Ketika Reinald melihatnya lagi, Nadine sudah berdiri di atas tangga yang terletak di sisi kiri rumah. Sejenak gadis itu memandanginya tanpa ekspresi, lalu melanjutkan langkah menuju lantai dua. Menghela napas dalam, pemuda itu mengikutinya.
Lantai atas tersebut membuka ke sebuah ruang duduk luas yang diisi karpet lebar berwarna hijau, bantal-bantal besar yang tampaknya empuk, lemari-lemari buku yang penuh sesak, dan sebuah televisi. Pintu-pintu kamar mengelilingi aula kecil tersebut, semuanya tertutup rapat. Nadine memasuki salah satunya.
Begitu melangkahkan kaki ke dalam ruangan tempat Nadine masuk, serta-merta Rei merasakan sesuatu. Suatu dengungan bergaung rendah di dalam kamar tersebut. Hidungnya mulai menangkap berbagai macam rangsangan; bau metalik tajam, aroma asing yang hanya dapat didefinisikan sebagai ’pahit’, bahkan harum bunga walaupun tak ada satu pun tanaman di sana. Seketika pemuda itu tahu bahwa ia memasuki ruangan yang tidak biasa.
Di sampingnya Nadine menutup pintu dan menyalakan lampu. Sinar putih lampu TL menerangi ruangan tersebut, memperlihatkan sebuah lemari kayu berwarna gelap yang menutupi sisi kiri ruangan dari lantai sampai ke langit-langit. Sebuah jendela menghiasi sisi seberang ruangan, tertutup tirai biru. Tidak ada perabotan lain di kamar tersebut.
Gadis itu membuka pintu lemari dan seketika dengungan di telinga Reinald menguat. Berbagai macam bau-bauan menyerbu hidungnya, sesaat membuat napasnya sesak. Dengan mata yang mulai berair pemuda itu menatap isi lemari di hadapannya. Satu laci yang ditarik keluar oleh Nadine tampak berisi berbagai macam perhiasan, mulai dari kalung sampai cincin-cincin bermata batu besar yang berkilauan di bawah sinar lampu. Laci lainnya berisi lipatan-lipatan kain beraneka macam warna. Di satu ruangan lebar di perabotan tersebut, yang biasanya digunakan untuk menggantung baju, beberapa benda berukuran panjang tampak diletakkan secara sembarangan.
Nadine menarik keluar salah satu benda panjang, dan dengan penuh keheranan Rei menyadari bahwa benda tersebut adalah sebuah tongkat. Dan pastinya bukan tongkat biasa, karena warnanya emas mengkilap, dan ujung atasnya berupa rangka belah ketupat yang dililiti kawat-kawat perak. Beberapa batu bulan menghiasi rangka belah ketupat tersebut, dan ketika gadis itu menegakkannya di lantai, tongkat itu berdiri tegak tanpa bantuan apa pun.
”Selamat datang di ruang artefak milik Ildarrald Daevar,” suara Nadine memecahkan kesunyian. ”Tapi, yah, seperti yang kamu lihat, ruangan ini tidak sehebat sebutannya. Bisa dikatakan ini hanya tempat penyimpanan darurat untuk artefak yang tak terpakai lagi. Sebagian besar benda di sini sudah tidak kami gunakan, atau sudah hilang kekuatannya. Tapi supaya tidak terjadi hal aneh-aneh kalau barang-barang ini dibuang sembarangan dan disalahgunakan, kami putuskan untuk mengunci semuanya di sini.”
Hati-hati Reinald menyentuhkan jari ke tongkat emas tersebut, merasakan permukaannya yang mulus dan dingin seperti logam. Tongkat itu tidak bergeser sedikit pun oleh sentuhannya, dan ketika pemuda itu mendorongnya, tongkat itu bergeming.
”Mungkin kamu bisa menemukan sesuatu di sini,” lanjut Nadine, walaupun nada suaranya menyiratkan sebenarnya ia tidak terlalu yakin. ”Mungkin kamu bisa mengasah kemampuanmu dengan barang-barang ini. Sebagian besar memang sudah rusak atau hilang kemampuannya, tapi beberapa masih ada yang aktif. Mungkin…” suaranya menghilang dan gadis itu mengangkat bahu.
Mendadak Reinald memutuskan untuk sedikit bermain api. ”Kamu menyuruhku memeriksa barang-barang ini karena ingin mencari tahu apa orang yang dulu menyegel Seise Felliri punya kemampuan yang sama denganku, kan? Apa orang itu juga Master Artefak? Coba kutebak. Tongkat ini, dia yang buat, kan? Benda-benda ini, semua artefak ini, dia yang menciptakannya, kan? Kamu mau tahu apa salah satu dari ciptaannya ini benda bertuah, seperti yang Pak Edwin katakan?”
Nadine mengatupkan bibir. Mata hitamnya mulai menyala-nyala, namun kemarahannya lebih mirip uap dingin es yang menguar dari tubuhnya dan perlahan-lahan membekukan ruangan. ”Aku hanya berniat membantumu,” ucap gadis itu dingin, lalu berbalik ke arah pintu.
”Sebentar, Nadine,” Rei meraih lengan gadis itu, menahan langkahnya. ”Maaf kalau aku menyinggungmu, tapi aku tidak akan minta maaf atas pertanyaanku barusan. Kamu selalu seperti ini. Setiap kali ada perkataanku yang agak menyelidiki masa lalumu, kamu langsung diam, marah, atau menutup diri. Kali ini, aku tidak akan diam saja. Sampai aku mendapatkan jawaban dari pertanyaanku, kamu tidak boleh ke mana-mana.”
Gadis itu tak menyahut, matanya yang menyorot tajam masih menusuk pandangan pemuda itu. ”Kamu mencuri dengar pembicaraanku dengan Pak Edwin.”
”Tidak bisa dikatakan mencuri dengar, dong, kalau percakapan kalian kebetulan terdengar olehku?” Reinald menyeringai tak berdosa.
Nadine masih berdiam diri, mulutnya terkatup rapat oleh kekesalan. Ruangan tersebut terasa beku oleh kemarahannya. ”Ayolah, Nadine,” sahut pemuda itu. ”Jawab saja pertanyaanku. Apa susahnya, sih?”
”Kamu menanyakan hal-hal yang bukan urusanmu!” pemuda itu terkesiap ketika gadis itu menghentakkan lengan sampai genggamannya terlepas. ”Masa laluku ya urusanku sendiri. Apa hakmu bertanya-tanya, hah?” suara gadis itu semakin meninggi oleh emosi. ”Memangnya kamu ini siapa?”
Rei ternganga. ”Aku ini temanmu! Ya ampun, Nadine, kenapa kamu sepertinya selalu menganggap aku ini musuhmu? Aku orang yang ada di pihakmu! Belum cukup semua yang kutunjukkan untuk meyakinkanmu kalau aku bersedia membantumu, tanpa kamu minta sekalipun? Apa lagi yang harus kulakukan agar kamu mau percaya padaku?”
Sunyi, tak ada jawaban. Raut wajah Nadine masih tak berubah, walaupun sorot kemarahan telah menghilang dari matanya. Gadis itu terlihat seperti seekor burung yang terdesak ke sudut sangkar, ingin melarikan diri tapi tak tahu ke mana. Sesal mulai merayapi hati pemuda tersebut karena telah membentak gadis itu. Apalagi yang bisa kulakukan? Kamu berkeras tidak mau keluar dari cangkangmu, jadi jangan salahkan kalau aku yang maju dan memecahkan cangkang itu.
Mendadak Nadine menghela napas dan menutup mata. ”Sudah bertahun-tahun lamanya tak ada yang bisa kupercaya,” sahutnya. Wajahnya mengernyit, seakan-akan berbicara membuat seluruh tubuhnya kesakitan. ”Selama ini aku selalu sendirian, tak ada yang bisa kumintai tolong. Tapi karena kesendirian itulah sampai saat ini aku masih bisa hidup. Percaya pada orang lain hanya akan membuatku terbunuh.”
Reinald merasakan tubuhnya merinding. Gadis di hadapannya itu tersenyum, tapi senyum getirnya menyatakan ia tidak bercanda. Gelombang kengerian melanda pemuda itu. ”Kamu… dulu hidup di dunia seperti apa? Dunia di mana kamu tidak bisa tersenyum, tidak bisa minta tolong pada siapa pun, dunia yang akan membunuhmu kalau kamu percaya pada orang lain? Dunia macam apa itu?”
”Imajinasi paling liar sekali pun mungkin tidak akan bisa membayangkan duniaku.”
”Lalu kenapa kamu mau saja hidup di dunia seperti itu? Kenapa kamu tidak pergi saja sejauh-jauhnya dari sana?”
Nadine tertawa pahit. ”Aku sudah pergi dari sana,” bola mata hitam tersebut menyapu mata Rei, mengungkapkan sejuta kata tak terucapkan. ”Aku sudah lari dari sana, kabur tunggang langgang secepat dan sejauh yang aku bisa. Masalahnya, apa dunia itu mau membiarkanku pergi?”
Tenggorokan Reinald tercekat. Ia ingin sekali mengatakan sesuatu, tapi tak mampu mengeluarkan suara. Gadis itu meneruskan perkatannya, ”Yah, barangkali setelah bertahun-tahun hidup seperti itu, aku lupa bagaimana caranya percaya pada orang lain. Lupa bagaimana caranya menyerahkan punggungku pada orang lain.”
Keheningan menggantung berat, menyesakkan napas. Pemuda itu berdehem dan berkata, ”Kalau kamu takut, mungkin kamu bisa menyihirku supaya aku tidak bisa mengkhianatimu? Seperti waktu kamu menyihirku supaya aku menjaga Seise Felliri dengan seluruh jiwaku?”
Mata gadis itu menyipit. ”Apa gunanya kepercayaan atas dasar sihir? Sihir itu bukan sesuatu yang kekal, ada beribu cara untuk mematahkannya. Tapi…” mendadak gadis itu tersenyum, senyum langkanya yang selalu membuat pemuda itu deg-degan seperti habis berlari marathon. ”Aku benar-benar menghargai tawaranmu untuk menunjukkan seberapa jauh kamu akan menjaga kepercayaanku. Aku… kalau aku akan belajar untuk kembali percaya pada orang, kupikir… lebih baik kalau orangnya itu kamu.”
Terdorong oleh perasaan tiba-tiba, Rei melangkah maju dan meraih gadis itu ke dalam pelukannya. ”Sudah kukatakan kan, kamu bisa percaya padaku. Sampai mati pun aku tidak akan mengkhianatimu.”
Tubuh gadis itu menegang dalam pelukannya, tangannya mengepal seperti akan memberontak, namun kemudian Nadine melemaskannya kembali. ”Aku ingin tahu, apa orang yang menciptakan Seise Felliri itu punya kemampuan yang sama denganmu. Aku ingin tahu. Aku harus tahu. Kamu… kamu mau membantuku?”
”Pasti. Bantuan apa pun yang kamu minta, selama aku sanggup, pasti aku penuhi. Hanya saja, kamu harus berjanji dua hal.”
“Apa?”
“Pertama, panggil aku Rei. Kedua, beritahu aku alasan dari semua tindakanmu. Semua permintaanmu. Seperti sekarang, kenapa kamu harus tahu mengenai kemampuan orang itu.”
”Ya, aku… aku akan memberitahumu alasannya.”
Reinald menjauhkan kepala sedikit, mencari mata gadis itu. ”Janji?”
”Janji, Rei.”
Sejenak mereka berdua terdiam, saling memandang lurus ke mata masing-masing. Bibir Nadine berjarak dekat sekali dengannya, membuat pemuda itu ingin sekali melekatkan bibirnya sendiri di sana. Namun sepertinya pikiran tersebut tergambar di wajahnya, karena tiba-tiba muka gadis itu memerah, lalu perlahan lengannya mendorong pemuda itu menjauh.
”Terima kasih. Aku… biar kutunjukkan beberapa artefak yang pernah kupakai.” Gadis itu berputar ke arah lemari, sedemikian rupa sampai Rei tak dapat melihat matanya. ”Hmmm, sebentar. Yang ini… tidak, tidak. Apa yang ini saja, ya?” gadis itu sibuk bergumam sendiri seraya mengaduk-aduk isi laci lemari di hadapannya.
Apa dia jadi grogi setelah kupeluk tadi? Reinald tersenyum sendiri.
”Yang mana, ya?” gadis itu masih terus mencari. “Ah, yang ini sepertinya bagus.”
Nadine menarik keluar seutas kalung. Liontinnya berupa batu hijau besar yang terletak di atas piringan kuningan berukir. Beberapa batu coklat kecil menghiasi piringan tersebut. Rantainya juga terbuat dari kuningan, terjuntai panjang dari tangan gadis itu.
”Dulu kami menggunakan kalung ini sebagai penghisap racun,” gadis itu meletakkan perhiasan tersebut di tangan dan mengusap batunya. ”Tapi setelah kami mampu mengeluarkan sendiri racun apa pun yang masuk ke badan kami, kalung ini jadi tidak terpakai. Sepertinya kalung ini masih bisa digunakan.”
Rei menerima benda tersebut dari tangan Nadine. Seperti ketika di rumah Pak Edwin, pemuda itu mulai berkonsentrasi memeriksa artefak tersebut, mengamatinya dengan seksama. Tampaknya biasa saja di matanya, tidak ada yang istimewa. Didekatkannya batu hijau tersebut ke hidung dan diendusnya dalam-dalam. Hm, tidak ada bau apa pun yang tercium. Kemudian didekatkannya liontin tersebut ke telinga. Ketika memilah-milah koleksi senjata Pak Edwin, pemuda itu mendengar suatu suara dari pisau yang dipilihnya. Karena itulah ia memilih senjata tersebut. Dan ternyata pilihannya tidak salah.
Suara dengungan masih memenuhi ruangan, namun Reinald berkonsentrasi dan mengabaikannya. Tak lama kemudian suara-suara itu perlahan menghilang dari telinganya, sampai yang tersisa hanyalah detak jantungnya sendiri.
Kemudian ia bisa mendengar sesuatu. Suatu suara yang sangat halus, seperti kibasan kain lembut.
”Ada… sesuatu di dalam sini,” Rei mengangkat kalung tersebut dan mendekatkan liontinnya ke mata, berharap dapat mengintip pergerakan apa pun di dalam batu tersebut. ”Sesuatu yang bergerak.”
”Oh, ya?” Nadine ikut mengamati perhiasan tersebut. ”Kamu yakin?”
”Yakin sekali,” jawab pemuda itu. Ya, ada suatu benda di dalam kalung tersebut. Suara halus tadi terdengar makin keras di telinganya, menenggelamkan bunyi-bunyian lain, bahkan komentar yang baru saja Nadine lontarkan. Rasanya seperti ada yang berkelebat di dalam batu hijau tersebut. Kalau saja ia bisa menangkapnya, melihatnya…
Mendadak ia berada di dalam sebuah ruangan yang berbeda. Semuanya terjadi begitu saja. Detik sebelumnya ia masih di dalam kamar bersama Nadine, dan detik berikutnya ia telah berada di tempat lain. Reinald ternganga kaget, melongo memandangi sekelilingnya. Apa yang terjadi? Di mana ini?
Ruangan tersebut tampak oval, dinding-dindingnya melengkung keluar dari lantai sampai ke langit-langit. Bahkan bagian atasnya pun berupa lengkungan, menjulang jauh di atas sana. Seberapa tinggi tempat ini sebenarnya? Lima meter? Enam meter? Seluruh permukaan ruangan tersebut berwarna hijau, mulus dan mengkilat. Pemuda itu berjongkok dan mengelus lantai di bawahnya. Rasanya dingin seperti batu. Di mana ini?
Kemudian ia mendengarnya lagi. Suara kelebatan angin, bergemuruh memenuhi ruangan tersebut. Bunyi tersebut terdengar tak beraturan, seolah-olah udara bertiup berputar dengan kecepatan tak menentu di sana. Anehnya Rei tidak merasa takut. Ia malah merasa harus menemukan sumber suara tersebut.
Pemuda itu mengedarkan pandangan, menajamkan telinga. Angin ribut itu seperti datang dari segala arah, namun ia bisa memastikan bahwa asalnya dari balik dinding di hadapannya. Pemuda itu menyentuh permukaan halus tersebut dan menempelkan telinga. Ya, benar, bunyi itu berasal dari balik sana.
Tanpa ia sadari tangannya sudah terulur, menyusuri permukaan dingin dan licin tersebut. Apa yang sebenarnya ia cari? Entahlah, namun tangannya seperti punya nyawa sendiri, meraba-raba dinding tersebut, mempelajari teksturnya. Ketika ia tak menemukan apa-apa, otomatis tubuhnya berpindah, memeriksa bidang lain, merasakan permukaan tersebut dengan tangannya.
Lalu jarinya merasakan sesuatu. Suatu garis kecil, begitu halus sehingga hampir-hampir terlewatkan. Seperti retakan di kulit telur. Suatu pemikiran melintas di kepalanya dan Reinald menekan retakan tersebut, berusaha memecahkannya. Dinding di hadapannya bergeming, namun suara angin topan di sekelilingnya mendadak semakin ganas. Pemuda itu mendorong sekuat tenaga, menumpukan seluruh berat badannya ke garis tipis di permukaan tersebut, dan keretakan itu memanjang, namun berhenti sekitar lima sentimeter dari keadaan asalnya.
Bunyi-bunyian menderu di telinganya, memekakkannya, menghilangkan suara-suara yang lain. Rei menutup kuping dengan satu tangan dan dengan tangan yang lain memukuli dinding lengkung di hadapannya. Ia harus memecahkan permukaan tersebut.
Suara-suara melolong ribut, melemahkan inderanya, menumpulkan otaknya. Pemuda itu menggertakkan gigi. Ia harus menghancurkannya. Harus! Pusaran bunyi tersebut mencapai klimaksnya, menyerbu dari segala arah, dan Reinald berteriak, meninju retakan di hadapannya sekuat tenaga.
Garis di permukaan tersebut memanjang, menghubungkan lantai dan langit-langit dalam satu tarikan lurus, kemudian dinding tersebut pecah seolah-olah diledakkan dari dalam. Kepingan-kepingan batu hijau berhamburan di sekeliling Rei. Sebelum pemuda itu sempat berlindung, sesuatu menyeruak keluar dari dalam lubang yang tercipta di dinding. Sesuatu yang berukuran raksasa itu menembus guguran batu dan menabrak Reinald, menghempaskannya ke lantai yang dipenuhi potongan-potongan dinding berujung runcing. Suara badai dan kehancuran di sekelilingnya berpadu dan berbaur, menyeretnya ke dalam kegelapan yang berputar.
Ketika membuka mata lagi Nadine telah membungkuk di atasnya. Wajah gadis yang biasanya tak berekspresi itu dipenuhi kecemasan luar biasa, matanya bergerak liar mengamati pemuda itu.
”Rei!” seru gadis itu, terdengar kaget sekaligus lega, takut sekaligus marah. ”Kamu kenapa? Tiba-tiba saja kamu diam, tidak bereaksi walaupun kupanggil-panggil. Lalu mendadak kamu jatuh begitu saja. Apa yang terjadi?”
”Aku…?” pemuda itu mengerjap. Apa yang baru saja terjadi? Ia berpindah ke tempat lain, lalu… Pemuda itu baru menyadari bahwa tangannya yang tergeletak di lantai masih menggenggam sesuatu. Ia membuka kepalan, dan tiba-tiba seekor binatang terbang keluar dari tangannya. Seekor kupu-kupu, dengan sayap coklat kehitaman. Hewan tersebut berputar-putar sejenak, kemudian hinggap di tembok kamar dan membuka sayapnya.
Reinald bangkit ke posisi duduk. Dengan keheranan diperhatikannya kupu-kupu itu. Binatang itu tadi keluar dari tangannya yang masih menggenggam kalung berliontin batu hijau tersebut. Apa mungkin? Sewaktu dinding ruangan aneh itu hancur berkeping-keping, sewaktu suatu sosok raksasa menghambur keluar dari baliknya, pemuda itu yakin telah melihat kelebatan sayap. Badan yang berbulu. Mungkinkah?
Nadine tampak sama terpukaunya. ”Dari mana kupu-kupu itu masuk?”
Rei bangkit berdiri. Tidak dihiraukannya protes gadis itu yang menyuruhnya tetap berbaring. Perlahan didekatinya makhluk yang menempel di tembok tersebut. Binatang itu tampak tidak terganggu oleh kedatangan pemuda itu. Dari dekat, ternyata hewan itu lebih mirip ngengat daripada kupu-kupu, kalau saja ngengat punya enam sayap dan antena bercabang-cabang seperti tanduk rusa. Di tiap-tiap sayapnya terdapat satu lingkaran hitam yang sekilas terlihat seperti mata. Pemuda itu mengulurkan tangan dan mengelus makhluk tersebut. Sayapnya terasa berbulu, menggelitik jari.
Nadine telah berdiri di dekat Rei. “Apa itu?” tanyanya setengah berbisik, seperti takut kalau-kalau hewan itu akan kaget dan terbang akibat suaranya.
“Artefak,” jawab pemuda itu takjub, tangannya masih belum lepas dari binatang tersebut.
“Apa?”
“Aku berhasil, Nadine,” suatu perasaan mulai meluap-luap dalam hati Reinald. Perasaan senang teramat sangat, puas tak terkira. Terakhir kali ia merasa begitu adalah waktu ia masih kecil, sewaktu mobil-mobilan rakitannya menjuarai turnamen yang diselenggarakan di suatu pusat perbelanjaan.
“Aku mendengar suara kepakannya dari dalam kalung itu. Waktu kuperiksa, tiba-tiba saja aku masuk ke dalam batu liontinnya.” Ya, pasti begitu, ruangan bulat aneh yang seperti terbuat dari batu hijau itu pastilah liontin itu sendiri. ”Aku sendiri tidak tahu bagaimana caranya sampai aku bisa masuk ke sana. Di dalam sana, suaranya bertambah kencang. Tiba-tiba saja terpikir olehku untuk mengeluarkan benda apa pun yang menghasilkan bunyi ribut itu. Kupecahkan dindingnya dengan tanganku, dan mendadak ngengat ini terbang keluar dan menabrakku. Yah, di dalam sana ukurannya sudah seperti raksasa, tidak kecil seperti ini. Pokoknya aku berhasil. Nadine, aku berhasil mengaktifkan artefak ini!”
Gadis itu hanya terdiam, keningnya berkerut seolah berusaha mencerna informasi tadi. Matanya beralih dari ngengat di dinding ke pemuda itu. Rei tersadar kalau ia sedang nyengir lebar seperti anak kecil, tapi ia tidak peduli. Ia berhasil!
Kemudian gadis itu tersenyum. Senyum gembira yang membuat wajahnya tampak bersinar-sinar. “Hebat, Rei. Selamat, ya! Sepertinya kamu memang Master Artefak sejati.”
Entah senyum itu yang mendorongnya, atau mungkin pujian itu. Yang mana pun, yang pemuda itu tahu berikutnya adalah ia telah menarik Nadine ke dalam pelukannya dan mencium gadis itu dalam-dalam. Bibir gadis itu terasa begitu lembut dan manis, dan di luar dugaan, begitu hangat membara, membuat darah pemuda itu mengalir kencang dan jantungnya berdegup tak karuan.
Sebenarnya pemuda itu ingin menikmati ciuman tersebut selama mungkin, tapi ia tahu, kalau lebih lama dari ini, Nadine pasti akan menghajarnya. Jadi dilepaskannya gadis itu setelah diberinya satu lagi ciuman ringan di pipi. ”Terima kasih, Nadine. Kamu tidak tahu seperti apa perasaanku saat ini. Rasanya seperti terlahir kembali, seolah-olah selama ini aku hidup dengan mata tertutup, dan tiba-tiba saja mataku terbuka lebar. Terima kasih, ya. Ini semua karenamu. Kalau tidak bertemu denganmu, mungkin aku takkan pernah lagi teringat akan perasaan seperti ini.”
Gadis itu masih ternganga kaget, terpaku di tempat. Mendadak wajahnya merah padam, dan matanya menyala-nyala murka. ”Sialan! Apa-apaan itu tadi? Seenaknya saja! Kurang ajar! Pergi dari sini!”
Reinald memutuskan bahwa saat itu adalah saat yang tepat baginya untuk mengundurkan diri. ”Oke, oke, aku pulang dulu. Besok aku ke sini lagi, ya.”
”Tidak usah ke sini lagi!” sembur Nadine. “Ke neraka saja kamu!”
“Ya, ya. Sampai besok, Nadine.”
“SIALAN!”
Pemuda itu bergegas keluar kamar dan menutup pintu. Di bawah, Gakka sudah berdiri di kaki tangga. Matanya yang putih memandang pemuda itu dengan tatapan bertanya.
“Aku hanya menggodanya sedikit, kok,” jawab Rei. “Kurasa Nadine tidak marah betulan, tapi sepertinya lebih baik aku pulang dulu. Barang-barangku ada di mana, ya?”
-Apa yang sudah kamu lakukan?-
Pemuda itu mengangkat bahu, berusaha agar ekspresinya tetap netral, tapi kemudian menyadari bahwa hal itu percuma saja, karena sejak tadi ia sudah menyeringai kesenangan seperti orang bodoh. Dan ia sendiri tidak ingin menghapus ekspresi tersebut dari mukanya. ”Hanya mengagetkan Nadine sedikit, kok,” akunya.
Di luar dugaan, sorot mata Gakka sekilas menyiratkan kepuasan. Ah, tapi mungkin itu hanya perasaannya saja, karena saat itu Gakka sudah mengangguk dan menjawab dengan gaya formalnya. -Akan kuambilkan barang-barangmu. Bajumu masih basah, jadi lebih baik pakai saja baju Ildarrald Daevar tersebut.-
Sebuah pikiran terlintas dalam kepala Reinald dan pemuda itu cepat berucap, ”Sebentar. Setelah kupikir-pikir lagi, tidak usah diambilkan. Kalau barang-barangku tertinggal di sini, aku jadi punya alasan untuk ke sini lagi besok.”
Makhluk itu terdiam sejenak, lalu mengangguk setuju. -Kalau begitu, sampai besok. Sebaiknya kamu pergi sekarang, sebelum Nadine Felledia turun ke sini.-
Setelah bergegas mengeluarkan Ducati dari pekarangan rumah, Reinald mengendarainya menyusuri malam yang telah turun menyelimuti kota Bandung. Hujan sudah berhenti, namun pemuda itu hampir-hampir tak menyadarinya. Lampu-lampu di kiri dan kanan jalan terlihat hanya seperti kelebatan di matanya. Pikirannya tak bisa lepas dari Nadine, dan tubuhnya terasa menyatu dengan Ducati, terbang mengarungi langit malam.
Setibanya di rumah, untuk pertama kalinya setelah berbulan-bulan lamanya, Rei tertidur nyenyak, hanyut dalam kegelapan tanpa mimpi.
***