Bab 9 – Artefaktor

Reinald berdiri di depan gerbang, memandangi bangunan terlantar di hadapannya. Bagaimana caranya masuk ke dalam? Bisakah ia masuk ke sana sendirian tanpa bantuan Nadine? Seingatnya kemarin Nadine tidak melakukan apa pun yang bisa membuatnya bebas keluar masuk rumah tersebut sendirian. Tapi pemuda itu ingat kalau ia sempat berkata kalau ia akan kembali lagi.

Dan gadis itu menyuruhnya pergi ke neraka.

Aduh, kalau begitu, alih-alih membiarkannya masuk, kemungkinan besar Nadine malah memperkuat sihir yang melindungi bangunan tersebut supaya ia tidak bisa mendekatinya. Mungkin seharusnya ia mengatakan sesuatu saat gadis itu marah. Tapi apa? Salah-salah ia malah bisa kena tampar, atau lebih parah lagi, jadi sasaran grae Nadine yang tanpa ampun. Atau seharusnya dari awal ia tidak mencium gadis itu? Tidak, tidak, ia tidak akan sekali pun menyesal sudah melakukan hal tersebut.

Pemuda itu menggeser duduknya di atas Ducati dan memandangi pintu gerbang di hadapannya lekat-lekat. Mungkin ia bisa memanipulasi sihir itu dengan kemampuan Master Artefaknya. Kalau ada sesuatu yang bisa ditangkap oleh inderanya, mungkin ia bisa menonaktifkan pelindung tersebut.

Rei membaui udara di sekitarnya, membuka telinga lebar-lebar, memicingkan mata, berusaha menangkap perubahan sekecil apa pun dari penghalang magis tersebut, namun tidak mendapatkan apa-apa. Rumah di hadapannya bergeming, bahkan udara di sekitarnya seolah berhenti bernapas. Mungkin kemampuan Master Artefaknya tidak dapat digunakan untuk mempengaruhi grae. Berarti cara yang tersisa hanyalah mencoba masuk ke dalam dan menerima semua resikonya, apa pun itu.

Rei menoleh ke sekelilingnya, mencari-cari benda yang bisa ia gunakan untuk mengetes pelindung magis tersebut. Sebuah ranting kayu tergeletak tak jauh dari sana. Pemuda itu memungutnya kemudian melemparkannya melalui bagian atas gerbang. Dengan menahan napas pemuda itu mengawasi ranting kayu tersebut meluncur membelah udara, kemudian terhempas ke jalur berbatu yang menuju ke garasi rumah tersebut. Tidak ada ledakan, tidak ada petir yang memekakkan telinga. Ranting kayu itu tidak mendadak terbakar di udara, atau pun menghilang begitu saja. Tidak terjadi apa-apa.

Reinald tidak tahu harus merasa lega atau malah bertambah khawatir. Jika ada reaksi, sekecil apa pun itu, ia bisa tahu akibat dari menerobos penghalang tak kasat mata tersebut. Kalau seperti ini, ia hanya bisa menduga-duga dan mencoba-coba. Atau mungkin juga sihir tersebut memang sudah tidak aktif lagi? Ah, yang mana pun, ia memang harus mengambil resiko dan masuk, apa pun akibatnya

Reinald menarik napas panjang dan melangkah maju. Ia agak mengernyit sewaktu melewati tempat di mana kira-kira ia merasakan sensasi aneh kemarin, perasaan seperti melewati tirai tipis yang menandakan batas pelindung sihir tersebut. Tidak terjadi apa-apa, dan pemuda itu menghela napas lega. Mungkin daya magis yang melingkupi bangunan tersebut memang sudah dicabut.

Namun dengan terkejut didapatinya gerbang di hadapannya masih tergembok. Rumah di hadapannya masih tampak tak terawat. Berarti ilusi sihir tersebut masih bekerja.

Mendadak ia melihat sekelebatan bayangan di jendela lantai atas. Apa itu Nadine? Apa gadis itu melihatnya, dan sedang bergegas membukakan gerbang tersebut untuknya?

Pintu depan terbuka dan Reinald bersiap-siap menyambut gadis itu, merangkai kata-kata manis yang akan meluluhkan kemarahan Nadine. Namun ucapannya tersangkut di tenggorokan. Karena yang keluar dari sana bukanlah gadis itu, melainkan sebuah kepala. Rambut panjang hitam menutupi wajahnya, helai-helai kusut masai seolah-olah sosok tersebut sudah berminggu-minggu tidak keramas. Sebuah tangan yang lebih mirip cakar terulur keluar, kuku-kukunya yang panjang meneteskan darah ke lantai beranda yang putih.

Reinald tercekat, tak mampu bergerak. Jantungnya mendera dadanya tanpa ampun seolah-olah ia sedang berlari, padahal kenyataanya ia terpaku di tempat, tak kuasa menoleh. Sosok mengerikan itu mulai menggeliat, berusaha keluar dari rangka pintu, dan kepalanya menggelinding jatuh ke beranda, menciptakan genangan merah lain di sana. Jarum ketakutan baru menghunjam pemuda itu, tubuhnya tetap tak mau bergerak seakan lumpuh.

-Rei denne?-

Pemuda itu terlompat kaget. Gakka berdiri menjulang di hadapannya, kulit batunya yang berwarna kuning kini hitam legam, bersisik menyeramkan seperti ular. Matanya yang tidak berkelopak dihiasi urat-urat kemerahan, dan lengan sabitnya yang terangkat terlihat mengkilat penuh ancaman.

Reinald masih belum mampu berkata-kata. Satu lirikan ke belakang tubuh Gakka memperlihatkan sosok mengerikan itu sedang membungkuk meraih kepalanya dan memasangnya lagi di leher, tapi dengan segera kepala itu menggelinding jatuh kembali. Makhluk itu memungutnya lagi, menaruhnya di leher yang berdarah-darah, dan kepala itu kembali terjatuh ke lantai. Pemandangan itu sebenarnya cukup menggelikan, kalau saja pemuda itu tidak sedang ketakutan setengah mati.

Gakka mengikuti arah pandangan Rei ke balik bahunya, lalu kembali mengamati pemuda itu. Raut wajah makhluk tersebut tidak berubah sama sekali, namun ada kilatan pengertian di matanya. -Apa pun yang kamu lihat, hal itu sama sekali tidak nyata. Hanya bayangan yang diciptakan sihir pelindung rumah ini. Sepertinya kamu benar-benar membuat Nadine Felledia marah kemarin.-

Tidak nyata? Pemuda itu kembali memandangi sosok menyeramkan di belakang Gakka. Perempuan berdarah-darah itu kini sedang tersaruk-saruk mendekati gerbang, kedua cakarnya bergoyang meninggalkan jejak merah di belakangnya. Kepalanya yang tertinggal di teras berada dalam kubangan darah kental. Tidak nyata?

Gakka mengulurkan tangan melewati sela-sela jeruji gerbang. -Pegang tanganku, dan kamu akan terbebas dari sihir rumah ini.-

Reinald memandangi lengan sabit tersebut. Pinggirannya tampak setajam pisau, sama sekali berbeda dengan tangan Gakka yang pernah digenggamnya. Apa ia akan terluka jika menyentuh pinggiran tajam tersebut? Tapi segera dienyahkannya pikiran tersebut dan digenggamnya lengan hitam di hadapannya.

Terdengar bunyi nyaring seperti sesuatu yang pecah berkeping-keping, dan Rei mengerjap. Makhluk mengerikan tersebut telah menghilang, bahkan genangan darah yang mengotori lantai pun lenyap tak berbekas. Rumah di balik gerbang tersebut kembali ke tampilan aslinya, bercat putih bersih yang tampak baru. Angin yang semula mati mulai berhembus, membawa dingin yang menggigit dan bau hujan.

Pemuda itu menyeka keringat di dahi. “Sialan. Membuatku jantungan saja! Ini semua kerjaan Nadine, ya? Punya sembilan nyawa juga rasanya tidak cukup untuk menciumnya!”

Gakka mengamatinya, dan Reinald baru sadar kalau ia berbicara keras-keras. Ia menunggu reaksi dari sosok itu, tapi Gakka hanya mendorong gerbang di antara mereka membuka dan berlalu. Pemuda itu menghela napas dan berbalik ke arah Ducati. Peduli amat kalau urnduit itu tidak suka jika ia mencium Nadine!

Setelah memarkir motor, Rei masuk ke ruang tamu dan menghempaskan diri di sofa kulit. Tubuhnya terasa amat lemas seperti habis berlari seharian penuh. Membayangkan perempuan mengerikan tadi masih membuatnya bergidik. Pantas saja Nadine berkata kalau rumah ini rumah setan. Sepertinya sihir pelindung yang melingkupi tempat ini akan menampilkan pemandangan menyeramkan pada orang-orang yang memasukinya tanpa izin.

Gakka kembali dengan secangkir minuman. Pemuda itu menerimanya dan meneguknya sampai habis. Lagi-lagi isinya teh, dengan sensasi seperti mint di dalamnya. Pemuda itu mengembalikan cangkir tersebut ke atas baki yang dibawa sosok itu seraya berkata, ”Terima kasih.”

-Beristirahatlah dulu. Kamu terlihat pucat sekali.-

Reinald mengangguk, lalu menghela napas, menutup mata dan menyandarkan kepala ke sofa. Selama beberapa saat ia membiarkan tubuhnya bersantai, mengusir jauh-jauh pemandangan seram tadi dari pikirannya. Tak lama kemudian pemuda itu mulai merasakan tubuhnya membaik. Jantungnya tidak lagi berdetak tak karuan, dan alih-alih merasa letih, ia malah merasa segar bugar, seperti baru terbangun dari tidur. Kalau tidak salah, seperti ini juga efek yang ia rasakan ketika pertama kali meminum teh yang disuguhkan Gakka. Apa minuman tersebut adalah suatu cairan khusus?

Pemuda itu bangkit berdiri dan menuju ke dapur. Sang urnduit ada di sana, sedang mencuci piring.

“Gakka, tadi kamu memberiku minuman apa, sih? Badanku langsung segar sekali setelah meminumnya.”

-Syukurlah jika kau telah merasa segar kembali,- sahut makhluk itu tanpa membalikkan tubuh. -Ramuan daun Qili memang memiliki khasiat yang menyegarkan dan menyembuhkan.-

“Ramuan daun Qili? Apa itu?”

-Ramuan istimewa, dibuat dari gerusan daun pohon Qili.-

Pohon Qili? Rasanya ia belum pernah mendengar nama pohon seperti itu. Rei menunggu sang urnduit melanjutkan penjelasannya, namun Gakka tetap diam, meneruskan kesibukannya.

“Oh, iya. Tadi kok aku bisa masuk ke sini hanya dengan memegang tanganmu?”

Gakka berbalik menatapnya. Sesaat makhluk itu hanya diam memandanginya, seolah ragu apakah akan menjawab pertanyaannya atau tidak. Namun kemudian ia menyahut, -Kami urnduit tidak terpengaruh grae, Rei denne. Dengan menyentuh tanganku, kamu telah mematahkan pengaruh sihir pelindung Farsei Foruna ini.-

Tidak terpengaruh grae? Jadi selain memiliki kulit yang keras luar biasa, bisa berlari secepat mobil, urnduit juga tidak bisa diserang dengan sihir? Benar-benar predator sejati. Tapi kenapa makhluk seperti itu mau saja mencuci piring seperti pembantu?

-Nadine Felledia sedang tidak ada di sini.-

Reinald menatap makhluk itu. ”Ke mana dia?”

-Bekerja,- sahut sang urnduit. -Tadi pagi ia sempat berkata bahwa ia bisa dipecat jika tidak masuk kerja hari ini.-

Jadi gadis itu sudah kembali bertugas menjadi pramuniaga di toko kostum tersebut. Apa lukanya baik-baik saja, ya? Yah, dengan sihirnya itu, sepertinya Nadine bahkan bisa berlari marathon walaupun dengan tubuh cedera.

”Gakka, aku boleh menggunakan kamar artefak yang ada di atas?”

Makhluk itu mengamatinya sejenak. -Nadine tidak menitipkan pesan apa pun yang melarangmu menggunakannya, jadi silahkan saja. Nanti akan kubawakan minuman untukmu.-

“Terima kasih.”

Pemuda itu pun menuju ke ruangan di lantai dua. Begitu ia membuka pintu, serta-merta berbagai macam sensasi menyerbu inderanya. Bau-bauan aneh, bunyi-bunyian yang tidak normal, rasa tergelitik seperti tersetrum di lengannya, semuanya menerpa tanpa ampun.

Keadaan ruangan tersebut tampak agak berbeda semenjak ia tinggalkan kemarin. Barang-barang yang sempat ia dan Nadine keluarkan tidak terlihat di mana-mana, sepertinya sudah tersimpan kembali dengan rapi di dalam tempatnya masing-masing. Satu-satunya jendela di sana, yang sebelumnya tertutup tirai tebal, kini menghantarkan sinar matahari memasuki ruangan, walaupun hanya berupa cahaya temaram karena saat ini awan mendung sedang menggelayuti langit Bandung. Reinald menyalakan lampu agar kamar tersebut menjadi lebih terang.

Tanpa membuang waktu ia mulai bekerja. Dikeluarkannya semua artefak dari lemari kayu besar yang menutupi dinding ruangan tersebut dan ditumpuknya di lantai. Kain yang bahannya belum pernah ia rasakan sebelumnya. Baju-baju dengan potongan asing dan hiasan di sana-sini. Berbagai macam perhiasan, mulai dari kalung, gelang, cincin, sampai mahkota. Pada suatu titik tangannya menarik keluar kalung berliontin batu hijau yang dikelilingi batu-batu kecil berwarna coklat. Artefak yang kemarin berhasil ia aktifkan. Ke mana perginya ngengat yang terbang keluar dari dalam liontin itu? Ah, nanti saja diperiksanya lagi benda tersebut. Saat ini ia punya pekerjaan lain.

Setelah semua artefak tertumpuk di hadapannya, Reinald duduk bersila di lantai. Ia mengambil barang pertama yang tampak olehnya, secarik kain hitam yang mirip penutup mata. Ditajamkannya semua indera untuk memeriksa benda tersebut, mencari-cari perubahan sekecil apa pun. Tak lama kemudian matanya menangkap sesuatu, semacam adukan warna yang timbul tenggelam di permukaan kain tersebut. Oke, barang tersebut sudah jelas adalah barang ber-Inti. Disisihkannya kain tersebut ke sebelah kanannya.

Berikutnya ia mengambil sebuah gelang besi dari onggokan di depannya. Gelang tersebut terasa amat berat di tangannya. Rei memutar-mutar gelang tersebut, mengamatinya, membauinya, mengguncangkannya di dekat telinga, meraba ukiran abstrak hitam di permukaannya yang mulus dan dingin. Apa pun yang ia lakukan, ia tetap tidak mendeteksi perubahan sedikit pun. Sepertinya gelang tersebut tidak mengandung Inti di dalamnya. Diletakkannya perhiasan tersebut di sebelah kirinya, dan diraihnya barang ketiga.

Demikianlah pemeriksaannya berlanjut. Setiap kali ia mendapatkan suatu reaksi dari benda yang sedang ia periksa, ditaruhnya benda tersebut di sisi kanan. Barang yang tidak menimbulkan sensasi apa pun bergabung dengan tumpukan di sebelah kiri.

Terdengar ketukan di pintu, dan Gakka melangkah masuk setelah Reinald menyuarakan responnya. Karena tidak ada meja di ruangan tersebut, makhluk itu menaruh baki yang ia bawa di lantai. Untuk beberapa saat sang urnduit mengamati pemuda itu mencoba sebuah cincin bermata batu merah.

-Boleh aku tahu apa yang sedang kau lakukan?-

”Ini?” pemuda itu mengibaskan jari yang mengenakan cincin tersebut. ”Aku sedang memeriksa artefak milik Nadine dan teman-temannya. Mana yang barang ber-Inti, mana yang bukan.”

Raut wajah sosok itu tidak berubah, namun seperti ada kilasan pertanyaan di mata putihnya yang tidak berkelopak, sehingga Rei buru-buru mengingat-ingat penjelasan Pak Edwin kemarin. ”Barang ber-Inti itu… barang khusus yang memiliki energi di dalamnya. Energi itu berbeda dengan grae yang Nadine gunakan. Barang ber-Inti bisa dimanipulasi, diubah, atau dibentuk, menjadi barang spesial yang mempunyai kemampuan khusus. Contohnya Seise Felliri. Dan kalung ini,” pemuda itu meraih kalung berliontin hijau yang tadi ia sisihkan. Ditangkupkannya kedua tangan di sekeliling perhiasan tersebut. Bagaimana caranya mengeluarkan ngengat itu? Apa ia harus masuk lagi ke dalam ruangan hijau oval yang aneh itu?

Reinald berkonsentrasi, mencoba mengingat makhluk tersebut dengan seluruh indera. Enam sayapnya yang berwarna coklat dengan bulatan hitam seperti mata di tengahnya. Tubuhnya yang hitam dan berbulu halus, terasa lembut di tangan. Antenanya yang bercabang-cabang seperti tanduk rusa. Kepakan sayapnya yang lembut.

Tak lama kemudian tangannya terasa digelitik oleh sesuatu yang bergerak dalam genggamannya. Rei tersenyum dan membuka tangkupan tangan, dan ngengat tersebut terbang keluar. Mengepak pelan ke arah dinding dan hinggap di permukaannya, mengembangkan keenam sayapnya lebar-lebar.

”Dia artefak pertama yang berhasil aku aktifkan,” rasa bangga menyelinap ke dalam hatinya. ”Cantik, ya? Sepertinya harus kuberi nama, deh.”

Gakka mengamati hewan bersayap tersebut, kemudian ganti menatap pemuda itu lekat-lekat. Ada rasa hormat baru di kedua mata putihnya yang tak berkelopak. -Kamu adalah seorang Braevathek, Rei denne,- sahutnya tiba-tiba.

”Brae… apa?”

-Di bangsaku, Braevathek adalah kaum urnduit terhormat dengan kedudukan yang sangat terpandang. Braevathek bekerja menghasilkan Braevath, alat-alat khusus yang tidak dapat dibuat oleh urnduit lain. Braevath merupakan barang berharga yang sangat dicari-cari, dihargai sangat mahal, dan tak jarang diperebutkan sampai menyebabkan pertumpahan darah.-

”Begitu?” Reinald menatap kalung berliontin hijau di tangannya. ”Braevath itu artinya artefak, ya?”

Sosok itu mengangguk. -Dalam bahasamu, Braevathek bisa diartikan sebagai…- Gakka terdiam sejenak, seolah sedang mencari padanan kata yang tepat. -Artefaktor, mungkin.-

”Artefaktor,” ulang pemuda itu. Entah kenapa, kata tersebut berputar dalam kepalanya. Sebutan itu terdengar jauh lebih berkesan daripada Master Artefak. ”Artefaktor. Keren juga. Oke deh, mulai sekarang aku akan menyebut diriku sendiri ’Artefaktor’. Lagipula lebih mudah daripada ’Master Artefak’ yang terlalu panjang. Terima kasih ya, Gakka!”

Makhluk itu tampak kebingungan. Mungkin baginya sebutan Artefaktor maupun Master Artefak tidak ada bedanya. -Kembali, Rei denne, walaupun aku tidak mengerti mengapa kau berterima kasih padaku. Aku akan meninggalkanmu untuk melanjutkan pekerjaanmu.-

Reinald mengangguk. ”Eh iya, biarkan saja barang-barang ini seperti ini, ya. Tidak usah dibereskan.”

-Baik. Selamat bekerja.-

Begitu pintu ditutup, pemuda itu meneruskan memeriksa tumpukan artefak di sekitarnya. Cincin merah yang tadi ia amati bergabung dengan tumpukan artefak di sebelah kiri, barang-barang yang tidak memberikan reaksi apa pun. Seiring berlalunya waktu, hanya beberapa artefak saja yang ditambahkan ke kelompok benda ber-Inti. Sisanya menggunung di sebelah kirinya.

Ketika Rei selesai mengelompokkan artefak-artefak tersebut, sore hari telah menghampiri Bandung. Perutnya bergolak hebat oleh rasa lapar. Pemuda itu menyandarkan tubuh ke dinding dan meraih makanan yang tadi dibawakan Gakka. Nasi dan lauknya sudah lama dingin, tapi pemuda itu tetap makan dengan lahap.

Seraya menikmati hidangan di pangkuan, mata Rei menyapu benda-benda di hadapannya. Dari sekian banyak artefak yang tersimpan di ruangan tersebut, hanya sekitar selusin yang memberikan reaksi atas pemeriksaannya. Sisanya bukanlah barang ber-Inti. Jadi kenapa Nadine menganggapnya sebagai artefak? Pastinya barang-barang tersebut memiliki kemampuan spesial, walaupun tidak punya Inti. Apa ada kekuatan khusus lain yang bisa mengaktifkan benda-benda tersebut? Pemuda itu menggeleng. Banyak yang harus ia tanyakan pada Nadine jika gadis itu pulang nanti.

Kalau Nadine tidak meninjunya terlebih dulu.

Mendadak matanya tertumbuk pada sesuatu. Ngengat yang tadi keluar dari liontin itu kini hinggap di sarung pisau kecil pemberian Pak Edwin. Keenam sayapnya yang tampak seperti memiliki mata terkembang lebar.

Penasaran, pemuda itu meletakkan piringnya yang belum lagi tandas dan mengambil pisau tersebut. Hewan artefak tadi terbang sejenak ke udara, melayang anggun, namun kembali mendarat dan hinggap di senjata tersebut. Reinald mengeluarkan bilah tajamnya dan serta-merta ngengat itu berpindah, menempel erat pada besi pisau tersebut. Pemuda itu mengibas-ngibaskan senjata tersebut, tapi hewan itu masih saja bertengger di sana, mencengkeram bilah besinya erat-erat seolah menolak untuk terbang menjauh.

Aneh. Ada apa dengan binatang ini? Kok sepertinya ia senang sekali hinggap di pisau tersebut? Apa mungkin barang ber-Inti akan menarik sesama barang ber-Inti lain, seperti magnet yang saling tarik-menarik?

Pemuda itu mengamati pisau tersebut. Iya ya, ia belum sempat memeriksa senjata itu. Mungkin ia bisa mencoba mengaktifkan benda tersebut.

Rei mendekatkan pisau itu ke telinga. Mencari-cari suara tetesan air yang dulu sempat ia dengar ketika memilih-milih senjata di rumah Pak Edwin. Bunyi butiran air yang jatuh seirama detak jantungnya. Perlahan-lahan suara-suara lain menghilang dari sekitarnya, bahkan degup jantungnya pun seakan-akan berhenti.

Tes…

Itu dia, amat samar namun masih terdengar. Suara tetesan air, yang menitik pada… apa? Bukan pada genangan air. Terdengar menetes ke atas suatu permukaan padat. Ke atas tanah? Lantai? Apa?

Tes…

Kayu? Batu? Besi?

Tes…

Sedikit lagi. Kalau ia berkonsentrasi sedikit lagi, ia pasti bisa menangkapnya. Membayangkan segumpal cairan yang membentuk… membulat… semakin lama semakin besar… kemudian jatuh… perlahan… ke atas…

Tes…

Tiba-tiba ruangan di sekelilingnya lenyap, dan Reinald mendapati dirinya berada dalam air. Pemuda itu refleks berteriak, dan cairan tersebut menyerbunya, menyumbat tenggorokannya. Lautan tersebut menggelora di sekitarnya, menabraknya, mengombang-ambingkannya. Rei hendak menarik napas, namun tak menemukan udara. Ia tak bisa bernapas!

Dengan panik pemuda itu mencoba berenang ke atas, namun yang ada hanyalah air dan air lagi. Ia butuh udara. Ia harus bernapas! Pemuda itu tersedak, dan lebih banyak lagi cairan terminum olehnya.

Mendadak dadanya terasa perih dan panas, seolah-olah ada yang menyayat paru-parunya dari dalam dengan pisau membara. Rei ingin menjerit, namun napasnya sudah tak ada. Pemuda itu pun tenggelam ke dalam kegelapan yang sarat oleh rasa sakit.

***

Category(s): Artefaktor

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

 

You may use these HTML tags and attributes: <a href="" title=""> <abbr title=""> <acronym title=""> <b> <blockquote cite=""> <cite> <code> <del datetime=""> <em> <i> <q cite=""> <s> <strike> <strong>