Butiran air hujan memukuli kaca depan mobil, menciptakan cipratan-cipratan bundar seolah puluhan anak kecil di langit iseng melempari kendaraan dengan balon air. Reinald menyilangkan kedua lengan di dada dan menatap pemandangan yang berlalu di luar jendela. Kota macam apa ini? Sudah seminggu ia berada di sini, dan tak pernah sekalipun ia melihat matahari. Cuaca terbaik yang ia temui adalah hari mendung berawan berat dengan angin beku yang menampar wajah. Kalau ada orang yang berkata Bandung sudah tak lagi dingin, orang itu pasti blasteran beruang kutub dan pinguin.
Pepohonan rindang dan perumahan mewah bertingkat berlari di samping mobil. Tak ada seorang pun yang berdiri di pinggir jalan. Seorang pengendara sepeda motor menyalip mobil dan melaju kencang meninggalkannya, mengirimkan semprotan air kotor tinggi ke udara untuk bersatu dengan aliran hujan di kaca depan. Kurang ajar.
“Ini di mana?” tanya pemuda itu.
Orang yang duduk di belakang kemudi melirik Reinald sekilas melalui kaca spion sebelum kembali memperhatikan jalan. “Ini jalan Setrasari, Pak Reinald. Sebentar lagi kita sampai.”
“Rei, Pak Dono. Sudah berkali-kali aku katakan, kan? Panggil Rei saja, tidak usah pakai nama panjang, apalagi pakai ’pak’ segala. Kedengarannya aku jadi tua sekali.”
“Ya, Pak Reinald.”
”Kalau Pak Dono masih memanggilku begitu, nanti aku panggil Pak Dono jadi Mbah, lho.”
”Terserah Pak Reinald.”
Rei menghembuskan napas keras-keras. Sudah berpuluh tahun Pak Dono bekerja pada keluarganya, dan semenjak pemuda itu lahir sampai sekarang, Pak Dono selalu memanggilnya Pak Reinald. Tidak peduli seberapa banyak Rei memprotesnya, di kamus Pak Dono cuma ada satu, Pak Reinald. Bahkan tidak juga Pak Rei.
Mobil berbelok ke kiri dan Reinald melihat gedung-gedung persegi berdiri di ujung tanjakan. Tidak sesuai namanya, Setrasari Mall hanyalah sekumpulan ruko yang saling berdempet satu sama lain, seolah-olah merunduk bersama untuk menghindari hujan. Mobil sampai di depan deretan bangunan tersebut dan pemuda itu mengamati toko-toko yang lewat di hadapannya. Toko bunga. Toko suvenir dan kado. Toko motor gede.
Akhirnya mereka berhenti di depan sebuah ruko. Dindingnya ditutupi keramik hitam mengkilap. Jendela hitam gelap menghalangi orang yang ada di luar untuk mengintip isi toko. Sebuah papan nama tergantung tinggi di atasnya, bertuliskan kata Masquerade, basah kuyup diterpa hujan.
”Di sini?” tanya Reinald.
”Iya.”
Pak Dono melepas sabuk pengaman dan bersiap keluar dari mobil, namun Rei mendahuluinya. Pemuda itu membuka pintu seraya berkata, “Pak Dono tunggu di sini, ya!” kemudian menghambur ke emperan toko dan menyerbu masuk.
Sebuah bel berdenting mengumumkan kedatangannya. Harum apel memenuhi udara, wangi dan manis menggelitiki hidung. Hawa dari pendingin ruangan menerpa Reinald, menggigitnya dengan rasa beku yang diperparah baju yang basah. Pemuda itu menggigil sejenak, lalu buru-buru menyeka butiran air yang membasahi lengan dan rambutnya.
Berderet-deret baju memenuhi ruko tersebut. Salah, bukan baju. Kostum tepatnya; berbagai macam bentuk dan warna, seperti barisan pelangi patah-patah yang tersusun rapi. Rei menangkap sepotong ujung kostum perawat mencuat dari sela-sela deretan kain. Motif kulit macan yang hanya mungkin berasal dari celana Tarzan. Selarik kain tipis halus biru terawang yang mungkin berasal dari seragam ibu peri.
Di sisi kanan toko berdiri stan-stan besi tempat topi, topeng, dan berbagai aksesoris lainnya tergantung. Satu stan terisi penuh dengan topeng-topeng horor dari lateks, ada yang pipinya dipenuhi ulat, ada yang mulutnya penuh darah, ada yang sepucat hantu. Sisi lain toko dipenuhi oleh pentungan polisi, tongkat penyihir, sapu terbang, dan seribu satu macam hal ajaib lainnya.
Seorang wanita menghampiri Rei dari balik meja kasir. Berumur sekitar dua puluhan akhir, rambutnya yang bergelombang dicat merah menyala, membingkai wajah tirus pualam yang dipoles sempurna. “Selamat datang. Ada yang bisa saya bantu?”
Reinald mengembangkan senyum terbaiknya, dan sempat mendapati wajah wanita itu memerah sedikit karenanya. ”Mau pinjam kostum, Mbak.”
“Untuk dipakai ke acara apa, Kak? Mungkin saya bisa bantu memberikan rekomendasi?”
“Ulang tahun teman. Sekaligus pesta kostum Halloween juga, soalnya tanggalnya barengan.”
Wanita itu tersenyum semakin lebar. “Kami punya berbagai macam kostum di sini, mulai dari baju adat sampai kostum dari film. Di sini Kakak bisa mendapatkan koleksi kostum unik yang tidak ada di toko-toko lain.”
”Contohnya bagaimana, Mbak?”
”Yang paling populer sekarang ini make-up vampir,” wanita itu melenggang ke salah satu etalase kaca, membukanya, dan mengeluarkan beberapa barang. ”Make-up glitter ini bisa membuat tubuh terlihat berkilau.”
Rei ternganga. “Maksudnya?”
Wanita berwajah oriental tersebut memberikan sebuah wadah bulat kecil bertutup pada pemuda itu. “Bercahaya begitu, Kak, seperti ada berlian yang melapisi kulit kita. Seperti di film vampir yang terkenal itu, lho. Bisa digunakan bersama baju biasa, jadi tidak repot harus menyewa kostum lagi. Kami juga menyediakan taring palsu dan lensa kontak warna emas atau merah, tergantung pilihan.”
Reinald memandangi alat kosmetik itu, mencoba membayangkan tampangnya jika menggunakan make-up tersebut, dan langsung bergidik akibatnya. “Tidak deh, Mbak. Membayangkannya saja aku sudah gatal-gatal duluan.”
Wanita itu tersenyum mendengarnya. ”Kostum lain yang juga banyak dipinjam itu kostum werewolf dan elf. Lengkap dengan bulu tiruan, atau kuping panjangnya. Saya yakin Kakak pasti sangat keren memakainya.”
Werewolf dan elf? ”Ada yang lebih unik tidak, Mbak?” pemuda itu mengembalikan make-up tadi. “Tadi kata Mbak toko ini punya kostum spesial yang tidak ada di tempat lain.”
Senyum yang tak pernah meninggalkan bibir merah itu kembali melebar. ”Oh ya, itu memang benar! Kami memang punya kostum spesial yang pastinya tidak disediakan di toko lain. Mari, Kak, saya tunjukkan.”
”Panggil Reinald saja,” pemuda itu tersenyum lagi. ”Rei juga boleh, kok.”
Wajah wanita itu kembali memerah dan ia tertawa gugup. ”Baiklah, Reinald.”
”Dan mbak ini…”
”Tina. Saya Tina.”
”Mbak Tina, tolong tunjukkan kostum spesialnya, ya?”
”Oh, ya! Silakan ke sini!” dengan antusias wanita itu menunjukkan jalan. Rei mengikutinya, menyusuri tangga yang terletak di bagian samping ruko.
Begitu menginjakkan kaki di lantai dua, Reinald segera menyadari adanya perbedaan yang amat mencolok dengan kostum-kostum di lantai bawah. Dua buah manekin menyambutnya, yang sebelah kiri mengenakan baju besi, baju besi betulan, yang berkilauan terkena cahaya masuk dari jendela-jendela lebar di sisi kanan toko. Yang sebelah kanan memamerkan jubah megah yang hanya mungkin berasal dari impian terliar tentang seragam kebesaran seorang penyihir; merah dan hitam, berkerah tinggi, terhampar sampai ke lantai, berkancing rumit, serta bersulam benang-benang emas.
Manekin-manekin lain berjajar di belakang kedua boneka peraga tadi, masing-masing mengenakan kostum aneh yang belum pernah pemuda itu lihat sebelumnya. Sementara dinding toko dipenuhi berbagai macam senjata. Pedang melengkung yang pastinya bukan berasal dari Arab, karena memiliki bilah sehitam arang. Pedang dua tangan bertatahkan batu pertama yang berkilau seperti asli. Busur raksasa yang terbuat dari kayu putih dengan tali busur setipis benang laba-laba. Kapak bermata dua yang tampak seperti bulan dibelah. Tongkat panjang dengan ujung berhiaskan batu-batu permata warna-warni yang berkilauan, dan masih banyak lagi.
Sebuah perasaan mendadak menyelinap ke dalam hati Reinald. Dulu, sewaktu masih kecil, ayahnya pernah membawanya melihat koleksi miniatur kereta antik milik kakeknya. Miniatur tersebut dibuat dalam bentuk sebuah kota kecil, lengkap dengan bukit hijau dan pohon-pohonnya, perumahan dan bangunan-bangunan, serta orang-orang mini yang menghuninya. Kereta antik itu berlari di atas rel yang melintasi kota dan bukit-bukit tersebut, berputar tiada henti.
Saat itu Rei merasakan kegirangan yang amat sangat, sekaligus ingin tahu tak tertahankan. Membuatnya memandangi miniatur kereta tersebut berjam-jam tanpa bosan. Sampai-sampai ayahnya terpaksa menyeretnya pulang, kalau tidak ia akan terus terpaku di sana.
Sekarang, perasaan yang sama kembali melandanya. Perasaan yang sudah lama sekali tidak ia alami. Ia jadi merasa seperti anak kecil lagi.
“Silakan dilihat-lihat,” kata Tina. “Koleksi spesial kami ini cukup beragam, dan pastinya hanya satu-satunya di Bandung. Bahkan satu-satunya di Indonesia.”
Rei mendekati baju besi berwarna perak di hadapannya. Perlahan pemuda itu mengulurkan jari dan mengelusnya. Logam itu terasa halus dan dingin di indra perabanya. Bahan apa ini? Besi? Baja? Aluminium?
Sebuah lagu terdengar memenuhi ruangan. Tina mengeluarkan ponsel, menatap layarnya, dan mengernyitkan dahi. ”Aduh, maaf ya, Reinald,” katanya seraya menatap pemuda itu. ”Ini salah satu costumer saya. Sepertinya akan panjang urusannya. Tidak apa-apa kan, kalau kamu ditemani pegawai saya dulu?”
Rei mengangguk, dan Tina berseru, ”Nadine, bisa tolong ke sini sebentar?”
Seorang gadis lain keluar dari pintu yang terpasang di ujung ruangan. Berbeda dengan Tina, Nadine mungkin seusia dengan Reinald. Ia memiliki tubuh berlekuk, dengan dada penuh yang menonjol dari balik kaus turtleneck hitam lengan panjang, dan pinggul bulat yang terbungkus celana jins hitam. Rambut hitamnya yang lurus diikat dengan karet yang juga berwarna hitam. Semua warna hitam itu membuat kulit putihnya terlihat lebih pucat. Wajahnya sebenarnya cukup cantik, walaupun polos tanpa make-up. Sayang gadis itu tidak menyunggingkan seulas senyum pun, dan mata hitam bulatnya memandang Reinald tanpa ekspresi.
“Tolong temani Reinald melihat-lihat, ya,” kata Tina. Sebelum Nadine menjawab, wanita itu sudah mengangkat telepon seraya melangkah cepat ke arah tangga. “Ya, halo?” Setengah berlari Tina menuruni undak-undakan dan menghilang.
Rei memalingkan wajah ke arah Nadine. Gadis itu menatapnya dan berkata, “Silakan dilihat-lihat dulu.”
Pemuda itu menyunggingkan senyum mautnya, namun di luar dugaan, raut wajah Nadine tak berubah. Gadis itu hanya berkedip sekali, tetapi kemudian terus memandangnya tanpa ekspresi, tak terpengaruh oleh senyumannya.
He? Apa-apaan cewek ini? Secara naluriah Reinald ingin cepat-cepat menarik kembali sudut mulutnya yang terangkat, namun pemuda itu menahannya. Baru kali ini ada gadis yang tidak mempan oleh senyumannya. Apa Nadine memang tak terpengaruh, atau sebenarnya hanya menyembunyikan reaksinya? Ah, yang manapun, rasa ingin tahu pemuda itu mendadak tergugah.
Nadine masih menatapnya dalam kebisuan, dan Rei memutuskan untuk memancing gadis itu agar bereaksi. Pemuda itu kembali menyentuh pakaian pelindung di hadapannya. “Ini baju besi betulan?” tanyanya pada Nadine.
“Itu replika baju besi yang pernah dipakai seorang penyihir,” jawab gadis itu. “Seorang prajurit suci yang berjuang demi kebenaran dan keadilan. Aslinya baju besi ini ditempa dari logam yang tidak ada di bumi, tapi untuk replikanya, ini hanya aluminium biasa. Sangat ringan, cocok dipakai untuk cosplay, pesta kostum, atau halloween. Kakak pasti cocok memakainya.”
Reinald terpana sesaat mendengar penjelasan tersebut. “Baju besi yang dipakai penyihir? Serius?”
Nadine tidak mengangguk, namun juga tidak menggeleng. Gadis itu hanya terus memandanginya tanpa mengucap sepatah kata pun, namun raut wajahnya yang tak berubah menunjukkan bahwa ia tidak sedang bercanda.
Pemuda itu jadi tidak tahu harus berkata apa. “Penjelasannya aneh sekali, walaupun keren juga. Coba kutebak. Dari game?”
Sebuah ekspresi berkelebat di mata gadis, namun terlalu cepat sehingga Reinald tak sempat menangkapnya. Nadine menggeleng dan menjawab datar, “Memang seperti itu kisah di balik baju besi tersebut.”
“Oh, begitu?” Prajurit suci yang berjuang demi kebenaran dan keadilan? Yeah, right. Pasti hanya karangan supaya orang tergugah untuk menyewa kostum ini. Tapi harus diakui, idenya kreatif juga. “Boleh kucoba?”
Nadine mengangguk, dan melepaskan sarung tangan logam yang sebelah kanan dari manekin. “Silakan,” gadis itu mengulurkan bagian kostum tersebut dengan cara aneh. Meletakkannya secara horizontal di atas kedua telapaknya sebelum meluruskan lengan ke arah pemuda itu. Seperti menyerahkan sesuatu dalam sebuah ritual upacara.
”Terima kasih,” Rei mencoba tersenyum, namun gadis itu masih tak bereaksi melihatnya. Ada apa sih dengan cewek ini? Kenapa dia sebegini dinginnya? Seperti… cewek es saja.
Cewek es di kota beku. Pas sekali.
Seraya menghela napas dalam hati, pemuda itu mengenakan sarung tangan tersebut. Kostum logam tersebut muat di telapak tangannya, dan seperti kata Nadine, lebih ringan dari yang terlihat.
Reinald mengepalkan tangan dan membukanya berulang kali. Sarung tangan itu didesain sangat bagus, bahan logamnya tidak mengganggu pergerakan sama sekali. Pemuda itu memperhatikan bayangannya di cermin yang terpasang di dekat sana. Hm, bagus juga. Apa ia sewa saja baju besi ini?
Mendadak pemuda itu tertegun. Dari cermin, ia dapat menangkap pandangan Nadine. Gadis itu sedang menatapnya dengan air muka penuh emosi. Berbagai ekspresi berkelebat di sana; pedih, kesal, rindu, sesal, marah, tercampur-campur seperti kaleidoskop yang berputar.
Kemudian gadis itu menyadari tatapannya, dan seketika itu juga wajahnya kembali mulus seperti patung. Seolah ekspresi yang tadi melintas di sana tak pernah ada.
Apa itu tadi? Gadis es tersebut menunjukkan emosi? Rei menatapnya dalam-dalam, namun wajah Nadine bergeming. Gadis itu balas memandangnya dan berucap, ”Bagus. Pas sekali untuk Kakak.”
”Ha?” pemuda itu terpana, dan baru menyadari bahwa yang dimaksud gadis itu adalah sarung tangan yang ia pakai. ”Oh, ini? Bagus?” pemuda itu membuka dan menutup kepalan lagi. Mendadak sebuah ide terlintas di kepalanya.
Reinald mengulurkan tangan ke arah gadis itu. ”Kenalan dong. Aku Rei.”
Sejenak Nadine melongo. Topeng datarnya lenyap seketika.
”Jangan kaget begitu, dong,” pemuda itu menyeringai. ”Aku hanya mau mencoba sarung tangan ini. Nanti kan aku mau pakai kostum ini ke pesta. Jadi pura-puranya kita sedang berkenalan, begitu.”
Sesaat gadis itu masih ragu. Namun kemudian ia menyambut tangan Reinald, walaupun masih terlihat segan.
Pemuda itu serta-merta memanfaatkan kesempatan tersebut dan menggenggam tangan Nadine, tak membiarkan gadis itu menariknya lepas. ”Namanya siapa, Mbak?”
Gadis itu memelototinya. ”Pura-pura berkenalan, kan?” Rei mengingatkan.
Rona merah mulai membayang di pipi gadis itu. ”Na…” akhirnya ia bersuara. ”Nadine…”
”Halo, Nadine,” Rei tersenyum. ”Apa kabar? Besok malam ada acara, tidak?”
Wajah gadis itu memerah seluruhnya. ”A – a…” ia terbata-bata. ”Tolong lepaskan.”
”Oh! Maaf, ya,” akhirnya pemuda itu melepaskan genggaman, dan Nadine langsung menarik tangannya, seperti habis terkena air panas. Mata gadis itu memancarkan kekesalan, namun Reinald tidak menggubrisnya. Ia senang sekali karena akhirnya Nadine menunjukkan perubahan raut wajah juga. Tadinya ia sempat mengira gadis es itu tak punya kemampuan berekspresi.
Nadine masih menatapnya dengan pandangan menusuk, namun Rei tidak menghiraukannya dengan mengamati baju besi di hadapannya, mencoba membayangkan seperti apa penampilannya jika mengenakan kostum tersebut. Secara umum, pakaian pelindung itu tampak sama saja dengan baju besi biasa lain yang ia tahu. Namun ada beberapa hal yang tampak berbeda. Pertama, sehelai jubah menutupi baju besi itu, panjangnya kira-kira mencapai lutut, berwarna putih bersih seperti kapas. Berikutnya, kedua bagian lengan baju besi itu dihiasi lukisan abstrak mulai dari bahu sampai ke ujung jarinya. Rei menyapukan jari di permukaan lukisan itu dan menemukan alur tak rata di sana. Bentuk-bentuk ramping asing itu diukir sangat indah dan teliti di bahan metal tersebut.
“Ukiran apa ini?”
“Itu isy.”
“Apa?”
“I-S-H,” jelas Nadine. Nada suara gadis itu telah kembali datar. “Secara sederhana, ish itu sihir yang dituliskan. Atau bisa juga tulisan berkekuatan sihir. Dengan menuliskan ish perlindungan, dikisahkan seorang penyihir sanggup menahan serangan senjata apa pun.”
Reinald teringat lagi penjelasan aneh yang tadi diberikan Nadine mengenai baju besi tersebut. Jadi masih ada lanjutannya, ya? Lengkap sekali. “Lalu, tulisan apa ini?”
Mata Nadine menelusuri ukiran tersebut, dan bibirnya mengucap:
”Tir te perenna lo Lanthe, ava du te jenna mir siegha ru nin kuei lo tarn.
“Atas nama Cahaya, berkati kami dengan perlindungan dari mara bahaya.”
Rei terpaku. Untuk sesaat, ia merasa yakin ucapan Nadine tadi bergema memenuhi ruangan, walaupun ruko ini tidak mungkin dapat menghasilkan gaung sedikit pun. Ah, pasti hanya perasaannya saja. “Tidak mungkin kan kamu benar-benar membaca ukiran itu?” tanya pemuda itu setengah bercanda.
Nadine tak menyahut, hanya menunjuk dengan jari. Baru saat itu Reinald menyadari kehadiran secarik kartu kecil yang ditancapkan ke bagian leher manekin dengan kawat besi. Pemuda itu menjulurkan leher dan membaca huruf-huruf rapi yang tercetak di sana:
Rei memandangi sekelilingnya. Ternyata setiap manekin di sana memiliki secarik kartu kecil di lehernya. Kostum-kostum yang menjuntai dari gantungan baju juga memiliki kartu yang sama di lengannya. Bahkan juga perangkat yang tergantung di dinding.
“Ya ampun. Kupikir kamu bisa membaca tulisan aneh itu!” Rei menyeringai untuk menutupi rasa malu yang muncul. Yang benar saja, bisa-bisanya ia berpikir kalau penjelasan gadis itu benar adanya. Baju besi itu kan hanya kostum. Cerita yang dikisahkan gadis itu pasti hanya karangan agar pakaian pelindung itu terlihat unik.
Nadine masih memandanginya tanpa berekspresi. Namun mata gadis itu seakan menyiratkan sesuatu.
Pemuda itu kembali menekuri baju besi tersebut. Kostum itu memang bagus sekali, namun ia tak jadi ingin meminjamnya. Rasanya tidak sesuai dengan kesan yang ingin ia tampilkan. Mungkin ia harus mencoba kostum lain.
Matanya tertumbuk pada baju merah di sebelah pakaian pelindung tersebut. Nah, ini dia. Rasanya kostum tersebut lebih sesuai dengan dirinya. Dari awal pakaian itu memang sudah menarik perhatian. Merah, hitam, dan emas. Mencolok, megah, namun juga misterius.
”Aku mau coba yang ini dong, Nadine,” Reinald menatap gadis itu dalam-dalam, mencoba membaca reaksinya.
Namun gadis itu hanya mengangguk, ”Saya ambilkan dulu ukuran yang cocok untuk Kakak.”
Rei merasa sedikit kecewa. Tadinya ia berharap gadis itu akan kembali bereaksi setelah mendengar namanya disebut. Tapi tampaknya pertahanan Nadine jauh lebih kuat dari yang disangkanya. Seolah-olah ada dinding es tebal yang menyelimuti gadis itu. Ah, tak apa-apa. Ia sama sekali belum menyerah.
Tak lama kemudian gadis itu kembali. Di tangannya tersampir setumpuk kain berwarna merah. Sekali lagi gadis itu menyerahkan baju tersebut dengan caranya yang formal, membuat Reinald merasa sedang menerima bendera alih-alih sebuah kostum.
Pemuda itu membentangkan pakaian penyihir tersebut, bersiap memakainya, dan terpaku. Kostum tersebut ternyata sangat rumit. Pemuda itu sama sekali tak tahu bagian mana yang harus dibuka untuk mengenakannya.
”Ini… bagaimana cara memakainya, ya?”
Sesaat Nadine terlihat ragu. Namun kemudian ia berkata, walau dengan nada agak segan, ”Mari saya tunjukkan.”
Rei mengira gadis itu akan memeragakan cara memakai baju tersebut, namun ternyata Nadine malah mengenakan kostum itu padanya. Dengan hati-hati gadis itu membantunya memasukkan kedua tangan ke dalam lengan lebar berbordir emas tersebut. Menegakkan kerah tingginya agar berdiri lurus. Kemudian memasangkan kancing-kancing rumitnya satu-persatu. Ada saat-saat di mana Nadine berdiri dekat sekali dengannya, dan Rei dapat menghirup harum mawar dari tubuh gadis itu. Wangi bunga yang bercampur sesuatu yang dingin, seperti mawar yang tumbuh di pegunungan. Sejenak ia lupa waktu, lupa di mana ia berada, hanya sadar akan keberadaan Nadine, dan jemari gadis itu yang meluncur perlahan di dadanya.
Kemudian Nadine menjauh, dan Reinald tersadar bahwa gadis itu telah selesai menunjukkan cara memakai kostum tersebut. Pemuda itu berpaling ke arah cermin. Pakaian tersebut terhampar sampai ke mata kaki dengan potongan baju yang menonjolkan bahu dan dada, membuatnya terlihat lebih tegap. Secara keseluruhan ia terlihat amat berbeda, tampak kuat, berkuasa, dan menguarkan kepercayaan diri mutlak.
Rei baru akan berbalik untuk menyatakan kepuasannya ketika dengan sudut mata ia menangkap pandangan Nadine. Gadis itu kembali memperhatikan dirinya, kepedihan tergores dalam di mukanya, seolah akan menangis.
Pemuda itu cepat berbalik, dan Nadine terperanjat. Eskpresi menghilang dari wajahnya dan topeng esnya kembali bertengger, seperti jendela yang ditutup tirai. “Bagus sekali. Cocok untuk Kakak,” kata gadis itu datar.
Reinald masih terus menatapnya, memeriksa wajah Nadine, kalau-kalau pemuda itu bisa menangkap kilasan emosi lagi. Tapi muka gadis itu tetap bergeming, dan akhirnya Rei menyerah. Pemuda itu berbalik dan membaca kartu kecil yang terpasang di leher manekin.
“Jadi ini baju yang dipakai penyihir api? Pas sekali!” Rei mematut diri lagi di cermin, kemudian berbalik ke arah Nadine dalam satu kibasan jubah yang lebar. “Sekarang tinggal senjatanya. Penyihir api butuh senjata yang keren, kan? Punya saran buatku? Tongkat, mungkin?”
“Silahkan pilih sesuka Kakak.”
Rei mengangkat bahu. “Ya sudah.” Kemudian berjalan ke bagian samping toko, menghampiri dinding yang dipenuhi berbagai macam barang. Senjata apa yang cocok bagi penyihir api? Sebuah tongkat sihir menarik perhatiannya, tapi warnanya salah, hijau dan kecoklatan seperti terbuat dari batang pohon, jelas tidak menggambarkan api sedikit pun. Busur putih bertali tipis di hadapannya juga tampak cukup menarik, tapi ia tak pernah dengar ada penyihir bersenjatakan busur. Bagaimana dengan kapak? Nanti aku dipanggil Wiro lagi. Gada? Ho ho ho, aku adalah Bima, yang terkuat dari semua Pandawa!
Pemuda itu sampai ke ujung deretan senjata yang terpajang di sana, tetapi belum menemukan senjata yang pas untuknya. Bagaimana, sih? Seharusnya toko ini menyediakan aksesoris yang sepadan dengan kostumnya. Reinald berpaling ke arah Nadine, hendak menyampaikan hal tersebut, dan matanya tertumbuk pada sesuatu.
Sebilah pedang tergeletak di atas meja kecil, dekat pintu tempat Nadine keluar tadi. Bentuk senjata tersebut sebenarnya sederhana saja, bergagang hitam dan bermata dua, walaupun bilahnya berkilauan seperti asli. Namun entah kenapa pedang tersebut seperti memiliki daya tarik kuat, seolah-olah memanggilnya.
Reinald menoleh ke arah Nadine. “Yang itu,” pintanya seraya menunjuk pedang tersebut.
Di luar dugaan, gadis itu menggeleng. “Yang itu tidak disewakan.”
Rei mengerutkan kening. ”Kalau memang tidak disewakan, kenapa dipajang di sini?”
”Pedang itu memang tidak dipajang. Saya taruh di sana karena sedang dibersihkan.”
“Ayolah, pedang itu pasti cocok sekali dengan kostum ini,” bujuk Reinald. ”Aku akan jadi penyihir berpedang. Bagus, kan?”
Nadine menggeleng lagi. “Pedang itu tidak disewakan,” jawabnya tegas.
Rei terdiam sejenak. Bagaimana caranya agar ia bisa meyakinkan gadis es ini? ”Boleh, ya? Aku hanya pinjam sebentar saja, kok.”
”Sudah saya katakan, pedang itu tidak disewakan.”
Pemuda itu mengalihkan pandangan ke senjata tersebut. Lagi-lagi pedang itu seperti berseru padanya.
Pegang aku. Ambil aku.
”Begini, saja. Boleh kulihat sebentar pedangnya?” tanya Rei.
”Tidak boleh.”
”Lihat juga tidak boleh? Hanya lihat saja?
Nadine ragu sejenak, namun kemudian mengalah. Gadis itu mengambil pedang tersebut dan menyerahkannya pada Reinald dengan caranya yang aneh. Mata gadis itu menusuk matanya dengan tatapan yang seolah berkata, hati-hati memegangnya!
Pemuda itu memutuskan untuk mengikuti mood gadis itu. Setelah menerima senjata tersebut, Rei membungkuk seraya mengucap, ”Terima kasih, Nadine,” membuat gadis itu sedikit terpana melihatnya. Kemudian pemuda itu mencoba mengayunkan pedang tersebut.
Senjata itu meluncur tanpa hambatan, gesekan antara bilahnya dengan udara menghasilkan bunyi sangat indah, nyaris seperti nyanyian. Reinald sangat awam kalau menyangkut pedang, namun pemuda itu pun dapat melihat bahwa senjata tersebut pastilah sangat bagus. Dengan ibu jarinya Rei menelusuri pinggiran pedang itu, dan mendapati senjata tersebut ternyata tumpul. Untuk ukuran replika, benda itu dibuat sangat baik, nyaris seperti asli.
”Pedang ini bagus sekali,” kata pemuda itu kagum
Wajah Nadine bersemu. ”Terima kasih,” jawab gadis itu pendek.
Sebuah pengertian terlintas di kepala Rei. ”Kepunyaanmu?”
Sesaat gadis itu terlihat ragu. ”Ya. Dulu. Bisa dikatakan sampai sekarang. Maksudnya…”
”Oh, begitu,” pantas saja cewek ini tidak ingin meminjamkannya. Pedang ini pasti sangat berharga baginya. Tapi aku terlanjur suka pada pedang ini. Bagaimana caranya agar dia mau meminjamkannya, ya?
Reinald menatap mata Nadine dalam-dalam. ”Begini, Nadine. Aku mau jujur padamu. Aku suka sekali pada pedang ini. Aku ingin sekali meminjamnya. Aku mau melakukan apa saja supaya kamu mau menyewakannya.”
Gadis itu mulai menggeleng. ”Saya…”
”Aku hanya akan meminjamnya sebentar saja, kok. Dan aku janji akan menjaga pedang ini baik-baik,” pemuda itu tak memberinya kesempatan berbicara. ”Aku janji pedang ini akan kembali padamu dalam keadaan sama persis seperti waktu kupinjam. Boleh, ya?”
”Tapi…”
”Kumohon,” lanjut Rei. ”Dari pertama aku melihat pedang ini, ia sudah seperti memanggil-manggilku. Please, ya?”
Nadine membuka mulut, seperti ingin mengatakan sesuatu, namun bingung harus mengucap apa. Gadis itu mulai terlihat terpojok. ”Aku bayar berapa pun harga sewanya,” kejar pemuda itu. ”Kamu boleh men-charge biaya tambahan, untuk jaminan. Kamu boleh menahan KTP-ku. Kamu juga boleh melakukan apa saja padaku. Apa pun. Tapi tolong izinkan aku meminjam pedang ini.”
Sejenak keheningan menggantung di antara mereka. Pemuda itu menahan napas. Cukupkah perkataannya untuk mengubah keputusan gadis itu? Kalau gagal, pendekatan apa lagi yang harus ia jalankan?
”Ada satu syarat,” mendadak gadis itu berkata.
Rei nyaris berseru gembira. ”Apa? Sebut saja.”
”Kalau kamu bisa menebak nama pedang itu, kamu boleh meminjamnya.”
Pemuda itu terperangah. ”Pedang itu punya nama?”
Nadine mengangguk, dan Reinald mengerutkan kening. Ah, ini pasti akal-akalan gadis itu saja. Pasti sebenarnya ia tidak ingin menyewakan senjata tersebut. Tapi… Nadine terus mengamatinya. Pandangan matanya amat serius, bukan tatapan seseorang yang sedang mempermainkan orang lain.
Pemuda itu memutuskan untuk mengikuti permainan gadis tersebut. ”Oke, kalau itu maumu. Hmm, nama pedang, ya?” apa, ya? Ia sama sekali tidak punya bayangan seperti apa nama pedang itu. Lagipula, senjata itu tidak memiliki ciri khusus yang mungkin akan dipakai sebagai namanya. Apa, ya?
Oh, iya. Tadi rasanya ia membaca nama pedang itu di suatu tempat. Mungkin di kartu kecil yang terpasang di ujung senjata itu. Apa tadi yang ia baca? Se… Se…
”Seise Felliri.”
Mulut Nadine terjatuh membuka. Kekagetan dan ketakpercayaan tergambar jelas di wajahnya, topeng dinginnya hilang seketika.
”Benar, ya?” tanya Reinald.
Gadis itu berusaha mengucap sesuatu, namun tak satu pun suara keluar dari tenggorokannya. ”Ba – bagaimana caranya…?” akhirnya ia berhasil berkata. ”Kok, kamu bisa…? Dari mana kamu…? Bagaimana mungkin…?”
Rasa kemenangan menyelimuti Rei. ”Aku benar, kan?” pemuda itu menyeringai lebar, walaupun dalam hati sebenarnya ia masih tak percaya kalau ia mampu menebak jawaban pertanyaan Nadine hanya dalam satu kali kesempatan.
”Dari mana kamu tahu?” tanya gadis itu. Kekagetan telah sirna dari matanya, berganti kecurigaan dan kemarahan. ”Bagaimana caranya kamu bisa menebak nama pedang itu?”
”Tidak penting,” sahut Reinald. ”Yang penting, kamu sudah janji mau meminjamkan pedang itu kalau aku bisa menebak namanya.”
”Aku tidak berjanji…!”
”Kata-kata yang diucapkan seseorang itu artinya sama dengan sebuah janji,” pemuda itu tersenyum. ”Kamu mau mengingkari kata-katamu sendiri?”
Nadine terlihat amat marah, entah karena pernyataan Rei barusan, atau karena gadis itu terpaksa menyewakan senjata tersebut.
”Begini, Nadine,” pemuda itu menatap gadis tersebut serius. ”Seperti yang sudah kukatakan, kata-kata seseorang adalah janji. Dan karena tadi aku sudah berkata akan menjaga pedang itu baik-baik, aku pasti akan melakukannya. Jadi jangan khawatir, oke?”
Perlahan-lahan amarah gadis itu menyurut, namun matanya tetap menusuk mata pemuda itu. ”Janji?”
”Berapa kali harus kukatakan? Iya, aku janji.”
Nadine menghela napas berat. ”Ya sudah. Tunggu di sini. Aku ambilkan sarungnya dulu.”
Gadis itu berlalu, dan setelah punggungnya menghilang di balik pintu, giliran Reinald yang menghembuskan napas. Sebagian dari hatinya merasa tidak enak karena telah memaksa gadis itu. Namun sebagian lagi berkata kalau apa yang ia lakukan sudah tepat. Entah kenapa, ia memang sangat ingin meminjam pedang tersebut, dan mau melakukan apa saja untuk mendapatkannya.
Tak lama kemudian Nadine kembali. Dengan wajah datar ia mengulurkan kedua lengan ke arah Rei, kedua telapak tangan membuka ke atas, meminta pedang itu. Pemuda itu menyerahkan senjata tersebut dengan cara yang sama, dan tanpa berkata-kata gadis itu memasukkannya ke dalam sebuah sarung pedang dengan hati-hati.
Berbeda dengan pedangnya, sarung tersebut didekorasi amat megah, terbungkus kain beludru biru dan dihiasi benang-benang perak. Sarung pedang tersebut sebenarnya tidak serasi dengan jubah merah-hitam yang ia kenakan, namun Reinald mengabaikannya. Baginya, bukan sarungnya yang penting, melainkan keberhasilannya meminjam senjata tersebut
Nadine kembali mengulurkan pedang tersebut ke arah pemuda itu dengan cara formalnya yang aneh. Ketika Rei menerimanya, Nadine mengatupkan jari-jari di atas pedang tersebut, mencegah senjata itu berpindah tangan.
“Berjanjilah sekali lagi kalau kamu akan menjaga pedang ini baik-baik dan mengembalikannya tanpa kurang suatu apa pun.”
“Berapa kali harus kukatakan, sih? Tidak usah khawatir. Aku janji akan menjaga pedang ini dengan sebaik-baiknya, dan mengembalikannya padamu tanpa kurang suatu apa pun. Dengan segenap nyawaku kalau perlu.”
Setelah mengucapkan hal tersebut, mendadak Reinald merasakan suatu sensasi aneh. Seluruh tubuhnya seperti dibungkus benang laba-laba tak terlihat, tipis namun terasa gatal. Pergelangan tangan kirinya yang dililiti gelang dari kerang dan kayu tiba-tiba terasa sakit, seperti dicubit. Apa ada bulu yang tersangkut di sana dan tercabut? Namun pemuda itu menahan keinginan untuk menarik tangan dan mengusap pergelangannya, terus menatap mata gadis itu dalam-dalam.
Wajah Nadine tampak sedikit berubah. “Tidak perlu sejauh itu,” gumamnya seraya melepaskan pedang tersebut.
Rei segera mengenakan sarung beserta senjata itu di pinggangnya, kemudian memutar diri di depan kaca. Pedang tersebut membuat penampilannya tampak spektakuler.
“Oke, aku sewa jubah dan pedang ini,” kata pemuda itu.
”Mari saya bantu membukanya.”
Sekali lagi gadis itu mendekatinya. Dan sekali lagi Reinald menikmati harum mawar yang menyelimuti tubuh gadis itu, ketika Nadine melepaskan setiap kancing yang terpasang di kostum tersebut. Mulut gadis itu masih tertarik oleh kekesalan, dan lagi-lagi rasa tidak enak menyerang Rei. Jadi pemuda itu menundukkan wajah mendekati wajah gadis itu dan berkata lembut, ”Terima kasih sudah mau meminjamkan pedangmu padaku, ya, Nadine. Aku akan berusaha sebaik-baiknya menjaga kepercayaanmu.”
Gadis itu mengangkat muka, dan sepertinya baru menyadari kalau wajah Reinald berada dekat sekali dengannya. Reaksi gadis itu selanjutnya sungguh mengejutkan. Nadine tersentak ke belakang, hampir-hampir terlompat. Matanya membelalak, dan wajahnya merah padam. Bibir gadis itu membuka dan menutup, namun tak ada suara sedikit pun keluar dari sana. Akhirnya ia berhasil berkata, “Aku – aku siapkan dulu pembayarannya,” dan langsung melarikan diri dari pemuda itu.
Rei nyaris tertawa geli. Mimpi apa ia semalam, sampai bisa bertemu makhluk langka seperti ini? Tanpa ekspresi tapi emosional. Dingin tapi penuh kehangatan di baliknya. Gadis itu seperti kumpulan sifat-sifat bertolak belakang, persis seperti magnet yang punya dua kutub berlawanan di satu tubuh.
Beberapa saat kemudian pemuda itu baru menyadari bahwa akibat ulahnya, Nadine tak jadi membantunya membuka kostum tersebut. Ah, tapi biarlah. Hal itu sepadan dengan ekspresi gadis es itu tadi. Soal baju penyihir tersebut, ia bisa melepaskannya sendiri.
Ternyata butuh waktu yang tidak sedikit untuk menanggalkan kostum merah dan hitam tersebut. Reinald hampir-hampir menyerah dan akan meminta bantuan Nadine, ketika akhirnya pemuda itu berhasil melepaskan pakaian tersebut. Dengan penuh rasa syukur ia melipat baju itu, dan membawanya ke lantai bawah bersama pedang yang ia sewa.
Di lantai satu, Nadine telah menunggu di belakang meja kasir. Tina tidak terlihat di sana. Rei menghampirinya dan tersenyum, tapi gadis itu mengabaikannya dan menyebutkan sederetan angka dalam rupiah. Mendengarnya Rei nyaris melotot, tapi disembunyikan kekagetannya dengan menarik keluar dompet. ”Toko ini terima kartu kredit, kan?” tanya pemuda itu.
Gadis itu mengangguk, dan menerima kartu tersebut. Sepertinya Nadine berniat membalas dendam karena telah terpaksa menyewakan barang yang tadinya tak mau ia pinjamkan. Biarlah, harga itu setimpal dengan kostum tersebut, juga atas perkenalannya dengan sang gadis es.
Rei menenteng barang sewaannya dan melangkah keluar dari ruko. Hujan telah reda, namun langit masih tampak muram. Pak Dono keluar dari mobil dan mengambil alih barang yang Rei bawa. Barang itu hendak ditaruhnya di bagasi mobil, tapi pemuda itu mencegahnya, “Di jok saja, Pak. Ada barang berharganya.”
Supir itu menurut dan menaruh kostum dan pedang tersebut di samping Rei. Tak lama kemudian mobil kembali melaju di jalanan yang basah.
“Dapat yang bagus, Pak Reinald?”
“Oh, ya,” pikiran Rei melayang ke Nadine. “Bagus sekali.”
***