah menemui Nadine, menanyakan kebenaran kata-kata Kolektor pada gadis itu, dan mencoba memperkirakan bukti apa yang mungkin dimiliki oleh Kolektor.

Rei menyambar jaket kulitnya, membayar makanan yang belum lagi habis, lalu menaiki Ducati membelah kegelapan malam, menuju Farsei Foruna.

***

Category(s): Artefaktor

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

 

You may use these HTML tags and attributes: <a href="" title=""> <abbr title=""> <acronym title=""> <b> <blockquote cite=""> <cite> <code> <del datetime=""> <em> <i> <q cite=""> <s> <strike> <strong>