Awan berat menggelayuti langit petang Bandung ketika mobil memasuki pelataran hotel. Reinald duduk di kursi belakang, mengamati kendaraan yang beringsut dalam antrian menuju lobi depan. Ketika gilirannya tiba, pemuda itu mengucapkan pesan singkat pada Pak Dono untuk menunggunya, lalu melangkah turun.
Cahaya dari dalam hotel membanjir keluar lewat pintu. Seorang petugas keamanan menghentikan langkah Reinald. “Maaf, Pak. Dilarang membawa senjata tajam ke dalam hotel ini.”
“Oh, ini hanya replika, kok,” jawab pemuda itu.
“Bisa saya periksa dulu?”
Rei mengalah, menyerahkan pedang tersebut beserta sarungnya pada si petugas. Pria itu memeriksa senjata tersebut amat teliti, mengeluarkan bilah besinya, mengamat-amatinya, lalu memeriksa ketajamannya dengan jari. Orang-orang mulai memandanginya, ingin tahu apa yang terjadi, namun Rei mengabaikan mereka semua.
Akhirnya petugas keamanan itu mengembalikan pedang tersebut kepadanya. “Silakan, Pak. Maaf sudah merepotkan.”
Pemuda itu menerimanya seraya mengangguk, dan melewati si petugas keamanan. Seorang pelayan berseragam merah marun membukakan pintu untuknya. ”Selamat datang di hotel Horison,” ucap penjaga pintu tersebut.
Reinald melangkah masuk. Aula hotel itu teramat luas, dengan meja resepsionis di ujungnya dan sederetan sofa empuk yang dipenuhi oleh pengunjung. Sebuah lampu kristal raksasa tergantung di atasnya, berkelip-kelip seperti ribuan bintang. Hotel tersebut tampak padat, para calon penghuni mendatangi resepsionis, diiringi pelayan hotel yang mendorong troli berisikan koper, tas, dan segudang barang lainnya. Di barisan tempat duduk, pria dan wanita berpakaian kantor tampak sibuk berdiskusi. Dan di sekitarnya berlalu lalang orang-orang sepertinya, manusia berkostum yang tampak salah alamat di lobi ini.
Pemuda itu melanjutkan langkah ke sebuah lorong yang membuka ke ruangan berpintu ganda. Dua buah meja penerima tamu mengapit sisi kiri dan kanan lorong tersebut. Seorang pemuda – kostumnya tampak seperti pelayan kerajaan – menyambutnya, “Selamat malam, Tuan. Bisa saya lihat undangannya?”
Tuan? Rei menyodorkan secarik kartu berwarna ungu yang menebarkan wangi lavender ketika mengarungi udara. Penerima tamu tadi menerimanya, membaca nama yang tertera di sampul, dan mengangguk seraya setengah membungkuk. “Tuan Reinald Adiprajasa. Terima kasih atas kedatangan Tuan malam ini. Silakan menikmati acara pesta.”
Reinald melangkah menuju pintu ganda yang terpentang lebar dan memasuki ruangan di baliknya. Tempat pesta itu sangat luas, berpuluh lampu menyala terang meneranginya. Dekorasi kerajaan padang pasir berwarna ungu dan perak menghiasi ruangan tersebut, membuat ia mendadak merasa diteleportasi ke dunia khayalan, di mana istana-istana, putri-putri, dan petualangan adalah sesuatu yang nyata.
Aula tersebut telah dipenuhi berbagai macam orang. Masing-masing mengenakan kostum berwarna-warni dalam berbagai bentuk. Suara tawa, celotehan, obrolan, sampai teriakan bercampur menjadi satu di tempat tersebut.
Rei memasuki pesta, dan seketika itu juga berpuluh pasang mata tertuju padanya. Beberapa orang yang tampak mengenalinya mulai berbisik satu sama lain.
Sepertinya reputasinya memang masih belum terlupakan. Biarlah. Ia sama sekali tak peduli.
Reinald memandang langsung ke arah orang-orang yang sedang berbisik-bisik tersebut, dan tersenyum. Sontak orang-orang tersebut mengalihkan pandangan mereka ke arah lain. Pemuda itu menyeringai dalam hati melihatnya.
“Rei! Kamu datang juga!”
Reinald berbalik dan menatap si pemilik suara. Seorang gadis berlari menghampiri, mengenakan gaun putri Arab berwarna ungu dan perak yang terhampar sampai ke lantai. Kulit putihnya terbuka di bagian perut, dan sehelai selendang ungu tembus pandang membingkai bahunya yang telanjang. Rambutnya yang disepuh coklat tergerai indah sampai ke punggung, wajahnya dirias tanpa cacat, dan matanya yang dilapisi lensa kontak ungu tampak berbinar-binar.
Reinald tersenyum pada gadis itu. “Halo, Tias. Kamu cantik sekali malam ini. Selamat ulang tahun, ya,” pemuda itu menunduk dan mencium pipi gadis itu. Wajah gadis itu segera merona merah, dan ia tertawa sedikit malu.
Entah kenapa, Rei mendadak teringat Nadine. Eh, kenapa juga ia bisa ingat gadis itu?
“Aku senang sekali kamu datang,” mata Tias berbinar-binar, membuat wajahnya tampak semakin bercahaya.
Reinald tersenyum menanggapinya, “Tidak mungkin kan, aku tidak datang ke pesta ultahmu?”
“Selamat malam, nak Reinald,” suara seorang pria yang berat berwibawa menyapanya dari belakang.
Pemuda itu berbalik dan mengangguk sopan kepada si pemilik suara. “Selamat malam, Pak Mustafa. Apa kabar, Pak? Saya harap Bapak sehat-sehat saja.”
Pria tinggi besar itu mengangguk. Kumis tebalnya tampak sepadan dengan baju sultan ungu-emas yang ia kenakan. Sebuah sorban emas bertengger di kepalanya, bagian tengahnya dihiasi sebuah permata besar berwarna ungu. “Saya lihat kamu juga sehat-sehat saja. Bagaimana perusahaan ayahmu? Saya dengar mereka baru saja dapat tender ekspor kayu jati ke Eropa.”
“Iya, Pak,” jawab Rei. “Sejak dipegang Presdir yang baru, banyak tender yang masuk, soalnya Oom Hari itu punya banyak relasi di Eropa dan Amerika.”
“Papa!” tegur Tias, bibirnya yang mengkilap karena lip gloss memberengut. “Papa sudah janji tidak akan membicarakan pekerjaan di hari ulang tahunku.”
“Maaf, Sayang,” Pak Mustafa memeluk anaknya dan mencium keningnya. Tias terkikik geli. “Kalau bertemu Reinald, Papa suka tidak bisa menahan diri. Ya sudah, sana senang-senang sama teman-temanmu. Toh ini memang ulang tahunmu.”
Tias melepaskan diri dari ayahnya dan berganti menggandeng Rei. Wangi lavender merasuk ke dalam hidung pemuda itu. “Rei, temani aku, yuk.”
Pemuda itu menggangguk. “Suatu kehormatan, Tuan Putri.”
Tias mengajaknya berkenalan dengan teman-temannya. Selama itu tangannya tak pernah lepas dari lengan Reinald. Gadis itu terus mengumumkan siapa dirinya kepada semua orang, dan pemuda itu meladeni mereka semua dengan sopan. Beberapa gadis menatapnya dengan pandangan berbinar-binar bercampur iri pada Tias, namun lebih banyak lagi yang menatapnya penuh arti, seakan berkata oh, jadi ini yang namanya Reinald? Kami tahu lho apa yang sudah kamu lakukan.
Pemuda itu mengabaikan pandangan tersebut.
“Tias,” seorang wanita dengan gaun ratu ungu berbordir emas yang sangat anggun menghampiri mereka. “Sebentar lagi acara potong kuemu, lho.”
“Oh, iya! Aku hampir lupa, Ma.”
“Kamu ini, kalau ada Rei, suka lupa segala.”
“Hehehe, kan mirip Papa.”
“Ayo, teman-temanmu sudah menunggu, tuh.”
Tias mempererat pelukannya dan menatap Reinald, “Rei ikut juga, ya?” Pemuda itu hanya tersenyum dan membiarkan gadis itu menariknya ke tengah-tengah panggung yang berdiri di ujung ruangan. Di atas panggung tersebut berdiri sebuah meja panjang yang menampung sebuah kue ulang tahun dua tingkat. Di atasnya berkobar lilin-lilin ungu kecil berulir indah. Tias memandunya ke hadapan kue tersebut dan meletakkan Reinald di sebelahnya, diapit kedua orang tuanya.
Atas aba-aba pembawa acara, para hadirin serentak menyanyikan lagu selamat ulang tahun. Begitu lagu itu berakhir Tias memejam sejenak, seolah-olah berdoa, kemudian meniup lilin-lilin itu. Kerlip api padam diiringi tepuk tangan meriah.
“Kamu wishing apa?” bisik Rei.
Tias menatapnya kemudian tersenyum simpul. “Rahasia,” sahutnya.
Sebuah pisau berpita ungu dibawa memasuki ruangan. Tias menerimanya dan memotong kue raksasa di hadapannya, sekali lagi diiringi tepuk tangan para tamu. Potongan pertama ia berikan pada ibunya, potongan kedua pada ayahnya. Kemudian potongan ketiga, yang ia iris hati-hati, terulur ke arah Reinald.
“Buat Rei,” gadis itu mengumumkan, kemudian tersipu malu ketika semua yang hadir di sana bertepuk riuh.
“Terima kasih, Tias,” pemuda itu menerimanya seraya tersenyum, kemudian mengeluarkan sebuah kado kecil dari balik lipatan jubahnya. “Ini buat kamu.”
Mata Tias membulat. “Terima kasih, Rei!” gadis itu melompat memeluknya, hampir menyambar pemuda itu dengan pisau yang masih ia genggam dan hampir membuat kue di tangan pemuda itu mengotori jubah penyihirnya. Hadirin seketika berseru ribut melihatnya.
Setelah upacara potong kue selesai dilaksanakan, semua undangan yang hadir dipersilahkan mencicipi sederetan makanan dan minuman yang memenuhi bagian samping ruangan. Dengan segera aula tersebut dipenuhi oleh suara orang bercakap-cakap, suara sendok beradu dengan piring, suara tawa, dan seribu satu macam suara lainnya. Tias sekali lagi menggandeng lengan pemuda itu dan mengajaknya ke sisi kiri panggung, tempat hidangan bagi keluarga disediakan.
Tabuhan gendang dan gemerincing rebana yang membahana membuat Reinald menoleh. Lima orang gadis melenggang keluar menuju ke tengah-tengah kerumunan. Masing-masing dari mereka terbalut rompi ungu mengkilat dan celana panjang gembung yang senada. Wajah setiap gadis tertutup cadar ungu terawang, rambut mereka disanggul tinggi di atas kepala. Dengan hentakan keras dari penabuh gendang, kelima penari tersebut mulai meliuk dalam satu gerakan seragam tanpa cacat, membunyikan simbal kecil di tangan mereka seirama rebana dan mengibaskan selendang tipis mereka tinggi ke udara. Para tamu pun bertepuk tangan riuh rendah menyambut hiburan tersebut.
“Tidak terasa dia sudah besar.”
Reinald menoleh dan menatap Pak Mustafa yang telah berdiri di sebelahnya, tangan kanan pria itu menggenggam gelas minuman. Mata orang tua itu memandangi anaknya yang asyik menonton tarian di tengah ruangan. “Ya,” sahut Rei. “Rasanya baru kemarin saya berkenalan dengan Tias.”
“Tias akan lulus tahun depan.”
“Kuliahnya pas empat tahun, ya? Dia memang seorang gadis yang pintar.”
“Ya. Rencananya dia akan langsung ambil Master.”
“Wah, hebat sekali! Saya yakin Tias pasti akan menjadi gadis yang membanggakan bagi Bapak.”
“Bagaimana denganmu, Reinald?” mendadak Pak Mustafa menoleh ke arahnya. “Apa rencanamu ke depan?”
Pemuda itu mengernyit dalam hati. Pembicaraan seperti ini lagi. Sepertinya ia sudah tahu percakapan ini akan mengarah ke mana, namun tetap diikutinya basa-basi tersebut. “Sebenarnya belum ada, Pak.”
“Tidak ada rencana untuk mengambil alih perusahaan ayahmu?”
Reinald tertawa sopan. “Saya sama sekali tidak dididik untuk itu. Lagipula, Presdir yang sekarang sudah menjalankan perusahaan dengan sangat baik. Saya sebagai pemegang saham sih senang-senang saja dengan situasi seperti ini.”
“Tapi kamu tetap harus mempertimbangkan untuk mengambil alih operasional perusahaan. Bagaimanapun juga, tanggung jawab itu sudah ada dalam darahmu.”
Rei jadi ingin meringis mendengarnya, namun ditahannya keinginan itu. “Baik, Pak. Akan saya pertimbangkan untuk ke depannya nanti.”
“Baguslah,” Pak Mustafa kembali memandangi anaknya. “Ngomong-ngomong, saya rasa Tias tidak akan keberatan jika ia menikah dulu sebelum mengambil S2-nya.”
Reinald pura-pura tidak mendengar arti terselubung dalam pernyataan tersebut. “Saya rasa hal itu harus ditanyakan ke Tias sendiri.”
“Sebenarnya itu keinginan dari Tias sendiri.”
“Begitu?” Rei tak tahu harus berkomentar apa lagi.
“Ambil S2 saja bersama Tias. Kan jadi ada yang bisa menemaninya kuliah. Tias juga pasti akan senang kalau ditemani belajar.”
“Baik, Pak, nanti saya pertimbangkan. Saya permisi dulu, Pak. Saya mau ambil minuman lagi.” Pak Mustafa mempersilakannya dengan anggukan, dan Rei melarikan diri dari sana. Kerongkongannya mendadak terasa seperti belum pernah dialiri air selama bertahun-tahun.
Reinald menyambar segelas minuman dari meja dan melangkah ke serambi luar. Angin malam yang dingin menerpanya, dan pemuda itu menekankan gelas tersebut ke kening. Benar dugaannya tadi. Pak Mustafa berniat menjodohkannya dengan Tias. Sebenarnya ide itu tidak terlalu buruk. Tias adalah gadis yang sangat cantik, dan juga sangat pandai. Namun entah kenapa, pemuda itu merasa Pak Mustafa ingin menjadikannya menantu hanya karena warisannya, bukan karena dirinya adalah seorang pemuda yang hebat. Dan hal tersebut membuat mulutnya terasa masam.
“Selamat malam.”
Rei menurunkan gelas dan menatap gadis yang berdiri di hadapannya. Ia adalah salah satu dari penari padang pasir yang tadi beraksi di tengah-tengah ruang pesta. Dari dekat wanita itu benar-benar terlihat menarik, dengan wajah eksotis, kulit putih, bibir gelap, mata runcing, dan aroma rempah-rempah yang menghanyutkan. Cadar yang ia kenakan membuatnya tampak amat cantik dan misterius.
“Malam juga.”
“Di dalam agak pengap, ya?”
“Begitulah,” Reinald meneguk gelasnya.
Gadis itu tersenyum, “Keberatan kalau saya temani di sini?”
“Tidak. Silakan saja.”
Si penari tersenyum. “Tidak takut dimarahi tuan putri kita?”
“Tuan putri?”
“Putri cantik yang berulang tahun hari ini.”
Rei memasang wajah tak berdosa. “Kenapa dia harus marah?”
“Dari caranya menggandengmu, sepertinya kalian…”
“Ah, tidak, kok,” potong Reinald cepat. “Dia hanya teman baik. Sudah seperti adik sendiri.”
“Begitu?” bibir sensual itu tersenyum lagi.
“Sepertinya kita belum berkenalan,” Reinald memasang senyum terbaiknya. “Aku…”
“Reinald Adiprajasa,” kali ini gadis itu yang memotong perkataannya. “Ahli waris tunggal PT Antara Mega Indonesia yang bergerak di bidang ekspor impor. Umurmu dua puluh dua tahun, masih single, dan tidak sedang menjalin hubungan dengan siapa pun,” gadis itu tersenyum menggoda. “Walaupun aku sempat ragu juga tadi.”
Senyum Rei membeku di wajahnya. Gadis itu tahu terlalu banyak tentang dirinya. Siapa dia? “Wah, hebat,” sahutnya ringan, berusaha menutupi kecurigaannya. “Seingatku, info seperti itu tidak ada di Yellow Pages.”
“Sumber informasi itu kan bisa dari mana saja.”
“Nah, berhubung kamu sudah tahu siapa aku, aku juga harus tahu namamu.”
Penari padang pasir itu tersenyum simpul. “Kenapa kamu tidak mencari tahu sendiri saja, seperti yang sudah kulakukan?”
Reinald tersenyum, “Aku lebih suka kalau langsung diberi tahu orangnya sendiri.”
Gadis itu menatapnya seraya tersenyum kecil, seakan menimbang sejenak apakah akan membuka suatu rahasia atau tidak. “Hm, khusus untukmu, boleh, deh,“ sahutnya. “Panggil aku Kolektor.”
“Kamu debt collector?”
Gadis itu tertawa, tawa yang dalam dan sensual. “Masa gadis sepertiku menagih utang ke orang-orang?”
“Lalu?”
“Aku ini kolektor. Aku hobi mengumpulkan macam-macam barang. Baju, perhiasan, rumah, mobil,” gadis itu menatapnya dalam-dalam dari balik bulu matanya. “Apalagi cowok sepertimu.”
Reinald tertawa. “Jadi buatmu, aku ini barang koleksi, ya?”
Kolektor mengangkat bahu. “Aku memang senang mengoleksi, tapi aku bukan pemaksa. Kalau yang bersangkutan tidak mau, aku tidak akan memaksa, kok. Tapi biasanya sih, tidak ada yang pernah menolak,” ucapnya dalam nada menggoda.
“Kalau kamu memang sudah tahu siapa aku, seharusnya kamu tahu aku bukan orang yang senang terikat.”
“Oh, aku tahu, kok,” sahut gadis itu. “Aku juga lebih suka laki-laki yang berpendirian.”
“Begitu? Ngomong-ngomong, aku sudah harus pulang, nih. Kurasa kamu juga pasti mau balik lagi ke dalam. Terima kasih ya sudah menemaniku.”
Reinald baru saja akan kembali memasuki ruang pesta ketika gadis itu berucap, “Kostummu bagus sekali, lho.”
Langkah pemuda itu terhenti. Dengan sengaja ia berbalik, mengibarkan jubah dalam satu gerakan dramatis. “Terima kasih. Aku beruntung dapat tempat penyewaan yang bagus.”
Kolektor sudah berdiri di dekatnya. “Apalagi pedang yang kamu pakai. Bagus sekali, membuatmu terlihat keren. Boleh kulihat?”
Rei bimbang sejenak, lalu memutuskan bahwa tidak ada yang salah dengan permintaan tersebut. Jadi pemuda itu menarik keluar pedang tersebut dan memegangnya di hadapan gadis itu. Bilahnya memainkan cahaya dari dalam ruangan pesta.
Gadis itu mendesah. “Baru kali ini kulihat pedang sebagus ini. Aku jadi ingin punya juga.”
“Ah, ini kan hanya pedang biasa,” kening Rei berkerut. Ada apa dengan cewek dan pedang, sih? Kemarin Nadine, sekarang cewek ini. Aneh sekali.
“Tidak, ini pedang istimewa,” Kolektor seperti bergumam pada diri sendiri. Matanya terpaku pada bilah pedang yang berkilau. “Luar biasa istimewa.”
“Nanti kutanyakan di mana pedang ini dijual,” tawar Rei, walaupun sebenarnya ia sendiri tidak yakin kalau ada orang yang menjual pedang seperti itu. Pemuda itu hendak menyarungkan kembali senjata tersebut ketika tangan halus si penari menggenggam lengannya.
“Bagaimana kalau aku beli saja darimu?”
“Pedang ini bukan milikku,” tolak Reinald. “Aku hanya meminjamnya.”
Gadis itu semakin mendekatkan diri, menguarkan harum rempah-rempah. ”Ayolah, boleh, ya?” Bau itu membuai Rei, menyingkirkan semua pikiran selain gadis yang sedang berdiri di hadapannya dan permintaannya. “Berapa pun harganya, pasti kubayar. Apa pun,” Kolektor berbisik di telinganya, tubuh gadis itu menempel erat di lengan Reinald, membuat pikiran pemuda itu mendadak buntu. Rei tidak bisa melakukan hal lain selain mulai mengangguk setuju.
Mendadak ia teringat pada Nadine.
Pikiran tentang gadis itu datang setajam dan secerah kristal es, membuat kepalanya mendadak jadi jernih. Pemuda itu menggeleng dan menarik diri lepas dari pelukan Kolektor. “Maaf, pedang ini bukan milikku.”
“Ayolah, aku pasti bayar berapa saja,” kejar gadis itu. “Sebut saja hargamu. Berapa pun. Apa pun,” Kolektor kembali tersenyum menggoda.
“Maaf, aku sudah janji akan mengembalikan pedang ini dalam keadaan sama persis seperti waktu kupinjam.”
Tangan gadis itu terjulur dan meremas pergelangan tangan kiri Reinald, “Kalau begitu, boleh aku…” Mendadak ia menarik lepas tangannya. Air mukanya tampak terkejut, termangu.
“Ada apa?” tanya Reinald.
Kolektor menatapnya sejenak dengan ekspresi yang tidak dapat diartikan, kemudian kembali tersenyum. “Begini saja, boleh aku tahu dari siapa kamu meminjamnya?”
Rei menimbang sejenak. “Tidak, kamu tidak boleh tahu.”
“Kenapa tidak?”
“Karena tidak boleh saja.”
“Begitu? Sayang sekali,” gadis itu menyurut pergi, namun tampak seperti ombak yang bertengger di pinggir pantai, siap menghempas kapan saja. “Senang berkenalan denganmu, Reinald.”
“Senang berkenalan juga denganmu Kolektor, atau siapa pun namamu. Mudah-mudahan kita bisa bertemu lagi, ya,” walaupun sebenarnya ia tidak terlalu ingin berjumpa lagi dengan gadis itu. Sang penari itu mirip mawar, begitu cantik memukau dan mengundang untuk disentuh, namun menyembunyikan duri-duri tajam yang bisa merobek siapa saja yang tidak waspada. Seperti fatamorgana di padang pasir, menipu orang yang melihatnya.
Wanita itu tertawa menggoda, “Oh, jangan khawatir. Kita pasti akan bertemu lagi, kok.” Kemudian ia melenggang kembali ke dalam ruangan pesta dan tenggelam dalam kerumunan orang.
Reinald menghela napas panjang. Hampir saja tadi ia mengingkari janjinya pada Nadine. Entah apa yang akan gadis itu lakukan jika pedang tersebut tidak bisa kembali ke tangannya. Sorot matanya saat menyerahkan pedang itu tampak seperti seseorang yang berpisah dengan kekasih hati.
Ada apa sih antara perempuan dan pedang?
Setelah berpamitan dengan Pak Mustafa, dan Tias yang memohon-mohon agar ia tetap tinggal sampai pesta selesai, Rei kembali melangkah ke lobi yang dibanjiri cahaya lampu kristal. Setelah beberapa saat menunggu, mobil yang dikemudikan Pak Dono mendekati pintu depan hotel. Rei segera masuk ke kursi penumpang dan menutup pintu.
Dalam temaram cahaya kota Bandung di malam hari, ia melepaskan pedang tersebut beserta sarungnya dari pinggang dan mengamatinya. Apa ada sesuatu pada senjata itu yang luput dari perhatiannya? Tapi sepertinya tidak, pedang itu biasa saja, bahkan terkesan terlalu biasa. Ia sudah sering melihat senjata tajam yang lebih rumit desainnya dari yang satu ini. Rei menarik pedang itu keluar dan mengamatinya sekali lagi. Kecuali kenyataan bahwa sarung pedang itu dibuat sangat indah, tidak ada hal spesial lainnya.
“Pak Reinald, tolong jangan mengeluarkan benda tajam di dalam mobil.”
“Maaf, Pak Dono,” Rei menyarungkan kembali pedang itu dan memutuskan bahwa ia akan melupakan masalah itu. Mungkin memang ada sesuatu antara perempuan dan pedang.
Malamnya ia tidur dengan gelisah. Mimpinya bercampur aduk dan berlalu dengan kecepatan tinggi. Kelebatan bayang-bayang terus mengganggunya. Pada suatu saat selepas tengah malam ia terbangun tiba-tiba, tidak ingat apa yang menyentakkannya. Yang tersisa hanya ketakutan bahwa ada seseorang yang mengambil pedang tersebut darinya.
Rei menoleh dan melihat pedang aneh itu masih tergeletak di tempat yang sama, di atas meja. Ia tidak mengingkari janjinya pada Nadine. Pemuda itu bangkit dari tempat tidur, menghidupkan lampu, dan beranjak ke dapur untuk minum kopi.
Perempuan dan pedang, dua-duanya sama-sama bisa menyebabkan sakit kepala!
***