Air hujan beku melecuti tubuh Rei, menampar helmnya. Hanya dalam beberapa menit jaketnya sudah basah kuyup. Tangannya yang terbungkus sarung tangan hampir mati rasa karena kedinginan.
Pemuda itu melirik sejenak ke belakang dan melihat Nadine. Gadis itu tampak tak terpengaruh cuaca jelek tersebut. Matanya menatap ke arah kejauhan, seolah sedang memikirkan sesuatu.
“Nadine. Oi, Nadine!”
Gadis itu tersentak kaget. “Apa?”
“Pulangnya ke arah mana? Aku masih belum terlalu hafal jalanan Bandung.”
Mata gadis itu membelalak. “Jangan, jangan pulang dulu.”
“Apa? Kalau tidak mau pulang lalu mau apa? Kencan? Dengan baju basah begini?”
“Ada tempat yang mau kudatangi,” sahut gadis itu. “Kutunjukkan tempatnya.”
“Ha? Kamu sebegitu inginnya kencan denganku, ya?”
“Bukan!” seruan gadis itu mengalahkan deru angin. “Ada yang mau kupastikan. Tenang saja, di sana ada baju ganti. Pokoknya kita harus pergi ke sana.”
Rei menggeleng-geleng. Kenapa lagi gadis itu, apa otaknya sudah korslet karena kehujanan? Tapi dia kan penyihir es, seharusnya badai ini tidak mempengaruhinya sama sekali. Ah, ya sudahlah, ia turuti saja dulu kemauan gadis itu.
“Jadi sekarang ke mana?”
“Kiri,” sahut Nadine. “Lewat Gandok.”
Ducati yang mereka naiki berbelok menyusuri pertigaan Cimbeuleuit, kemudian melaju di sepanjang jalan Siliwangi. Hanya ada mobil di jalanan sekarang, pengendara motor lainnya sudah lama menepi dan berteduh ketika tetes-tetes pertama hujan turun dari langit. Reinald berkonsentrasi untuk memacu motornya secepat namun seaman mungkin. Nadine boleh saja memerintahkannya menembus badai ini, tapi ia tidak bilang kalau pemuda itu tidak boleh mengebut.
Gadis itu sama sekali tidak memprotes laju motornya, sehingga mereka melesat di atas jalanan yang kini berkilau karena basah. Tak lama kemudian mereka memasuki kawasan Simpang Dago yang dipenuhi angkot yang berhenti, berusaha menjaring penumpang sebanyak mungkin di hari hujan. Tenda-tenda penjaja makanan kaki lima mengisi hampir setiap jengkal daerah tersebut, dipenuhi orang-orang yang berteduh. Pejalan kaki yang menggunakan payung pun tampak basah kuyup oleh hujan miring yang disebabkan angin kencang.
Nadine memandunya berputar U dua ratus meter dari Simpang, kemudian berbelok ke kiri dan memasuki jalan Tubagus Ismail. Rei merasakan suasana di sekitarnya tiba-tiba menggelap, yang mungkin disebabkan bayangan pepohonan yang mewarnai pinggir kiri dan kanan jalan. Lalu lintas di sini cukup sepi.
“Belok kiri di depan,” tunjuk gadis itu, dan mereka memasuki satu jalan kecil yang cukup lebar. Rumah-rumah berdiri tegak mengapit kedua sisi jalan tersebut. Plang nama jalannya berbunyi: Jl. Tubagus Ismail VII.
Atas petunjuk Nadine, Reinald menghentikan motor di depan sebuah rumah bertingkat dua yang cukup besar. Cat putihnya sudah usang, jendela-jendelanya tertutup rapat dan terhalang tirai. Gerbangnya yang juga dicat putih sudah terkelupas di sana sini, memperlihatkan karat merah dan hitam di baliknya. Sebuah gembok besar dan berat berwarna hitam menggelantung di sana. Halamannya yang tak terurus dipenuhi tumbuhan liar. Namun yang membuat mata pemuda itu terpaku ialah sebuah patung yang berdiri di tengah-tengah halaman tersebut.
Patung itu berbentuk seperti manusia, tapi dengan sisik-sisik kecil seperti ular menutupi sekujur tubuhnya. Tingginya hampir dua meter dan mukanya rata sama sekali. Yang ada hanyalah sepasang mata putih yang berkilau seperti dari kaca. Tangan patung itu, yang seperti pedang bengkok, terangkat tinggi ke udara, seolah-olah ingin menakut-nakuti siapa pun yang memandangnya. Cat hitam yang menutupi benda tersebut tampak mulus, malah hampir seperti baru, sangat kontras dengan latar di belakangnya.
Rei hendak melepaskan helm, namun mengurungkan niat karena tidak ingin kepalanya basah. “Ini tempatnya? Kok terlihat seperti rumah setan?”
Nadine meluncur turun dari motor. “Ini memang rumah setan.”
Pemuda itu melongo memandangnya, tidak yakin apakah gadis itu bercanda atau tidak, dan Nadine mengibaskan tangan. “Bawa motormu ke dalam.”
Reinald baru saja mau bertanya bagaimana caranya mereka bisa masuk ke dalam kalau gerbang itu digembok, ketika tanpa disangka-sangka Nadine menggenggam tangannya. Pemuda itu merasakan darah di tubuhnya mendadak mengalir tiga kali lebih cepat, dipicu jantungnya yang tiba-tiba berpacu seolah dikejar sesuatu. Angin dingin menerpa pakaiannya yang basah tanpa ampun, namun saat itu ia justru merasakan kehangatan, yang berasal dari genggaman Nadine dan menyelimuti tubuhnya sampai ke ujung rambut.
“Rumah ini dilindungi grae yang sangat kuat,” ucap Nadine. “Hanya aku dan teman-temanku yang bisa masuk, jadi aku harus memegang tanganmu supaya kamu juga bisa ikut masuk.”
Rei berkedip mendengarnya. Oh, kukira dia mau melakukan apa. Pemuda itu menatap Nadine dan melihat kaus gadis itu menempel ketat pada tubuhnya akibat basah. Duh, cewek ini benar-benar cobaan buat jantungku.
Masih sambil menggandeng tangan pemuda itu, Nadine menghadap ke arah rumah tersebut. Kemudian gadis itu berucap, “La, Brennet lo te Fitha, ashte ver ha amane vere lide, O Farsei Foruna. Osei du thimet ungar vere jenna.”
Sesaat udara di sekitar mereka seolah berkilauan oleh puluhan manik-manik, seakan-akan tetesan hujan mendadak mengkristal menjadi butiran es. Kemudian imaji tersebut pun hilang secepat kemunculannya, sehingga Reinald menyangka ia hanya salah lihat. Gadis itu melepaskan tangan, dan pemuda itu mendadak menyesal karena tak sempat menahan genggaman Nadine. Tapi gadis itu telah berjalan mendekati rumah, dan pemuda itu tak punya pilihan selain mendorong motornya mengikuti.
Pada langkah kelima, mendadak Reinald merasakan sesuatu. Ia seperti baru saja berjalan menembus suatu tirai, halus dan lembut menyentuh kulitnya. Pemuda itu berbalik namun tidak melihat apa-apa. Tak ada apa pun di udara di belakangnya. Ia menatap Nadine dan gadis itu berkata, “Yang tadi kamu rasakan itu lapisan pelindung yang melingkupi rumah ini. Ayo.”
Nadine meraih kedua pintu gerbang dan mendorongnya. Dengan terheran-heran Rei melihat gerbang tersebut terayun membuka dengan mudah. Bukannya gerbang itu digembok? Dan bukannya seharusnya engselnya yang berkarat akan membuatnya sulit dibuka? Pemuda itu memandangi gerbang tersebut dan baru menyadari bahwa tidak ada gembok terpasang di sana. Lebih jauh lagi, gerbang tersebut tidak tampak termakan waktu sama sekali, cat putihnya amat bersih seperti masih baru. Reinald mengangkat wajah dan tersentak.
Rumah yang tadinya tampak tidak terurus itu sudah berubah. Catnya yang tadinya tampak suram kini mengkilap seperti baru, halamannya yang tadinya seperti hutan belantara kini tertata rapi, bahkan terlihat beberapa kuntum bunga berwarna merah dan kuning menghiasi kebun tersebut. Sosok patung di tengah halaman itu pun berubah, catnya yang tadinya hitam kini berganti dengan kuning muda, namun hal itu sama sekali tak mengurangi kesan mengerikan yang terpancar darinya.
Pemuda itu memarkir motor di jalan berbatu putih yang mengarah ke sebuah garasi, melepaskan helm dari kepala, dan menggantungkannya di stang motor. Hujan yang belum reda kembali mengguyurnya. Matanya menangkap patung kuning di tengah-tengah halaman tersebut, dan pemuda itu kembali mengamatinya, tak bisa mengalihkan pandangan ke arah lain. Sosok itu benar-benar menggelisahkan, seperti manusia ular bertangan belalang sembah.
Mendadak patung itu melompat ke arahnya.
Semuanya seperti terjadi dalam waktu bersamaan. Reinald berteriak kaget, refleks melangkah mundur. Tanpa sadar tangannya menarik keluar pisau pemberian Pak Edwin dari sarung yang terselip di pinggang. Nadine berbalik, meneriakkan satu kata yang artinya tak sampai ke otak pemuda itu. Patung kuning itu menjulang di hadapannya, matanya yang putih seluruhnya mengkilap berbahaya, tangan sabitnya teracung tinggi siap menghunjamnya.
Lalu baru Rei sadari bahwa sosok batu di hadapannya itu sedang tertawa. Tertawa mungkin bukan kata yang tepat, karena tak ada suara apa pun keluar dari patung itu. Suara tawa yang pemuda itu dengar berasal langsung dari dalam kepalanya.
“Gakka!” seru Nadine marah. Gadis itu sudah berdiri di dekat mereka, melipat kedua tangan di depan dada. “Apa-apaan itu tadi?”
-Maafkan aku, Nadine Felledia,- sosok itu menjawab, nada geli bergema di dalam kepala Rei. -Sudah lama sekali aku tidak kedatangan tamu, sehingga mendadak aku jadi ingin bermain-main sedikit.- Patung itu membungkuk ke arah Reinald dan mengulurkan tangan. -Maafkan aku, denne, kuharap aku tidak menyinggungmu dengan leluconku.-
Baru saat itu pemuda tersebut menyadari bahwa ia sudah terduduk di lantai berbatu, tangannya yang menggenggam pisau terangkat di depan wajah, seolah-olah untuk membentengi diri. Rei menyarungkan kembali senjatanya dan meraih tangan Gakka, meletakkan telapak tangan di lengan sabit sosok itu karena tak ada jari yang bisa ia genggam. “Eh, tidak apa-apa. Aku hanya kaget.” Berbagai macam pertanyaan berkecamuk di kepalanya ketika makhluk itu membantunya berdiri, namun yang terlontar dari mulutnya hanyalah, “Kamu ini… bukannya patung, ya? Kok bisa gerak?”
Gakka kembali terpingkal geli, bahunya berguncang seperti manusia. Reinald menatapnya bingung. Aku salah ngomong, ya?
Melihatnya, Nadine memukul lengan sosok itu kesal, “Sudah, berhenti mengganggunya! Lebih baik kamu siapkan baju ganti, aku dan Reinald sudah kedinginan, tahu!”
Patung itu menghentikan tawanya. -Siap, Nadine Felledia,- sahutnya.
“Dan berhenti memanggilku begitu.”
-Baik, Nadine Daevar.-
“Jangan panggil aku seperti itu,” sergah gadis itu. “Aku ini bukan Daevar lagi,” namun Gakka seolah tak mendengarnya. Dengan riang ia mendahului mereka melangkah ke beranda yang ditutupi tegel berwarna putih.
-Silakan masuk, denn. Selamat datang di Farsei Foruna Tinggalkan saja sepatu kalian di sini, nanti aku yang akan mengurusnya.-
Setelah melepaskan alas kaki, Reinald memasuki rumah tersebut bersama Nadine. Ruang tamu yang gelap menyambut mereka. Tangan sabit Gakka terulur ke arah saklar lampu dan menghidupkannya. Nyala lampu TL menerangi ruangan tersebut, memperlihatkan satu set sofa kulit berwarna hitam yang tampak nyaman dan empuk. Sebuah meja tamu dari kaca bertaplak merah berdiri dikelilingi sofa tersebut, sebuah vas berisi bunga berwarna kuning menghiasinya.
Nadine memperhatikan sekelilingnya sesaat. “Kamu benar-benar merawat rumah ini ya? Hebat.”
Sosok berkulit kuning itu menundukkan kepala sedikit atas pujian tersebut. -Terima kasih, Nadine Felledia.-
“Bagaimana…” Nadine ragu-ragu sejenak, kemudian meneruskan dengan nada santai, seolah keragu-raguannya tadi hanya jeda belaka, “Apa kabar, Gakka? Ada kejadian menarik belakangan ini?”
-Mengingat bahwa kamu sudah pergi selama bertahun-tahun, tentu saja ada banyak kejadian menarik. Aku pernah mengusir seorang pencuri yang berusaha masuk ke rumah ini dengan paksa. Aku juga pernah menakut-nakuti sekumpulan anak kecil yang bermain-main di halaman. Seperti itulah keseharianku di sini.-
“Wah, pasti seru sekali, ya,” gadis itu tersenyum. Senyum yang, Rei sadari, sama sekali tidak menyentuh matanya. “Tidak ada anggota Ildarrald Daevar lain yang datang ke sini?”
Gakka mengamatinya sejenak, seolah-olah hendak menerka maksud dan alasan pertanyaan gadis itu. -Tidak ada. Setelah kalian pergi, selama tiga tahun aku berjaga di sini, dan selama itu tak seorang pun yang datang kemari selain dirimu saat ini.-
“Jadi sudah tiga tahun, ya…” Reinald mendengar Nadine bergumam. Kemudian, seolah untuk meringankan suasana, gadis itu melanjutkan, “Kamu pasti kesepian, ya?”
-Tidak juga. Aku masih terus berhubungan dengan keluargaku. Lagipula, aku sudah berjanji padamu akan menjaga tempat ini, dan itulah yang kulakukan.-
“Yah, pokoknya aku senang sekali bertemu lagi denganmu. Kamu kelihatannya tidak berubah ya, Gakka.”
-Kamu juga tidak berubah, Nadine Felledia.-
Rei menatap gadis itu, mencari-cari jawaban di sana, namun Nadine tak menghiraukannya. Tanpa berkata apa-apa gadis itu mengikuti Gakka, sehingga pemuda itu tidak punya pilihan lain selain mengekor keduanya.
Makhluk itu melangkah ke sebuah kamar berukuran sedang. Sebuah tempat tidur ganda terletak di sudut kamar tersebut. Sebuah meja belajar sederhana dari kayu menempel pada jendela di seberang tempat tidur, dan di sebelahnya berdiri sebuah lemari pakaian yang juga tampak sederhana. Gakka membuka pintu lemari tersebut dan mulai memilih-milih di antara tumpukan kain di dalamnya. Dengan gumaman puas ditariknya beberapa lembar kain dari sana dan diserahkannya pada Nadine.
Alih-alih menerimanya, gadis itu menatap makhluk itu tajam. “Gakka, sudah kukatakan, aku ini bukan Daevar lagi.”
-Aku tahu. Tapi warna biru sangat cocok untukmu. Lagipula, pakaianmu yang lain sedang aku cuci. Yang tersisa hanya ini.-
Gadis itu menatapnya curiga. “Kamu cuci semua?”
-Cuacanya sangat baik untuk mencuci,- lanjut Gakka. -Matahari bersinar terang. Angin berhembus kencang.-
“Gakka, sekarang lagi hujan.”
Makhluk itu menatap Nadine. -Tadi pagi cuacanya benar-benar sangat bagus.-
Gadis itu mengeluh keras-keras, namun akhirnya menerima pakaian yang sosok itu sodorkan. “Aku lupa kalau kamu bisa jadi sangat menyebalkan.”
-Terima kasih.-
Gadis itu berlalu seraya masih bergumam kesal. Gakka mengamatinya pergi dengan mata putihnya yang tidak berkedip. -Nadine Daevar adalah dinne yang sangat baik,- kata makhluk tersebut, seakan-akan bergumam pada diri sendiri. -Namun kadang-kadang ia bisa jadi sangat keras kepala.-
Reinald tertawa mendengarnya. “Wah, pendapat kita sama, nih,” sahutnya. “Sepertinya kamu orangnya asyik juga, ya? Ngomong-ngomong, kamu orang, kan? Mau pindah kerja ke tempatku saja?”
Gakka menatapnya bingung. -Kalau yang kau maksud dengan ‘orang’ adalah ‘manusia’, aku bukan manusia. Dan aku tidak bisa bekerja di tempatmu. Aku sudah bersumpah untuk menjaga Nadine Felledia.-
Ya ampun makhluk ini. Ternyata ada juga yang lebih kaku daripada Nadine. “Hanya bercanda, kok. Tenang saja.”
-Baiklah, denne. Boleh aku tahu namamu?-
“Reinald. Reinald Adiprajasa. Panggil saja Rei.”
-Rei denne, senang berkenalan denganmu. Aku Gakkakon Jurono Vesbel. Panggil aku Gakka.-
Rei mengangguk, tak tahu harus berkata apa. Keformalan makhluk di hadapannya ini membuatnya rikuh. “Kenapa kamu memanggilku denne?”
–Denne berarti teman atau sahabat,- Gakka memandunya memasuki kamar lain yang hampir serupa dengan ruangan yang tadi mereka tinggalkan. Tempat tidur yang sama, meja belajar yang sama, bahkan lemari pakaian yang sama. Sosok tinggi besar itu membuka lemari dan kembali memilah-milah tumpukan baju di dalamnya. -Dengan menyebutmu denne, aku berharap dapat bersahabat denganmu. Kuharap aku tidak menyinggungmu.-
“Jangan khawatir,” sahut pemuda itu. “Sudah kukatakan kan, kita bisa jadi teman baik. Ngomong-ngomong, apa dinne artinya juga teman?”
-Ya, dinne merupakan panggilan untuk perempuan, sama seperti denne adalah panggilan untuk laki-laki,- Gakka terdiam sejenak, seperti berpikir. -Sebenarnya agak sulit mencari pakaian yang sesuai dengan ukuran tubuhmu. Tak ada anggota Ildarrald Daevar yang memiliki tubuh setinggi dirimu. Tapi kupikir aku bisa mencarikan sesuatu untukmu.- Tangan sabit sosok itu menarik keluar setumpuk pakaian berwarna hitam dan sehelai handuk. -Ini dia. Ikuti aku. Akan kutunjukkan letak kamar mandinya.-
Kamar mandi tersebut berada di bagian belakang rumah. Ruangannya sendiri cukup besar, walaupun tidak sebesar kamar mandi di rumah Reinald. Sebuah shower tergantung di sudutnya. Sebuah toilet terletak di dekat pintu masuk, dan sebuah wastafel lengkap dengan cerminnya menempel ke dinding yang tertutup tegel biru.
Sebuah kamar mandi lain menempel pada ruangan tersebut. Dari dalamnya sudah terdengar suara seseorang sedang mandi. Apa itu Nadine? Mendadak pikiran bahwa gadis itu sedang membasuh tubuh di ruangan sebelah membuat darah pemuda itu menderu naik ke kepala. Sesaat ia merasa pusing. Aduh, jangan mulai berpikir yang aneh-aneh, deh!
-Silakan,- Gakka menyerahkan tumpukan baju di tangannya pada pemuda itu. -Letakkan saja bajumu di lantai. Nanti akan aku keringkan.-
“Ah. Ya. Terima kasih,” sial, ia harus segera mengalihkan pikirannya pada hal lain! “Kalau Ildarrald Daevar?”
Makhluk kuning itu terdiam sesaat. -Arti dari kata tersebut secara langsung adalah Pelindung Bumi. Nadine dan saudara-saudaranya menyebut diri mereka seperti itu.-
“Pelindung Bumi?” keterangan tersebut berhasil membantunya menjernihkan pikiran. ”Memangnya Ildarrald Daevar itu bahasa apa? Lalu siapa saudara-saudara Nadine yang kamu katakan tadi?”
-Bahasa Ildaris.-
“Ildaris? Bahasa apa itu?”
-Bahasa Bumi Kuno,- sahut Gakka. Kemudian tanpa menjelaskan lebih lanjut, makhluk itu berucap, -Hangatkanlah tubuhmu. Aku akan menyiapkan makanan untuk kalian.-
Bahasa Bumi Kuno? Reinald baru saja akan bertanya lagi, tapi sosok tinggi besar tersebut telah berlalu. Entah kenapa, Gakka sepertinya tidak ingin ia bertanya lebih lanjut. Pemuda itu mengangkat bahu, lalu masuk ke kamar mandi. Ditanggalkannya semua baju yang basah dan ditumpuknya di lantai, seperti suruhan makhluk itu. Suara air mengalir masih terdengar dari sebelah, walaupun lebih samar sekarang. Rei menghidupkan shower dan menghujani dirinya dengan air panas sebelum ia mulai memikirkan Nadine lagi. Air tersebut terasa sangat nyaman di kulitnya, memanaskan seluruh tubuhnya yang kedinginan.
Setelah mengeringkan badan dengan handuk, Reinald mengenakan pakaian yang Gakka berikan. Sosok mirip patung itu tidak memberinya pakaian dalam, tapi pemuda itu tak mempersoalkannya. Baju itu agak kesempitan di bahunya, lengan bajunya hanya mencapai tiga perempat lengan, tapi masih cukup nyaman untuk ia gunakan. Untung celananya cukup pas untuk tubuhnya. Rei mengamati baju hitam-hitam tersebut, mengusap bahannya yang terasa aneh di tangan. Seringan katun, tapi terasa lebih tebal, dan sama sekali tidak panas. Kerah tingginya yang menutupi leher dihiasi bordiran berwarna kuning yang membentuk pola abstrak indah, begitu juga dengan ujung-ujung lengan dan kaki baju tersebut. Secara keseluruhan pakaian itu lebih mirip seragam.
Pemuda itu mencari jalan ke arah dapur sambil masih mengeringkan rambut dengan handuk. Tanpa kesulitan berarti ia sudah menemukan ruangan tersebut. Dapur itu ternyata bersatu dengan ruang makan. Gakka sedang memasak sesuatu yang baunya seperti ayam, tangannya yang berbentuk sabit anehnya seperti tidak kesulitan mengoperasikan semua peralatan memasak di sana. Sebuah meja makan oval besar memenuhi ruangan tersebut, dipagari sepuluh buah kursi. Nadine sudah duduk di atas salah satunya, kedua tangannya tertangkup mengelilingi secangkir minuman yang menguarkan uap panas. Pakaian yang gadis itu kenakan sama persis dengan pemuda itu, hanya saja dengan potongan baju lebih berlekuk, dan bordiran yang menghiasi ujung-ujung seragamnya berwarna biru, bukan kuning.
Melihat kedatangannya, serta merta gadis itu berdiri, matanya menyala-nyala marah. ”Gakka, kenapa kamu berikan seragam Ildarrald Daevar milik Ferdi pada Reinald?”
-Tidak ada baju lain yang cukup untuknya,- sahut makhluk itu tenang. -Rei denne sangat tinggi untuk ukuran ildar. Dan yang mendekati tinggi tubuhnya hanya Ferdi Daevar. Jadi satu-satunya pakaian yang sesuai untuk Rei denne hanyalah baju milik Ferdi Daevar.-
Untuk sesaat mata gadis itu masih menatapnya tajam. Kemudian Nadine kembali duduk dan menyeruput minuman, namun wajahnya masih kaku seperti menyembunyikan kekesalan.
-Silakan duduk, Rei denne. Sudah kusediakan minuman hangat untukmu. Makanan sebentar lagi akan siap.-
Secangkir minuman lain sudah tersedia di atas meja. Reinald duduk di hadapannya dan meniru Nadine, menangkupkan kedua telapak tangan di permukaan cangkir tersebut. Panasnya minuman merambat melalui permukaan wadah itu ke tangannya, menghangatkannya. Pemuda itu mengangkat cangkir tersebut dan meneguknya. Ternyata isinya teh, dengan tambahan rasa dingin aneh di dalamnya, seperti mint, yang berubah menjadi hangat di tenggorokan. Pemuda itu meneguknya sekali lagi dan menatap Nadine.
Gadis itu sedang memandanginya. Wajahnya tidak lagi kaku, melainkan memancarkan kerinduan pahit yang membuat Rei menelan ludah. Mata gadis itu menahan matanya, menceritakan ribuan kata tak terucapkan. Kemudian gadis itu kembali menunduk memandangi minumannya, dan pemuda itu menarik napas dalam yang terasa amat menyesakkan.
Mendadak Gakka muncul di sebelah mereka berdua, membawa dua mangkuk besar yang baunya menggiurkan. -Silakan, makanlah selagi masih hangat. Di Bandung, temperatur cepat turun, apalagi di saat-saat seperti ini.-
Pemuda itu merasa kelaparan, tapi ia menahan diri untuk tidak langsung menyerbu sup krim ayam di hadapannya. Di seberang meja Nadine makan dengan perlahan, tidak lagi memandanginya. Hujan turun semakin deras dan untuk beberapa saat mereka hanya ditemani deru tetesan air menampar atap. Gakka telah menghilang entah ke mana, mungkin untuk mengeringkan pakaian mereka.
“Nadine.”
Gadis itu mengangkat wajah dan menatapnya, “Hm?”
“Gakka itu pembantu di sini?”
Nadine tertawa kecil, melodi ringan yang terdengar amat jelas di telinga Rei, walaupun deru hujan di luar sana belum lagi mereda. “Bukan. Dia hanya suka membantuku. Dulu aku pernah menyelamatkan dia dan keluarganya, dan menurut bangsanya, utang nyawa hanya bisa dibayar dengan nyawa. Gakka sempat bersikeras mau mengorbankan nyawanya untukku. Untung aku berhasil mengubah pikirannya itu. Tapi harga dirinya menolak untuk menerima bantuanku begitu saja, jadi sekarang dia, yah, bisa dikatakan membayar budinya seperti ini.”
“Apa sih sebenarnya dia itu?”
“Gakka itu urnduit. Bangsa mereka adalah kaum petarung yang hidup dengan menginvasi spesies lain. Sudah tidak terhitung banyaknya peradaban yang tunduk atau musnah di tangan mereka. Kamu lihat tangan Gakka, kan?” Rei mengangguk dan Nadine melanjutkan, ”Katanya, dulu tangan mirip sabit itu benar-benar seperti sabit, tajam dan mematikan. Seorang urnduit tangguh bisa mengayunkan tangan itu secepat kilat. Tak heran kalau tidak ada bangsa lain yang bisa mengalahkan senjata hidup seperti itu. Kulit mereka sekeras batu, dan katanya mereka bisa lari secepat mobil.”
“Secepat mobil? Kamu tidak takut ada makhluk seperti itu tinggal di bawah atap yang sama denganmu?”
“Itu dulu,” sahut Nadine. “Sekarang urnduit adalah bangsa yang pasif. Sudah beratus-ratus tahun lamanya mereka tidak pernah menumpahkan darah lagi. Di dimensi asal mereka, urnduit dikenal sebagai bangsa perawat alam.”
“Ha? Kok bisa?”
“Mengenai itu, kamu harus menanyakannya sendiri pada Gakka,” jawab Nadine. “Bukan hakku untuk menceritakan sejarah bangsa makhluk lain.”
Tanya sendiri? Tapi, kalau ia menanyakannya langsung pada Gakka, akan marahkah makhluk itu padanya? Salah-salah, bisa-bisa tangan sabit itu langsung menebasnya, tajam atau pun tidak.
Mendadak sesuatu mengganggu pikiran Reinald. ”Tunggu sebentar. Di dimensi asal, katamu? Apa itu maksudnya?”
Nadine menatapnya heran. “Maksudnya ya seperti yang kukatakan. Urnduit bukan berasal dari bumi. Mereka datang dari dimensi lain.”
“Ada dimensi lain selain bumi ini?”
Nadine tersenyum simpul, ”Kamu bisa percaya ada penyihir, kok jadi bingung kalau ada makhluk dari dimensi lain?”
”Itu…” Rei merasakan mukanya memanas. ”Itu dua hal yang sama sekali berbeda, tahu!”
Gadis itu tertawa. ”Kamu itu lucu sekali, sih,” komentar gadis itu geli. ”Tentu saja ada makhluk-makhluk lain yang hidup di alam semesta ini selain manusia. Sampai saat ini keberadaan mereka tak diketahui karena mereka hidup di dimensi yang berbeda dengan kita. Kadang kala mereka sama tidak sadarnya akan keberadaan manusia, sama seperti kita yang tidak tahu akan eksistensi mereka.”
Rei mendapati dirinya ternganga. Nadine adalah gadis yang cantik, tapi dengan tertawa, kecantikannya tampak lebih berkilau. Seperti matahari yang terbit setelah hari mendung, wajah gadis itu menjadi cerah, seolah tampak sepuluh tahun lebih muda. Sesuatu tumbuh dalam hati pemuda itu, suatu kehangatan yang memenuhi setiap rongga dadanya. Tanpa sadar ia tersenyum. Benar-benar lurnagrasth tipe senyuman, nih. Celaka…
”Apa?” tanya Nadine. Ekspresi tegang dan defensif mendadak menutupi wajahnya. “Ada yang lucu dari penjelasanku?”
”Tidak, tidak,” sahut pemuda itu. ”Aku hanya senang melihatmu mulai berubah. Kamu jadi lebih banyak tersenyum. Yah, walaupun kadang-kadang senyumanmu tidak sampai ke matamu. Seolah-olah kamu tersenyum bukan dari dalam hatimu. Tapi tadi kamu tertawa dengan benar-benar tulus, dan aku senang sekali melihatnya.”
Muka gadis itu memerah lagi, tapi kali ini ia tidak marah-marah seperti biasanya. ”Senyum itu mahal di duniaku,” sahutnya.
”Siapa yang berani berkata seperti itu? Senyum itu hal paling mudah yang bisa kamu lakukan, di dunia mana pun kamu hidup. Tersenyumlah, Nadine. Tertawalah. Dengan begitu, semua penderitaanmu bisa sedikit berkurang.”
Reinald tak pernah menyangka perkataannya akan memicu reaksi yang begitu telak dari gadis itu. Nadine ternganga, untuk beberapa saat topeng tanpa ekspresinya hancur berkeping-keping. Raut pedih menggores wajahnya dan gadis itu menggigit bibir, seperti menahan tangis.
Secara naluriah Rei mengulurkan tangan, ingin menyentuh gadis itu, menenangkannya. ”Kamu tidak apa-apa? Maaf, aku tidak bermaksud menyinggungmu. Aku hanya…”
Gadis itu membuang muka dan memandangi langit-langit, sejenak diam seribu bahasa. Ketika menatap pemuda itu lagi, raut dingin telah kembali bertengger di wajahnya. ”Kamu sudah selesai makan? Ayo, ada yang mau kutunjukkan.” Tanpa menunggu jawaban pemuda itu, Nadine bangkit dari tempat duduk dan meninggalkan ruang makan.
Reinald jadi merasa ingin menjambak rambutnya sendiri. Setiap kali ia hampir bisa menyentuh hati Nadine, gadis itu mundur dan menutup diri, persis keong yang menyurut masuk ke dalam cangkang. Tapi tidak apa-apa. Sebuah permulaan tetaplah permulaan, sekecil apa pun dia. Dan ia akan sabar menunggu sampai gadis itu berani keluar lagi dari cangkangnya. Pemuda itu pun bangkit dan melangkah keluar ruangan.
***