Dentingan bel terdengar nyaring di telinga Reinald, membuatnya mengerenyit. Bel sialan, bunyinya menusuk langsung ke dalam kepala, membuatnya berdenyut-denyut. Bau apel yang sebelumnya menggugah kini terasa memuakkan, seperti parfum yang bercampur keringat.
Seseorang mengangkat kepala dari balik meja kasir, lalu mendatanginya. Beberapa langkah di hadapannya orang itu berhenti, seperti sudah mencium bahaya.
“Ada yang bisa saya bantu?” suara Nadine datar seperti biasa, namun ada nada waspada di dalamnya. Ah peduli amat, pikir Rei. Kalau penampilannya membuat gadis itu terancam, memang ia pikirkan!
Pemuda itu mengacungkan pedang yang dibawanya ke depan hidung Nadine. “Coba kamu jelaskan padaku, pedang apa ini sebenarnya?”
Wajah gadis itu bergeming, namun kekhawatiran muncul di matanya. “Ada masalah?”
“Masalah? Tidak ada masalah apa-apa, kok. Aku hanya ingin tahu, kenapa pedang kesayanganmu ini bisa diincar oleh cewek lain, yang sepertinya lebih bernafsu melihat benda ini daripada melihat cowok. Dan sejak meminjam pedang ini aku terus-menerus bermimpi buruk, sampai-sampai tiga hari ini aku tidak bisa tidur. Jadi, tolong jelaskan, pedang apa ini sebenarnya?”
Hening sejenak. Rei mengamati gadis itu dalam-dalam, menunggu jawaban. Di hadapannya Nadine masih bergeming, namun mata gadis itu mulai bergerak. Mungkin mengamati tampangnya yang kusut. Menilai matanya yang merah akibat kurang tidur. Entah apa yang dipikirkan gadis itu, tapi pemuda itu sudah tidak peduli. Ia hanya ingin jawaban!
“Siapa perempuan yang kamu sebut tadi?”
Aduh, cewek ini. Ditanya kok malah balik bertanya? Reinald merasakan kekesalan mulai memenuhi dada, namun ditahannya emosi itu. “Tidak tahu, aku bertemu dengannya di pesta. Katanya namanya Kolektor, entah apa artinya.”
Kali ini Nadine yang menatapnya dalam-dalam. “Penampilannya? Ada yang spesifik dari perempuan itu?”
Rei menutup mata, berusaha mengingat-ingat. “Penari perut profesional. Tinggi seperti model. Kulit putih, wajah eksotis, mata runcing, hidung mancung. Langsing tapi berisi di tempat-tempat yang pas. Menggoda, manipulatif, dan sepertinya terbiasa memerintah.”
Nadine tampak berusaha mencerna deskripsi tersebut, tapi dari kerutan di dahinya, sepertinya gadis itu juga tidak mengenali si Kolektor.
“Jadi?” tanya pemuda itu.
Nadine menatapnya, “Jadi apa?”
“Pedang apa ini? Kenapa aku bisa bermimpi buruk seperti itu? Apa benar gara-gara pedang ini?”
Gadis itu memandanginya. Lalu tanpa disangka-sangka ia mendekat, mengulurkan kedua tangan dan menyentuhkannya ke pipi Rei.
Reinald terbelalak, tertegun. Walaupun hanya ujung-ujung jari gadis itu yang mengenai pipinya, tangan itu terasa amat dingin di kulitnya yang membara. Seluruh kekesalannya mendadak menyurut pergi, seperti laut yang mereda setelah diamuk badai. Mata Nadine menatapnya, seolah mencari sesuatu, menjelajahinya sampai ke sisi jiwa terdalam. Untuk kedua kalinya waktu terasa melambat, seolah berhenti.
Gadis itu menarik tangan dan Rei tersedak, menelan udara yang lupa ia hirup. Aroma mawar menari di udara.
“Sepertinya kamu baik-baik saja,” sahut gadis itu datar.
Kekesalan pemuda itu datang lagi, menghempaskannya kembali ke dunia nyata. “Baik-baik saja?”
“Yah, kecuali kurang tidur,” sambung Nadine. “Pedang itu hanya pedang biasa. Tidak ada yang istimewa, kok.”
“Lalu kenapa awalnya kamu tidak mau meminjamkan pedang itu?”
“Karena pedang itu memang tidak untuk dipinjamkan. Kamu saja yang memaksa.”
Reinald hendak membalas perkataan itu, namun kemudian sadar bahwa apa yang dikatakan gadis itu benar adanya. “Maaf,” akhirnya pemuda itu berkata. “Aku memang sudah memaksamu meminjamkan pedang itu. Entah kenapa aku sangat menginginkannya, sekedar untuk memegangnya. Sampai sekarang aku juga tidak mengerti.”
Nadine tidak menyahut, hanya terus memandanginya. Yah, mungkin lebih baik tidak mendapat jawaban, daripada permintaan maafnya ditolak mentah-mentah oleh gadis itu.
“Jadi, kenapa aku bisa mimpi buruk seperti itu?” tanya pemuda itu.
“Ada banyak alasan kenapa seseorang bermimpi,“ akhirnya Nadine menjawab. “Mimpi itu pantulan alam bawah sadar kita. Perasaan yang terpendam akan terefleksi lewat mimpi. Mungkin kamu sedang merasa tidak tenang. Takut kehilangan sesuatu.”
Rei membuka mulut, siap membantah, namun logika menghentikannya. Benar kata Nadine, mungkin ia memang terlalu terpengaruh kenyataan bahwa Kolektor misterius itu tampak sangat berminat pada pedang tersebut. Mungkin saja gadis itu memang hobi mengumpulkan pedang, dan bersemangat karena menemukan pedang yang belum ia miliki.
Pemuda itu menarik napas dalam. “Mungkin kamu benar. Sepertinya aku hanya takut melanggar janjiku padamu.”
Nadine hanya diam menatapnya. Mendadak gadis itu tersenyum. “Aku tak menyangka kamu menganggap janji itu benar-benar penting sampai bermimpi buruk akibatnya.”
Reinald hampir ternganga. Senyum yang tersungging di bibir gadis itu hanya muncul sesaat, namun cukup untuk membuat jantungnya mendadak jungkir balik. Sekuat tenaga ia menjaga agar raut wajahnya tak berubah. Siapa sangka gadis es itu bisa tersenyum semanis ini?
“Lalu kamu mau mengembalikan pedang itu hari ini.”
Kalimat tadi bukan pertanyaan. Rei menghela napas dan mengangguk, “Aku hanya mau tidur. Tidur nyenyak tanpa terganggu apa pun.”
“Ya sudah, kemarikan barangnya.”
Ketika Reinald mengangsurkan pedang dan baju penyihir tersebut, bel di pintu berbunyi nyaring. Pemuda itu menoleh dan melihat empat laki-laki memasuki ruko.
“Tunggu sebentar,” sahut Nadine. Gadis itu melangkah mendekati para tamu barunya. Keempat orang tadi sedang mengamati seisi toko.
“Selamat siang, ada yang bisa saya bantu?” nada gadis itu masih tetap datar. Dengan sedikit lega Rei menyadari bahwa sikap dingin gadis itu bukan hanya ditujukan padanya.
Tunggu sebentar, kenapa juga ia harus peduli seperti apa sikap gadis itu pada orang lain? Sepertinya otaknya memang jadi korslet karena kurang tidur.
Tak satu pun dari keempat pemuda tersebut menyahut. Semuanya masih memandangi sekeliling mereka, seperti mencari sesuatu.
“Mau meminjam kostum, Kak?” tanya Nadine lagi.
Satu-persatu keempat laki-laki itu memandang gadis itu. Dan satu-persatu mereka semua mengangguk.
“Sial,” Reinald mendengar Nadine menggumam. Kewaspadaan terdengar kental dalam suaranya. “Kenapa makhluk seperti ini bisa muncul di sini?”
“Apa?” tanya pemuda itu.
Gadis itu meliriknya, dan mengibaskan tangan. “Pergi dari sini.”
“Ha?”
“Pergi!”
Sebelum Rei sempat berbuat sesuatu, keempat laki-laki di hadapan mereka berpaling ke arahnya. Seketika itu juga pemuda tersebut merasakan tubuhnya menegang. Ada sesuatu yang sangat aneh pada orang-orang tersebut. Gerakan mereka agak terpatah-patah, seolah tubuh mereka amat kaku.
Dan tatapan mereka terlalu kosong, seakan-akan tidak ada kehidupan sama sekali di balik pandangan tersebut.
Mendadak tiga dari orang-orang itu melompat ke arahnya.
Reinald tak sempat bereaksi ketika salah seorang laki-laki tersebut menyambar pedang yang masih ada dalam genggamannya. Refleks pemuda itu menjatuhkan kostum penyihir yang masih ia pegang dan menahan senjata tersebut dengan dua tangan. Laki-laki di hadapannya menarik lagi, kali ini lebih bertenaga, membuat pedang tersebut hampir terlepas dari tangan Rei. Bangsat, orang ini kuat sekali!
Sesuatu berkelebat di sudut matanya, dan insting membuat Reinald menunduk. Sebuah kepalan tangan melesat lewat, tipis di atas kepalanya. Sebuah tinju lain terarah ke wajahnya, dan pemuda itu memanfaatkan momen tersebut untuk menghindar ke samping, seraya menarik pedang di tangannya agar terlepas dari pegangan si laki-laki. Namun pada saat bersamaan orang tersebut justru menarik senjata itu ke arah berlawanan, sehingga yang akhirnya tersisa di tangan Rei hanyalah pedang itu sendiri. Sarungnya tertinggal di genggaman laki-laki tadi.
Belum sempat Reinald menarik napas, tinju lain telah meluncur deras ke perutnya. Pemuda itu berkelit, namun sebuah kepalan tangan lain menghadangnya dari sisi kiri. Tak sempat melakukan hal lain, secara naluriah Rei mengangkat pedang yang ia genggam, membentengi wajah dengan senjata tersebut.
Tinju itu menghantam sisi pedang tersebut, dan mendadak terdengar bunyi desisan aneh. Dengan terpana Reinald mendapati bahwa kepalan laki-laki itu mulai berasap, seperti terkena cairan panas. Namun dalam sekejap laki-laki itu kembali mengayunkan tinjunya yang rusak. Raut wajahnya tak berubah, seolah-olah ia tidak merasakan sakit sedikit pun.
Apa-apaan ini? Rei menahan pukulan tersebut dengan lengannya, dan menggertakkan gigi akibat hantaman itu. Rasanya seperti dipukul dengan balok kayu. Apa yang sedang terjadi? Ada apa ini?!
Seperti membuat keadaan semakin memburuk, pandangannya mulai mengabur.
Pemuda itu mengerjap, tetapi pandangannya malah jadi semakin tidak jelas. Ia hanya bisa melihat siluet orang-orang yang mengepungnya. Sial, kenapa lagi ini? Reinald menggosok mata dengan lengan baju, namun alih-alih menjadi jelas, penglihatannya malah semakin mengabur. Sedetik kemudian ia baru sadar. Bukan matanya yang salah. Ada suatu kabut aneh, atau asap, yang melingkupi ruko tersebut, menyelubungi segalanya dalam putih dan abu-abu.
Tiba-tiba terdengar suatu suara ganjil. Bunyi suatu benda yang menghunjam benda lunak. Kemudian disusul suara benda berat terjatuh ke lantai.
Rei membeku, tidak yakin akan yang ia dengar barusan. Suara-suara lainnya susul-menyusul, suara hunjaman aneh tadi, bunyi sesuatu yang terhempas, desingan sesuatu yang membelah udara. Kemudian hening, sunyi yang mencekam.
Mendadak seseorang membalikkan badannya.
Reinald berteriak kaget dan terlompat ke belakang. Di hadapannya berdiri Nadine, tak terluka sedikit pun. Gadis itu menatapnya dalam-dalam, penuh kemarahan.
“Nadine? Kamu baik-baik aja? Apa yang ter –?”
“Apa yang kamu lakukan?”
“Hah?”
“Aku tanya, apa yang kamu lakukan barusan? Dari mana kamu panggil kabut ini?”
”Kabut?” Reinald memandangi sekelilingnya, dan baru menyadari bahwa tirai asap itu telah menghilang, tak meninggalkan jejak sama sekali. Apa yang sedang terjadi? Ke mana perginya kabut tadi?
Kemudian matanya tertumbuk pada sesuatu. Satu, dua, empat tubuh tergeletak di lantai. Ada yang tertelungkup, ada yang terbaring telentang, ada yang meringkuk. Punggung, dada, dan leher mereka ditancapi oleh kristal tajam yang berkilauan di bawah sinar lampu. Stalaktit-stalaktit itu menguarkan uap, seperti es yang dibiarkan di udara terbuka.
Napas Rei tercekat. Rasa mual dan pusing menyerbunya, sesaat membuat ruangan tersebut tampak berputar. Pemuda itu menutup mata dan mencengkeram pedang di tangannya. Ini cuma mimpi. Ini cuma mimpi buruk. Kumohon, semoga ini semua cuma mimpi yang sangat sangat SANGAT buruk!
“Hei!” Nadine mengguncang badannya, memaksanya membuka mata. “Jawab pertanyaanku! Apa yang sudah kamu lakukan?”
“Aku? Seharusnya aku yang tanya! Apa yang sudah KAMU lakukan?”
“Itu tidak penting,” sergah gadis itu. “Bagaimana caranya kamu bisa mengeluarkan kabut itu?”
“Tidak penting apanya?” pikiran Reinald berputar. Rasanya ia tidak bisa berkonsentrasi. Kenapa kristal itu seperti terbuat dari es? Kenapa ada asap yang tiba-tiba menyelimuti toko tersebut? “Ada orang mati di sini, dan kamu bilang itu tidak penting?” Mendadak sebuah kesadaran menyentaknya. Serta-merta ia melangkah mundur. “Astaga, kamu…”
Nadine mengulurkan tangan, seolah akan menenangkannya, tapi Rei mengacungkan pedang yang masih ia genggam. “Jangan dekat-dekat! Apa yang sudah kamu lakukan?”
“Tunggu sebentar.”
“Kamu –jeritan tadi – kabut itu – kamu semua yang – yang…”
“Dengar.”
“Kamu yang membunuhnya!” tuding Reinald. “Kamu yang membunuh semua orang itu!”
“Mereka bukan orang!” kata-kata Nadine memenuhi ruangan. Gadis itu tidak berseru, namun entah bagaimana efek yang ditimbulkan suaranya jauh lebih dramatis daripada jika gadis itu berteriak. Reinald terdiam. Seruan gadis itu menyentakkannya.
“Bukan orang bagaimana?”
Nadine membungkuk dan meraih lengan salah seorang pemuda yang tertelungkup di lantai. Rei berjengit melihatnya. Bagaimana bisa gadis itu menyentuh orang mati setenang itu?
“Lihat ini.”
Di tangan Nadine, mendadak lengan itu berubah warna menjadi putih. Kemudian anggota badan tersebut mulai meleleh.
Reinald terlompat menjauh. “Apa yang kamu lakukan?!”
“Mereka ini makhluk jadi-jadian,” gadis itu melepaskan lengan yang masih terus meleleh tersebut. Bagian tubuh itu jatuh ke lantai dan mencipratkan lelehannya ke segala arah. “Dari lilin.”
“Makhluk jadi-jadian? Dari lilin?”
Nadine tidak menghiraukan komentar tersebut. Gadis itu menatapnya dalam-dalam. “Beri tahu aku bagaimana caramu mengeluarkan kabut itu. Sekarang. Atau kamu akan menyesal.”
“Bagaimana caranya aku memberitahumu kalau aku sendiri tidak tahu?”
“Kabut tadi keluar dari Seise Felliri,” suara Nadine terdengar tenang, namun ada nada berbahaya di dalamnya. “Dan kamu yang sedang memegang pedang itu. Kalau bukan kamu, siapa lagi?”
Rei melongo. “Yang benar saja. Ini kan bukan film atau game? Mana ada kabut yang keluar dari pedang?” Tapi di dunia nyata juga tidak ada kabut yang muncul di dalam ruangan. Apalagi makhluk jadi-jadian dari lilin…
Gadis itu menatapnya tajam. Sekonyong-konyong ia mengulurkan tangan, telapaknya mengarah ke Reinald. Dan sebuah benda mencuat keluar dari sana, dari permukaan telapak tangannya. Sesuatu yang runcing, tajam, dan tembus pandang. Kristal itu terus memanjang keluar dari telapaknya seakan-akan tumbuh, sampai ukurannya hampir sama panjang dengan lengan gadis itu.
”Jawab, atau kubuat kamu bernasib sama dengan makhluk-makhluk ini.”
Rei ternganga. ”Kamu… serius?”
”Kamu mau coba dulu, apa aku serius atau tidak?” gadis itu balik bertanya dengan dingin.
Pemuda itu tak tahu harus menjawab apa. Nadine tidak mungkin serius, kan? Namun dari cara gadis itu menatapnya, Reinald tidak yakin bahwa Nadine hanya bercanda. Apa yang harus ia lakukan? Tertawa dan menganggap gadis itu hanya melucu? Menjawab pertanyaannya? Tapi ia tidak tahu harus menjawab apa!
”Tidak mau menjawab? Baiklah, kalau begitu. Tanggung sendiri akibatnya.”
Tiba-tiba stalaktit yang ada di telapak tangan Nadine meluncur deras ke arah Reinald. Refleks pemuda itu mengangkat pedang yang ia genggam ke depan wajah dan menutup mata. Apa ia akan mati di sini?
Detik-detik berlalu dalam keheningan. Mendadak pemuda itu sadar bahwa tak terjadi apa-apa. Tak ada rasa sakit, tak ada hunjaman di badannya. Ia membuka mata dan melihat ujung runcing kristal tersebut berhenti beberapa senti di depan hidungnya. Di sekelilingnya, asap keruh berwarna putih keabuan menyelubungi tubuhnya, bergulung keluar dari bilah pedang di hadapannya, seperti uap kopi panas. Kabut aneh itu bergumpal dan menyatu, memisah dan berputar, dalam sekejap mengisi setiap sudut ruko.
Rei mengerjap tak percaya. Buru-buru dilepaskannya pedang itu. Senjata tajam tersebut terjatuh ke lantai dengan bunyi dentingan keras, namun asap tersebut masih terus keluar dari bilahnya. ”Apa ini? Asap apa itu? Pedang apa ini?”
”Pergi.”
Reinald mengangkat wajah dan menatap Nadine. “Ha?”
Gadis itu balik memandanginya dengan ekspresi yang tak dapat diartikan. “Aku yang akan mengurus makhluk-makhluk ini. Pulang sana, dan lupakan semua kejadian ini.”
Kata-kata itu terdengar sangat absurd di telinga pemuda itu. “Mengurus? Bagaimana caranya? Makhluk apa ini?”
“Kamu tidak perlu tahu,” sahut Nadine. “Yang perlu kamu ingat hanya menutup mulutmu rapat-rapat mengenai kejadian ini.”
”Apa? Kamu mengancamku?”
“Hanya memberitahumu. Sekarang pergi.”
“Tapi bagaimana soal pedang itu? Kenapa dia bisa mengeluarkan asap? Makhluk apa ini sebenarnya?” Rei masih ingin bertanya lebih banyak lagi, tapi Nadine sudah menghilang ke balik meja kasir. “Hei!”
Tak ada jawaban. Pemuda itu menatap sekelilingnya, ke pedang yang tergeletak di lantai. Ia sudah akan memanggil Nadine lagi ketika matanya kembali tertumbuk pada tubuh-tubuh yang bergelimpangan di sana. Ukh, perutnya jadi tak karuan rasanya.
Kalau memang gadis itu ingin ia pergi, ia akan pergi sejauh-jauhnya. Ia sudah tidak mau lagi dekat-dekat gadis aneh itu!
***