Gadis itu berjalan terseok-seok. Langkahnya semakin lama semakin lambat, namun tambang yang menghubungkan tangannya yang terikat ke pelana kuda di depannya membuatnya mau tak mau mengikuti kecepatan langkah hewan tersebut.
Dari atas kuda Ahrian mengamati gadis itu. Mata dan mulutnya tertutup rapat oleh kain merah, membuat si gadis semakin sulit melangkah. Bajunya yang tadinya putih bersih kini dikotori lumpur, seolah mengejek arti warna tersebut pada diri si gadis.
Gadis itu adalah Siaya, salah satu dari para ahli tenung kematian yang sempat meneror seantero negeri Ruduna. Entah sudah berapa ratus orang yang menjadi korban kekejaman para penyihir putih tersebut. Untuk melawan mereka Raja kemudian mengeluarkan dekrit pembasmian Siaya. Dan dimulailah pertempuran berkepanjangan yang seolah takkan pernah berakhir.
Namun akhirnya, setelah setahun lamanya, Siaya berhasil dibasmi. Gadis itu adalah Siaya terakhir, satu-satunya yang diizinkan hidup. Fabria hes Siaya, pemimpin tertinggi ordo para ahli tenung tersebut. Gadis itu akan dibawa ke ibukota, di mana ia akan diadili di hadapan Raja dan seluruh rakyat atas semua kejahatannya.
Seribu prajurit dikirim untuk menyerbu menara yang menjadi pusat ordo terkutuk tersebut. Lebih dari setengahnya menjadi korban sebelum akhirnya menara tersebut jatuh. Namun penangkapan sang pimpinan sendiri berlangsung nyaris damai. Fabria hes Siaya hanya berdiri tegak dengan kepala terangkat, dan berkata, “Kalian mungkin berhasil membantai kami semua. Tetapi Siaya tidak akan berakhir hanya karena pengikutnya tak lagi bersisa. Siaya tidak akan pernah hancur. Apalah arti kehancuran di hadapan kematian, yang merupakan kehancuran paling mutlak?”
Kebanggan yang ia tunjukkan tersebut seharusnya tak lagi bersisa ketika sang Siaya terpaksa berjalan berhari-hari nyaris tanpa istirahat, tanpa makan maupun minum yang cukup. Kakinya sudah lama dipenuhi koreng dan luka bernanah, rambutnya begitu dipenuhi debu sampai warnanya tak lagi hitam. Namun Fabria tetap melangkah dengan dagu terangkat, seakan tidak merasakan semua itu.
Mendadak sang Siaya tersandung dan jatuh dengan muka terlebih dulu. Tak sempat lagi bangkit berdiri – atau tak kuat – gadis itu lalu terseret laju kuda, membuat Jenderal Gerawa, yang menunggangi kuda tempat tertambatnya tali yang mengikat pergelangan Fabria, tertawa terbahak-bahak melihatnya. Sang Jenderal kemudian mempercepat derap hewan tunggangannya, membuat tubuh gadis itu terseret semakin keras.
Sesuatu memberontak dalam dada Ahrian ketika melihat hal tersebut, namun kemudian pemuda itu menepisnya jauh-jauh. Ahli tenung itu pantas mendapatkan perlakuan tersebut. Bahkan mungkin itu masih belum cukup mengingat betapa besar dosa yang telah mereka lakukan.
***
Malam telah menjelang. Pasukan Ruduna telah mendirikan tenda, dan kini kesunyian menyelimuti daerah tersebut, sesekali diselingi suara tawa dari para prajurit yang masih berkumpul di sekeliling api unggun.
Ahrian melangkah ke tempat Fabria berada. Gadis itu duduk terikat di sebuah tiang di tengah perkemahan. Mata dan mulutnya masih terus ditutupi kain merah, material yang telah diberkati oleh para pemuka agama Jovian sehingga bisa menahan kekuatan Siaya.
Sepuluh prajurit yang menjaga gadis itu serentak memberikan penghormatan pada Ahrian ketika pemuda itu tiba di sana. “Kapten!”
“Buka penutup mata dan mulutnya,” perintah Ahrian.
Para prajurit berpandangan. “Kapten, Siaya bisa membunuh hanya dengan tatapan mata mereka,” kata salah seorang dari mereka.
Ahrian mengamati mereka lekat-lekat, “Prajurit, berapa banyak Siaya yang sudah kalian hadapi?”
“Siap! Banyak, Kapten.”
“Berapa banyak yang bisa membunuh dengan mata mereka?”
Prajurit-prajurit itu terdiam, karena jawabannya adalah tidak ada. Untuk bisa membunuh, Siaya harus menyentuh korbannya. Kontak fisik tersebutlah yang memungkinkan sihir mereka untuk bekerja.
“Buka penutup mata dan mulutnya,” perintah Ahrian lagi. “Ada yang mau kutanyakan padanya.”
Walaupun masih enggan, salah seorang prajurit akhirnya melaksanakan perintah tersebut, amat berhati-hati agar tak menyentuh sang Siaya.
Begitu penutup matanya terlepas Fabria mengerjap-ngerjap, membiasakan matanya yang mungkin baru terbuka setelah berhari-hari lamanya. Wajah gadis itu amat pucat dengan lingkaran hitam dalam di bawah mata. Bibirnya yang kering pecah di sana-sini. Namun tatapan mata yang kemudian ia arahkan pada Ahrian tetap menunjukkan kemantapan hati.
Pemuda itu berlutut di hadapan sang Siaya. “Apa maksudmu Siaya tidak akan berakhir hanya karena pengikutnya tak lagi bersisa?”
Selama sesaat Fabria hanya memandanginya dengan kedua matanya yang berwarna putih. “Siapakah kau?”
“Ahrian, kapten pasukan sayap kiri Ruduna.”
“Kapten Ahrian, Siaya bukanlah nama orang ataupun kedudukan. Siaya adalah kebenaran tertinggi, sang Ibu Kematian itu sendiri. Kau pikir sang Ibu akan musnah hanya karena tak ada lagi orang yang menyakininya?”
“Kematian adalah takdir Sang Pencipta,” sahut Ahrian. “Bukan hak kalian, orang-orang sesat, untuk memberikannya kepada orang lain.”
“Lalu, apakah kematian adalah hak kalian, para penganut Jovian?”
“Sudah kukatakan, kematian adalah hak Sang Pencipta.”
“Namun kalian bisa begitu saja menyebarkan kematian atas nama Tuhan kalian,” sahut Fabria. “Jika kalian boleh melakukannya, kenapa kami tidak?”
Ahrian mulai merasakan amarahnya bangkit. “Jangan samakan perjuangan suci kami dengan pembunuhan sesat kalian!”
“Apa bedanya?” tanya Fabria. “Kami hanya memberikan kematian sebagaimana sang Ibu menginginkannya. Tak ada bedanya dengan kalian yang melaksanakan pembantaian atas nama pencipta kalian.”
“Kami bertempur untuk menghentikan kekejian dan kesesatan kalian!”
“Kekejian dan kesesatan kami?” untuk pertama kalinya emosi terlihat di wajah Fabria. “Kalianlah yang keji dan sesat! Kalianlah yang memulai peperangan ini!”
Ahrian tertegun, “Apa?”
Kemarahan menyala-nyala dalam mata sang Siaya. “Kalian membantai anak-anak Siaya! Mencincang mereka sampai tak berbentuk lagi! Dan kalian pikir kami akan diam saja? Kalian pikir sang Ibu tidak akan menurunkan murkanya? Kalian hanya menuai kekejian yang kalian tanam sendiri, wahai para penganut Jovian!”
Selama sesaat Ahrian hanya mampu terpaku. Namun kemudian pemuda itu berhasil menguasai diri. “Mulutmu sangat berbisa. Padahal aku datang ke sini untuk mengajakmu berbicara baik-baik, selayaknya manusia. Ternyata aku salah.”
Di luar dugaan, kata-kata itu juga menyentakkan Fabria. Amarah perlahan menyurut dari mata sang Siaya, berganti dengan kesedihan mendalam. Seorang prajurit kemudian memasangkan lagi penutup matanya, dan tatapan gadis itu pun menghilang di balik kain merah tersebut.
Ahrian berbalik dan meninggalkan tempat itu tanpa menoleh lagi.
***
Ahrian tahu tak seharusnya ia mendengarkan kata-kata Fabria, namun entah kenapa ucapan sang Siaya berputar dalam kepalanya. Terus-menerus sampai akhirnya pemuda itu memutuskan untuk memastikan hal tersebut kepada seseorang yang ia percaya, Kapten Deresi dari kesatuan panah.
“Penyebab perang ini?” ucap Deresi. “Ya, memang ada kabar yang mengatakan kalau para Siaya melakukan pembantaian karena balas dendam atas darah mereka sendiri yang tertumpah.”
“Benarkah?”
“Yah, tak ada yang pernah bisa memastikannya, sehingga berita itu dianggap kabar burung. Tapi hal itu tidak penting, bukan?”
Ahrian menatap sahabatnya itu. “Tidak penting?”
“Ya. Apa pun penyebab perang ini, para Siaya itu tetap sudah melakukan kejahatan. Dan hal itulah yang penting. Para penganut ajaran sesat itu memang sudah saatnya dibasmi. Kita jadi hanya memiliki alasan kuat untuk melakukannya.”
Akal sehat Ahrian masih menolak menerima pernyataan itu. “Tapi kalau benar hal tersebut yang menjadi pemicu perang ini, itu berarti para Siaya tidak bersalah.”
“Rendahkan suaramu!” hardik Deresi tiba-tiba, membuat Ahrian tersentak. “Kau mau ucapan sesatmu itu didengar para Jovi?”
Ahrian mengangguk, walau dengan enggan. Sebagai pemuka agama Jovian, para Jovi dikenal sangat menjunjung tinggi ajaran Sang Pencipta dan tak segan-segan menghukum para pelanggar. Terutama sang Jovi Agung yang khusus ikut dalam pasukan penangkapan Fabria hes Siaya ini.
Deresi meletakkan tangan di bahu Ahrian. “Tak usah kau penuhi kepalamu dengan pemikiran seperti itu. Tugas kita sebagai prajurit, dan sebagai penganut Jovian yang taat, adalah berperang atas nama Sang Pencipta. Apakah kau mau mempertanyakan Tuhanmu sendiri?”
Tentu saja tidak. Adalah suatu dosa besar untuk mempertanyakan Sang Pencipta.
Namun entah kenapa, satu buah pertanyaan terus berputar dalam kepala Ahrian.
Jika para Siaya tidak bersalah, kenapa mereka harus dibasmi?
Padahal dalam ajaran Sang Pencipta, tak pernah sekalipun disebutkan bahwa meyakini ajaran lain berarti membuat darahmu boleh ditumpahkan di atas tanah ini.
***
Keesokan harinya turun perintah bahwa Fabria tidak diperbolehkan menerima makanan ataupun minuman.
Gadis Siaya itu tak bereaksi sedikit pun atas perlakuan tersebut. Tidak marah, tidak juga sedih. Ia hanya terus berjalan di belakang kuda Jenderal Gerawa, tersaruk-saruk namun tetap dengan kepala terangkat.
Apa yang membuat gadis itu tetap bisa memiliki keyakinan diri sebesar itu? Apakah karena ia percaya bahwa dirinya benar? Bahwa kesalahan terletak pada prajurit Ruduna yang menawannya?
Begitu malam tiba, gadis itu tampaknya sudah tak kuat lagi. Fabria jatuh tersungkur, dan tak bangkit lagi walaupun ditendangi. Ia bahkan tidak bisa duduk tegak, sehingga para prajurit akhirnya mengikatnya ke tiang dalam keadaan terbaring miring.
Ahrian mengamati semua itu dari kejauhan. Kenapa gadis itu terus saja melawan? Kenapa ia seakan ingin menunjukkan bahwa dengan tidak tunduk pada perlakuan tersebut, berarti ia berdiri di pihak yang benar?
Pemuda itu kemudian menuju tendanya. Mengambil semangkuk air dan sepotong daging, lalu keluar lagi dan berjalan ke tempat sang Siaya. Para prajurit kembali memberikan penghormatan ketika melihatnya. Namun tidak seperti kemarin, suara mereka terdengar ragu, apalagi ketika menatap apa yang ia bawa.
Ahrian berlutut dan membuka sendiri penutup mata dan mulut Fabria. Gadis itu hanya membuka matanya sedikit.
“Kalau kau mau minum, kau harus duduk,” ucap Ahrian.
Sang Siaya seolah tak mendengarnya. Gadis itu kembali menutup matanya.
“Jadi hanya sampai di sini saja perlawananmu?”
Perkataan itu seperti menyengatkan kehidupan ke dalam sang Siaya. Fabria menggertakkan gigi. Selama sesaat ia tampak seakan tak mampu lagi bangkit. Namun beberapa saat kemudian gadis itu berhasil menyeret tubuhnya ke posisi duduk.
Ahrian menempelkan mangkuk di tangannya ke bibir Fabria, kemudian menuangkannya perlahan. “Pelan-pelan,” pemuda itu memperingatkan. “Minum terlalu cepat hanya akan melukai tenggorokanmu.”
Gadis itu menurutinya, menutup mata seraya menyesap air di mangkuk sedikit demi sedikit.
Setelah Fabria berhasil menghabiskan air di mangkuk, Ahrian memberinya daging yang ia bawa. “Pelan-pelan.”
Gadis itu menerima makanan tersebut dengan mulut, dan mulai mengunyah. Tatapannya masih terlihat lemah, namun tertuju lurus ke arah Ahrian, dipenuhi pertanyaan.
Kenapa?
Pemuda itu mengabaikannya dan bangkit berdiri. “Mulai sekarang tetap beri dia makan dan minum,” perintahnya kepada para prajurit yang berjaga.
Mereka saling melirik satu sama lain. “Bukan seperti itu perintah yang kami terima,” jawab salah satu dari mereka.
“Raja telah menitahkan untuk membawa Siaya ini hidup-hidup,” sahut Ahrian. “Kau mau bertanggung jawab kalau ia mati di tengah jalan karena kelaparan atau kehausan?”
Si prajurit terlihat ragu. “Tidak, Kapten,” akhirnya ia menyahut.
“Kalau begitu, turuti perintahku.”
“Siap.”
Ahrian menatap Fabria lagi, kemudian berjalan pergi.
***
Setelah doa pagi, pasukan Ruduna kembali berangkat untuk menempuh jalan panjang ke ibukota. Sekali lagi Fabria berjalan terseok-seok di belakang kuda Jenderal Gerawa.
Ahrian sedang mengamatinya dari kejauhan ketika terdengar suara seseorang di sebelahnya, “Kapten Ahrian.”
Pemuda itu menoleh dan melihat Jovi Agung sudah menjejerkan kudanya di sebelah tunggangannya sendiri. “Jovi Agung,” Ahrian memberikan salam kepada sang pemuka agama.
“Aku ingin berbicara denganmu. Bisakah kita sedikit menepi?”
Ahrian mengangguk, dan mengarahkan kudanya keluar dari barisan pasukan. Sang Jovi Agung mengikutinya, dan tak lama kemudian kuda-kuda mereka sudah berada di samping barisan.
“Kudengar kau menaruh minat besar pada Siaya itu,” pemuka agama tersebut memulai.
“Tak lebih dari prajurit lain,” jawab Ahrian.
“Begitu? Tak ada prajurit lain yang berani membangkang perintahku untuk tak memberi makhluk itu makan dan minum.”
Jadi perintah itu datang dari sang Jovi? “Aku hanya memastikan bahwa gadis itu tetap hidup sampai kita tiba di istana, sesuai perintah Raja.”
Pemuka agama itu memandanginya lekat-lekat. Kemudian tatapannya melembut. “Ah, kau pasti berpikir perintah itu kuturunkan atas dasar kekejaman. Ketahuilah bahwa bukan itu yang kuinginkan. Sesesat apa pun, setiap makhluk selalu memiliki kesempatan untuk kembali pada jalan Sang Pencipta. Dan apakah ada cara yang lebih baik untuk mencapai hal itu, selain kerendahan hati yang didapat dari berpuasa, seperti ajaran Sang Pencipta?
Itu benar, namun Sang Pencipta tak mengharuskan seseorang berpantang makan dan minum dalam keadaan terluka dan berjalan seharian, batin Ahrian, namun tak ia suarakan pikiran tersebut. “Aku mengerti.”
Sang Jovi Agung tersenyum. “Kau sungguh penganut Jovian yang membanggakan. Semoga Sang Pencipta selalu melindungimu.”
Pemuka agama itu sudah akan menghela kudanya ketika Ahrian memanggilnya lagi, “Jovi Agung?”
“Ya, Kapten?”
“Kenapa Siaya harus dibasmi?”
Sang pemuka agama terlihat keheranan, “Tentu saja karena mereka adalah penganut ajaran sesat. Sudah menjadi tugas kita untuk menegakkan agama Jovian di bumi ini.”
“Tapi haruskah dengan pemusnahan seperti ini? Bukankah Sang Pencipta mengajarkan bahwa manusia memang berbeda-beda, dan kita harus menerima perbedaan tersebut?”
Wajah sang Jovi Agung sesaat menggelap, mungkin oleh amarah, namun kemudian wajahnya kembali melembut. “Memang benar. Namun Sang Pencipta juga mengajarkan bahwa kita harus menghancurkan semua yang menentang ajarannya.”
“Tapi apa yang Siaya lakukan sampai menentang Sang Pencipta?”
“Mereka tidak menerima Sang Pencipta sebagai satu-satunya Tuhan di dunia ini.”
Dengan perkataan tersebut sang pemuka agama meninggalkan Ahrian dan kembali memasuki barisan. Pemuda itu tak mengikutinya, lebih memilih untuk tetap berada di luar, karena saat itu satu pikiran terus berputar dalam kepalanya.
Jadi Siaya dibasmi karena berbeda keyakinan?
Apakah hal itu cukup untuk menjadi alasan pencabutan nyawa?
***
Keesokan harinya, dengan sangat mengejutkan Ahrian mendapati dirinya mendapat tugas untuk memimpin pasukan pendahulu. Itu berarti berangkat terlebih dulu ke istana untuk mengabarkan kedatangan pasukan utama, sehingga istana bisa mempersiapkan penyambutan yang sesuai.
Namun itu juga berarti ia tak lagi bisa mengawasi Fabria.
Pagi itu juga Ahrian berangkat bersama dua puluh prajurit, berderap menuju ibukota. Namun pikiran pemuda itu tertinggal di pasukan utama, bersama sosok sang Siaya.
Semakin jauh perjalanan yang ia tempuh, kekhawatiran semakin mencengkeram Ahrian. Bagaimana jika Fabria tak diperbolehkan lagi makan dan minum? Bagaimana jika perintah lain diturunkan untuk menyiksa gadis itu?
Akhirnya, ketika sore berganti malam, Ahrian menyuruh pasukannya untuk berkemah, dan untuk meneruskan perjalanan keesokan harinya tanpa dirinya. Kemudian pemuda itu memacu kudanya secepat mungkin kembali ke arah pasukan utama.
Bulan telah berada tinggi di angkasa ketika Ahrian sampai di perkemahan pasukan utama. Tanpa ragu pemuda itu mengarahkan tunggangannya ke pusat perkemahan.
Fabria masih ada di sana, terikat erat ke tiang. Penutup mata dan mulutnya telah dilepaskan, namun kepalanya tertunduk lemas. Di hadapannya berdiri Jovi Agung dengan sebuah tongkat merah membara di tangannya. Di sekeliling tempat itu para prajurit berdiri melingkar.
“Bertobatlah, orang sesat!” suara sang pemuka agama terdengar lantang. “Mohonlah ampunan dan kembalilah ke jalan Sang Pencipta!”
Fabria mengangkat wajahnya sedikit dan menatap sang Jovi Agung. “Kenapa aku harus menerima agamamu? Agama sombong yang menginjak-injak keyakinan lain dan membantai pengikutnya seakan mereka hanyalah hewan?”
“Mereka yang tak mau bertobat akan merasakan siksaan api merah Sang Pencipta!” sahut sang pemuka agama. Bara di tongkatnya mendadak terlihat semakin memerah. Kemudian sang Jovi Agung menusukkannya ke lengan Fabria.
Gadis itu sontak menjerit kesakitan. Kulitnya yang terkena tongkat tersebut langsung melepuh dengan sangat mengerikan. Namun Jovi Agung malah menusukkan benda tersebut semakin dalam.
“Hentikan!” Ahrian menghela kudanya dan hewan itu pun meringkik keras, mengangkat kedua kaki depannya tinggi-tinggi di atas kepala para prajurit. Kerumunan di depan pemuda itu pun langsung terbuka karena orang-orang bertemperasan menghindari binatang tersebut. Begitu kudanya menjejakkan kaki lagi di tanah serta-merta Ahrian melompat turun dan melesat mendekati sang Jovi Agung, mencabut pedangnya dan menebas tongkat membara sang pemuka agama sampai terbelah dua.
Sang Jovi Agung menatapnya penuh amarah. “Apa yang kau lakukan, Kapten?”
“Raja menitahkan agar Siaya ini dibawa hidup-hidup ke hadapannya!”
“Makhluk terkutuk ini terlalu berbahaya untuk dibiarkan hidup!” seru sang Jovi Agung. “Lihat saja buktinya! Kau telah terperdaya bisikan sesatnya!”
“Bisikan sesat? Aku hanya ingin memperlakukannya sebagai seorang manusia!”
“Manusia?!” sang Jovi Agung mengacungkan tongkat membaranya yang sudah terpotong setengah ke arah Fabria. “Dia bukan manusia! Dia setan yang dikirim untuk memperdaya kita semua!”
“Jovi Agung, lihatlah dia! Ia hanyalah seorang gadis biasa yang kebetulan memiliki keyakinan berbeda dengan kita. Apa itu lantas membuatnya pantas dibunuh? Ajaran Sang Pencipta tidaklah seperti itu!”
“Kau berani mengkhotbahiku tentang ajaran Sang Pencipta?!” seru sang Jovi Agung. “Tahu apa kau?! Kau sudah termakan rayuannya! Dan semua orang yang terpengaruh bujukan setan harus dihukum atas nama Sang Pencipta!”
Pemuka agama itu mendadak merangsek maju, mengarahkan ujung tongkatnya tepat ke mata Ahrian. Refleks pemuda itu menghindar, namun sang Jovi Agung terus memburunya, menyabetkan tongkatnya ke sana kemari. Ketika tak satu pun serangannya mengenai Ahrian, pemuka agama itu berseru kepada para prajurit yang menonton mereka, “Bunuh orang sesat ini!”
Titah Jovi Agung setara kedudukannya dengan perintah dari Jenderal Gerawa, sehingga para prajurit serta-merta mematuhinya. Tiga orang langsung menghunus pedang dan menyerang Ahrian, membuat pemuda itu harus menahan serangan mereka dengan pedangnya.
“Hentikan!” seru Ahrian. “Aku tak ingin melukai kalian!”
Namun tak ada yang mendengarnya. Seorang prajurit menebaskan pedangnya tepat ke leher Ahrian. Pemuda itu tak punya pilihan lain selain berputar menghindar seraya mengayunkan pedangnya. Senjata itu menebas lengan si prajurit sampai putus, memuncratkan darah ke mana-mana.
Ahrian kembali berputar untuk menghadapi dua prajurit di dekatnya. Namun dengan keterkejutan luar biasa ia mendapati kedua prajurit tersebut sudah saling menusuk leher masing-masing. Keduanya pun tumbang bersimbah darah.
Apa yang terjadi? Ahrian mengangkat wajah dan melihat kekacauan. Semua prajurit sedang saling menyerang rekannya sendiri. Teriakan kesakitan bercampur dengan tawa kegilaan, memenuhi udara. Setiap ada yang terbunuh, prajurit sisanya semakin mengganas. Seakan kematian tersebut membuat mereka semakin gila.
Ahrian mendadak menyadari sesuatu, dan cepat berbalik. Di belakangnya Fabria sudah berdiri tegak walaupun masih terikat erat. Mata putih gadis itu bercahaya terang, menandakan kekuatan Siayanya sedang bekerja.
“Hentikan!” Ahrian melompat mendekati gadis itu. “Apa yang kau lakukan?”
“Pembalasan dendam,” jawab sang Siaya dengan mata masih menatap lurus ke arah kekacauan di depannya. “Demi darah saudara-saudariku yang telah tertumpah, aku akan membunuh mereka semua.”
“Hentikan! Kalau kau teruskan, Siaya akan semakin dicap buruk!”
“Kami sudah dicap buruk,” sahut Fabria. “Dianggap lebih rendah dari binatang. Bahkan hewan pun tidak sebegitu mudahnya dibantai seperti kami. Jadi buat apa aku berhenti sekarang?”
“Pasti masih ada jalan,” Ahrian meletakkan kedua tangan di bahu gadis itu. “Pasti ada yang bisa kita lakukan. Jangan menyerah pada rasa dendammu. Jangan melakukan hal yang sama seperti mereka yang membantai kaummu. Tunjukkan kalau kau jauh lebih baik dari mereka!”
Fabria menatapnya, kesedihan membayangi pandangannya. “Aku ingin sekali bisa seperti itu. Namun dendam sudah membakar hatiku. Aku tak bisa lagi mengampuni mereka. Aku tak ada bedanya dengan mereka.”
“Hentikan semua ini, Fabria. Pasti masih ada yang bisa kita lakukan memutus rantai kesalahpahaman dan kebencian ini.”
Sang Siaya tersenyum. “Tak pernah kusangka aku akan bisa bertemu penganut Jovian yang masih memiliki hati sepertimu. Kau orang Ruduna pertama yang masih memperlakukanku sebagai manusia. Yang masih mau menyentuhku tanpa jijik atau pun ketakutan.”
Baru saat itulah Ahrian sadar ia sedang memegangi gadis itu. Bukankah Siaya membunuh lewat sentuhan, tanpa pandang bulu? Seharusnya ia sudah mati sekarang. Tapi kenapa?
“Terima kasih, Ahrian. Aku takkan menyesal mati sekarang.”
Sesuatu terasa mencengkeram jantung pemuda itu. “Mati? Apa maksudmu?”
“Tugasku telah selesai. Musuh-musuhku telah mati.”
Ahrian berbalik. Di sekitar mereka tak ada lagi prajurit yang masih berdiri. Semuanya telah terbaring tak bernyawa di tanah.
“Aku telah menggunakan kekuatanku yang terakhir untuk menghancurkan musuh-musuh kami,” Fabria menutup matanya. “Titah terakhir dari sang Ibu telah kutunaikan. Tubuh ini kini akan kembali kepada-Nya.”
“Tidak,” Ahrian mencengkeram bahu gadis itu. “Jangan mati. Ayo ikut bersamaku mengubah pendapat negeri ini atas Siaya. Kita pasti bisa.”
Fabria tersenyum, namun matanya menyiratkan kepedihan. “Seandainya saja semua pemeluk agama dan keyakinan di dunia ini berpikiran sepertimu, pembantaian sia-sia seperti ini takkan pernah ada.”
Kemudian cahaya di matanya padam, dan darah mengalir keluar dari mata, hidung, mulut, dan telinga gadis itu. Kepala Fabria pun terkulai jatuh ke depan, dan tak bergerak lagi.
Ahrian terpaku. “Fabria?” Dengan jarinya pemuda itu meraba leher gadis itu. Tak ada denyutan. Sang Siaya telah tiada.
Kesedihan yang amat sangat menghantam pemuda itu. Kenapa harus berakhir seperti ini? Kenapa tak ada yang bisa dilakukan untuk menghentikan kegilaan ini?
Pemuda itu memandangi sekelilingnya. Yang terlihat olehnya hanyalah merahnya darah di mana-mana. Dan wajah-wajah putih pucat yang telah kehilangan nyawa.
Merah dan putih. Warna-warna yang merupakan perlambang agama Jovian dan keyakinan Siaya. Apakah hanya dengan cara ini keduanya bisa bersatu?
Dalam lingkaran dendam dan pembantaian tak berujung?
Dalam merahnya darah di atas putihnya kematian?
***