Entry Maret 2014 – Selamat Datang Kembali

Lanang memandangi angka-angka yang tertera di SMS tersebut, berharap ia hanya salah lihat. Namun tidak, angka-angka itu tak berubah walau ia tatap dengan berulang kali.

20,786.

Lanang mulai merasakan kepalanya berdentam, seperti ada yang memalunya dari dalam. Tidak mungkin. Hanya seperti itu jumlah penjualan album terbarunya? Album yang dipenuhi segenap curahan hati dan jiwanya? Hanya dua puluh ribu, bahkan tidak sampai lima puluh ribu?

“Mungkin baru angka penjualan awal, Pak Lanang.”

Lanang berpaling pada Gandar. Agennya itu tersenyum lebar, kelihatan jelas berusaha menenangkannya. “Baru sebulan sejak Elegi Angin keluar. Saya yakin bulan depan angka penjualannya pasti akan melonjak drastis.”

“Nyanyian Bumi berhasil mencapai angka seratus ribu di bulan pertamanya,” tukas Lanang.

Gandar terdiam sejenak. Namun kemudian sang agen kembali tersenyum percaya diri. “Dan saya yakin Elegi Angin juga akan mencapai angka itu. Tapi mungkin memang tidak secepat Nyanyian Bumi. Bapak tak usah khawatir. Saya akan…”

Lanang tak mendengar kelanjutannya, dengan sengaja mematikan telinganya agar tak lagi mendengar suara Gandar. Tak sampai sedetik kemudian dunia yang sunyi melingkupinya.

Selama beberapa saat mulut Gandar masih terus berkomat-kamit. Namun kemudian sepertinya sang agen sadar bahwa suaranya tak lagi didengar oleh Lanang. Pria itu pun menghela napas pendek, lalu kembali menghadap ke depan seraya menyandarkan tubuh ke kursi.

Lanang sendiri memalingkan wajah dan menatap pemandangan kota malam hari yang berlalu di luar mobil. Apa pun yang Gandar katakan, Lanang tahu kenyataannya. Musiknya tak lagi digemari. Penjualan albumnya terus merosot dari satu album ke album lain. Dulu Nyanyian Bumi yang merupakan album pertamanya berhasil meledak di pasaran, mengharumkan namanya sebagai pianis kontemporer Indonesia yang berhasil merambah kancah internasional di usia yang baru dua puluh dua tahun. Tetapi semenjak itu tak ada lagi album yang dapat menyaingi penjualan Nyanyian Bumi. Apalagi Elegi Angin. Album keempatnya ini adalah yang paling buruk penjualannya. Hanya dua puluh ribu setelah sebulan? Yang benar saja!

Tiba-tiba mobil berhenti begitu saja di pinggir jalan. Lanang mengerutkan kening. Ada apa lagi ini? Ia menoleh dan melihat Gandar mulai mengatakan sesuatu pada Sarto yang duduk di belakang kemudi. Lanang pun mengaktifkan telinganya agar dapat mendengar suara mereka.

“…tiba-tiba aja mati, Pak,” terdengar suara si supir. “Saya juga kurang tahu kenapa. Saya cek dulu, ya.”

“Ya, sana!” ucap Gandar. Kemudian, menyadari bahwa Lanang sudah menatap ke arahnya, sang agen melambaikan tangan, isyarat sopan untuk meminta Lanang mengaktifkan telinganya agar dapat menerima suaranya.

“Saya sudah dengar,” jawab Lanang. “Mesin mobilnya mati?”

Gandar terpana sejenak, sepertinya tak mengira kalau Lanang telah mengaktifkan telinganya. Lalu pria itu mengangguk. Bersama-sama mereka kemudian menyusul Sarto yang sudah keluar dari mobil. Supir itu sudah membuka kap mobil dan sedang membungkuk di atas mesin, tak diragukan lagi telah menyetel telinganya agar dapat menangkap bunyi janggal sekecil apa pun.

Selama beberapa saat Sarto terus berada pada posisi tersebut, sesekali memiringkan kepala ke arah mesin. Kemudian ia menegakkan tubuh dan menggeleng. “Saya nggak ngerti. Bunyi mesinnya baik-baik saja. Tapi kenapa…?”

“Kamu sudah pastikan bensinnya penuh, nggak?” sergah Gandar, tampak mulai kesal atas kejadian tersebut.

“Sudah, Pak. Sebelum berangkat tadi saya juga sudah pastiin kondisi mobilnya bagus.”

“Lah, terus kenapa bisa mogok begini?”

“Saya juga nggak tahu, Pak. Saya cek lagi, ya.”

Sarto kembali membungkuk di atas mesin, kemungkinan besar telah menambah akurasi telinganya agar dapat mendeteksi bunyi sekecil apa pun. Namun dari kerutan di keningnya, terlihat jelas bahwa ia masih belum menemukan penyebab matinya mesin.

Lanang menghela napas dan menutup mata. Sial, kenapa harus ada kejadian seperti ini? Padahal ia sudah lelah sekali. Ia hanya ingin secepatnya sampai di rumah dan tidur. Kenapa mobilnya harus mogok di tempat yang berjarak tak sampai lima belas menit dari rumahnya?

“Pak Lanang,” ucapan Gandar tersebut membuat Lanang kembali membuka mata dan menatap si agen. “Sepertinya masih akan lama. Saya panggilkan taksi saja, ya?”

Lanang sudah akan mengiyakan, namun entah kenapa bayangan berada di dalam taksi bersama Gandar, kembali mendiskusikan penjualan album, membuat kepalanya sakit lagi.

Ia menggeleng, “Saya jalan saja, Ndar.”

Si agen terperangah. “Tapi, Pak…!”

“Ini sudah tidak terlalu jauh dari rumah. Jalan kaki juga paling hanya setengah jam.”

“Tapi…!”

“Tolong urus mobil bersama Sarto, ya. Kalau masih belum hidup juga, telepon bengkel, suruh mereka kirim mobil derek.”

Tanpa menunggu jawaban Gandar, Lanang sudah mengambil tasnya dari dalam mobil dan melangkah pergi. Nyaris secara otomatis juga ia langsung mematikan telinganya dari suara si agen.

Kesunyian pun melingkupi, menemani langkahnya. Di sekitarnya orang berlalu lalang, namun ketiadaan suara mereka membuat Lanang merasa seakan hanya dirinya yang nyata di dunia ini. Pemikiran tersebut pun mampu sedikit meredam dentaman di kepalanya.

Sejak usia lima tahun, chip H.E.A.R. di gendang telinganya telah membuatnya akrab dengan kesunyian. Alat tersebut, yang mampu meningkatkan fungsi organ pendengaran menyortir bunyi apa pun yang masuk ke dalamnya, telah diset sedemikian rupa sehingga telinganya hanya mampu mendengar musik yang terindah. Agar kamu dapat menghasilkan musik yang paling sempurna, begitu pesan ayahnya, seorang pianis ternama, pada hari ia menjalani operasi penanaman H.E.A.R. di telinganya.

Sejak itu setiap latihan piano terasa seperti neraka bagi Lanang, karena ia jadi tak bisa mendengar permainannya sendiri karena bunyi yang ia hasilkan tak cukup sempurna. Namun alih-alih menyerah, hal itu justru memacu semangat belajarnya, sampai akhirnya ia berhasil mendengar bunyi permainan pianonya sendiri di usia delapan tahun. Tetapi efek sampingnya adalah kesunyian hampir selalu menemaninya, karena bunyi musik yang sempurna tentu saja cukup jarang di dunia ini.

Angin malam menerpanya, dan pikiran Lanang kembali ke saat ini dan penjualan albumnya. Ia sudah tahu kalau musiknya semakin lama semakin berkurang popularitasnya. Dan ia sudah berjuang keras untuk mengatasi hal tersebut. Dengan telinganya, ia sudah mencurahkan segenap peluh dan keringatnya untuk menggubah lagu-lagu terindah, yang kemudian ia rangkum dalam Elegi Angin. Tetapi penjualan album tersebut ternyata malah lebih buruk daripada album-album sebelumnya.

Rasa sakit di kepala Lanang kembali lagi, kali ini lebih parah dari sebelumnya. Ia pun membuang segala pemikiran tentang album maupun musik dari kepalanya, berkonsentrasi hanya agar bisa cepat sampai di rumah.

Suatu gerakan di sudut mata membuat Lanang menoleh. Di tepi jalan, seorang laki-laki sedang memukuli kaleng-kaleng bekas yang berderet di depannya. Pakaian yang ia kenakan terlalu bagus untuk ukuran gelandangan, namun juga tidak serapi orang kantoran. Mungkin orang-orang malas yang mencari uang dengan cara mengemis. Oh, salah. Mereka tidak ‘mengemis’. Mereka ‘bekerja’ dengan cara ‘bermain musik’. Padahal yang mereka hasilkan tak lebih dari sekedar polusi suara.

Lanang membuang muka dan mempercepat langkahnya.

***

Untuk yang kesekian kalinya Lanang merobek-robek partitur di hadapannya. Kenapa ia tidak juga bisa menggubah lagu yang memuaskan? Padahal lagu tersebut sudah sempurna. Setiap not, tempo maupun intervalnya sudah amat sesuai dengan kaidah-kaidah yang harus dipenuhi oleh suatu musik yang indah. Telinganya pun sudah mengenali lagi tersebut sebagai bunyi yang tanpa cacat. Namun tetap saja ada yang kurang dari lagu tersebut. Tapi apa? Apa?

Sebuah tangisan memecahkan keheningan malam. Mendengarnya, Lanang menelungkupkan wajah dalam-dalam ke tangannya. Itu suara Rara, putrinya yang belum genap berumur setahun. Lanang kemudian mendengar suara Nila yang berusaha menenangkan putri mereka tersebut. Namun entah apa yang menyebabkan Rara menangis sampai seperti itu, karena upaya Nila sia-sia saja, malah membuat tangisan Rara bertambah kencang.

Kepala Lanang kembali berdentam-dentam. Ingin rasanya ia mematikan telinganya dari tangisan Rara, tapi ia tak bisa melakukan itu. Seseorang takkan mematikan telinganya dari keluarganya sendiri. Itu adalah sebuah peraturan tak tertulis.

Saat itu Nila memasuki ruang tengah tempat Lanang berada, membawa Rara yang masih terus menangis dalam pelukannya. Langkah wanita itu terhenti ketika melihat Lanang yang masih duduk di depan piano.

“Maaf, Sayang,” wajah Nila tampak penuh rasa sesal. “Kamu pasti keganggu.”

Lanang menggeleng, walaupun sesungguhnya ia memang terganggu. “Rara kenapa?”

“Nggak tahu,” jawab Nila. “Tadi dia baik-baik saja, tapi terus tiba-tiba…” saat itu tangisan Rara kembali pecah, membuat wanita itu cepat-cepat membungkuk ke arah si kecil dan berusaha menenangkannya.

Lanang mengernyit, tangisan Rara terasa seperti palu di kepalanya. “Dia nggak sakit, kan?”

“Nggak, Sayang,” Nila masih memandangi Rara di pelukannya. “Rara, cantik, cup cup, Sayang.”

Saat tangisan Rara kembali melengking, Lanang tahu ia harus berbuat sesuatu. Ia tak mungkin mematikan telinganya dari Rara, tapi kepalanya bisa meledak kalau berada di sana lebih lama lagi. Laki-laki itu pun bangkit dan mulai melangkah pergi.

“Mau ke mana, Sayang?”

Lanang menatap istrinya itu. “Keluar sebentar.”

“Tapi…”

“Kalau di sini aku nggak bisa mikir.”

Sesaat kesedihan terlintas di wajah Nila. Namun kemudian istrinya itu tersenyum. “Hati-hati, ya.”

Tanpa berkata-kata lagi Lanang melangkah pergi.

Di luar, hembusan angin malam tak juga mampu mengurangi sakit di kepala Lanang. Tangisan Rara masih terdengar dari dalam rumah, seakan menghakimi keputusannya untuk pergi. Lanang menggeleng dan mulai melangkah menjauh, semakin lama semakin cepat, sampai akhirnya suara Rara tak lagi terdengar.

Semalam ini, satu dua orang masih berlalu-lalang di sekitarnya, melangkah dengan tatapan terarah lurus ke depan. Mobil dan motor melaju di jalanan, sementara di trotoar berderet warung-warung makan. Seorang pengamen sedang bermain di salah satu tenda di sana, namun apa yang ia nyanyikan tak terdengar oleh Lanang.

Apa akan seperti itu masa depannya nanti, saat albumnya tak lagi laku dijual? Terpaksa mengamen dari satu tenda ke tenda lain, berharap mendapatkan sedikit uang dari orang-orang yang cukup berbaik hati untuk mengaktifkan telinga mereka terhadapnya?

Rasa sakit yang lebih kuat menghantam kepala Lanang, sejenak membuatnya tertunduk. Kali ini keheningan yang menyelimutinya tak mampu memberinya kedamaian, malah sebaliknya terasa seperti dinding yang menekan.

Saat itulah mendadak sesuatu memecahkan kesunyian di sekelilingnya.

Sebuah musik yang amat indah.

Lanang cepat mengangkat wajah. Siapa yang memainkan musik seindah itu? Pengamen tadi? Tidak, pria itu masih memainkan gitarnya, mulutnya berkomat-kamit bernyanyi, namun tak satu suara pun yang keluar dari sana.

Tidak, musik tadi datang dari arah depan Lanang, dari balik tikungan jalan.

Lanang langsung berlari. Dalam sekejap ia telah sampai di tikungan tersebut dan langsung berbelok tanpa mengurangi kecepatan sedikit pun.

Dan berhadap-hadapan dengan si pemain musik.

Yang tak lain adalah gelandangan yang ia lihat beberapa hari lalu ketika berjalan pulang ke rumah.

Gelandangan itu duduk di tepi jalan. Dengan sebatang sumpit di tangan, ia sedang mengetuki botol-botol kaca yang berderet di hadapannya. Botol-botol itu beraneka macam ukuran, bentuk, maupun warnanya. Si gelandangan terlihat seakan mengetukkan sumpitnya secara sembarangan, namun bunyi yang ia hasilkan betul-betul indah.

Lanang terperangah melihatnya. Bagaimana bisa gelandangan itu menghasilkan musik hanya dengan sebatang sumpit dan botol-botol bekas? Dan yang gelandangan itu hasilkan memang betul-betul musik, yang sangat indah pula. Telinga Lanang tak mungkin salah.

Lanang menatap sekelilingnya, mengira akan melihat kerumunan orang yang ikut terpukau oleh aksi si gelandangan. Namun pada kenyataannya tak ada seorang pun di sana selain dirinya. Apa orang lain tak bisa mendengar musik itu? Apa telinga mereka tak diset untuk menangkap bunyi yang indah?

Si gelandangan masih terus memainkan musiknya, dan bagaikana tersihir Lanang tak mampu mengalihkan pandangannya ke tempat lain, tak mampu mematikan telinganya dari bunyi yang sempurna tersebut.

Ini, inilah musik yang ia cari-cari! Yang berusaha sekuat tenaga ia gubah namun tak pernah bisa ia hasilkan! Kenapa gelandangan itu bisa menghasilkannya hanya dengan… sampah? Ini gila!

Akhirnya, setelah waktu yang terasa amat lama, si gelandangan pun berhenti bermain. Dan Lanang pun merasa seperti baru terbangun dari mimpi panjang.

Si gelandangan menghela napas puas dan mengangkat wajah. Ketika bertatapan dengan Lanang, ia menyeringai. “Waduh, sori, Bang. Gue nggak nyadar lu ada di sana. Udah dari tadi?”

Alih-alih menjawab, Lanang mengucap, “Bagaimana caranya?”

Yang ditanya mengerutkan kening, “Cara apa?”

“Caramu menghasilkan musik yang amat indah hanya dari…” Lanang tak sanggup melanjutkan kata-katanya sendiri.

“Ini? Yang dipukulin aja kayak gini,” si gelandangan kembali mengetukkan sumpit ke botol-botol, dan sekali lagi musik yang indah itu kembali mengalun.

“Tapi bagaimana caranya?” sergah Lanang, membuat gelandangan itu berhenti bermain. “Tidak mungkin hanya diketuk-ketukkan seperti itu bisa menghasilkan musik seindah itu! Siapa kamu sebenarnya? Kamu musisi?”

Si gelandangan tertawa. “Bukan. Gue cuma orang yang seneng denger bunyi-bunyian. Abang bilang musik gue bagus? Wah, tengkyu ya–”

“Apa kamu punya absolute pitch?” potong Lanang. “Apa telingamu juga sudah diset hanya untuk menangkap bunyi paling sempurna?”

Si gelandangan kembali tertawa. “Buset, canggih bener? Nggak, Bang, kuping gue biasa-biasa aja, kok.”

“Tapi itu tidak mungkin,” kepala Lanang mulai berdentam-dentam. Dan sebelum ia sanggup mengendalikan diri, kata-kata sudah berlompatan keluar dari mulutnya. “Selama ini aku sudah berusaha keras membuat musik seperti yang kamu mainkan. Tapi sekuat apa pun usahaku, aku tetap tidak bisa. Bahkan dengan pengalamanku bermain piano selama belasan tahun, juga telingaku yang sudah diset hanya untuk mendengar musik terindah pun, aku tetap tidak bisa! Tapi kamu… kamu…!”

Lanang tertunduk, memegangi kepalanya yang seperti akan pecah. Dadanya seakan mau meledak oleh rasa sesak. Ini tidak adil. Ini semua sungguh tidak adil!

“Abang pembuat lagu?”

Pertanyaan itu membuat Lanang menatap si gelandangan. Tak ada kemarahan di wajah laki-laki itu, yang ada hanya keingintahuan.

Lanang menggeleng. “Aku pianis.”

“Tadi Abang bilang telinga Abang udah diset supaya cuma bisa denger musik terindah?”

Lanang hanya menjawab dengan anggukan.

“Ah…”

Bunyi itu, yang serupa dengan desahan seorang dokter ketika berhasil mendiagnosa pasiennya, membuat Lanang langsung menatap si gelandangan. “Kenapa?”

“Mungkin itu sebabnya.”

“Apa?” sergah Lanang tak sabar.

“Kenapa Abang nggak bisa bikin musik bagus,” ucap si gelandangan. “Gimana Abang bisa tahu musik yang Abang buat bagus apa nggak, kalo Abang nggak pernah denger musik jelek?”

Lanang melongo mendengarnya. Apa itu maksudnya?

“Boleh gue cerita dikit?” ketika tak ada tanggapan dari Lanang, si gelandangan melanjutkan. “Sebenernya sampai dua tahun lalu gue itu tuli, Bang.”

Melihat ekspresi terkejut Lanang, gelandangan itu tertawa. “Jangan kaget gitu. Chip H.E.A.R. itu emang udah jadi benda jamak jaman sekarang ini, tapi tetep aja ada orang-orang yang nggak sanggup beli. Gue salah satunya.

“Untungnya di dunia ini masih ada orang baik, Bang. Dua tahun lalu gue ketemu seseorang yang mau masangin chip itu di telinga gue tanpa bayaran sepeser pun. Dan sejak itu gue jadi kayak orang kesetanan. Gue nggak pernah puas dengerin bunyi-bunyian. Bunyi jelek, bunyi bagus, gue dengerin semua.”

Si gelandangan menatap Lanang. “Lu tanya kenapa gue bisa bikin musik bagus? Mungkin gara-gara gue tahu musik jelek itu kayak apa.”

Lanang termangu. Apa benar apa yang gelandangan itu katakan? Kalau telinganya, yang seharusnya membantunya menghasilkan musik paling sempurna, justru malah sesungguhnya jadi penghalang?

“Ups, sori, Bang,” si gelandangan bangkit dari duduknya. “Bidadari gue udah dateng, jadi sampe sini dulu, ya.”

Seorang wanita mendekati mereka, masih mengejakan kemeja kantor dipadu rok span selutut. “Lagi-lagi kamu di sini, Sayang,” ucap si wanita, tetapi bukan dengan nada marah, melainkan penuh kasih sayang yang dikuatkan oleh senyumannya.

Si gelandangan memeluknya, lalu menatap Lanang. “Kenalin, istri gue, Bang. Bidadari yang berhasil bikin gue bisa denger lagi.”

“Kalau tahu kamu bakal jadi maniak bunyi-bunyian begini, aku nggak akan melakukannya, tahu,” canda si wanita.

Si gelandangan hanya tertawa. Kemudian kepada Lanang ia mengucap, “Duluan, Bang,” sebelum mulai melangkah pergi bersama istrinya.

“Sebentar!” seru Lanang, membuat langkah si gelandangan terhenti. “Apa yang harus kulakukan supaya bisa mendengar musik jelek?”

Si gelandangan menatapnya heran. “Buka aja telinga Abang lebar-lebar.”

Lanang terpana. Namun sebelum bisa bertanya lebih lanjut, si gelandangan telah berlalu bersama istrinya.

Sesaat Lanang tak tahu harus berbuat apa. Namun sejenak kemudian ia telah bertekad. Benar ataupun tidak, ia akan mencoba segala macam cara agar bisa menghasilkan musik seindah si gelandangan tadi!

Lanang pun mengirimkan perintah ke chip di telinganya. Satu perintah yang akan membatalkan filter yang telah diprogram ke dalam alat tersebut.

Dengarkan semua.

Detik berikutnya bunyi dan suara menghantam telinganya dengan kekuatan yang nyaris terasa seperti pukulan fisik. Lanang langsung tertunduk, memegangi kepalanya yang berdenyut-denyut. Suara-suara dan bunyi-bunyian mengurungnya, mencekiknya. Tidak mungkin, apa sebenarnya ada sebanyak ini bunyi di dunia ini?

Keinginan untuk kembali mematikan telinganya terasa begitu kuat, namun Lanang menahannya sekuat tenaga. Tidak, kalau ini yang diperlukan agar ia bisa menghasilkan musik seperti si gelandangan, maka sesakit apa pun akan terus ia jalani!

Ketika bunyi yang menghantam telinganya nyaris tak tertahankan lagi, Lanang hanya membuat telinganya menerima semua suara tersebut dalam volume yang lebih kecil. Namun ia tak mematikan telinganya. Tidak lagi.

Perlahan-lahan, dalam waktu yang terasa seperti berjam-jam lamanya, Lanang mulai dapat membedakan bunyi yang ia dengar. Deru mesin mobil. Nada dering ponsel. Obrolan orang-orang. Dan masih banyak lagi.

Kemudian ia mendengar sesuatu di antara hiruk-pikuk di sekitarnya. Bunyi gitar dan suara nyanyian seseorang. Lanang menoleh dan melihat kalau si pengamen tadi masih ada di sekitar sana, masih bermain dari satu tenda ke tenda lain.

Nyanyian si pengamen dan iringan gitarnya sebenarnya sangat jauh dari sebuah musik yang sempurna. Namun entah kenapa, di telinga Lanang permainan tersebut terdengar amat menarik. Kenapa bisa begitu?

Tanpa pikir panjang Lanang langsung masuk ke tenda tempat si pengamen sedang bermain dan memesan minuman, hanya supaya bisa mendengarkan dengan lebih seksama. Sepanjang aksi si pengamen, Lanang terus memperhatikannya tanpa henti. Dan ketika disodori sebuah toples plastik kecil, tanpa ragu Lanang memasukkan selembar lima puluh ribuan ke dalamnya, membuat si pengamen melongo.

Sebelum si pengamen sempat mengucapkan terima kasih, Lanang telah membayar minumannya dan bergegas meninggalkan tempat itu.

***

Lanang duduk di depan piano, mendengarkan setiap bunyi yang masuk ke telinganya. Satu bulan telah berlalu sejak ia mengaktifkan indera pendengarannya. Kini ia sudah mulai terbiasa dengan segala bunyi dan suara di sekitarnya, walaupun bunyi bervolume tinggi masih sering membuatnya sakit kepala.

Setelah satu bulan menelaah setiap bunyi yang ada, akhirnya Lanang menyadari satu hal. Bahwa bunyi ataupun suara memiliki sebuah rasa, suatu kesan. Bunyi yang tak sempurna pun akan tetap terdengar menarik jika mengandung rasa yang menggugah pendengarnya. Sebaliknya, bunyi yang sempurna hanya akan terdengar sebagai sesuatu yang biasa jika tak memiliki kesan.

Indah atau tidaknya sebuah bunyi bukanlah bergantung pada kesempurnannya, melainkan pada apa yang orang rasakan saat mendengarnya.

Dan Lanang pun tahu kenapa Elegi Angin tak laku di pasaran. Musik-musik di albumnya itu tak memiliki kesan maupun rasa, hampa seperti padang kosong.

Lanang menutup mata, menikmati bunyi-bunyian yang melingkupinya. Hembusan angin sore yang masuk melalui jendela. Nyanyian Nila untuk Rara, yang Lanang kenali sebagai salah satu lagunya sendiri. Dan tawa Rara, seolah menikmati musik gubahan ayahnya tersebut.

Tangan Lanang terangkat dan mulai meluncur di atas tuts-tuts piano. Memainkan sebuah lagu yang terlahir dari perasaannya ketika mendengar bunyi-bunyian tersebut. Diawali dengan nada-nada lembut, seperti bisikan angin di telinganya. Diikuti nada-nada penuh kasih, seperti istrinya yang terus setia mencintai lagu-lagunya bahkan ketika khalayak ramai meninggalkannya. Disusul nada-nada lincah, seperti tawa si kecil Rara yang membuat rumah seakan disinari cahaya terang dari surga.

Nada-nada itu datang begitu saja ke tangan Lanang, dan ia pun merajutnya menjadi sebuah musik yang tak hanya sempurna, namun juga membuat hatinya dipenuhi kehangatan. Dan ia pun akhirnya menemukan musik yang selama ini ia cari-cari.

Ketika akhirnya selesai memainkan lagu tersebut, Lanang membuka mata. Dan melihat Nila yang sedang menggendong Rara telah berdiri di sampingnya.

Istrinya itu tersenyum. “Indah sekali, Sayang.”

Mendengarnya, rasa senang memenuhi hati Lanang, membuatnya turut tersenyum. “Suka?”

“Ya,” Nila menatap Rara yang ada dalam gendongannya. “Rara juga. Lihat, ia sampai tertidur nyenyak.”

Lanang tertawa kecil, lalu menggeser duduknya. Tak lama kemudian Nila pun ikut duduk di bangku piano tersebut, berhati-hati agar tak mengguncang tubuh Rara.

“Membuatku teringat lagi saat awal-awal kita bersama,” ucap Nila, dan dalam suara istrinya itu Lanang mendapati kerinduan yang dalam, kesepian yang pahit, namun juga pengharapan dan kasih sayang yang tulus. Sesuatu yang selama ini tak tertangkap oleh telinganya.

Dikuasai emosi yang menyesakkan, Lanang hanya mampu meraih bahu Nila dan merangkulnya, membiarkan kepala istrinya itu bersandar padanya. Selama beberapa saat tak ada yang berkata-kata di antara mereka. Hanya ada detakan jantung yang menenteramkan, kicauan burung di angkasa, dan desah napas Rara yang teratur.

“Apa judulnya?” tanya Nila kemudian.

“Belum ada,” jawab Lanang. “Menurutmu?”

Selama beberapa saat Nila hanya terdiam. Kemudian istrinya itu menatapnya seraya tersenyum, “Selamat Datang Kembali.”

Lanang turut tersenyum. Kemudian dengan Nila dan Rara di sisinya, ia kembali memainkan lagu tersebut, sementara angin menyelimuti mereka dengan desahannya yang lembut.

***

Category(s): Lomba Cerbul Kastil Fantasi

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

 

You may use these HTML tags and attributes: <a href="" title=""> <abbr title=""> <acronym title=""> <b> <blockquote cite=""> <cite> <code> <del datetime=""> <em> <i> <q cite=""> <s> <strike> <strong>