Nadine menarik napas dalam-dalam, lalu memejam.
Dalam kepalanya ia seolah-olah berada dalam kegelapan. Tak ada apa pun di sana, tidak juga sesuatu untuk berpijak, membuat tubuhnya seperti mengambang di tengah-tengah ketiadaan. Selama beberapa saat Nadine diam menunggu, hanya terus bernapas teratur. Kemudian ia mulai merasakannya.
Sebuah aliran tenaga berdenyut, agak jauh di sebelah kanannya. Salah satu nadi grae yang ada di Bandung. Tanpa berpikir, Nadine menyerasikan frekuensi energi tubuhnya dengan sumber energi sihir itu. Dalam dunia kegelapan tersebut, proses itu tampak seolah-olah ia mendatangi sumber grae tersebut, sebuah sungai energi dengan air jernih yang bersinar terang, sehingga terlihat seperti aliran cahaya yang membentang sampai ke ujung pandangan. Nadine berlutut di tepinya dan menciduk segenggam besar air energi. Perlahan diminumnya substansi tersebut, seakan ia benar-benar meneguk suatu cairan.
Grae mengaliri dirinya, dingin dan bergelora, mengisi setiap jengkal tubuh. Nadine merasa lebih kuat, lebih bertenaga. Setelah bertahun-tahun lamanya menggunakan sihir ia masih selalu menikmati sensasi tersebut. Sensasi ketika semua lelah dan letih tertiup pergi seperti awan hitam tersapu angin.
Dengan tenaga sihir itu Nadine memeriksa lapisan grae yang melingkupi rumah tersebut. Kemarin, di hadapan Reinald, ia langsung memasang tabir pelindung seadanya. Untung saja, karena malam harinya ada lagi yang menyerang rumah tersebut. Syukurlah lapisan pelindung darurat itu mampu bertahan, sehingga makhluk yang musuh mereka kirimkan tidak sampai menerobos masuk. Namun upaya mempertahankan tabir pelindung tersebut membuat tubuh gadis itu seperti dicabik-cabik dari dalam. Badannya masih cedera berat, tapi sudah dipaksa mengerahkan grae dalam jumlah yang tidak sedikit.
Nadine menggeleng. Biasanya, dalam keadaan terluka separah apa pun, ia masih bisa mengendalikan energi alam tersebut dengan mudah. Dan biasanya, makhluk seperti arothen yang menyerang dua hari lalu itu bisa ia habisi dengan mudah. Sepertinya ia memang sudah terlalu lama tidak menggunakan grae. Akibatnya mengendalikan energi api untuk memusnahkan empat arothen dari lilin yang datang ke tokonya waktu itu sudah hampir menguras seluruh tenaganya.
Tapi apa boleh buat. Ia memang tidak ingin sering-sering menggunakan kekuatannya. Ia tak mau mengambil resiko ketahuan.
Dengan energi magis yang masih mengaliri tubuh, Nadine mempertebal lapisan pelindung yang melingkupi rumah tersebut. Setelah yakin tabir grae itu telah cukup kuat, barulah gadis itu menggunakan energi itu untuk melapisi luka-lukanya.
Tenaga magis itu terasa amat dingin di cederanya, seolah-olah dikompres dengan es. Gadis itu menggigit bibir, menahan rasa beku tersebut. Tak lama kemudian luka-lukanya pun menjadi kebas akibat hawa dingin itu, tak lagi berdenyut-denyut.
Lagi-lagi ia harus menggunakan cara ini. Teknik pengobatan kasar, yang bahkan tidak bisa disebut pengobatan karena sama sekali tidak menyembuhkan luka-lukanya. Hanya metode yang membuatnya bisa bergerak lagi secepatnya, tak terganggu dengan rasa sakit dari cederanya.
Dengan grae, ia memang bisa melakukan hal-hal yang tidak bisa dilakukan manusia biasa. Tapi sayangnya penyembuhan tidak termasuk di dalamnya. Setahunya, hanya Lili yang menguasai teknik tersebut. Kalau saja Lili ada di sini…
Gadis itu menggeleng. Lili tidak ada di sini. Ia harus memanfaatkan apa yang memang ia miliki saat ini semaksimal mungkin, dan berpuas diri atas hal tersebut.
Perlahan-lahan Nadine bangkit dari tempat tidur. Bagus, kepalanya tidak terasa pusing. Kemudian ia mulai mengecek kondisi anggota tubuhnya satu-persatu.
Sambil melakukan itu, pikirannya kembali melayang pada arothen yang menyerang rumah tersebut dua hari lalu, dan makhluk yang mencoba menerobos masuk kemarin malam. Seharusnya ia melacak siapa yang mengirimkan kedua monster jadi-jadian tersebut, namun sayangnya kemarin ia masih terlalu lemah untuk melakukannya.
Seseorang, atau sekelompok orang, jelas-jelas berminat pada Seise Felliri. Mulai dari Kolektor yang disebut Reinald, sampai orang yang mengirimkan empat arothen dari lilin tempo hari. Apa mereka berasal dari kelompok yang sama? Atau dari dua pihak yang sama sekali berbeda? Dan siapa mereka sebenarnya? Apa mereka grasth? Apa ada perkumpulan grasth baru di Bandung, dan ia terlambat mengetahuinya? Apa ia harus memberitahu Lex dan Lili, meminta bantuan mereka menyelidiki orang-orang tersebut?
Nadine terpaku. Tidak, ia tak bisa menghubungi Lex dan Lili. Mereka tak boleh sampai tahu bahwa saat ini ia masih hidup dan berada di Bandung.
Tapi ia sendiri juga tak bisa menyelidiki hal tersebut. Kalau melakukannya, ia hanya akan memberitahukan keberadaannya pada orang lain.
Berarti ia hanya bisa bertahan sambil terus bersembunyi. Tak apa-apa. Walaupun terdapat kemungkinan ada makhluk lain yang akan menyerang, ia akan lebih siap menghadapinya.
Terdengar ketukan di pintu, membuat Nadine menoleh. “Ya?”
“Ini aku,” terdengar suara Reinald. “Aku masuk, ya?”
Gadis itu menyuarakan izin, dan pemuda itu melangkah ke dalam kamar. Hari ini Rei mengenakan kaus polo putih yang tidak dikancing, dan celana corduroy coklat yang serasi. Harus Nadine akui, pemuda itu tahu bagaimana cara berpakaian yang modis. Ditambah lagi wajahnya yang cukup tampan, keras dan tajam namun tidak garang. Kulitnya tidak putih namun juga tidak hitam legam seperti laki-laki lainnya. Rambut hitam pendeknya tersisir rapi, dan badannya sepertinya cukup atletis di balik kaus longgarnya. Sayangnya hal tersebut dirusak oleh sifat pemuda itu yang pemaksa, keras kepala, juga egois.
Ketika melihat Nadine sudah berdiri tegak di sisi tempat tidur, sesaat Rei tertegun. Namun sedetik kemudian pemuda itu sudah berhasil mengendalikan kekagetannya dan tersenyum. “Pagi, Nadine. Sepertinya kamu sudah lebih sehat, ya?”
“Seperti yang kamu lihat. Sesuai janjimu, ayo kita pergi.”
Reinald mengerutkan kening. “Sekarang? Seingatku aku hanya berkata kita akan bicarakan lagi hal tersebut, bukannya langsung pergi.”
“Kita harus cepat mencari tahu mengenai kemampuanmu, sebelum ada lagi yang menyerang ke tempat ini.”
“Tenang saja. Kita masih punya waktu, kok. Apa kamu sebegitu inginnya kencan denganku?”
Nadine terperangah. Ini dia satu lagi yang ia benci dari pemuda itu. Mulut manisnya yang mematikan. Dan kenyataan bahwa perkataan gombal pemuda itu masih bisa membuat wajah gadis itu memanas seperti perempuan bodoh.
Nadine memelototinya, namun Reinald seperti tidak menyadarinya. Senyuman pemuda itu malah bertambah lebar. ”Kamu manis sekali, lho, kalau mukamu merah seperti itu.”
Gadis itu menggerutu dalam hati. Bagaimana mungkin pemuda perayu ini bisa mengaktifkan kembali Seise Felliri? Namun kemudian akal sehat menghentikannya, dan Nadine membuat raut wajahnya kembali netral. “Kita tidak punya waktu untuk main-main.”
“Aku tahu,” sahut Reinald. “Tapi kalau kita pergi keluar berdua, bukannya itu kencan namanya? Apa pun keperluannya?”
Gadis itu memutuskan untuk mengabaikannya. “Kalau kamu menganggapnya seperti itu, terserah. Yang penting tujuan utama kita tercapai.”
“Oke. Kalo begitu, kamu sarapan dulu. Setelah itu ganti baju. Baru kita pergi.”
“Tidak perlu. Ayo pergi sekarang.”
“Tidak perlu apanya? Kamu mungkin sudah terlihat sehat, tapi tidak ada orang yang sembuh dari luka seberat itu dalam waktu satu hari, penyihir sekalipun. Kamu butuh makan, kalau tidak kamu akan tumbang.”
“Tidak perlu,” ulang Nadine seraya berjalan melewati Rei. “Dan aku tidak akan tumbang. Ayo.”
Detik berikutnya gadis itu tersentak, karena dalam satu gerakan cepat Reinald sudah menyelipkan tangan di bawah punggung dan kakinya lalu mengangkatnya dari lantai. Belum sempat Nadine melakukan apa pun, pemuda itu sudah kembali membaringkannya di tempat tidur.
“Dengar, ya, Nadine,” suara Rei terdengar amat tegas, sangat berbeda dari nada bicaranya tadi. “Sudah kukatakan, kan? Rumahku, peraturanku. Jangan sampai aku harus memaksamu menurutiku. Daripada kita pergi saat kamu belum terlalu sehat, lebih baik kukunci kamu di sini sampai kamu sembuh. Peduli amat mengenai arothen dan sebagainya itu. Apa gunanya buru-buru, kalau di luar sana kamu tumbang dan malah jadi bulan-bulanan monster-monster itu?”
“Tapi, kita memang harus buru-buru!” sanggah Nadine.
“Aku tahu kita harus cepat-cepat mencari informasi tentang pedang itu. Tapi kita tidak akan melakukannya dengan ceroboh. Dan aku tidak akan menunda hal ini lama-lama, kok. Hanya sampai kamu makan dan ganti baju. Setelah itu kita langsung pergi. Janji.”
Gadis itu masih ingin membantah, namun ia tahu Rei benar. “Baiklah,” katanya akhirnya.
Senyum khas kembali terkembang di wajah pemuda itu. “Begitu dong, anak manis. Kusuruh Bi Iyah mengantarkan makanannya ke sini, ya.”
Setelah pemuda itu meninggalkan kamar, Nadine menghela napas kesal. Sebenarnya ia masih ingin pergi sekarang juga, namun apa yang Reinald katakan memang masuk akal. Siapa sangka pemuda pemaksa tersebut bisa juga memiliki pertimbangan logis seperti itu?
Tak lama kemudian Bi Iyah memasuki kamar seraya membawa setumpuk pakaian. Tanpa bisa Nadine cegah perempuan paruh baya itu telah membantu melepaskan semua perbannya, menanggalkan pakaiannya, dan memandikannya. Dengan riang pembantu itu membasuh bagian-bagian tubuhnya dengan keahlian seseorang yang sudah berulang kali melakukan hal serupa.
Perempuan itu tak henti-hentinya berceloteh, bertanya ini-itu pada Nadine. Awalnya gadis itu berusaha menjawab sesopan mungkin, namun tindakan tersebut justru membuat Bi Iyah semakin bersemangat. Akibatnya Nadine terpaksa menjawab sedikit ketus, namun hal tersebut sama sekali tidak menyurutkan semangat Bi Iyah mengorek jati dirinya.
Akhirnya pembantu itu selesai juga memandikannya. Bi Iyah kemudian membantunya mengenakan kaus dan celana. Kerah kaus itu membuat tato di lehernya terlihat, sehingga Nadine minta dipinjamkan syal pada Bi Iyah. Pembantu itu tak ragu sedikit pun untuk memenuhi permintaan itu. Yah, sewaktu memandikannya pun Bi Iyah sama sekali tak berkedip ketika melihat tatonya. Entah pembantu itu sudah terbiasa melihat gadis bertato, atau hanya bersikap pura-pura tak peduli.
Sesudah menyantap makanan yang dibawakan Bi Iyah, gadis itu segera melangkah keluar kamar. Reinald sudah menunggu di ruang duduk tak jauh dari sana, bersandar pada sofa kulit berwarna hitam. Ketika melihat gadis itu, pemuda itu segera melipat koran yang ia baca dan menghampirinya
Sejenak mata pemuda itu jatuh pada syal yang melilit lehernya, dan Nadine merasa tatapan Reinald seakan menembus kausnya dan langsung mengenai tatonya. Tapi itu tidak mungkin. Pemuda itu sama sekali tak tahu-menahu soal tato tersebut.
Pandangan Rei beralih ke mata gadis itu. “Sudah selesai makan?”
Nadine mengangguk, dan pemuda itu tersenyum, “Hm, kamu cantik sekali, lho, pakai baju itu.”
Tanpa bisa ia cegah, wajah gadis itu memanas. Sial, kenapa juga ia bisa terpengaruh perkataan pemuda itu? Gadis itu menjaga wajahnya tetap netral dan berkata, “Ayo pergi.”
“Sudah kukatakan belum, kalau kamu lebih cantik lagi kalau rambutmu digerai seperti itu?”
Nadine merasakan wajahnya semakin membara. Ia membiarkan rambutnya seperti itu karena tidak menemukan apa pun yang bisa digunakan sebagai pengikat, bukan karena ia mau! “Sebenarnya kalau seperti ini malah jadi panas dan mengganggu,” sahut gadis itu dingin. “Kalau bisa, aku mau pinjam pengikat rambut. Karet, pita, apa pun.”
“Yah, sayang sekali padahal,” senyum maut itu kembali tersungging di bibir Reinald. “Tapi kalau maumu begitu, ya sudah. Kucarikan dulu, ya.”
Ketika pemuda itu memasuki kamar lain di dekat sana, Nadine menutup mata dengan tangan. Ukh, berada di dekat Reinald benar-benar menguji kesabarannya. Kenapa sih pemuda itu tidak bisa berlaku seperti layaknya pemuda normal lain?
Pemuda normal lain yang tidak pernah memujimu cantik? bisik sebuah suara dalam kepalanya. Lagipula, siapa yang kamu bohongi? Bukannya kamu senang dia memujimu, makanya mukamu merah?
Nadine menggeleng ngeri. Tidak, tidak, ia tidak seperti itu. Ia bukan perempuan bodoh yang mau saja termakan kata-kata manis.
Rei kembali dengan menggenggam sebuah karet rambut. Nadine langsung menggunakannya untuk mengikat rambutnya. Kemudian gadis itu mengulurkan tangan ke arah pemuda itu. “Kemarikan tanganmu.”
“Kenapa?”
“Sudah, kemarikan saja.”
Reinald menurut, dan Nadine menggenggam tangan pemuda itu lalu menutup mata. Dengan grae yang masih terus mengaliri tubuh, gadis itu membuat sebuah lapisan sihir kecil di badan Rei.
“Apa yang kamu lakukan?”
“Membuat pelindung di tubuhmu.” Nadine membuka mata dan melepaskan tangan pemuda itu. “Supaya tak seorang pun, manusia ataupun makhluk jadi-jadian, bisa melacakmu.”
“Kupikir kamu hanya cari-cari alasan saja untuk memegang tanganku.”
Gadis itu tidak mengacuhkan komentar tersebut. “Jangan lupa bawa Seise Felliri.”
Rei mengacungkan barang yang sedari tadi ia pegang. Sebuah benda panjang terbungkus kertas berwarna coklat. Seutas tali rafia merah melingkari barang tersebut, menyediakan sarana untuk menggantungnya. “Jangan khawatir. Yuk, sini.”
Reinald memandunya ke arah garasi. Sejenak Nadine mengira mereka akan naik mobil. Yah, menilik dari rumahnya yang besar, sepertinya pemuda itu berasal dari keluarga yang cukup kaya. Namun dengan terpana gadis itu mengamati pemuda itu mendorong keluar sebuah motor besar. Bahkan mata awamnya pun bisa melihat bahwa motor tersebut bukan motor biasa. Bentuknya cukup besar dan kokoh, dengan stang lebar dan tempat duduk penumpang menjulang tinggi, khas tipe motor sport. Bodinya berwarna jingga terang mengkilat, hampir-hampir seperti menyala. Nadine tidak pernah melihat warna seperti itu sebelumnya pada kendaraan manapun, namun warna itu terlihat tidak asing baginya. Di mana ia pernah melihat warna seperti itu, ya?
Tiba-tiba gadis itu tersadar. Warna itu… warna api cair. Warna membara aliran magma yang siap menelan, menghanguskan apa saja yang ada di jalurnya...
“Nadine?”
Gadis itu tersentak. Reinald sedang mengamatinya, kekhawatiran tergambar di wajah pemuda itu. “Kamu tidak apa-apa?”
Nadine mengerjap. “Tidak… tidak apa-apa.” Jangan pikirkan itu sekarang. Fokus pada apa yang ada di depan matamu. Fokus pada saat ini, bukan masa lalu.
Reinald mendorong motor itu keluar garasi. Dari cara pemuda itu menuntunnya, terlihat bahwa ia sangat menyayangi kendaraan tersebut. Reinald menaiki motor tersebut dan menyerahkan sebuah helm kepada Nadine.
Ketika gadis itu mengenakan pelindung kepala tersebut, Rei menghidupkan motor. Dengan satu bunyi geraman halus kendaraan tersebut pun menyala.
“Wah.”
“Keren, kan?” kata Rei. “Kenalkan nih, sobatku, Duc Monster 696 keluaran 2011. Custom-made sesuai pesanan. Kamu tidak akan pernah melihat warna seperti ini di mana pun. Kalau dipakai sampai kecepatan seratus kilometer per jam, motor ini bisa terlihat seperti meteor betulan, lho. Duc, ini Nadine.”
“Hmm,” oh, aku pernah kok melihat warna itu. Dinding api yang menyala-nyala, yang siap meluluhlantakkan apa pun yang ada di jalannya…
“Halo? Kita jadi pergi tidak, nih?”
Nadine mengerjap. “Eh? Ya. Ayo,” ia mendekati motor tersebut dan memanjat ke atasnya. Tempat duduk penumpangnya yang tinggi membuat ia menjulang di atas Rei. “Ayo, kita sudah buang waktu terlalu banyak.”
“Kalau kamu tidak bengong-bengong seperti tadi, sudah dari tadi kita berangkat,” pemuda itu terkekeh. Namun tanpa menunda-nunda lagi ia segera menjalankan motornya. Kendaraan roda dua tersebut meluncur mulus di aspal, meninggalkan halaman rumah Reinald dan berbelok ke jalan.
Angin dingin Bandung menerpa Nadine. Langit kelabu menandakan akan turun hujan. Gadis itu menarik napas dalam-dalam dan menikmati tiupan angin segar di wajahnya.
“Enak?”
Nadine membuka mata, “Apa?”
“Angin ini,” Reinald menoleh sedikit ke belakang agar gadis itu bisa mendengar suaranya. “Mudah-mudahan kamu bisa menikmatinya. Kupikir ini pergantian suasana yang bagus untukmu yang sudah seharian terkurung di rumahku.”
Tanpa ia duga, mulut gadis itu melengkung sendiri membentuk senyuman. Pemuda itu memang aneh. Terkadang, mendadak Reinald mengeluarkan sisi dirinya yang seperti ini, sisi penuh perhatian yang seolah mampu membaca pikiran dan perasaan terdalam gadis itu. Dan walau tak ingin mengakuinya, Nadine merasa… senang.
“Oi, Mbak?”
Gadis itu terkesiap, “Ya?”
“Kita mau ke mana?”
Nadine mengamati lalu lintas di sekitarnya. Mereka sedang menuruni jalan Setiabudhi yang lebar. Beberapa kendaraan melaju di samping mereka.
“Lurus,” sahut gadis itu. “Nanti kuberi tahu kalau sudah dekat.”
Reinald menurutinya dan Ducati itu pun terus melesat. Diam-diam Nadine mengamati pemuda itu. Siapa Reinald sebenarnya? Dilihat dari rumahnya, juga motor yang mereka naiki, sudah jelas kalau pemuda itu berasal dari keluarga kaya. Tapi selain itu Nadine tak tahu apa-apa lagi mengenainya. Kenapa hanya ada pembantu di rumah Reinald? Ke mana keluarganya? Kenapa pemuda itu sampai bisa mengaktifkan kembali Seise Felliri?
Dan terutama, apakah pemuda itu sebenarnya kawan atau lawan?
“Ngomong-ngomong, kita masih terus, nih?”
Terkejut, Nadine mengangkat wajah dan menatap sekelilingnya. Tanpa ia sadari mereka sudah sampai di daerah Setiabudhi bawah, meluncur melewati Setiabudhi Swalayan. “Di depan nanti belok kiri,” sahut gadis itu.
Rei menikungkan Ducati dan mereka berbelok memasuki daerah Hegarmanah. Pepohonan rindang menyambut mereka, berdiri rimbun mengapit rumah-rumah mewah bertingkat dua. Dengan segera suara-suara lalu lintas tertinggal di belakang, berganti desau angin dan kicauan burung. Di kejauhan terdengar salakan anjing.
Reinald memelankan laju motor, membuatnya meluncur santai di jalan yang hening. Nadine mengamati perumahan di sekitarnya, mencoba mengingat letak persisnya bangunan yang ia cari. Sudah lama sekali semenjak terakhir ia kemari, itu pun hanya beberapa kali.
Angin berhembus menggoyangkan dedaunan, dan sontak gadis itu tersadar. Ah, ia ingat, pohon besar yang berdiri di pingir jalan itu, yang merunduk menaungi siapa pun yang lewat di bawahnya dengan bayangannya yang sejuk. Rumah sunyi bertingkat dua di pinggirnya, yang gelap dan suram termakan waktu. Semuanya masih sama seperti dulu ketika ia terakhir kali kemari.
“Itu, rumah yang di sebelah kanan.”
Reinald menghentikan motor di depan rumah yang ia tunjuk. Nadine turun dan melepaskan helm. Bangunan di hadapan mereka tampak sepi dan hening, namun sesaat kemudian terdengar dentingan logam beradu logam sayup-sayup dari dalam. Kerinduan dan kepedihan melanda gadis itu seperti badai. Bagaimana mungkin tempat ini bisa tampak sama walaupun sudah bertahun-tahun berlalu?
“Nadine?”
Gadis itu menoleh dan menatap Rei yang sedang memandanginya lekat-lekat. “Kamu tidak apa-apa?”
Gadis itu menarik napas dalam. “Ayo, orang itu tinggal di sini.”
“Tempat apa ini?” pemuda itu meraih Seise Felliri yang ia gantungkan di stang motor dan memandangi sekelilingnya, mengamati rumah di hadapan mereka. Kebun yang rimbun menghiasi bagian depannya. Sebuah mobil jip terparkir di garasi.
“Lihat saja sendiri. Ayo masuk.”
Berdua mereka melangkah ke teras. Nadine menekan tombol dan irama bel berkumandang ke setiap penjuru. Gadis itu melirik Reinald yang berdiri di sebelahnya. Pemuda itu tampak amat santai, masih terus mengamati rumah di hadapan mereka. Nadine sendiri mulai merasa gelisah. Bagaimana jika orang itu sudah tidak mengenalinya?
Belum selesai ia berkutat dengan pikirannya, pintu di hadapan mereka membuka. Seorang pria paruh baya berdiri di sana. Raut wajahnya tampak sangat keras, dengan mata tajam menyelidik. Alisnya bertaut ketika mengamati kedua tamu di depannya, namun sesaat kemudian kerutan di dahinya menghilang. Mulutnya tidak menyunggingkan senyum, namun ia mengucapkan satu kata yang membuat semua kekhawatiran gadis itu menghilang.
“Nadine.”
“Selamat siang, Master Edwin,” gadis itu tersenyum lega. “Kukira Master sudah tidak ingat lagi padaku.”
“Mana mungkin? Sekali lihat, aku sudah tahu itu kamu. Kamu tidak berubah walapun sudah dua tahun – tiga tahun? – kita tidak bertemu. Dan sudah kukatakan berkali-kali, jangan panggil aku Master,” tatapan curiga laki-laki itu menyapu Reinald. “Ini…?”
“Temanku,” jawab Nadine. “Ini Reinald.”
Pemuda dan pria itu bersalaman, dan gadis itu melanjutkan, “Ada beberapa hal yang ingin kami tanyakan pada Mast – pada Bapak.”
“Setiap kali kemari selalu ada yang kamu tanyakan. Kenapa kamu tidak pernah kemari untuk alasan lain, misalnya untuk sekedar silahturahmi?”
Gadis itu tersenyum sopan, “Maaf, Pak, bukannya aku tidak mau. Tapi Bapak tahu sendiri kesibukanku. Lagipula, itu karena di Bandung ini hanya Bapak yang punya pengetahuan dan kemampuan seperti yang Bapak punya.”
“Kamu dan kesibukanmu,” pria itu menggeleng. “Ayo, masuk, masuk, tidak baik kalau kita mengobrol sambil berdiri.”
Nadine mengikuti Pak Edwin memasuki rumah. Ruang tamu kecil menyambutnya, dengan sofa-sofa kecil dan meja kaca sederhana di tengahnya. Namun bukan hal tersebut yang selalu membuatnya terkagum-kagum ketika mengunjungi rumah itu. Tidak seperti rumah-rumah lainnya, bagian tengah bangunan tersebut merupakan suatu tempat terbuka dengan sinar matahari siang membanjir dari langit biru yang tidak terhalang atap. Teras berbentuk oval mengelilingi ruang tengah tersebut. Belasan lemari kaca bersandar pada dindingnya, menghadap ke arah beberapa kursi yang sengaja ditaruh di sana agar para pengunjung dapat menikmati isi etalase pajangan tersebut.
Di sebelahnya, Nadine mendengar Rei menarik napas terpukau. Puluhan senjata tajam menghiasi lemari-lemari kaca tersebut, terpasang di atas beludru merah. Belati, pisau, badik, keris, bahkan pedang dan kapak. Ada yang bilahnya polos, ada yang dihiasi pamor. Ada yang lurus, ada yang berliuk. Namun kesemuanya tampak terawat baik, mengkilap dengan kilauan yang memuaskan mata.
Pak Edwin menyilakan mereka duduk di hadapan sebuah lemari kaca yang memajang sebilah pedang berukir. Pria itu ikut duduk, menyalakan sebatang rokok kretek kemudian bersandar dan menyilangkan kaki. “Nah, sekarang, apa yang mau kalian tanyakan padaku?”
Nadine berpaling sejenak pada Reinald. “Reinald, Pak Edwin ini pengrajin senjata paling terkenal di Bandung. Kamu bisa lihat hasil karya beliau di sekeliling kita. Kami berkenalan beberapa tahun lalu, waktu aku masih jadi murid grasth. Sejak itu, Pak Edwin sudah banyak membantuku dan teman-temanku.”
Reinald menatap pria tersebut dan lawannya balas memandanginya. Nadine sepenuhnya sadar arti pandangan mereka berdua. Bahwa mereka sama-sama telah mengetahui rahasia grasth-nya.
“Pak Edwin,” panggilan itu membuat pria tersebut mengalihkan perhatian padanya. “Aku dan Reinald ke sini karena kami butuh bantuan Bapak. Bapak sudah tahu soal pedangku. Bapak juga tahu dulu pedang itu sudah dinonaktifkan. Tapi sekarang Seise Felliri aktif lagi, dan yang menghidupkannya adalah Reinald. Padahal sejauh yang bisa kudeteksi, Reinald sama sekali bukan grasth. Dan Reinald juga bisa menebak nama pedang ini dengan benar, padahal aku tidak pernah memberitahunya.”
Pak Edwin mengamati pemuda itu dengan minat baru. “Aktif lagi? Dan Reinald bisa menebak namanya? Kalian bawa pedang itu?”
Tanpa berkata-kata Reinald mengangsurkan Seise Felliri. Pak Edwin menerimanya dan membuka bungkus coklatnya hati-hati. Setelah pedang tersebut terlepas dari bungkusnya, pria itu menariknya keluar dari sarung, mengamati bilahnya yang berkilauan memantulkan cahaya matahari siang.
“Hm,” mata pria itu masih belum meninggalkan Seise Felliri. “Ya, pedang ini memang sudah aktif lagi.”
Nadine merasakan jantungnya seolah berhenti berdetak. “Tapi, dulu Bapak sendiri yang memastikan kalau kekuatan Seise Felliri sudah tersegel. Dan Bapak juga setuju, sekali disegel, yang bisa mengembalikan kekuatannya hanyalah orang yang menyegelnya.”
“Ya, aku memang berkata begitu,” mata pria itu berpindah ke Reinald. “Bagaimana caranya kamu mengaktifkan pedang ini?”
“Waktu itu ada beberapa orang – makhluk, tepatnya – yang menyerangku,” suara pemuda itu terdengar tenang. “Kebetulan pedang itu ada di tanganku. Waktu itu mendadak ada kabut keluar dari pedang itu. Dan yang kutahu berikutnya, Nadine bilang pedang itu sudah aktif lagi. Aku sendiri sama sekali tidak merasa sudah melakukan sesuatu.”
“Begitu? Hmm,” Pak Edwin menghembuskan asap rokok dan mengamati pemuda itu. Nadine sama sekali tidak mengerti bagaimana Reinald bisa tetap bersikap santai di bawah tatapan tajam pria itu. “Reinald, boleh kulihat tanganmu?”
Pemuda itu berkedip sekali, raut wajah tenangnya sejenak bergeser, menampakkan kekagetan di bawahnya. Namun sedetik kemudian Rei mengulurkan tangan, “Boleh.”
Pak Edwin menerimanya. Seperti halnya ketika memeriksa Seise Felliri, dibolak-baliknya tangan pemuda itu seraya mengamatinya dengan teliti, persis seperti dokter yang sedang menganalisa pasien. Detik-detik berlalu, dan ujung mulut Reinald mulai berkedut.
“Kamu pernah mengalami kejadian aneh dengan barang yang kamu punya?” tanya pengrajin senjata itu tiba-tiba. “Mainan yang bergerak sendiri? Alat listrik yang tiba-tiba rusak? Benda yang tiba-tiba pecah?”
Reinald mengingat-ingat sejenak. “Rasanya tidak ada tuh, Pak. Tapi memang dari dulu aku suka mengutak-atik benda. Dan yang kuingat, benda yang kubuat atau kumodifikasi biasanya lebih bagus dari punya temanku yang lain. Mobil-mobilanku lebih cepat dari mobil temanku, walaupun pakai part yang sama. Kupikir itu karena aku memang lebih jago modifikasi dari yang lain. Tapi sudah bertahun-tahun aku tidak pernah mengutak-atik barang lagi. Itu hanya hobiku waktu masih kecil.”
Mendadak pemuda itu terdiam. “Eh, baru ingat. Baru-baru ini memang ada kejadian aneh. Aku punya gelang kayu yang sudah kupakai dari waktu aku masih kuliah. Dua hari yang lalu ada… monster… yang menyerangku. Entah kenapa, waktu itu makhluk itu menjambret gelang itu sampai putus.”
Gelang kayu? Mendadak Nadine teringat sesuatu. “Gelang aneh itu?” gumam gadis itu.
“Kenapa kamu katakan aneh?” tanya Pak Edwin. Rupanya pria itu mendengar gumamannya. “Ada hal khusus yang kamu alami sehubungan dengan gelang itu?”
“Tidak, hanya…” suara gadis itu menghilang. “Aku pernah, eh, menyihir Reinald, dan waktu itu aku merasa seperti ada yang menolak sihirku. Asalnya seperti dari gelang itu. Tapi waktu itu hampir-hampir tidak kentara, jadi kupikir hanya perasaanku saja.”
“Menyihirku?” pemuda itu memandangnya tak percaya. “Apa yang kamu lakukan? Kapan?”
Nadine merasakan mukanya memerah. “Mmm, ingat tidak waktu aku menyuruhmu berjanji menjaga Seise Felliri dan mengembalikannya tanpa kurang suatu apa pun?”
“Iya. Kenapa?”
“Yah, bisa dikatakan waktu itu aku sedikit menyihirmu untuk memastikan hal itu benar-benar kamu lakukan.”
Reinald menatapnya kesal. “Oh, jadi gara-gara itu aku sampai mimpi buruk berhari-hari?”
Wajah Nadine semakin memanas. Sesaat ia ingin minta maaf pada pemuda itu, namun kemudian mengurungkan niat. “Lalu, aku harus bagaimana? Seise Felliri itu milikku yang paling berharga. Seharusnya kamu sudah bersyukur aku mau meminjamkannya.”
Hening sejenak. Rasa sesal menyelinap ke dalam hati Nadine, terutama ketika dilihatnya tatapan dingin Reinald.
“Apa waktu itu kamu juga merasa ada yang aneh, Reinald?” ucap Pak Edwin menengahi.
Pemuda itu mendengus. “Kalau diingat-ingat lagi memang ada yang aneh. Tanganku tiba-tiba sakit, seperti ada bulu yang tersangkut di gelang itu dan tercabut. Lalu si Kolektor itu juga sepertinya kesakitan waktu menyentuh gelangku.”
“Kolektor? Perempuan yang kamu temui di pesta?” tanya Nadine.
“Ya. Yang ingin membeli Seise Felliri.”
“Kamu tidak memberitahuku tentang hal itu,” kenapa perempuan itu sangat ingin memiliki Seise Felliri? Apa karena ia sekedar tertarik pada pedang yang bagus, atau ia tahu seberapa saktinya Seise Felliri? Atau karena ia tahu rahasia di balik pedang itu?
Ah, sial! Ia harus mencari tahu mengenai hal tersebut, namun ia tidak bisa melakukannya, tidak kalau ia masih ingin bersembunyi!
Reinald menyeringai, “Yah, dalam keadaan kurang tidur, siapa juga yang bisa mengingat hal remeh seperti itu?”
Rasa marah mulai menyerang Nadine. “Hal-hal remeh justru bisa membunuhmu jika kamu tidak berhati-hati.”
“Sudah, sudah,” potong si pengrajin senjata. “Reinald, menurut pengamatanku, ada kemungkinan kamu itu seorang Master Artefak.”
Kata-kata itu berhasil menghentikan adu tatapan dingin antara ia dan pemuda itu. “Master Artefak?” tanya Nadine. “Apa itu semacam grasth?”
“Mungkin ya, mungkin juga tidak. Kalian tahu Mpu?”
Gadis itu berpandangan dengan Reinald. “Maksudnya yang pembuat keris itu?” pemuda itu balik bertanya.
Pak Edwin menghisap rokok dalam-dalam dan menghembuskan asapnya ke udara. “Orang-orang mengenal Mpu hanya sebagai ahli pembuat keris, karena memang senjata itu merupakan maha karya mereka. Menurut pengetahuan umum, seorang Mpu bisa ‘memasukkan’ suatu kekuatan atau tuah ke dalam kerisnya. Tapi sebenarnya, bukan itu yang dilakukan seorang Mpu.
“Nadine, dulu kamu pernah berkata kalau sihir itu adalah energi yang melingkupi dunia ini. Energi itu ada di dalam setiap makhluk hidup maupun benda mati. Yang kamu tidak tahu, ada suatu bentuk energi spesial lain, khususnya di dalam benda mati. Energi ini berbeda dengan yang biasa kamu sebut sebagai grae. Aku sendiri tidak tahu, apa energi khusus ini merupakan mutasi dari grae tadi, atau dia eksis sebagai energi yang sama sekali berbeda. Kami menyebutnya sebagai ‘Inti’.
“Master Artefak adalah orang-orang yang bisa merasakan dan memanipulasi Inti. Benda-benda yang dimanipulasi oleh seorang Master biasanya akan memiliki karakter tambahan yang berbeda dari benda-benda sejenis lainnya. Contohnya keris tadi. Seorang Mpu bukannya memasukkan tuah ke dalam keris, ia mengaktifkan Inti yang memang sudah ada di dalam keris tersebut, sehingga senjata itu jadi senjata berkekuatan khusus. Ada kemungkinan bahwa benda-benda yang dianggap masyarakat merupakan benda ‘bertuah’ sebenarnya ialah benda-benda ber-Inti yang pernah diaktifkan seorang Master di masa lalu.”
Pak Edwin menatap pemuda di hadapannya. “Reinald, tadi kamu katakan, waktu kecil kamu sering membuat atau memodifikasi suatu barang sampai barang itu jadi lebih bagus dari barang sejenis punya teman-temanmu. Itu salah satu tanda-tanda kemampuan Master. Lalu kenyataan bahwa kamu mengaktifkan lagi pedang yang sudah pernah disegel, dan kamu bisa membaca namanya walaupun belum pernah diberi tahu, semakin menguatkan dugaanku. Lalu mengenai gelangmu, ada kemungkinan gelang itu pernah kamu aktifkan menjadi semacam pelindung. Jadi waktu ada orang yang berniat macam-macam padamu, gelang itu memberikan respon kepadamu dan kepada orang itu, entah dengan rasa aneh ataupun rasa sakit. Dan monster yang menyerangmu merusak gelang itu supaya kamu jadi lebih mudah diserang.”
Kesunyian menggantikan suara Pak Edwin. Hanya suara napas yang terdengar dari Reinald, berat dan lambat, seolah-olah penjelasan tadi menghimpit dadanya erat-erat. Nadine sendiri tak mampu berkata apa-apa. Master Artefak? Kenapa ia tidak tahu kalau di dalam benda-benda mati ada energi lain selain grae? Kenapa selama ini ia tidak pernah mendengar sedikit pun mengenai hal ini? Padahal seharusnya orang itu tahu. Orang yang menciptakan, sekaligus menonaktifkan, Seise Felliri. Tapi orang itu tak pernah berkata apa pun mengenai hal tersebut.
“Master Artefak?” suara Reinald memecahkan keheningan. “Kok, rasanya aku tidak merasakan apa-apa? Bukannya sewaktu mengaktifkan pedang itu, seharusnya aku merasakan sesuatu?”
“Mungkin itu karena kemampuanmu belum terlalu berkembang,” sahut Pak Edwin. “Butuh waktu bertahun-tahun untuk melatih kemampuan itu. Tapi kalau kamu mampu mengaktifkan pedang itu lagi, berarti sebenarnya kekuatanmu cukup besar. Begini saja, coba kamu pilih salah satu dari koleksi senjataku di sini. Kamu boleh pilih yang mana pun juga, keris, pisau, pedang, kapak, terserah. Senjata yang kamu pilih itu boleh buatmu.”
Mata pemuda itu membulat. “Benar, nih, Pak?”
“Iya, aku serius. ‘Sep, Asep!” seorang pemuda berumur belasan tahun menoleh dan menghampiri mereka. “Nanti kamu keluarkan barang yang dipilih Aa’ ini, ya.” Pemuda suruhan itu mengangguk-angguk.
Ketika Reinald akan beranjak, Pak Edwin menghentikannya. “Kamu boleh pilih sesukamu, tapi ingat, pilih yang menurutmu paling menarik hatimu. Jangan buru-buru. Dengarkan kata hatimu.”
Nadine mengamati pemuda itu mengunjungi setiap etalase kaca yang ada di sana. Di tiap-tiap lemari pajangan tersebut Rei berhenti sejenak, memandangi senjata yang terpampang di dalamnya dengan kening berkerut. Lama ia berdiri di satu tempat penyimpanan sebelum akhirnya berpindah ke yang lain. Sekali waktu gadis itu melihat ia nyaris memanggil Asep, namun kemudian mengurungkan niat dan bergeser ke lemari lain.
Gadis itu mengalihkan perhatian pada Pak Edwin. Pria itu juga sedang mengamati Reinald dengan seksama, seolah mencoba menebak, senjata apa yang akan pemuda itu pilih.
“Pak Edwin?”
Pria itu menoleh. “Ya?”
“Kalau seperti yang Bapak jelaskan, berarti orang itu juga seorang Master Artefak?”
Pria itu mengambil rokok baru dari saku dan menyalakannya. “Bisa ya, bisa juga tidak. Kalau ia memang seorang Master, ia pasti sangat kuat. Ngomong-ngomong, di mana laki-laki itu sekarang? Biasanya kamu selalu datang bersama dia?”
“Dia… Aku tidak tahu di mana dia sekarang. Sudah lama sekali sejak terakhir kali aku melihatnya.”
“Hm,” pengrajin senjata tersebut memandanginya sejenak, tapi tidak bertanya apa-apa. Nadine bersyukur ia tidak harus menjawab pertanyaan yang tak ingin ia jawab. Ia kembali menonton Reinald yang masih berputar-putar di sana, namun pikirannya melayang ke tempat lain.
Kenapa orang itu, laki-laki yang memberinya Seise Felliri itu, tidak pernah memberitahu kalau ia adalah seorang Master Artefak? Berarti masih ada kemungkinan bahwa laki-laki itu memiliki kemampuan lain selain yang pernah ia tunjukkan. Kemampuan lain yang ia rahasiakan, bahkan dari diri gadis itu. Dan ada kemungkinan bahwa laki-laki itu jauh lebih kuat daripada yang gadis itu duga selama ini.
Kengerian mendadak mencengkeram Nadine, membuat tubuhnya membeku. Tanpa sadar gadis itu mendekap diri sendiri. Jika memang benar, bagaimana ia bisa menghadapi laki-laki itu? Melawan seseorang yang kekuatannya jauh melampaui dirinya? Yang bahkan mungkin masih menyimpan kemampuan tersembunyi lainnya? Rasa mual mencekik leher gadis itu, membuat tubuhnya gemetar tanpa henti. Bagaimana mungkin ia berharap bisa mengalahkan seseorang yang kemampuannya bagaikan ombak raksasa yang siap menelannya kapan saja?
Mendadak Reinald telah berdiri di hadapannya. Nadine terkesiap kaget. Pemuda itu sedang memandanginya lekat-lekat. “Eh, Reinald, cepat sekali kamu memilihnya,” gadis itu mencoba mengeyahkan getaran dari suaranya, kemudian mengintip benda yang pemuda itu genggam. “Apa yang kamu pilih?”
Pemuda itu menyeringai. “Pokoknya keren sekali, deh.”
“Boleh aku lihat?” pinta Pak Edwin.
Reinald menyerahkan senjata tersebut kepada pria itu. Ternyata pemuda itu memilih sebilah pisau. Sarungnya terbuat dari kulit coklat sederhana. Pisau itu sendiri juga tampak biasa, pamor yang menghiasi bilahnya hanya sedikit dan tak seindah senjata-senjata lain. Keren sebelah mananya?
Namun untuk pertama kalinya hari itu Pak Edwin tersenyum melihat senjata tersebut. “Selamat, Reinald. Kamu memang seorang Master.”
Pemuda itu nyengir lebar, rasa bangga menghiasi wajahnya. Nadine menoleh ke arah Pak Edwin. “Bagaimana Bapak bisa tahu?”
“Pemilihan senjata ini sebenarnya semacam tes, apa Reinald benar-benar memiliki kemampuan seorang Master atau tidak. Dan ternyata ia memang seorang Master tulen, karena dia memilih senjata dengan Inti terbesar dari semua buatanku di sini.”
Gadis itu menatap pisau itu tak percaya. Senjata sesederhana ini menyimpan kekuatan terbesar? Yang benar saja?
“Jangan menilai barang dari tampilan luarnya,” tutur Pak Edwin, seolah membaca pikiran Nadine. “Aku sengaja mengolah besi ber-Inti terbesar ini menjadi senjata yang sederhana supaya kekuatannya dapat dikeluarkan dengan optimal, tanpa terhalang oleh hiasan-hiasannya.”
“Tapi, bagaimana Bapak bisa tahu?”
“Aku bisa merasakan keberadaan Inti, khususnya di logam, batu, atau kayu,” pria itu mengangkat pisau tersebut ke udara. Cahaya matahari menyinari bilahnya yang jernih. “Tapi aku tidak bisa memanipulasinya. Karena itulah aku melarangmu memanggilku Master, karena aku bukan Master sejati. Yah, bisa dikatakan aku hanya setengah Master.”
Ahli senjata itu mengembalikan pisau tersebut ke tangan Reinald. “Sekarang pisau ini jadi milikmu. Coba kamu pelajari dia. Senjata ini akan jadi bahan latihan yang bagus sekali buatmu. Kuharap, lain kali kita bertemu, kemampuanmu sudah jauh lebih berkembang.”
Rei menerima pisau itu. “Terima kasih banyak, Pak Edwin.”
Setelah membungkus kembali Seise Felliri, Nadine dan pemuda itu mohon pamit dari kediaman si pengrajin senjata. Angin Bandung yang menggigit kembali menerpa ketika mereka melaju di atas motor Rei. Titik-titik pertama hujan mulai jatuh dari langit, tapi Nadine nyaris tidak menyadarinya. Pikirannya dipenuhi kejadian hari itu. Master Artefak, kemampuan memanipulasi Inti di dalam benda mati untuk membuat sebuah alat biasa jadi berkekuatan luar biasa. Ia tidak pernah tahu mengenai hal tersebut. Hal-hal apalagi yang masih tidak ia ketahui di dunia ini? Seberapa banyak?
Hujan sedingin es menyerbu mereka, namun bukan karena itu tubuh Nadine kembali gemetar. Apa yang ia tidak tahu bisa membunuhnya, dan menilik dari jumlah hal yang masih belum ia ketahui, ia bisa mati saat ini juga.
***