Bab 4 – Seise Felliri

Reinald membuka mata sejenak, kemudian menutupnya lagi. Kepalanya terasa seperti dipalu dari dalam. Pelipisnya berdenyut-denyut tak karuan. Pemuda itu mengintip lagi, melihat selarik cahaya terbias oleh gorden biru tua di sisi tempat tidur. Tampaknya sudah siang, entah jam berapa.

Rei bangkit dari tempat tidur dan melangkah keluar kamar. Cahaya matahari menampar matanya tanpa ampun, seolah ia baru muncul dari dalam gua, membuat sakit kepalanya bertambah parah.

“Kenapa, A’?”

Pemuda itu memicingkan mata. Bi Iyah telah berdiri di hadapannya, sedang memandanginya dengan raut khawatir.

“Sakit kepala, Bi,” jawab Reinald. Suaranya masih parau akibat baru bangun tidur.

“Oooo, bagusnya teh minum wedang jahe, A’. Bibi bikinin, mau?”

“Kopi saja, Bi.”

Bi Iyah mengangguk dan segera berlalu ke arah dapur.

Pemuda itu beranjak ke sofa dan duduk di atasnya. Gerakan sekecil itu saja sudah membuat kepalanya terasa berdenyut-denyut. Reinald merebahkan kepala ke sandaran sofa dan menutup mata.

Tak lama kemudian Bi Iyah kembali dengan membawa senampan kopi. Pembantu itu meletakkannya di hadapan Rei.

“Jam berapa sekarang?” tanya pemuda itu.

“Jam satu, A’.”

“Tolong ambilkan koran dong, Bi.”

Pembantu tersebut mengambilkannya, dan Reinald langsung membaca seraya menyesap kopi, mengabaikan nyeri kepalanya yang tak kunjung hilang.

Di halaman satu tidak tertulis judul artikel yang telah menghantui tidurnya sepanjang malam. Di halaman dua juga tidak ada. Halaman tiga, empat, dan seterusnya. Halaman terakhir, dan ia masih belum menemukan kalimat yang merongrongnya tersebut.

Reinald menghela napas dalam. Sebenarnya apa yang ia cari? Berita tentang penemuan makhluk-makhluk aneh dari lilin? Kabar tentang penyerangan ke sebuah ruko di Bandung? Apa?

Pemuda itu menutupi mata dengan tangan. Kemarin Nadine sudah berkata bahwa ia akan mengurus makhluk-makhluk itu. Sepertinya gadis itu sudah tahu bagaimana caranya, terlihat dari ketenangannya saat itu. Jadi kenapa Rei masih saja khawatir atas gadis itu?

Ia masih bisa mengingat Nadine dengan jelas, kaus turtleneck dan jins hitam yang membalut tubuhnya. Rambut beludrunya yang terikat rapi. Mata hitamnya menyorot tajam ketika gadis itu berkata, aku yang akan mengurus makhluk-makhluk ini. Pulang sana, dan lupakan semua kejadian ini.

Enak saja menyuruh lupakan semua ini. Dia pikir mudah? Kan tidak setiap hari orang melihat ada benda jadi-jadian dari lilin. Bisa bergerak dan meninju lagi!

Aku yang akan mengurus makhluk-makhluk ini.

Dengan cara apa? Tidak mungkin semua lilin itu dibuang begitu saja ke tempat sampah, kan? Nanti kalau makhluk-makhluk itu bangun lagi, bagaimana? Atau dilebur, lalu dibuat jadi lilin-lilin kecil? Jualan lilin, dong? Lumayan kali ya, untuk tambahan modal toko?

Pulang sana, dan lupakan semua kejadian ini.

Ukh, semakin dilupakan malah semakin teringat. Dasar, apa cewek itu tidak tahu kalau ia khawatir?

Lupakan. Lupakan. Lupakan lupakan lupakan lupakanlupakanlupakan…

Reinald tersentak bangun, megap-megap seperti orang yang baru keluar dari air. Dan ia memang merasa seperti itu, seperti baru muncul dari dalam lumpur, terengah-engah kehabisan napas. Matanya nanar menyapu ruangan yang tampak temaram. Baru kemudian ia sadari bahwa ia masih duduk di sofa yang sama, selembar selimut menutupi tubuhnya.

Pemuda itu menangkupkan wajah ke telapak tangan. Tampaknya tanpa sadar ia jatuh tertidur ketika sedang berpikir keras, terseret ke dalam kelebatan mimpi memusingkan. Rei menarik napas dalam-dalam, namun kepalanya masih terasa berat. Entah sudah berapa lama ia tidak bisa tidur tenang, hilang dalam lelap tanpa mimpi.

Ruangan tempatnya berada tampak gelap, hanya diterangi berkas-berkas cahaya lampu luar yang menyusup ke dalam. Sudah malam. Jam berapa sekarang? Berapa lama ia tertidur? Tampaknya cukup lama, tapi tubuhnya sama sekali tidak terasa seperti habis beristirahat.

Reinald menyibakkan selimut dan bangkit. Beranjak ke arah dapur yang remang-remang. Pemuda itu menekan tombol dan serta-merta nyala lampu TL membanjiri ruangan tersebut. Dengan gerakan metodis ia mengeluarkan kopi dari lemari dan menyeduhnya dengan air panas. Kemudian duduk di meja makan, pikirannya melayang sambil mengaduk kopi tersebut dengan bunyi ting ting ting yang memecahkan kesunyian.

Bagaimana bisa satu orang gadis menyebabkan efek seperti ini pada dirinya? Selama ini selalu dirinyalah yang selalu mengacaukan hidup orang lain, bukan sebaliknya. Ia tidak bangga akan hal itu, namun juga tidak menyesal. Hidupnya sudah berjalan seperti itu selama beberapa tahun terakhir ini. Semenjak kehidupannya berubah seratus delapan puluh derajat.

Namun gadis misterius tersebut berhasil membuat dirinya tidak bisa tidur seperti orang payah, marah-marah tak jelas.

Rei mendengus dan menenggak kopi. Cairan tersebut mengalir menuruni tenggorokan, menghangatkan perutnya. Seperti apa pun Nadine mengganggunya, semuanya telah berakhir. Ia sudah memutuskan rantai hubungan dengan gadis itu. Besok semuanya akan kembali seperti semula.

Kembali pada kehidupannya yang kosong. Yang tak punya arti lagi.

Tapi mungkin lebih baik begitu, daripada dipusingkan seorang gadis.

Reinald menghirup tetes-tetes kopi terakhir dan meletakkan cangkir di meja. Udara malam Bandung menggigitnya, membuatnya menggigil walaupun tadi ia sudah minum cairan hangat tersebut. Tak tahu mau melakukan apa, pemuda itu memutuskan untuk tidur lagi. Setelah bertahun-tahun terbiasa meminum kopi, kafein sudah tak punya pengaruh apa-apa lagi padanya. Kegiatan tersebut hanya jadi kebiasaan baginya.

Reinald membuka pintu kamar dan menarik napas sesak ketika udara dingin menumbuk dadanya. Kamar tidurnya ternyata lebih dingin lagi daripada dapur. Ia melirik ke arah jam yang tergantung di dinding. Tak heran, jam dua pagi seperti sekarang memang sedang sebeku-bekunya.

Pemuda itu menekan tombol saklar, dan lampu TL di kamarnya menyala redup. Cahaya yang dihasilkannya berkedip-kedip selama beberapa saat, kemudian akhirnya padam sama sekali.

Mati lampu? Bukan, sepertinya lampu TL itu saja yang sudah soak. Pemuda itu berdecak kesal. Besok ia harus memberi tahu Mang Dadang untuk segera mengganti lampu tersebut.

Kemudian sekelebat bayangan melintasi langit-langit kamar.

Rei membeku. Jantungnya berdebam keras ke dasar dadanya. Apa itu tadi? Sesuatu yang melesat di dekat lampu? Pemuda itu memicingkan mata, berusaha melihat lebih jelas dalam keremangan malam. Langit-langit kamarnya tampak kosong, tidak ada benda atau bayangan apa pun yang tampak mencurigakan. Apa ia salah lihat? Logika menyuruhnya bergerak, mencari lampu senter atau lilin, namun tubuhnya menolak diperintah.

Kemudian punggungnya seperti disiram air es. Di sana, di ujung kamar, suatu sosok bangkit dari lautan bayangan di lantai. Makhluk itu tampak seperti seekor monyet, namun terlihat jauh lebih ganas dan menyeramkan. Sosok itu memalingkan wajah ke arah Reinald, dan sepasang bola mata kuning yang menyala dalam kegelapan menatap pemuda itu.

Lalu sosok itu bergerak. Bergerak mungkin bukan kata yang tepat untuk menggambarkan seberapa cepat makhluk itu melompat. Reinald hanya punya waktu untuk berkedip sebelum monster itu menabraknya, menghempaskannya ke dinding.

Seluruh napas pemuda itu terdesak keluar ketika punggungnya menghantam tembok yang dingin. Megap-megap, Rei membabi buta berusaha membebaskan diri, namun makhluk itu menghajarnya dengan kekuatan luar biasa, membuatnya jatuh merosot ke lantai. Monyet itu meraung, menghamburkan bau busuk yang menyengat dari dalam moncongnya. Mulutnya dipenuhi deretan gigi kecil setajam gergaji, persis seperti mulut hiu. Sebelum Reinald sempat bereaksi, moncong yang dipenuhi taring runcing itu telah menghunjam ke arah lehernya. Sedikit lagi gigi-geligi itu akan merobeknya, namun mendadak sosok itu melompat menjauh.

Rei terengah-engah, memegangi leher yang nyaris sobek seraya beringsut menjauhi makhluk tersebut. Ada apa dengan monyet itu? Sejenak monster tersebut tampak ragu-ragu, menggeram buas ke arahnya, tapi seakan takut mendekat. Namun sesaat kemudian hewan itu sudah menyerbu lagi, mencengkeram lengan kiri pemuda itu dan dengan satu hentakan menarik lepas gelang kerang-kayu yang melilit pergelangannya. Cakar tajam merobek daging Reinald, menggoreskan luka-luka panjang yang segera mengalirkan darah.

Rei mengabaikan rasa sakit yang berdenyut-denyut di pergelangannya, berusaha menarik lepas tangannya dari cengkeraman makhluk itu, dan sosok itu menamparnya. Rasa perih yang dalam menyayat pipi kanannya, dan hantaman tersebut membuat kepalanya berputar. Kekuatannya terasa mengalir pergi, sementara cengkeraman monyet itu malah semakin mengencang. Rei berjuang lagi, memberontak, mengelak mati-matian ketika gigi monster itu kembali mengincar lehernya. Namun semua usahanya sia-sia saja, tenaganya semakin terkuras sementara makhluk itu malah semakin mengganas.

Mendadak sosok itu terpelanting ke belakang dan menabrak dinding. Keheranan, pemuda itu terengah dan terbatuk. Rasa sakit di pipinya semakin membara dan kepalanya masih pusing, tapi ia memaksa diri untuk bangkit. Di depan matanya, monster itu menggeliat dan menggeram, menjerit murka dan mencakar, tapi sesuatu tetap menahannya di tembok.

Seseorang melangkah ke depannya, menutupi pandangan ke arah makhluk tersebut. Dengan keheranan luar biasa Rei menatap kaus turtleneck hitam dan jins sewarna di hadapannya. Rambut hitam panjang yang terikat.

“Nadine?”

“Pergi!” seru gadis itu, dan Reinald merasakan sensasi dejavu yang aneh. Apa ia sedang bermimpi? “Tinggalkan tempat ini secepatnya. Biar aku yang mengurus makhluk terkutuk ini!”

Sebelum pemuda itu sempat bereaksi, makhluk tersebut telah meronta hebat dan berhasil melepaskan diri dari apa pun yang menahannya di tembok. Dengan raungan keras monster itu menerjang ke arah mereka dengan kecepatan luar biasa.

Bab 4 - Seise Felliri

Ilustrasi oleh Rama Indra

Nadine mengibaskan tangan dan angin dingin menderu di dalam ruangan, berputar kencang. Angin tersebut menerpa makhluk itu, namun monyet itu tidak terhentikan. Hewan itu menabrak Nadine dan menghempaskan gadis itu ke lantai.

Sesuatu menembus punggung monster tersebut dari dalam ke luar, merobek dagingnya dan mencipratkan cairan hitam ke segala arah. Sosok itu menjerit marah, namun tidak berhenti menyerang Nadine. Benda lain, sesuatu yang tampak tembus pandang dan berkilauan ditimpa cahaya lampu luar, kembali mengoyak punggung makhluk tersebut. Mendadak Rei teringat kembali akan pemandangan tubuh yang tertelungkup tak bergerak, ditembusi kristal runcing di sana-sini. Rasa mual mulai mengocok perut pemuda itu, mencekik lehernya.

Seseorang menjerit, dan Reinald tersadar. Nadine mengangkat lengan kanan untuk menghalangi moncong monyet itu dari wajahnya, namun makhluk tersebut berhasil menancapkan gigi gergaji di lengan itu, walaupun punggungnya telah dipenuhi kerucut-kerucut tajam. Gadis itu melolong kesakitan, mati-matian berusaha melepaskan diri, namun tak berdaya.

Rei meraih kursi yang berdiri di dekatnya dan menghantamkannya sekuat tenaga ke kepala makhluk itu. Benda tersebut patah menjadi dua, serpihan kayunya menghujani udara. Namun monster tersebut masih belum melepaskan korbannya. Di lantai, Nadine tersengal-sengal. Lengan bajunya mulai basah oleh darah.

”Reinald.”

Tertegun, pemuda itu menatap Nadine. Benarkah gadis itu baru saja menyebut namanya?

“Panggil pedang itu.”

“Ha?”

“Panggil–“ sebelum gadis itu sempat melanjutkan, monster itu sudah menancapkan rahang di bahu kiri Nadine yang tak terlindungi. Jeritan gadis itu membahana di udara.

“Sial!” Reinald mencengkeram leher makhluk itu dan menariknya sekuat tenaga. Tangannya yang terluka berdenyut-denyut, namun ia tetap mencekik sosok itu mati-matian. “Lepaskan dia, brengsek! Lepas!”

“Pedang itu,” sahut Nadine tersengal-sengal. Tatapan matanya yang tak berdaya menatap pemuda itu. “Pedang yang kamu aktifkan. Panggil dia.”

“Bagaimana caranya?!” dengan frustasi Rei memukuli kepala makhluk itu, meninju belakang lehernya, tapi monyet itu tetap tak melepaskan gigitannya.

“Panggil namanya,” suara Nadine mulai melemah.

“Nama?” gadis itu tak menyahut, wajahnya tampak amat pucat, matanya sudah setengah tertutup, dan tangannya terkulai lemas di lantai. Melihat korbannya sudah tak berdaya, monster itu melepaskan gigitannya. Kali ini rahangnya menghunjam ke arah leher Nadine.

“Sial!” Reinald melompat maju dan menangkap moncong makhluk tersebut. Gigi geligi runcing menusuk kulitnya dan rasa perih tak terkira menghantamnya, tapi pemuda itu bertahan sekuat tenaga. ”Seise Felliri!” serunya, namun tak terjadi apa-apa.

Monster di hadapannya menggeliat, berusaha melepaskan diri, tapi Rei mencengkeram moncongnya erat-erat, walaupun tangannya sendiri menjerit kesakitan. ”Seise Felliri!” Ayo datang, pedang sialan!

Lengannya mulai bergetar kehilangan kekuatan. Sosok itu menggeram, mengibaskan kepala sampai lepas dari cengkeraman pemuda itu, menekuk leher ke samping, dan menghunjamkan rahang ke telapak tangan Reinald. Rasa sakit yang panas menjalari lengan pemuda itu. ”Seise Felliri! Seise Felliri! SEISE FELLIRI!”

Mendadak badai bertiup di kamar tersebut. Angin membekukan tulang menderu dan berputar, sementara asap keruh bergulung dan menebal, mengisi setiap sudut ruangan. Ribuan kristal es muncul di udara, mulanya kecil dan rapuh, kemudian bergabung satu sama lain, menyatu dan menebal sampai membentuk sebilah pedang yang melayang berpilin di tengah-tengah ruangan.

Melihat senjata tajam itu monster tersebut berteriak marah. Makhluk itu melepaskan gigi dari tangan Rei dan menjauh, mendesis murka ke arah senjata tersebut. Reinald terpaku sambil memegangi tangan yang berlumuran darah, segenap rasa sakitnya sesaat terlupakan oleh pemandangan di hadapannya.

Seperti memiliki nyawa sendiri, Seise Felliri berhenti berputar dan sejenak mengambang diam di tengah-tengah ruangan. Kemudian ujung tajamnya bergerak mengarah ke monster yang sedang menggeram di lantai. Sosok itu melengkungkan punggung seperti kucing marah, bulu-bulunya berdiri tegak. Dengan satu gerakan cepat monyet itu berbalik dan melompat, hendak melarikan diri.

Pedang itu tidak tinggal diam. Seise Felliri melesat dan menghantam makhluk itu telak di perutnya. Hewan itu terdorong dengan kekuatan luar biasa dan tertancap di lantai. Monster itu menggeliat, mencakari perutnya yang tertembus pedang, jeritan binatangnya memenuhi ruangan. Kemudian ujung kakinya berhenti bergerak, dan makhluk itu mulai mendengking panik.

Dalam keremangan malam Reinald melihat monyet itu membeku seolah-olah terperangkap dalam salju, bunga-bunga es menutupi tubuhnya yang meronta-ronta. Sosok itu menjerit-jerit panik, namun tak berdaya menghentikan kekakuan yang merayapi badannya. Ketika kebekuan tersebut mencapai perutnya, kaki makhluk itu tiba-tiba retak dengan suara keras, lalu luruh menjadi butiran pasir es. Monster itu melolong ketakutan, tapi kristal-kristal es tersebut mulai menutupi kepala, membungkam teriakannya. Dengan satu derakan keras, kepala makhluk tersebut pun hancur berkeping-keping, hanya menyisakan kerikil-kerikil es yang berserakan di lantai.

Angin dingin berhembus dan butiran pasir es itu tertiup, terangkat ke udara dan menguap hilang, meninggalkan jejak-jejak kabut beku yang mengelilingi Seise Felliri yang masih tertancap di lantai. Malam pun kembali hening.

***

Category(s): Artefaktor

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

 

You may use these HTML tags and attributes: <a href="" title=""> <abbr title=""> <acronym title=""> <b> <blockquote cite=""> <cite> <code> <del datetime=""> <em> <i> <q cite=""> <s> <strike> <strong>