Nadine melangkah di sepanjang jalan Tubagus Ismail VII yang sepi dan gelap, hanya diterangi lampu perumahan yang berjajar di kiri kanannya. Langit malam tampak menggantung berat oleh awan. Sepertinya sebentar lagi hujan akan kembali mendera Bandung. Mudah-mudahan Rei tidak sedang mengendarai motornya. Bisa-bisa pemuda itu kehujanan nantinya.
Gadis itu memukul kepalanya sendiri. Kenapa lagi-lagi ia memikirkan pemuda itu? Sepanjang hari ini ia sama sekali tak mampu mengenyahkan Reinald dari pikirannya. Pemuda itu selalu datang menghantuinya di saat-saat yang paling salah. Sewaktu menemui Kak Tina untuk menjelaskan alasannya tidak masuk kerja selama tiga hari. Sewaktu menghadapi pelanggan, sewaktu menghitung inventarisir toko. Sewaktu diam, sewaktu berbicara, sewaktu makan. Setiap waktu! Setiap saat Rei selalu mengganggu benaknya, senyumnya menari-nari di depan mata, kehangatan pelukannya selalu terbayang-bayang, dan ciumannya…
Nadine mengerang kesal. Pemuda itu bisa membuatnya gila!
Mendadak langkah Nadine terhenti. Di langit terlihat sebuah sosok hitam sedang mengarungi udara. Sesuatu itu hampir-hampir tak terlihat, tersamar oleh langit muram Bandung, namun mata gadis itu sempat menangkap kelebatan gerakannya. Sosok itu menggeliat di atas Farsei Foruna, seperti mencari-cari sesuatu. Mata-mata, atau makhluk kiriman lawan mereka?
Serang! Insting sesaat menyuruhnya bereaksi cepat atas penampakan tersebut. Hancurkan sebelum makhluk itu menemukan tempat persembunyian kita! Namun akal sehat segera menghentikannya. Sosok itu tampaknya masih belum menemukan sasarannya, terus berputar-putar tanpa arah di langit. Menyerang makhluk itu hanya akan memberitahukan kehadirannya, dan keberadaan Farsei Foruna. Kalau ia diam saja, kemungkinan besar sosok itu akan segera pergi jika tidak mendapatkan apa yang ia cari.
Jadi Nadine tak bergerak dari tepi jalan, menutup grae-nya agar tidak terdeteksi, sementara benda hitam itu terus melayang di udara. Setelah bermenit-menit yang terasa seperti bertahun-tahun, sosok itu melayang pergi dan menghilang di langit malam.
Gadis itu berhitung sampai seratus, kemudian mulai berkonsentrasi. Perlahan-lahan ia mengirimkan grae ke langit, ke titik di mana makhluk tadi menghilang. Dengan sangat berhati-hati ia menggunakan energi sihir tersebut untuk mendeteksi residu grae yang ada di sana, seperti tangan yang meraba-raba sekitarnya. Kemudian ia menemukannya.
Sisa-sisa tenaga magis itu masih amat kental, bergelung di udara seperti lendir. Nadine menyelaraskan grae dalam tubuhnya dengan energi tersebut, menyerasikannya sampai seolah-olah residu tersebut adalah bagian dari tenaganya sendiri.
Dalam kepalanya, sisa energi tersebut tampak seperti jejak lendir yang membentang sampai ke ujung pandangan, kadang lurus, kadang berbelok-belok. Nadine mulai melangkah menyusuri lintasan residu tersebut dengan sangat hati-hati. Jangan sampai si pemilik jejak grae menyadari bahwa ia sedang dilacak. Jadi gadis itu bernapas perlahan, menahan energinya, sementara langkah terus membawanya menyusuri jejak tenaga tersebut, semakin lama semakin dekat dengan sumbernya.
Mendadak sesuatu muncul di hadapannya. Sebuah lingkaran magis raksasa yang berpendar dan berputar; residu grae tadi melintas tepat di tengahnya. Nadine menghentikan langkah, sejenak mengamati lingkaran grae itu. Untuk terus mengikuti lintasan energi magis di dekat kakinya, ia harus melewati lingkaran tersebut. Dan mengambil resiko memberitahukan keberadaannya pada si pemilik grae, karena gadis itu yakin, lingkaran sihir tersebut berfungsi mencegah orang seperti dirinya lewat. Orang-orang yang mungkin mampu melacak sumber asal grae dengan mengikuti residunya.
Apa yang sebaiknya ia lakukan sekarang? Menyerah di sini? Atau tembus paksa, dan bersiap menghadapi apa pun resikonya? Baik jika si pemilik grae menghapus jejaknya sebelum gadis itu sanggup menemukannya, atau lebih buruk lagi, jika si pemilik grae menyerangnya balik?
Akhirnya Nadine memutuskan berhenti. Masih ada waktu lain untuk menemukan pengacau yang berani mengirimkan makhluk suruhan ke Farsei Foruna. Saat ini, lebih baik ia menahan diri dulu.
Gadis itu membuka mata dan menarik napas dalam. Lagi-lagi musuh mereka mengambil langkah duluan, sementara ia sendiri tidak punya informasi apa-apa mengenai mereka. Semakin lama lawan mereka semakin mendekati sasarannya. Cepat atau lambat ia harus bersiap menghadapi serangan, kecuali jika ia duluan yang menyerang. Gadis itu menggeleng seraya meneruskan langkah. Ia harus mulai bertindak.
Farsei Foruna tampak gelap dan tak terawat di hadapannya. Nadine menggumamkan mantra pembukanya lirih, takut ada yang mendengar. Siapa yang tahu makhluk macam apa lagi yang dikirimkan musuh? Dengan perlahan ia menyelinap melalui gerbang ganda tersebut. Sekilas ia menyadari keberadaan motor jingga menyala milik Reinald yang terparkir di depan garasi. Jadi pemuda itu sudah di sini. Bagaimana caranya ia bisa masuk, ya?
Gadis itu jadi ingin tertawa. Beberapa saat yang lalu kepalanya penuh dengan pemuda itu. Kini kekhawatirannya atas Rei rasanya tak ada artinya dibandingkan apa yang ia lihat barusan.
Di dalam, lampu-lampu telah dinyalakan. Gakka muncul dari arah dapur. Mata putihnya yang tak berkelopak menyapu gadis itu. -Selamat datang, Nadine Felledia.-
“Aku pulang,” sahut Nadine. “Sepertinya mau hujan lagi di luar. Mudah-mudahan kamu tidak sedang mencuci baju.”
-Semua baju yang kucuci sudah kering tadi siang.-
“Baguslah. Ngomong-ngomong, mana orang itu?”
Gakka menatapnya. -Siapa orang yang kau maksud?-
“Aduh, jangan mulai macam-macam deh, Gakka. Kamu juga tahu orang itu.”
Makhluk itu masih memandanginya. -Aku tidak mengerti siapa yang kau maksud.-
Ingin rasanya gadis itu melemparkan tas yang ia sandang ke arah sang urnduit. ”Rei,” sahutnya geram. Dan seperti berkomplot untuk membuatnya semakin malu, wajahnya memanas habis-habisan. Sialan!
Raut muka sosok itu sama sekali tidak berubah. -Rei vathek datang kemari tadi pagi. Sejak itu ia terus-menerus berada di ruang artefak. Aku terakhir kali melihatnya saat membawakan makan siang untuknya.-
Rei vathek? Sebutan Gakka untuk pemuda itu berubah lagi. Apa istilah itu diambil dari Braevathek, bahasa urnduit untuk para pembuat artefak?
Jadi Rei sedang melatih kemampuan Master Artefaknya? Mungkin saja pemuda itu sudah menemukan sesuatu yang menarik. Gadis itu jadi ingin cepat-cepat naik ke lantai dua. Tapi apa yang akan ia lakukan kalau bertemu muka dengan pemuda itu? Tersenyum?
Dengan ngeri Nadine menggeleng kuat-kuat untuk mengusir pikiran itu jauh-jauh. Ia tidak akan memberikan kesenangan lebih lanjut kepada pemuda itu atas perlakuannya kemarin. Yang terbaik ialah tidak memberikan reaksi apa pun, seakan ciuman pemuda itu kemarin sama sekali tidak ada artinya baginya.
”Aku mau melihat keadaannya,” gadis itu memberi tahu sang urnduit. Gakka mengangguk, namun tak bergerak dari tempatnya berdiri. Nadine bisa merasakan mata makhluk itu mengawasi punggungnya ketika ia menaiki tangga menuju lantai dua. Memperkirakan reaksinya atas Reinald? Huh, ia tidak akan memberikan respon apa pun. Kejadian kemarin sama sekali tidak penting, tidak ada artinya.
Pintu kamar penyimpanan artefak tertutup rapat, namun dari baliknya gadis itu dapat melihat lampu telah dinyalakan. Nadine menarik napas dalam. Tenang, bersikap saja seperti tidak ada apa-apa. Gadis itu mengetuk pintu dan menahan napas. Satu detik, dua detik, tiga detik, empat detik. Tak ada jawaban, dan gadis itu mengerutkan kening. Apa Rei tidak ada di dalam? Diketuknya pintu sekali lagi, namun masih tak ada jawaban, tak ada yang membukakan pintu. Apa ini salah satu keisengan pemuda itu?
”Rei?” panggil gadis itu, namun pintu di hadapannya tetap membisu.
Nadine mendorong pintu itu sampai terbuka. Dan terkesiap. Hal pertama yang ia lihat adalah tubuh Reinald yang terkapar di lantai. Wajah pemuda itu putih bagai mayat, dan sepertinya ia tidak bernapas.
”Rei!” gadis itu menjatuhkan tubuh di samping pemuda itu. Beribu macam pikiran berkelebat di kepalanya secara bersamaan. Apa pemuda itu terbunuh? Apa makhluk hitam tadi yang menghabisinya? Apa pemuda itu tak bisa terselamatkan? Apa ada makhluk lain yang menyelinap kemari? Tapi bagaimana mungkin? Perisai sihir Farsei Foruna menolak benda apa pun memasuki wilayahnya tanpa izin. Lantas apa yang terjadi? Tidak, Nadine, berhenti memikirkan apa yang sebenarnya terjadi dan mulai bertindak SEKARANG!
Gadis itu meraih kepala Rei dan meletakkannya di pangkuan. Bersamaan dengan itu ia membayangkan ombak energi sihir menerpanya, mengisi setiap relung tubuhnya dengan tenaga sihir. Dengan aliran grae yang dingin dan bergelora di dalam pembuluh darahnya, gadis itu memeriksa Reinald. Sepertinya pemuda itu tidak terluka secara fisik, kecuali luka di tangannya akibat arothen tempo hari. Jadi apa yang menyebabkannya tak sadarkan diri?
Dalam sekejap Nadine menemukan jawabannya. Racun, dalam jumlah yang sangat banyak, telah memasuki tubuh Rei, membunuhnya perlahan. Sudah berapa lama pemuda itu keracunan? Satu menit? Satu jam? Lebih? Berapa lama pun itu, tubuh pemuda itu tidak akan sanggup bertahan lebih lama lagi. Nadine harus segera mengeluarkan racun tersebut, tapi secepat apa pun ia melakukannya, proses itu tetap membutuhkan waktu, dan ia takut waktu yang tersisa bagi Reinald sudah tidak banyak lagi.
Kemudian matanya tertumbuk pada leher pemuda itu. Sesuatu menempel di sana, sesuatu yang coklat kehitaman. Ngengat aneh itu? Apa yang makhluk itu lakukan? Nadine membungkuk dan mengamati hewan tersebut dari dekat. Antenanya yang bercabang-cabang bergerak liar sementara kaki-kakinya menempel erat pada kulit Reinald. Mulut penghisapnya menusuk kulit pemuda itu seperti seekor nyamuk menghisap darah korbannya. Menghisap?
Mendadak gadis itu teringat kembali. Ngengat itu muncul dari kalung yang dulunya ia gunakan sebagai penghisap racun. Mungkinkah perhiasan itu dulu bisa menyedot racun karena binatang itu bermukim di dalamnya? Atau hewan itu mewarisi kemampuan tersebut dari tempat tinggalnya? Ah, yang mana pun, gadis itu sudah menemukan cara untuk menolong Reinald.
Nadine menyalurkan segenap grae yang ada dalam dirinya ke tubuh Reinald, mengaliri setiap pembuluh darah pemuda itu dengan air magis yang membersihkan. Racun yang ada di sana mulai terdorong pergi, terbawa arus tenaga sihir. Gadis itu mengumpulkan setiap tetes racun yang berada dalam tubuh pemuda itu, mengarahkannya, mengalirkannya ke pembuluh darah leher tempat hewan artefak tersebut sedang asyik menghisap. Dengan segera ngengat itu meminum semua racun tersebut dengan lahap, seolah-olah makhluk tersebut sudah berhari-hari tidak makan. Tidak perlu waktu lama sampai semua racun yang ada dalam tubuh Rei terhisap keluar.
Sejenak Nadine membiarkan aliran grae-nya berputar dalam jaringan darah pemuda itu. Memastikan tidak ada lagi racun yang tersisa, sebelum akhirnya memutus kontak sihirnya dengan Reinald. Bahu kirinya kembali berdenyut-denyut. Tampaknya ia sudah terlalu banyak menggunakan kekuatan.
Kelopak mata Rei terbuka perlahan dan pemuda itu mengerang. Ia terdiam sejenak, bola matanya berputar mengamati sekelilingnya, sebelum akhirnya menatap gadis itu. ”Hei, Nadine,” sahut pemuda itu dengan suara agak serak. ”Kok rasanya aku pernah mengalami kejadian yang mirip seperti ini, ya?”
Mendadak gadis itu merasakan amarahnya menggelegak, bergolak hebat tanpa sanggup ia redam. Disambarnya kerah baju pemuda itu dan ditariknya kasar sampai badan Reinald terangkat sedikit. “Apa yang sudah kamu lakukan, hah? Apa lagi yang membuatmu pingsan seperti ini? Ini sudah kejadian yang kedua kalinya, tahu. Bagaimana kamu bisa seceroboh ini?”
Pemuda itu terperangah kaget, matanya mengerjap pusing. “Aku… kenapa kamu tiba-tiba marah-marah begini?”
Sebuah suara kecil jauh di dalam hatinya memperingatkan untuk berhenti, untuk melepaskan Rei, namun Nadine tak menggubrisnya. Kemurkaan telah menelan akal sehatnya. “Kamu pikir bagaimana perasaanku sewaktu melihatmu tergeletak di sini? Baru beberapa menit lalu aku melihat ada makhluk suruhan di atas rumah ini. Kukira makhluk itu membunuhmu. Kupikir kamu sudah mati tadi. Kamu pikir bagaimana rasanya, hah? Kamu pikir bagaimana rasanya melihat orang yang kamu kenal mati di depanmu? KAMU PIKIR BAGAIMANA RASANYA?!”
Mendadak seperti ada petir yang menyambar dirinya. Berbagai macam pemandangan berkelebat di depan matanya tanpa terhentikan. Tubuh-tubuh yang berserakan di tanah merah, potongan-potongan daging tak berbentuk, serpihan tulang putih pucat. Wajah-wajah penuh rasa sakit, sekarat menjelang maut. Tangan-tangan yang terjulur, berusaha meraihnya.
Tolong aku, bisik mereka, jangan tinggalkan aku di sini.
Sakit sekali, bisik yang lain, apa aku akan mati?
Berbagai macam desahan sekarat dan jeritan kematian berdengung di telinganya, menggumamkan beribu kata-kata pahit, namun pada akhirnya semua menyuarakan satu kata.
Nadine. Nadine. Nadine. Nadine Nadine Nadine NadineNadineNadineNadine…
Kemudian gadis itu barus sadar bahwa Reinald-lah yang memanggilnya. Tubuhnya bersimbah keringat, tangannya yang masih mencengkeram kaus pemuda itu terasa amat lemas. Setiap tarikan napas membuat dadanya terasa perih.
”Nadine, ada apa? Kamu…”
”Tidak ada apa-apa,” gadis itu buru-buru melepaskan cengkeramannya dan melompat berdiri, menjauh secepatnya dari pemuda itu. Tidak, jangan lagi, aku tidak ingin mengingat-ingatnya lagi. Kedua lengannya otomatis bergerak memeluk tubuhnya yang masih gemetar.
Rei masih memandanginya. Kemudian pemuda itu mengulurkan tangan, mungkin ingin menenangkannya, namun gadis itu mencegahnya dengan mendesis, ”Jangan sentuh aku!”
Kemudian ia berlari. Lari dari Reinald, dari masa lalu, dari segalanya. Lari tanpa menoleh lagi.
***
“Nadine?”
Tak ada jawaban. Reinald mengetuk pintu lagi, “Nadine, ini aku.”
Hanya kebisuan yang membalasnya. “Sudah berjam-jam kamu tidak mau keluar dari sana. Kamu juga tidak mau makan, tidak mau minum. Ada apa sebenarnya?”
Hening. “Nadine, aku… khawatir. Cerita padaku, ada apa sebenarnya?”
Masih belum ada sahutan, dan Rei menggertakkan gigi. Apalagi yang harus ia lakukan agar gadis itu mau keluar dari kamarnya? Ini sudah yang kesepuluh kalinya ia mengetuk pintu, dan Nadine masih juga tidak menjawab. Hampir dua puluh empat jam telah berlalu semenjak gadis itu mengurung diri di dalam sana, namun Nadine tak kunjung menampakkan batang hidungnya Apa yang sebenarnya terjadi?
Sebuah sentuhan mendarat di bahunya. Reinald menoleh dan menatap Gakka. -Ikutlah bersamaku, Rei vathek,- ucap sang urnduit.
“Tapi… aku…”
-Kemarilah. Aku ingin memberi tahu sesuatu padamu.-
Rei menoleh lagi ke arah kamar Nadine, berharap daun pintunya membuka dan gadis itu akan muncul di sana. Tapi hal itu tetap tak terjadi, sehingga pemuda itu menghela napas dan mengikuti sang urnduit.
Gakka membawanya ke meja makan. Di sana makhluk itu menghidangkan teh mint-nya, lalu berdiri di samping Reinald. -Aku tahu kau khawatir atas Nadine Felledia, tapi lebih baik kita membiarkannya sendirian saat ini.-
“Kenapa? Apa yang sebenarnya terjadi?”
-Terkadang Nadine Felledia bersikap seperti ini,- sahut makhluk itu. -Terutama kalau ia baru saja mendapat guncangan yang sangat hebat.-
“Guncangan? Guncangan macam apa, sampai dia mengurung diri berjam-jam seperti itu, tidak makan, tidak minum?”
-Biasanya guncangan yang berhubungan dengan kematian.-
“Kematian? Tapi kan tidak ada yang mati baru-baru ini?” mendadak Reinald teringat akan seruan Nadine.
Kamu pikir bagaimana perasaanku sewaktu melihatmu tergeletak di sini? kata gadis itu. Kukira makhluk itu membunuhmu. Kupikir kamu sudah mati tadi. Sewaktu mengatakannya, wajah gadis itu pucat pasi. Ketakutan tergambar jelas di mukanya yang biasanya tak berekspresi. Kamu pikir bagaimana rasanya, hah? Kamu pikir bagaimana rasanya melihat orang yang kamu kenal mati di depanmu? KAMU PIKIR BAGAIMANA RASANYA?!
Rei terhenyak. Ia baru menyadari kalau penyebab sikap Nadine tersebut adalah dirinya sendiri. Karena pingsan akibat mencoba mengaktifkan pisau dari Pak Edwin, ia menyebabkan Nadine ketakutan setengah mati. Gadis itu mengira ia sudah tewas, dan amat terguncang karenanya.
“Sial,” pemuda itu menumpukan wajah pada kedua tangan. “Aku tidak tahu kalau Nadine sebegitu traumanya pada kematian.”
Tapi tahu ataupun tidak, seharusnya ia tidak seceroboh itu ketika mencoba mengaktifkan Inti. Ia tak mengira hal tersebut bisa membahayakan nyawanya. Pak Edwin memang tidak pernah menyebutkannya, tapi bukan berarti resiko itu tidak ada. Ia memang ceroboh. Dan kebodohannya itu membuat Nadine kembali terluka.
Padahal aku sudah berkata padanya kalau aku tidak akan pernah mengkhianatinya. Sial!
Gakka menatapnya, -Nadine Felledia pasti akan kembali lagi. Yang perlu kita lakukan hanya menunggunya.-
Rei hanya mengangguk, terlalu kesal pada diri sendiri untuk menjawab. Sang urnduit kemudian berlalu, entah untuk mengerjakan apa. Meninggalkan pemuda itu dalam kesendirian, dan rasa penyesalan yang dalam.
Apa yang harus ia lakukan? Ia ingin sekali bisa menghibur Nadine. Tapi Gakka berkata kalau lebih baik ia membiarkan gadis tersebut sendirian dulu. Makhluk itu sudah lebih lama mengenal Nadine, jadi mungkin ia memang lebih tahu apa yang sebaiknya dilakukan pada saat seperti ini. Namun tetap saja Reinald tak bisa menerimanya. Ia ingin memeluk gadis itu, ingin menghiburnya, ingin mengusir ketakutannya, ingin membuatnya tertawa lagi, ingin…
Mendadak ponselnya berbunyi. Rei terkesiap, deringan alat tersebut terdengar amat nyaring di ruang makan yang sunyi. Pemuda itu mengeluarkan ponsel dan menatap nomor yang tertera di layar.
Kolektor. Kenapa gadis itu menelepon lagi? Pemuda itu sebenarnya sedang tak ingin berbicara, namun sesuatu mendorongnya untuk menerima panggilan tersebut.
“Halo.”
“Halo, Rei!” benar saja, suara dalam dan serak Kolektor terdengar dari seberang sana.
“Ada apa?” tanya pemuda itu langsung, tak ingin berbasa-basi.
“Kamu ini. Tanya kabar dulu, kek. Katakan hai dulu, kek. Ini malah langsung bertanya ada apa.”
“Hai. Apa kabar. Ada apa?”
Terdengar tawa gadis itu. “Jangan dingin begitu, dong. Ke mana pesonamu waktu pesta dulu?”
“Pesonaku sedang banyak urusan. Jadi, ada apa?”
“Aku mau menagih janji.”
Reinald mengerutkan kening. “Janji?”
“Wah, masa kamu lupa?” sahut Kolektor. “Kamu janji mau mengajakku makan, kan?”
Pemuda itu jadi ingin meremas rambutnya. Ia benar-benar lupa sudah pernah berjanji seperti itu. Seharusnya waktu itu ia langsung menolak saja!
“Maaf, aku…”
“Aah, jangan menolak lagi, dong,” potong Kolektor. “Kemarin kamu sudah tidak mau. Masa sekarang juga?”
“Tapi aku benar-benar…”
“Apa susahnya sih keluar sehari aja? Kamu tidak mungkin sebegitu sibuknya sampai tidak bisa makan bersamaku, kan?”
“Tapi aku memang sibuk!” sahut Rei.
“Bagaimana kalau kukatakan aku tahu sesuatu tentang pedang itu?”
Mendadak Reinald merasakan tangan-tangan dingin meremas jantungnya. Apa maksudnya tentang Seise Felliri?
“Pedang? Pedang apa?” tanya pemuda itu ringan, berlagak tak mengerti.
“Tidak usah pura-pura tidak tahu. Dari caramu terdiam tadi, aku tahu kamu mengerti pedang apa yang kumaksud.”
“Kamu bicara apa, sih? Aku tidak mengerti.”
Kolektor tertawa. “Rei, Rei. Masih ngotot juga pura-pura tidak tahu? Yah, terserah kamu. Tapi aku tidak tanggung akibatnya lho, kalau rahasia pedang itu tersebar ke telinga yang salah.”
Pemuda itu merasakan tubuhnya menegang. “Maksudmu apa?”
“Kamu pasti tahu apa yang kumaksud. Jadi besok kita makan di The Valley jam tujuh, ya. Pastikan kamu datang, kalau tidak, bisa-bisa aku kesepian. Dan kalau aku kesepian, biasanya aku suka kelepasan berbicara dengan siapa saja tentang apa saja, termasuk tentang pedang itu.”
“Hei…!” seru Reinald, namun terlambat. Sambungan telepon tersebut telah diputus.
Pemuda itu menggeram kesal. Apa maksud Kolektor tadi? Apa gadis itu mengancamnya? Informasi apa yang ia tahu soal Seise Felliri? Apa mungkin gadis itu hanya menggertak? Bahwa sebenarnya ia tak tahu apa-apa soal pedang itu?
Tapi, kalau memang benar Kolektor memiliki suatu informasi mengenai Seise Felliri, dan kalau pemuda itu tidak datang ke acara makan malam tersebut, bisa-bisa, seperti kata Kolektor, hal itu sampai ke telinga yang salah. Telinga orang-orang yang mungkin akan mencelakai dirinya. Dan Nadine, yang terkait dengan pedang tersebut.
Sial! Mau tak mau ia harus pergi lusa!
Merasa kepalanya amat penuh seperti akan meledak, Rei bangkit berdiri dan meninggalkan ruang makan. Langkah membawanya ke lantai dua. Ke depan ruang tidur Nadine.
“Nadine.”
Masih tak ada jawaban. Reinald menyandarkan dahi ke daun pintu. “Nadine, aku… maafkan aku. Aku sudah membuatmu khawatir. Kemarin aku sudah berkata kalau aku tidak akan pernah mengkhianatimu. Tapi aku sendiri yang melanggarnya dengan bertindak ceroboh. Mulai sekarang, aku akan lebih berhati-hati. Aku tidak akan meninggalkanmu sendirian. Apa pun yang terjadi, aku akan berusaha untuk tetap selamat. Tetap hidup. Tetap ada di sampingmu.”
Kesunyian menyambut kata-katanya. Rei menghela napas berat, dan membalikkan badan. Tak ada lagi yang bisa ia lakukan.
Tiba-tiba terdengar suara kunci berputar. Pemuda itu berbalik kaget, tepat pada waktunya untuk melihat pintu kamar terayun membuka.
Nadine melangkah keluar. Ia masih mengenakan bajunya kemarin, dan sekarang pakaian itu terlihat kusut di sana-sini. Wajah gadis itu amat pucat, lingkaran hitam membayang di bawah matanya.
“Nadine!” Reinald menghambur ke arah gadis itu dengan amat lega, bersiap memeluknya, namun Nadine menghindarinya. Gadis itu melangkah ke arah tangga, menjauhinya.
“Nadine?”
“Mulai sekarang, kamu hanya boleh mencoba kemampuan Master Artefakmu kalau ada aku,” suara gadis itu terdengar dingin.
“Apa?”
“Kalau aku tidak ada, kamu tidak boleh menyentuh artefak-artefak itu seujung jari pun,” lanjut gadis itu. “Bahkan tidak juga Seise Felliri atau pisau yang Pak Edwin berikan. Ruang artefak Ildarrald Daevar akan kukunci.”
Pemuda itu meraih lengan gadis itu. “Kok begitu? Aku…” mendadak perkataannya tersangkut di tenggorokan. Nadine sedang menatapnya dengan tatapan sebeku es. Wajah gadis itu sama sekali tak berekspresi, sekaku batu.
“Besok kita mulai setelah aku selesai kerja,” gadis itu melepaskan diri dari genggaman pemuda itu, dan menuruni tangga, tak sekali pun menoleh lagi.
Selama beberapa saat Reinald tak mampu berkata-kata. Kemudian pemuda itu mengepalkan tangan kesal. Nadine telah kembali ke kondisi ketika mereka pertama kali bertemu. Datar tak berekspresi, dingin dan kaku. Setelah pemuda itu bersusah payah menarik gadis itu keluar dari cangkangnya, berusaha keras agar Nadine mau terbuka padanya, sekarang semua usahanya sia-sia saja hanya karena satu kecerobohan.
Sial!
***