Entry Maret 2012 – Anak-anak Malam

Ketika ia lahir, tuannya memberinya nama Max. Tapi itu dulu. Kini ia memanggil dirinya sendiri Kelam. Seperti langit malam tak berbintang ketika ia dibuang ke jalanan, oleh tuan yang sama dengan yang dulu menamainya.

Kelam melangkah sepelan mungkin dalam kegelapan malam. Hati-hati ia mengikuti buruannya, kantung plastik yang dibawa seorang manusia betina. Salah, bukan betina tapi perempuan. Seperti itulah panggilan manusia terhadap betina mereka.

Kantung itu bergoyang seirama gerakan si perempuan. Kelam kembali mengikuti, napasnya mendengus lewat moncong walaupun sudah berusaha tidak menimbulkan suara sedikit pun. Ingin sekali ia langsung merebut kantung itu sekarang, tapi Kelam tahu ia harus menunggu. Kalau tidak semuanya akan jadi berantakan.

Penantiannya tidak sia-sia. Sesuatu melesat keluar dari keremangan di pinggir jalan dan menabrak wajah si perempuan. Manusia itu memekik kaget dan menjatuhkan kantung di tangannya.

Serta-merta Kelam berlari sekuat tenaga. Angin menghempas telinga ketika ia berpacu ke arah kantung itu. Sedikit lagi, sedikit lagi!

Mendadak sebuah tangan besar terayun ke arahnya. “Anak anjing sialan!” seruan marah terdengar di langit malam.

Si perempuan sudah sadar!

Di detik-detik terakhir Kelam menghentikan lajunya dan berkelit ke kiri. Tangan itu melesat di atas kepalanya, nyaris mengenai telinga. Kemudian dalam satu gerakan cepat Kelam melompat, menyambar kantung itu dengan moncong, dan langsung hendak berlari, namun sesuatu menghentikan gerakannya.

Perempuan itu! Tangannya menahan kantung plastik yang akan Kelam bawa!

“Makhluk kurang ajar!” seru perempuan itu, tangannya kembali terayun. Kali ini Kelam tahu ia tidak akan bisa menghindar.

Mendadak sesuatu kembali menabrak wajah si perempuan, membuatnya terpekik panik. Memanfaatkan kesempatan tersebut, Kelam menarik kantung plastik itu sekuat tenaga. Terdengar suara plastik robek, namun akhirnya kantung itu terlepas dari tangan si perempuan. Serta-merta Kelam berlari meninggalkan tempat itu.

Teriakan murka melengking di kejauhan. “Makhluk sialan! Semoga kalian semua mati membusuk!”

***

Kelam menyeret kantung itu seraya berjalan. Napasnya terengah-engah dan seluruh tubuhnya terasa capai. Untung tempat tujuannya sudah dekat.

Tiba-tiba terdengar suara-suara di depannya. Kelam langsung menempelkan tubuh ke dinding, menunduk rendah. Sedetik kemudian beberapa manusia muncul dari tikungan di ujung gang.

Kelam mengenali mereka. Anak-anak jalanan, ketua mereka bernama Garong. Anak-anak manusia yang walau bertubuh kurus, namun sangat kuat, licik, dan kejam. Dan mereka sangat membenci Kelam dan saudara-saudaranya.

Kelam berbalik dan mengambil jalan memutar, menjauhi tempat itu. Ia akan terlambat sampai di rumah, namun itu lebih baik daripada berhadapan dengan geng Garong.

Setelah beberapa jam yang terasa seperti selamanya, akhirnya Kelam sampai. Sebuah pintu untuk manusia menjulang di hadapannya. Pintu itu tertutup rapat, namun di sudutnya ada sebuah lubang. Lubang itu cukup kecil, namun Kelam bisa melaluinya.

Di dekat bukaan gelap itu teronggok sesuatu. Sesaat Kelam merasa tubuhnya menegang, bersiap-siap menghadapi anggota geng Garong, namun ternyata sosok itu adalah Jago, adiknya.

Kelam bergegas menghampiri. “Jag, kamu kenapa?”

Anak ayam itu mengangkat kepala. “Ah, Kak Lam. Kamu lama sekali, aku sampai hampir ketiduran menunggumu.”

Kelam tertawa. “Maaf,” katanya seraya kembali menyeret kantung yang ia bawa. “Aku harus memutar dulu untuk menghilangkan jejak.” Ia sengaja tidak menyebutkan soal geng Garong pada Jago.

“Tidak apa,” Jago bangkit dan memasuki lubang di dekatnya. “Ayo. Kak Mi dan Lu pasti sudah menunggu.”

Kelam mengangguk dan mengikuti adiknya.

Di dalam, ruangan itu sangat gelap. Namun mata Kelam dapat melihat dalam kegelapan, sehingga ia bisa melangkah di antara perabotan rusak yang memenuhi ruangan itu. Di depannya, Jago juga berjalan tanpa tersandung sedikit pun. Berlawanan dengan semua ayam yang Kelam tahu, Jago dapat melihat di malam hari, bahkan mungkin lebih baik dari dirinya.

Mungkin karena itulah ibu Jago sampai membuang anaknya sendiri.

Tak lama kemudian mereka sampai di di bagian terdalam bangunan tersebut. Sebuah api unggun sudah menyala di tengah ruangan. Mimi dan Bilu duduk di dekat api tersebut.

Melihat kedatangan Kelam dan Jago, Bilu langsung berdiri dan menghambur ke arah Kelam. Kelam tertawa dan menggosokkan moncong ke tubuh anak bebek itu. “Kenapa, Lu? Sudah lapar?”

“Bilu sudah hampir menangis karena kalian tidak kunjung kembali,” Mimi yang menjawab seraya meregangkan tubuhnya yang putih berbintik tiga warna. Warna-warna yang tidak akan ditemukan di kucing lain; merah muda, ungu, dan biru.

“Tadi Kak Lam hampir kena hajar perempuan yang kami ambil barangnya,” Jago menghampiri api unggun dan duduk di dekatnya.

Bilu terkesiap mendengarnya. Pelukannya di moncong Kelam mengencang.

“Kak Lam tidak apa-apa?” tanya Mimi.

“Tidak apa-apa,” Kelam menyundul Bilu dengan moncong. “Ayo, duduk manis di dekat api unggun. Kalau tidak, kita tidak akan mulai makan.”

Bilu menurut dan duduk di samping Mimi. Kelam mengikuti seraya menarik kantung di mulutnya. Sesampainya di depan api unggun, Kelam mengamati adiknya satu-persatu, lalu menunduk mengamati onggokan plastik di kakinya.

Semoga hari ini kami bisa makan kenyang.

Kelam merobek kantung dengan cakarnya, dan menumpahkan isinya ke lantai. Beberapa barang menggelinding keluar.

Sebuah sosis dan sebutir tomat.

Tenggorokan Kelam tercekat. Hanya ini? Lalu ia ingat. Ketika ia menarik kantung itu sampai robek dari tangan si perempuan, pastilah sebagian isinya terjatuh. Yang tersisa hanya ini.

“Wah, makan besar!” tiba-tiba Jago berbicara.

“Iya. Hmm, sepertinya enak!” timpal Mimi.

Dada Kelam terasa perih. Makanan itu tidak cukup bagi mereka, namun adik-adiknya tetap menerimanya seakan itu adalah hidangan termewah di dunia. Bahkan Bilu kecil pun berusaha tampak senang.

Jago menggelindingkan tomat ke arahnya dan Bilu, lalu mulai makan. Mimi membelah sosis itu jadi dua dengan cakarnya, lalu menatap Kelam. “Ayo makan.”

Kelam menurut. Tak ada gunanya menyesal. Yang bisa ia lakukan adalah mencuri lebih banyak lagi makanan besok, agar kelaparan adik-adiknya hari ini bisa terpuaskan esok hari.

Selesai makan, Kelam berbaring di kain kusam yang merupakan tempat tidurnya dan mengawasi adik-adiknya bersiap tidur. Di pojok ruangan satu lagi, Mimi melingkarkan tubuhnya di sekeliling Bilu. Di sebelah Kelam, Jago sudah tertidur nyenyak.

Adik-adiknya. Tidak ada hubungan darah di antara mereka, namun sesuatu yang mengikat mereka jauh lebih kuat daripada itu. Mereka sama-sama anak yang dibuang orang tua atau pemilik masing-masing karena memiliki keanehan.

Jago dapat melihat dalam gelap. Mimi bisa mengubah warna bulunya sesuka hati. Sedangkan Bilu, entah kemampuan apa yang anak bebek itu sembunyikan. Yang tidak normal dari Bilu hanyalah paruhnya yang biru. Namun Kelam menduga, ada hal lain yang Bilu simpan dalam-dalam, karena sampai saat ini adiknya itu tak pernah berbicara. Kecuali ketika dulu Kelam menanyakan namanya, yang dijawab dengan satu bisikan lirih.

Bilu.

Mereka anak-anak terbuang. Tapi mereka bukan anak-anak jalanan. Jalanan tidak mencintai mereka. Mereka anak-anak malam. Hanya malam yang mencintai mereka. Melindungi mereka. Dan memberi mereka kekuatan yang tidak ada pada makhluk lain, hewan maupun manusia.

***

Kelam membuka mata. Sudah pagi, sinar matahari masuk dari sela-sela palang yang menutupi jendela.

Di sisinya, Jago masih tidur. Anak ayam itu meringkuk, seolah kedinginan. Kelam menyundulnya dengan moncong. “Pagi, Jag.”

Tubuh Jago bergetar, dan anak ayam itu menggumamkan sesuatu, namun tidak bangun. Kelam mulai merasa ada yang tidak beres. Ia kembali menyentuhkan moncong ke tubuh Jago. Panas, seperti membara.

“Jag, kamu kenapa?”

“Aku tidak apa-apa, Kak,” jawab Jago tanpa membuka mata. “Hanya masih mengantuk.”

“Kamu panas. Kamu sakit?”

“Tidak. Sudahlah, Kak. Biarkan aku tidur.”

Debaran di jantung Kelam bertambah keras. Segera ia memeriksa tubuh Jago. Ketika moncongnya menyentuh sayap kiri Jago, anak ayam itu mengaduh.

“Jag?”

“Sudahlah, Kak. Aku mau tidur!” Jago beringsut menjauh.

Kelam menahan tubuh adiknya dengan kaki kanan. Tanpa menghiraukan protes Jago, hati-hati Kelam menggunakan moncongnya untuk mengangkat sayap kiri adiknya.

Sebuah kain lusuh merosot jatuh dari balik sayap Jago. Di baliknya, sebuah luka menganga panjang, menggores tubuh adiknya.

“Kamu kenapa?” ingatan Kelam kembali ke malam kemarin. “Geng Garong melukaimu?”

“Bukan. Aku cuma terkena sesuatu waktu menabrak perempuan itu kemarin.”

“Cuma terkena sesuatu? Lukamu parah!”

“Aku tidak apa-apa,” sahut Jago. “Tenang saja, Kak. Aku cuma butuh tidur.”

“Ada apa?” terdengar suara di belakang Kelam. Anak anjing itu menoleh dan menatap Mimi. Bilu ada di sampingnya, memeluk anak kucing itu erat-erat.

Kelam tidak ingin membuat mereka khawatir, tapi tahu tak ada gunanya berbohong. “Kemarin Jag terluka, dan sekarang badannya panas.”

Wajah Mimi memucat. Di sampingnya, pelukan Bilu semakin kencang.

“Tidak apa-apa,” kata Kelam. “Aku akan ke dokter di kota. Akan kuminta ia datang ke sini mengobati Jago. Kalian jaga dia, ya.”

Dengan kata-kata itu Kelam bergegas pergi.

***

“Maaf, tidak bisa.”

Kelam memandangi dokter di hadapannya dengan ternganga. “Tapi, Dok, adikku terluka parah. Dan sekarang badannya panas. Dokter harus menolongnya!”

Dokter monyet itu menggaruk tangannya dengan resah. “Nak, aku bukannya tidak mau. Tapi aku tidak bisa memberikan pengobatan cuma-cuma. Sekarang saja aku sudah kesulitan membayar sewa tempat ini, obat-obatan, dan lain-lain. Tidak banyak pasien yang mau datang ke dokter binatang, tahu.”

“Tapi…” Kelam tak tahu harus berkata apa. Tapi kita sesama binatang! Jeritnya dalam hati. Seharusnya kita saling menolong!

Seakan membaca pikirannya, monyet itu berkata, “Kalau sekarang aku menolongmu secara cuma-cuma, akan semakin banyak pasien seperti kalian, yang minta diobati secara gratis. Kalau terus seperti itu, aku tidak akan punya uang untuk terus membuka praktek. Aku sungguh-sungguh prihatin atas kondisi adikmu, tapi maaf, aku tidak bisa membantumu.”

Kelam tidak tahu harus berkata apa. Hatinya terasa amat sakit ketika meninggalkan tempat itu.

Di dunia di mana manusia berkuasa dan binatang dipandang rendah, anak-anak binatang yang terbuang hanya akan menempati posisi yang paling rendah di masyarakat.

Apalagi anak-anak hewan yang tidak normal seperti ia dan adik-adiknya.

***

Tiga hari berlalu, dan kondisi Jago tidak juga membaik. Lukanya mulai bernanah, demamnya makin meninggi. Dan malam ini Jago mulai mengigau karena panas tinggi.

Kelam langsung mengambil keputusan. Ia akan mencuri obat dari tempat seorang dokter manusia. Bukan dari tempat dokter monyet kemarin. Sejahat-jahatnya dokter monyet itu, Kelam tidak ingin menyusahkan sesama binatang.

Ketika memberi tahu Mimi dan Bilu untuk menjaga Jago, Mimi malah menggeleng. “Biar Bilu yang menjaga Jago. Aku ikut denganmu.”

“Tidak. Biar aku sendiri yang pergi,” Kelam tidak ingin lagi membahayakan adik-adiknya. Kalau Mimi sampai terluka seperti Jago, ia tidak akan tahu harus bagaimana.

Namun Mimi bersikeras. “Kamu tidak mungkin melakukannya sendirian. Kemungkinan kita berhasil akan lebih besar kalau aku membantumu.”

Kelam akan kembali menolak, namun Mimi sudah berkata pada Bilu, “Lu, jaga Jago, ya. Aku dan Kak Lam pasti akan membawakan obat untuknya.”

Bilu menatap Mimi sesaat. Kemudian pandangan anak bebek itu mengeras, dan ia menggeleng. Sayapnya menunjuk Mimi dan Kelam bergantian, menandakan ia juga ingin ikut.

“Siapa yang akan menjaga Jago kalau kamu juga ikut?” tanya Mimi lembut. “Kami percayakan Jago padamu. Jaga ia baik-baik, ya.”

Bilu tampak masih akan memprotes. Namun akhirnya ia tertunduk dan mengangguk.

Kelam mendekatinya, menggosokkan moncong ke tubuh adiknya dan menjilatnya. “Kami pergi dulu.”

***

Awan mendung memenuhi langit, membuat segalanya menjadi bertambah gelap. Kelam dan Mimi merunduk di bawah jendela yang terpasang di bangunan tempat seorang dokter manusia berpraktek. Di depan jendela ada sedikit dinding mendatar yang menjorok keluar. Kelam bisa melompat ke sana dan masuk ke dalam ruangan melalui jendela. Masalahnya jendela itu tertutup, dan seberkas cahaya lampu memancar dari balik jendela itu. Dokter manusia itu belum tidur, masih bekerja.

“Kita harus mengalihkan perhatian dokter itu dan membuka jendelanya supaya bisa masuk,” bisik Kelam. Tapi bagaimana caranya?

Mimi memandangi jendela itu sejenak. Malam ini ia mengubah bulunya menjadi berwarna hitam, segelap milik Kelam. “Aku yang akan mengalihkan perhatiannya.”

“Jangan, Mi. Bahaya! Aku saja!”

“Tidak apa-apa, Kak. Aku bisa melakukannya. Percayalah pada adik-adikmu.”

Sebelum Kelam sempat menahan Mimi, anak kucing itu sudah melompat ke atas dinding mendatar tersebut. Kemudian Mimi mulai mencakari jendela, berusaha menarik perhatian si dokter.

Terdengar suara kursi bergeser dari dalam ruangan. Sepertinya si dokter sudah menyadari kehadiran Mimi. Saat itulah adiknya itu mulai mengubah warna bulunya. Mulanya coklat bergaris. Kuning muda. Lalu hijau terang bercampur oranye. Terakhir tiga warna kesukaannya, merah muda, ungu, dan biru.

Terdengar langkah kaki berlari dan beberapa detik kemudian jendela menjeblak terbuka, namun Mimi sudah melompat menjauh. Sebuah kepala manusia melongok keluar, sejenak mencari-cari ke sekeliling. Kemudian mata manusia itu tertumbuk pada Mimi yang berada di jalanan di bawah, dan kepala itu menghilang, diikuti langkah-langkah berlari menjauh.

Dari tempatnya merunduk, Kelam dapat melihat Mimi mengangguk, sebelum melesat pergi. Tak lama kemudian si dokter menghambur keluar dari bangunan dan mengejar anak kucing itu.

Ingin rasanya Kelam ikut mengejar Mimi dan melindungi adiknya itu, tapi ia tahu ia harus melakukan hal lain. Ia tidak boleh menyia-nyiakan kesempatan yang Mimi buat.

Kelam melompat dan memasuki bangunan itu lewat jendela. Di dalam, bau-bauan menyengat menusuk hidung Kelam. Sebuah meja terletak persis di depan jendela. Dan di belakangnya, lemari-lemari kaca memenuhi dinding ruangan, rak-raknya penuh berisi botol dan tabung.

Kelam langsung memeriksa isi rak-rak tersebut. Beberapa rak di atas sana terlalu tinggi baginya, membuat anak anjing itu terpaksa memeriksa rak-rak terbawah saja. Setiap botol dan tabung di sana diberi label tulisan, namun Kelam tidak bisa membacanya. Yang mana yang merupakan obat luka? Kelam sama sekali tidak tahu. Apa ia ambil saja sembarangan?

Tiba-tiba pintu ruangan terhempas membuka, dan si dokter manusia sudah berdiri di sana. “Aku tahu ada yang tidak beres dengan cara kucing tadi menarik perhatianku. Ternyata itu cuma pengalih perhatian. Dasar pencuri!”

Jantung Kelam seperti dicengkeram sesuatu. Kenapa dokter ini bisa secepat itu kembali ke sini? Apa terjadi sesuatu pada Mimi?

Sebelum Kelam sempat memikirkan hal lain, dokter manusia itu sudah meraih sesuatu dari samping lemari dan mengayunkannya ke arah Kelam. Anak anjing itu refleks melompat ke samping, dan benda itu – yang ternyata adalah sapu – menghantam lemari kaca dan menghancurkannya. Pecahan kaca berhamburan, dan beberapa botol obat terjatuh ke lantai.

Sumpah serapah terdengar dari si dokter. “Kubunuh kau!” serunya seraya kembali mengayunkan sapu.

Tiba-tiba sesuatu menabrak si dokter, mencakari wajahnya. Mimi! Anak kucing itu menancapkan cakarnya dalam-dalam, membuat manusia itu menjerit kesakitan.

“Cepat, Kak, ambil obatnya!” seru Mimi.

Sebelum Kelam sempat bergerak, dokter itu telah merenggut Mimi dari wajahnya dan melemparkan adiknya itu ke dinding ruangan. Tubuh Mimi terbanting keras ke lantai dan tidak bergerak.

“Mimi!” Kelam merangsek ke arah adiknya, namun sesuatu menghantam tubuhnya, membuatnya terpental dan menabrak sesuatu yang lain. Sekujur tubuhnya terasa sakit dan kepalanya teramat pusing, namun Kelam memaksa diri membuka mata.

Dokter manusia itu sedang memukuli tubuh Mimi yang sudah tidak bergerak dengan sapu. Setiap ayunannya diiringi caci maki. “Hewan laknat!” Sapu itu kembali terayun. “Pencuri! Makhluk kurang ajar! Matilah kalian semua!”

“Hentikan!” seru Kelam. Ia ingin menyerang si dokter, namun badannya tidak mau bergerak. “Hentikan!”

Tiba-tiba terdengar sebuah seruan, “Kakak!”

Kelam menoleh dan melihat si pemilik suara. Bilu? Kenapa ia ada di sini? Apa adiknya itu membuntutinya dan Mimi?

“Bilu, pergi! Cepat!” seru Kelam. Namun terlambat. Si dokter sudah menyadari kehadiran Bilu. Manusia itu berbalik dan mengangkat sapunya tinggi-tinggi.

Saat itulah Bilu membuka paruhnya dan mulai bersuara.

Awalnya suara itu terdengar seperti suara bebek lain. Namun semakin lama semakin keras, sampai akhirnya memekakkan telinga.

Kweeek. Keeek. Kaaak. KAAAAKKK!!!

Kelam melipat telinganya dan merintih. Suara Bilu menusuk-nusuk kupingnya, membuatnya sakit. Di sebelahnya, Kelam bisa mendengar dokter itu juga melolong kesakitan. Manusia itu berlutut di lantai, memegangi telinganya.

Kelam memaksa tubuhnya bangkit dan tertatih ke arah Mimi. Adiknya itu tak bergerak sama sekali walaupun Kelam menjilatinya. Kemudian Kelam menempelkan moncongnya ke tubuh Mimi.

Sama sekali tidak ada detak jantung. Mimi sudah tiada.

Kesedihan mengguncang Kelam, membuatnya ingin menjerit. Namun sesuatu memeluk kakinya, membuatnya menoleh.

Bilu sudah ada di sampingnya, terlihat amat pucat. Tubuh anak bebek itu mulai gemetar.

Kesedihan kembali menerpanya, namun Kelam tahu ia belum bisa berduka. Ia harus membawa Bilu keluar dari sini. Juga masih ada Jago yang menanti di rumah.

Dokter manusia itu masih mengerang-erang kesakitan ketika Kelam menyuruh Bilu mengambil sebotol obat yang isinya berwarna merah, yang mudah-mudahan adalah obat luka. Kemudian, dengan menahan sakit di hati, Kelam menggigit belakang leher Mimi dan membawa tubuh adiknya itu keluar, menghilang ke dalam kegelapan malam bersama Bilu.

***

Mata Kelam terasa amat panas, tapi ia menahan diri tidak menangis. Di sampingnya, Bilu berjalan sambil memeluk botol obat. Wajah adiknya itu amat pucat, dan napasnya terdengar tersengal-sengal.

Pintu ke rumah mereka menjulang di langit malam. Kelam baru akan memasuki lubang di ujung daun pintu ketika ia menyadari ada sesuatu yang aneh.

Daun pintu itu terbuka. Dan sebuah benda teronggok di dekatnya.

Napas Kelam tertahan di tenggorokan. Benda itu Jago, terbaring miring di jalan.

Anak anjing itu buru-buru menurunkan tubuh Mimi dan mendatangi Jago. “Jag, ada apa?” kesedihan dan ketakutan membuat suaranya meninggi, apalagi ketika dilihatnya bekas-bekas pukulan di tubuh Jago. “Kamu kenapa?”

Sesaat anak ayam itu terlihat tak bergerak. Namun kemudian ia membuka mata. “Geng Garong…” bisik Jago. “Mereka datang… dan…”

Hening. “Dan apa, Jag?” tanya Kelam, kemudian merasakan tubuhnya membeku. Jago tidak bergerak lagi. Mata anak ayam itu terpejam rapat. Sama seperti Mimi.

“Jag? Hei, Jag?” Kelam menggoyangkan tubuh adiknya dengan moncong. Namun percuma. Jago benar-benar tidak bergerak lagi.

Duka kembali menghantam tubuh Kelam. Tidak mungkin. Ini tidak mungkin, kan?

Mendadak terdengar suara sesuatu membentur jalan, dan suara langkah berlari. Kelam menoleh tepat pada waktunya untuk melihat tubuh Bilu menghilang ke balik daun pintu.

“Bilu!” Kelam langsung mengejar. “Jangan masuk! Geng Garong mungkin masih di dalam!” Namun percuma. Adiknya itu berlari amat cepat, tak terkejar.

Kelam menghambur ke dalam ruangan yang menjadi rumahnya dan adik-adiknya, dan berhenti. Di hadapannya berdiri Bilu, membelakanginya. Dan di hadapan adiknya itu tampak Geng Garong. Mengelilingi api unggun milik Kelam dan adik-adiknya. Berbaring di tempat tidur mereka. Bersantai-santai di rumah mereka.

Garong, si ketua geng, bangkit dari posisi berbaringnya. “Masih ada binatang lain ternyata. Kalian semua akan ku – “

Perkataannya tak pernah selesai, karena saat itu Bilu sudah menjerit.

KAAAAAAAAAKKKKKKKK!!!

Jerit kesakitan terdengar di mana-mana. Sekali lagi Kelam merunduk, menutupi telinganya. Namun percuma, suara itu menusuk langsung ke dalam kepalanya.

Jeritan Bilu terdengar semakin meninggi, seolah-olah ingin meneriakkan segenap kesedihannya. Terdengar bunyi kaca pecah di sana-sini. Semua suara itu bercampur dengan teriakan geng Garong, rintihan Kelam, teraduk jadi satu.

Dan mendadak jeritan itu terhenti.

Kelam mengangkat wajah. Bilu masih berdiri, wajahnya sebiru paruhnya. Kemudian adiknya itu terhuyung, dan terjatuh ke lantai.

“Bilu!” Kelam menyeret tubuhnya ke arah anak bebek itu. Anak anjing itu menjilati tubuh adiknya, menyundulnya dengan moncong, namun Bilu tetap terbaring diam, tak bergerak. Seperti Jago. Seperti Mimi.

Sesuatu terasa meledak di hati Kelam. Kenapa jadi begini? Kenapa bisa jadi begini?!

“Ukh, sialan,” terdengar suara Garong, diikuti gumaman dan geraman serupa dari anak buahnya. “Apa itu tadi? Kupingku sa – “

Kelam tidak mendengar lanjutannya karena saat itu kemarahan sudah menutup hatinya. Membuatnya menyerahkan diri pada kemampuannya. Kemampuan yang dulu membuat tuannya membuangnya.

Ia dapat merasakan tubuhnya berubah, membesar. Bulu-bulunya bertambah lebat. Tulangnya berderak-derak menyakitkan. Kelam membuka moncong dan geraman nyaring terdengar dari dalam tenggorokannya.

“Apa itu?” terdengar seruan seseorang.

“Itu… monster! Dia berubah jadi monster!”

“Awas!” terdengar seruan Garong. “Dia – “

Kelam melompat dan menabrak anak jalanan terdekat. Moncongnya mengatup di leher anak itu dan mencabiknya kuat-kuat.

Kekacauan pun terjadi. Teriakan kesakitan memenuhi ruangan. Sumpah serapah. Langkah-langkah berlari ke sana-sini. Kelam tidak menghiraukan semua itu. Yang ada di kepalanya hanyalah keinginan untuk menyerang. Untuk menerjang. Mencakar. Menggigit. Mencabik.

Bunuh. Bunuh. Bunuh!

Tiba-tiba sesuatu menusuk tubuhnya. Rasa sakit menyerangnya, namun Kelam tidak memedulikannya. Ia terus menyerbu. Kemudian sesuatu yang lain menusuk tubuhnya. Lagi. Dan lagi. Dan lagi. Sampai akhirnya rasa sakit itu menjadi teramat sangat dan melumpuhkan tubuh Kelam.

Kelam terbaring, tak mampu lagi bergerak. Rasa sakit melanda seluruh badannya, namun itu tidak sebanding dengan perih yang ia rasakan di hati karena kehilangan Mimi, Jago, dan Bilu. Tidak sebanding dengan sakit hatinya kepada masyarakat yang menutup mata dari anak-anak jalanan seperti dirinya.

Tiba-tiba sebuah kesadaran menghampirinya. Bukan, ia dan adik-adiknya bukanlah anak jalanan. Mereka adalah anak-anak malam. Dan kini Kelam merasakan malam memeluknya, menghilangkan sakitnya, dan membawanya pergi. Ke tempat adik-adiknya berada. Dan Kelam tahu mereka akan berkumpul lagi, bersama malam yang mencintai mereka.

Selamanya.

***

Terinspirasi dari Children Of The Night oleh Richard Max

We are the children of the night
We won’t go down without a fight
Our voice is strong, our future’s bright
And thanks to what we learned from you
We’ve grown into the children of the night

Category(s): Lomba Cerbul Kastil Fantasi

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

 

You may use these HTML tags and attributes: <a href="" title=""> <abbr title=""> <acronym title=""> <b> <blockquote cite=""> <cite> <code> <del datetime=""> <em> <i> <q cite=""> <s> <strike> <strong>