“Oke, Ma,” Wulan berbicara pada ponselnya. “Iya. Aku tunggu di sini aja. Iya. Dah.”
Gadis itu menutup ponsel dan menghela napas. Hebat, komplit sudah. Bisa-bisanya mamanya lupa kalau siang ini ada acara ibu-ibu kantor. Dan papanya mendadak dipanggil ke kantor karena ada urusan mendesak. Jadinya ia tertinggal sendirian di sini.
Wulan menyeka keringat yang mengalir di dahi. Matahari Balikpapan pukul satu siang memanggangnya tanpa ampun. Tak ada angin yang bertiup, dan di langit tak ada satu pun awan menggantung, membuat panasnya menjadi berkali lipat. Kausnya sudah lama basah kuyup, dan celana jinsnya menempel erat di kaki.
Gadis itu memandang berkeliling. Area pameran itu penuh sesak dengan pengunjung. Tua muda, besar maupun kecil memenuhi stan-stan yang didirikan di Lapangan Merdeka ini. Lapangan Merdeka merupakan area terbuka terbesar di kota Balikpapan, berupa tiga buah lapangan sepak bola yang dipisahkan jalan-jalan kecil. Pameran ini sendiri mengambil tempat di lapangan sepak bola bagian tengah.
Tak jauh dari tempat Wulan berdiri ada seorang pedagang kaki lima yang berjualan minuman. Namun daerah di antara tempat gadis itu berdiri dan pedagang tersebut amat padat oleh pengunjung. Untuk menuju ke si pedagang, Wulan harus menerobos kerumunan tersebut.
Tak punya pilihan lain, gadis itu mulai maju pelan-pelan, berusaha sekuat tenaga menyelinap di antara para pengunjung yang hilir mudik. Sepanjang perjalanan itu Wulan berkeluh kesah dalam hati. Bisa-bisanya kedua orang tuanya mengajaknya ke pameran budaya Dayak ini pada pukul dua belas siang, lalu meninggalkannya begitu saja!
Sayang kalau kamu buru-buru pulang, begitu kata mamanya sebelum pergi. Pameran sebesar ini hanya ada beberapa tahun sekali. Lihat-lihat saja dulu sampai puas.
Apa yang harus dilihat? Pameran budaya Dayak ini isinya hanyalah pajangan hasil kerajinan tangan. Mandau, tas manik-manik, kalung dan gelang batu, yang juga ada banyak di Kebun Sayur, pusat penjualan oleh-oleh khas Kalimantan di kota ini. Buat apa melihat-lihat barang yang sama?
Gadis itu bukannya anti mempelajari budaya suku atau bangsa lain. Namun ia tak suka melakukannya seraya berpanas-panas ria seperti ini. Lagipula, ia bukan orang Kalimantan. Keluarganya juga tinggal di Balikpapan hanya karena papanya bekerja di salah satu perusahaan minyak dan gas yang berbasis di kota tersebut. Wulan sendiri bersekolah di Bandung. Ia hanya datang ke Balikpapan setahun sekali, ketika Lebaran seperti ini. Jadi, buat apa mempelajari budaya Dayak sampai datang ke pameran seperti ini? Ia dan keluarganya kan cuma numpang di Kalimantan?
Di kejauhan Wulan bisa mendengar denting alat musik khas Dayak. Menurut jadwal acara yang sempat ia baca, saat ini seharusnya di panggung utama di tengah area pameran sedang dipertunjukkan tari Giring-giring, namun gadis itu tak bisa melihatnya di tengah kerumunan seperti ini. Suara musik pengiring tarian tersebut pun timbul tenggelam di antara riuh rendah suara pengunjung.
Mendadak seseorang mendorong Wulan dengan amat kasar. Tak siap, gadis itu pun terhuyung jatuh seraya memekik kaget.
“Whoa,” seseorang menangkapnya dari belakang. “Kamu tidak apa-apa?”
“I – iya,” sahut Wulan. Jantungnya berdegup kencang karena hampir jatuh, dan tubuhnya masih sedikit oleng. Untunglah orang tadi masih memegangi sikunya, sehingga dengan bantuannya Wulan pun dapat kembali berdiri tegak.
Gadis itu berbalik ke arah orang yang membantunya itu. “Makasih, ya.”
Di luar dugaan, orang tersebut adalah seorang pemuda seumurannya. Pemuda itu mengenakan baju adat khas Dayak, rompi beludru hitam yang berhiaskan manik-manik warna warni, dan celana panjang hitam dari bahan sama. Sebilah mandau terselip di kain yang melilit pinggangnya. Tubuhnya langsing namun terlihat padat dan kokoh, kulitnya yang putih amat kontras dengan pakaian hitamnya. Matanya yang sedikit sipit menatap dengan pandangan yang amat teduh.
Sesaat Wulan merasa familiar dengan wajah pemuda itu. Apa pemuda itu mirip dengan seseorang yang ia kenal, ya?
Pemuda itu tersenyum. “Sama-sama. Jangan terburu-buru di tempat yang banyak orang seperti ini. Salah-salah kamu bisa celaka.”
Senyuman itu amat lembut, membuat wajah Wulan memerah melihatnya. “Iya. Makasih lagi, ya.”
Pemuda itu menoleh ke arah pedagang yang tadi gadis itu tuju. “Mau beli minumankah?” tanyanya dengan nada bicara khas orang Kalimantan, meninggi di bagian akhir.
“Iya.”
“Biar saya belikan.”
“Ah, nggak usah!” seru Wulan, namun terlambat. Pemuda itu sudah melangkah ke arah si pedagang, tanpa kesulitan bermanuver di antara para pengunjung lain. Tak lama kemudian ia sudah kembali dengan dua botol berisi teh dingin. Salah satunya ia serahkan pada gadis itu.
“Nggak usah, padahal,” ucap Wulan.
“Tidak apa-apa,” sahut pemuda itu. “Lagipula, saya haus memang.”
Gadis itu akhirnya menerima minuman tersebut seraya berterima kasih, lalu meneguknya. Cairan dingin itu membasahi kerongkongannya, menyadarkan Wulan betapa hausnya ia. Tanpa terasa minuman itu sudah habis ia teguk.
Pemuda itu juga menghabiskan minumannya. “Ke sini dengan siapa?” tanyanya kemudian.
“Sama keluarga.”
“Mereka di mana? Kok, tidak kelihatan?”
Wulan merasakan wajahnya memerah lagi. “Mereka… lagi pergi karena ada urusan. Tapi nanti balik lagi.”
Pemuda itu memandanginya sejenak, kemudian tersenyum, “Kalau begitu, mau menunggu di stan saya saja? Kebetulan keluarga saya ada satu stan di sini.”
“Nggak usah,” sahut Wulan. “Sebentar lagi orang tuaku bakal jemput, kok.”
“Lebih enak di sana daripada berpanas-panas di sini. Di sana kamu bisa istirahat dengan tenang. Dari stan, panggung utamanya juga terlihat, jadi kamu bisa menonton tari-tarian sambil menunggu.”
Gadis itu menimbang sejenak. Yah, tawaran pemuda itu tidak jelek juga, sih. Lagipula, sepertinya pemuda itu tidak berniat jahat.
“Oke, deh, Mas.”
“Saya Duta Riwut Hamarung. Panggil Duta saja.”
“Aku Wulan.”
Pemuda itu tersenyum lagi, “Ayo, Wulan.”
Gadis itu pun mengikuti langkah-langkah Duta. Sekali lagi pemuda itu tak mengalami kesulitan menerobos kerumunan pengunjung. Wulan kemudian menyadari hal itu adalah karena banyak yang menyingkir memberi jalan ketika berpapasan dengan Duta. Tak sedikit pula yang mengangguk hormat.
Orang-orang yang menjaga stan juga mengangguk pada pemuda itu, atau memberi salam dengan mengangkat tangan. Beberapa bahkan sampai mendekati Duta lalu menjabat tangannya. Akibatnya perjalanan mereka seringkali terhambat, namun akhirnya mereka sampai juga di stan yang Duta sebut.
Berlawanan dengan stan-stan lain, stan milik keluarga pemuda itu memakan sampai dua kapling. Letaknya pun di area pameran paling depan, tak jauh dari panggung utama. Foto-foto aktivitas suku Dayak tergantung di dinding stan, membuat orang leluasa memandanginya. Kotak-kotak kaca berisi pakaian adat Dayak, mandau, dan lain-lain juga terpajang di sana.
Duta memasuki stan tersebut, kemudian melambai pada deretan kursi yang ada di sana. “Silakan.”
“Bener nggak apa-apa, nih?” tanya Wulan.
“Tidak apa-apa. Duduklah. Kamu pasti capek. Akan saya belikan minuman lagi.”
Mendadak terdengar suara seseorang, “Ini siapakah, Duta?”
Seorang perempuan tua mendekati mereka. Rambutnya telah nyaris memutih seluruhnya, namun tubuhnya masih terlihat tegap dan kuat. Seperti Duta, ia juga mengenakan pakaian khas Dayak yang dihiasi manik-manik dengan amat mewah. Beberapa kalung batu berwarna-warni tergantung di dadanya.
“Teman saya, Tambie,” sahut pemuda itu.
“Wulan,” gadis itu buru-buru menambahkan seraya membungkuk sedikit.
Sang nenek tersenyum. Sama seperti Duta, tatapan matanya juga amat teduh. “Selamat datang, Wulan.”
Duta melangkah keluar stan untuk membeli minuman, dan sang Tambie pun berkata pada Wulan “Silakan duduk, Nak,”
“Makasih,” walaupun masih merasa canggung, akhirnya Wulan duduk juga.
Perempuan tua itu pun meninggalkannya, dan tak lama kemudian Duta kembali dengan beberapa botol berisi minuman ringan. Selama beberapa saat pemuda itu menemani Wulan menyesap minuman tersebut, namun kemudian mohon diri karena pengunjung mulai berdatangan ke stan.
Di panggung utama, sebuah tarian sedang dipertunjukkan, namun perhatian Wulan sepenuhnya tertuju pada Duta dan cara pemuda itu menerima pengunjung stannya. Pemuda itu berdiri tegak, tersenyum percaya diri walaupun yang ia temui semuanya adalah laki-laki paruh baya. Sebaliknya, para laki-laki itu terlihat segan terhadapnya. Tak sedikit pula yang menatap Duta penuh hormat dan menyapanya dengan, “Tatua.”
Tatua? Apa itu artinya tetua? Siapa sebenarnya Duta ini?
Seakan mendengar namanya dipanggil, pemuda itu menoleh ke arah Wulan. Ketika mendapati gadis itu sedang memandanginya, Duta tersenyum.
Dengan wajah memerah Wulan memalingkan muka, lalu menghampiri mandau yang dipajang tak jauh dari sana.
Senjata itu terlihat sangat indah, jauh berbeda dengan benda serupa yang dijual di Kebun Sayur. Bilahnya dihiasi emas mengkilap, lubang-lubang kecil tersebar di permukaannya, pertanda senjata tersebut sudah sering digunakan untuk mengayau atau memenggal kepala orang. Gagangnya yang terbuat dari tanduk binatang diukir menyerupai kepala burung, dan ujungnya dihiasi bulu-bulu burung. Sarungnya yang terbuat dari kulit kayu dihiasi manik-manik berwarna-warni.
“Indah, bukan?”
Wulan menoleh dan mendapati Tambie telah berdiri di sampingnya. Perempuan tua itu juga sedang mengamati mandau di hadapannya.
“Konon mandau ini adalah milik Pangkalima,” lanjut sang nenek.
“Pangkalima?”
“Pangkalima, atau Panglima Burung, adalah seseorang yang kuat, sakti, dan tak terkalahkan. Ia adalah seorang pemimpin spiritual, panglima perang, guru, juga tetua yang diagungkan memang. Ia sangat menghormati dan menjaga alam ini. Tak seorang pun yang tahu siapa ia sebenarnya. Hanya dikisahkan bahwa ia adalah penjelmaan burung Enggang.”
Wulan mengangguk mendengarnya. Burung Enggang adalah hewan yang dianggap suci di Kalimantan, sehingga banyak digunakan sebagai ukiran ujung atap, gagang Mandau, ataupun pola manik-manik di baju adat.
“Konon ia akan muncul jika suatu bahaya besar mengancam kami,” perempuan tua itu kemudian menoleh ke belakang. “Betul bukan, Duta?”
Wulan turut menoleh dan mendapati pemuda itu telah berdiri di belakang mereka. “Betul, Tambie,” jawab Duta. “Pangkalima adalah sosok panutan akan bagaimana seharusnya seseorang bersikap.”
“Betul,” sang nenek tersenyum. “Tunjukkan pada Wulan adat kita yang lain, Duta.”
“Baik.”
Perempuan tua itu pun berlalu. Seraya menatapi kepergiannya Duta berkata, “Tambie adalah penjaga Mandau tersebut.”
Wulan menatap pemuda itu. “Ternyata kamu orang Dayak asli, ya?”
Duta tersenyum. “Kami tak menyebut diri seperti itu, tapi, ya, saya orang Dayak.”
“Orang-orang yang datang tadi menyebutmu Tatua. Kamu…?”
Pemuda itu tertawa sejenak. “Saya masih belajar. Sebenarnya saya belum pantas menyandang sebutan tersebut, namun beberapa orang bersikeras menggunakannya.”
“Gitu?” Wulan mengamati pemuda itu. Tampaknya Duta memang bukan orang biasa. Sikapnya terlalu dewasa untuk ukuran anak-anak SMU seumurannya.
Pemuda itu balas memandanginya seraya tersenyum, membuat wajah gadis itu memerah. “Ah, aku permisi dulu, ya,” ucap Wulan. “Makasih banyak karena udah dibolehin istirahat di sini.”
“Kenapa buru-buru sekali? Mau ke manakah?”
“Bentar lagi mamaku pasti udah jemput. Kami udah janjian di tempat parkir.”
Duta sudah akan berkata sesuatu, namun mendadak pemuda itu terdiam. Raut wajahnya yang tenang seketika mengeras.
“Ada apa?” tanya Wulan, terkejut akan perubahan yang amat drastis itu.
Sejenak pemuda itu tak menjawab, hanya mengalihkan pandangannya ke langit di luar stan. Matanya yang biasanya teduh kini menatap tajam, seakan mencari sesuatu di sana.
“Saya rasa sebaiknya kamu tidak pergi dulu dari sini,“ jawabnya akhirnya.
“Apa?”
Mendadak suasana di sekitar mereka menggelap, seakan matahari tiba-tiba menghilang begitu saja.
Dengan terperangah Wulan menatap ke angkasa. Gumpalan awan kelabu mendadak memenuhi langit, bergerak amat cepat seakan ditiup angin kencang. Dalam sekejap seluruh area pameran telah tenggelam dalam suasana kelabu.
Di sampingnya Duta mendadak bergerak, melangkah ke tepi stan seraya berseru, “Mama Bahandang!”
Seorang pria paruh baya segera menghampirinya, “Tatua.”
“Anggota suku kita mana?”
“Semua sedang terpencar-pencar, menikmati pameran.”
“Kumpulkan mereka!” ucap Duta. Nada suaranya telah berubah sama sekali, penuh wibawa, seperti seseorang yang terbiasa memerintah. “Perempuan dan anak-anak dulu. Bawa mereka semua ke sini!”
“Siap, Tatua.”
“Mama Bahanyi!” seorang pria lain segera mendekati pemuda itu. “Kumpulkan semua hatue suku. Siapkan mereka di sini. Awan ini bukan awan normal. Ada yang memanggilnya!”
“Siap!” pria itu pun segera berlari seraya mulai menyerukan serangkaian kata-kata dalam bahasa Dayak.
“Apa maksudnya awan ini ada yang manggil?” tanya Wulan pada Duta.
Pemuda itu menatapnya dengan pandangan keras. “Beberapa dari kami dianugerahi kemampuan untuk meminjam kekuatan alam. Semakin dekat seseorang dengan alam ini, semakin besar kekuatannya. Tapi selalu saja ada yang menyalahgunakan kekuatan itu.”
Wulan masih ingin bertanya, namun Duta sudah mengalihkan perhatiannya pada para lelaki sukunya yang mulai berlarian ke dalam stan. “Tambie mana?” tanyanya pada salah seorang dari mereka.
“Belum ada yang melihatnya.”
“Cari dia! Awan itu diarahkan ke sini. Mereka mungkin mengincarnya!”
Namun belum sempat lelaki yang Duta beri perintah bergerak, sebuah petir mendadak menyambar dengan suara amat keras.
Wulan menjerit, refleks menutup telinga. Ketika petir itu akhirnya usai, mendadak hujan turun dengan amat deras.
Situasi pameran langsung kacau. Orang-orang berlarian mencari tempat berteduh, para penjaga stan mengamankan barang-barang mereka dari terpaan hujan. Seruan dan teriakan terdengar dari mana-mana.
Di stan milik Duta, keadaannya jauh lebih terkendali. Atas petunjuk pemuda itu, para lelaki sukunya bertindak dengan gerakan yang nyaris metodis. Para perempuan dan anak-anak segera dibawa masuk ke stan. Barang-barang pajangan sudah lama disingkirkan menempel ke dinding. Duta bahkan membolehkan pengunjung lain berteduh di stannya, sehingga dalam waktu singkat tempat itu mendadak penuh orang. Setelah semuanya sudah aman di dalam, para lelaki suku berbaris di luar, membentuk lingkaran pengamanan di sekeliling stan.
Wulan bergegas mendekati Duta, yang masih berdiri di tepian terluar stan. “Duta.”
Pemuda itu menatapnya. “Tenang saja. Kamu aman di sini.”
“Kamu sendiri gimana?”
Duta sejenak tersenyum tipis. “Saya tak apa-apa. Kemungkinan besar badai panggilan ini ditujukan pada Tambie. Semakin cepat kami bisa menemukannya, semakin baik.”
“Gimana caranya kamu bisa tahu, soal badai panggilan ini, soal Tambie yang diincar?”
Pemuda itu tak menjawab, memilih untuk memalingkan muka dan berseru, “Mana Tambie?”
“Saya di sini, Nak.”
Wulan menoleh dan menatap perempuan tua itu, yang entah sejak kapan telah berada di dekat mereka.
“Tambie! Tidak apa-apa?” tanya Duta.
“Tidak apa-apa, karena bukan saya yang diincar.”
“Apa?”
Perempuan tua itu tersenyum pahit. “Kamu tak sadarkah? Serangan ini diarahkan ke stan saat saya tak ada di sini. Kamulah yang mereka incar, Duta.”
Sejenak pemuda itu terperangah. Mendadak angin yang teramat kencang menghempas. Atap stan seketika berderak-derak mengerikan, seakan bisa lepas kapan saja. Teriakan ketakutan terdengar dari para pengunjung.
Dengan terperangah Wulan menyaksikan deru hujan tiba-tiba berubah arah, tidak lagi lurus melainkan mulai miring sampai nyaris horizontal. Hujan macam apa ini? Seumur hidup belum pernah ia melihat yang seperti ini!
Hujan miring tersebut menyerbu masuk ke dalam stan, menghantam Wulan tanpa ampun. Gadis itu menjerit kesakitan. Butiran hujan tersebut amat tajam, rasanya seperti tersengat!
Pekik ketakutan dan kesakitan terdengar lagi dari para pengunjung. Mereka yang ada di barisan terluar mulai merangsek masuk, membuat yang ada di dalam terdesak.
“Tenangkan mereka!” seru Duta pada para lelaki sukunya. Ketika para pria mulai bergerak untuk mengendalikan para pengunjung, pemuda itu juga turut berlari, keluar dari stan dan menerobos hujan.
Sebuah petir lain menyambar, amat dekat sehingga suaranya sangat keras, namun Duta terlihat tak terpengaruh. Pemuda itu berdiri tegak di tengah terpaan hujan, seakan tak merasakan sengatannya.
“Kalau saya yang kalian incar, kemarilah!”
Seakan menjawab tantangannya, angin berhembus semakin dahsyat tepat ke arah pemuda itu. Deru hujan pun semakin miring, sampai akhirnya benar-benar mencapai posisi horizontal.
Duta merentangkan kedua tangan. “Wahai Riwut!” serunya lantang di tengah deru badai. “Yang menguasai angkasa! Pinjamkan kekuatanmu!”
Detik itu juga angin kembali berhembus dahsyat. Namun alih-alih menghempas ke arah stan, angin tersebut menerpa dari arah stan. Atau lebih tepatnya, dari arah tubuh Duta.
Dengan ternganga Wulan melihat bagaimana angin seakan berputar di sekeliling tubuh pemuda itu lalu berhembus keluar, menerjang angin yang membuat hujan menjadi horizontal. Dalam sekejap angin yang Duta panggil mendesak angin lawan, dan hujan yang semula horizontal kembali jatuh lurus. Tak berhenti di situ angin tersebut melaju lurus ke angkasa, mengusir gerombolan awan kelabu di sana. Awan-awan itu mulai terdesak pergi, dan deru hujan pun mulai berkurang.
Pekikan kemenangan terdengar dari para lelaki suku yang masih setia membentuk lingkaran penjagaan di sekitar stan. Mandau-mandau teracung ke udara bersamaan dengan sorakan gembira.
Namun perayaan kemenangan itu tak berlangsung lama. Keadaan di sekitar mereka mendadak menggelap. Wulan mendongak dan melihat segumpalan awan raksasa tiba-tiba datang, jauh lebih besar dan kelam dari awan-awan lain. Awan raksasa itu mengambang sejenak di langit. Kemudian dari dalamnya sebilah petir meluncur turun.
Petir itu menghantam dengan suara gelegar yang amat dahsyat, membuat sekujur tubuh Wulan seakan remuk. Ketika berhasil mengangkat kepala lagi, gadis itu melihat sebuah stan di ujung area pameran telah terbakar. Walaupun deru hujan belum lagi reda, api menyala-nyala dari stan tersebut, semakin lama semakin besar.
Petir lain menyambar dari awan raksasa di langit, lebih dahsyat dari sebelumnya, dan stan lain segera terbakar akibat terkena sambarannya.
“Hentikan!” Wulan bisa mendengar Duta berseru. Pemuda itu mengepal geram ke arah langit. “Sayalah yang kalian incar!”
Jawabannya datang berupa sambaran petir lain. Kali ini stan yang terkena berjarak cukup dekat dengan tempatnya berada.
“Riwut!” seru Duta, dan angin kencang kembali berhembus dari sekeliling tubuhnya, lurus ke arah awan raksasa di langit. Namun awan itu bergeming di tempatnya.
Dan seakan sebagai bentuk balasan, petir mulai menyambar non stop dari bawah awan tersebut. Stan-stan yang terkena dalam sekejap dilahap kobaran api.
Teriakan dan jeritan ketakutan terdengar dari segala arah. Situasi pameran yang sesaat tenang kembali kacau. Orang-orang berlarian di mana-mana, saling mendorong.
“Tenanglah!” seru Duta. Wulan melihat pemuda itu berusaha menahan orang-orang yang berlarian di sekelilingnya. “Jangan panik. Kalau seperti ini kalian malah akan mencelakakan diri sendiri!”
Namun tak ada yang mendengarnya. Semua orang sudah dicekam teror dan kengerian. Beberapa bahkan menyenggol Duta dengan kasar, membuat tubuh pemuda itu terdorong ke sana-sini.
Wulan sudah hendak berlari ke arah pemuda itu dan menariknya ke tempat yang aman di dalam stan, namun sebuah tangan menahannya. Gadis itu menoleh dan menatap Tambie.
“Biarkan dia,” ucap perempuan tua itu.
“Tapi…!”
“Percayalah padanya. Lihat.”
Wulan kembali menatap Duta. Pemuda itu sedang tertunduk. Tubuhnya masih terdorong arus pengunjung, namun ia seperti tak merasakannya.
“Cukup,” Wulan bisa mendengar kata-kata Duta, walaupun perkataan itu diucapkan dengan pelan di tengah hiruk-pikuk para pengunjung. “Cukup sudah. Cukup sudah!”
Mendadak sesuatu melesat melalui Wulan. Sebilah mandau berhias, yang tadinya dipajang di dalam kotak kaca di stan.
Tanpa melihat Duta menangkap senjata tersebut di udara. Di genggamannya, mandau itu mulai bersinar, bertambah terang seiring waktu sampai wujud senjata itu sendiri tak lagi terlihat. Sinar tersebut menyelubungi tubuh pemuda itu, kemudian terus membesar ke arah langit.
Dan mewujud menjadi seekor burung Enggang raksasa dari cahaya.
Angin kembali berputar kencang di sekeliling tubuh Duta. Pemuda itu mengangkat Mandau di tangannya tinggi-tinggi. Di atas kepalanya, Enggang cahaya itu membuka kedua sayapnya lebar-lebar.
“RIWUT!”
Bersamaan dengan pusaran angin yang amat dahsyat Enggang raksasa itu menyerbu ke langit, tepat ke arah awan kelam yang masih memuntahkan petir demi petir. Selama beberapa saat Enggang itu terus melesat, semakin lama semakin kecil, terus ke arah awan raksasa tersebut.
Kemudian sebuah kilatan cahaya yang menyilaukan mata memenuhi langit.
Wulan menutup mata. Ketika membukanya lagi, langit telah kembali berwarna biru cerah. Tak ada tanda-tanda sama sekali akan kehadiran awan-awan kelabu maupun awan raksasa sebelumnya. Hujan telah berhenti sama sekali.
Di hadapan gadis itu, Duta berdiri terengah-engah. Tangannya yang masih mengenggam mandau tergantung lemas di sisi tubuhnya.
Tambie menghampirinya. Kemudian di hadapan Duta perempuan tua itu bersimpuh. “Pangkalima,” ucapnya.
“Tidak, Tambie,” pemuda itu buru-buru meraih perempuan tua itu dan membangunkannya. “Jangan panggil saya seperti itu. Saya bukan Pangkalima. Saya hanya seorang Tatua yang bahkan tak bisa menyelamatkan saudara-saudaranya sendiri.”
Tambie tak berkata apa-apa, namun ia membiarkan dirinya diberdirikan oleh Duta.
Wulan memberanikan diri mendekati mereka. “Duta…”
Pemuda itu tersenyum pahit ke arahnya. “Maaf, kamu jadi terlibat dalam masalah saya.”
“Nggak apa-apa. Aku…”
“Pulanglah. Saya yakin orang tuamu sudah menjemput. Mereka pasti khawatir. Temuilah mereka segera.”
Wulan masih ingin berkata-kata, namun pemuda itu telah berlalu dari hadapannya.
***
Wulan berdiri dalam antrian, namun pikirannya melayang jauh. Sudah dua minggu berlalu setelah kejadian itu, tapi ia masih belum bisa mengenyahkan Duta dari kepalanya.
Setelah kejadian itu Wulan menghabiskan waktunya untuk meriset tentang suku Dayak. Namun ia tak berhasil menemukan apa pun tentang pemuda itu, kekuatan istimewanya, maupun tentang Pangkalima.
Yang berhasil ia ketahui hanyalah bahwa dalam bahasa Dayak, Riwut berarti angin.
Duta Riwut Hamarung. Sungguh nama yang cocok. Pemuda itu masuk dan keluar dari kehidupannya seperti layaknya seorang utusan angin.
Suara guru terdengar dari pengeras suara, menyadarkan Wulan. Gadis itu baru menyadari di depannya telah tercipta celah besar dalam antrian akibat lamunannya.
Wulan pun buru-buru melangkah maju. Pagi ini langit Bandung terlihat cerah, namun warna birunya kalah indah dibanding langit di Balikpapan. Di depannya antrian siswa mengular panjang, menunggu giliran untuk bersalaman dengan para guru dalam acara halal bihalal yang diselenggarakan di pelataran sekolah.
Gadis itu mengedarkan pandangan ke sekeliling. Di belakangnya siswa-siswa dari kelas lain berbaris dalam antrian. Ada yang sedang mengobrol, ada yang bersenda gurau.
Mendadak mata Wulan terhenti pada seseorang. Seseorang yang mengenakan seragam sekolah yang sama dengannya, dan sedang bercanda bersama siswa-siswa dari kelas XI-10.
Apa ini alasannya kenapa gadis itu merasa familiar ketika pertama kali melihat wajah orang itu? Karena mereka sebenarnya satu sekolah?
Sekali lagi, seakan mendengar namanya dipanggil, Duta mengangkat kepala dan menatap lurus ke arah Wulan.
Dan bersamaan dengan tersenyumnya pemuda itu, angin berhembus di pelataran sekolah tersebut.
***